Title: The Doctor and the Policeman

Genre: Romance, Fluff, Adult-cast

Rate: T

Words: 1k+


"Dua pasien sedang dalam perjalanan dan akan tiba sebentar lagi!" Salah seorang perawat memberikan kabar tersebut di ruang IGD. Seketika, para dokter dan perawat lainnya menjadi sibuk. Hanya butuh waktu satu menit, ruangan tersebut langsung ribut.

Dua spinal board memasuki ruang IGD. Seorang wanita muda tak sadarkan diri di atasnya. Salah seorang dokter langsung menanganinya. Korban kedua, adalah seorang pria berseragam polisi. Tubuhnya berlumuran darah, namun ia masih sadarkan diri. Malahan, sang polisi terlihat ingin segera berdiri dengan kedua kakinya dan pergi menuju sang wanita.

"Wa-wanita itu, ugh... Dia, hah... sudah p-pingsan, ugh... sejak aku..." Sang Polisi mencoba menjelaskan kecelakaan yang barusan terjadi. Dia bicara tanpa henti. Saat seorang dokter dengan rambut pirang yang berantakan datang untuk menanganinya, dia kembali bicara lebih banyak. "Dia—ugh! Dia tak sadarkan diri, huh... daah... dan mobil itu... ugh, datang... menabrak—"

"Kami mengerti!" Dokter itu membentak. "Berhenti bicara, kau juga terluka. Dokter lain sedang berusaha untuk menyelamatkannya."

"Tapi—" Polisi itu kembali mencoba bicara. Namun perkataannya dipotong oleh sang Dokter yang memandangnya dengan garang.

"Kau mencoba untuk menyelamatkannya, tapi aku di sini sedang berusaha untuk menyelamatkanmu," sang dokter berucap tegas. Matanya menatap lurus pada manik hijau si Polisi. Setelah pasiennya diam, dia pun segera melanjutkan perkerjaannya.

.

Harry Potter, polisi yang semalam hampir kehilangan nyawanya karena sebuah tabrakan, hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit. Sebenarnya, dia melemparkan dirinya pada kecelakaan itu. Seorang wanita pingsan di tengah jalan dan saat itu juga ada mobil yang melaju kencang ke arahnya. Harry tidak berpikir terlebih dahulu dan melemparkan dirinya untuk melindungi sang wanita dengan tubuhnya. Harry cukup beruntung karena ia tidak perlu kehilangan beberapa bagian dari tubuhnya. Tapi Harry tetap harus berada di rumah sakit untuk beberapa hari.

Sekarang Harry menghabiskan waktu membosankan di kamar rumah sakit. Ia membaca sebuah buku yang ditinggalkan oleh sahabatnya yang sempat mengunjunginya. Karena terhanyut dalam bacaannya, Harry sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di depan pintu. Sebuah ketukan membuat Harry mengalihkan perhatiannya dari kertas.

Harry kaget namun juga senang melihat wanita yang diselamatkannya semalam berjalan ke arahnya. Harry lega karena dia baik-baik saja.

Sang wanita mengucapkan terima kasih berkali-kali hingga Harry harus berkali-kali pula mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. "Maaf karena aku telah membuatmu menjadi seperti ini." Matanya berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Ia merasa bersalah telah membuat Harry terluka bahkan lebih parah daripada dirinya.

Harry menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku hanya melakukan tugasku sebagai polisi dan tugasku sebagai manusia. Dan ini hanya luka kecil. Aku pernah hampir kehilangan tanganku karena sebuah kecelakaan sebelumnya." Harry tersenyum. Ia kembali mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian ia dan wanita itu terus mengobrol untuk beberapa saat.

"Kalau begitu, aku permisi," wanita itu pamit. "Sekali lagi, terima kasih," ucapnya sebelum berjalan keluar dari kamar Harry.

Saat melihat wanita itu keluar, saat itulah Harry menyadari jika ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka. Dokter berambut pirang itu tersenyum pada sang wanita begitu dia melewatinya. Dokter itu kemudian kembali melirik Harry.

Awalnya ia tidak mengatakan apa-apa, namun tiba-tiba ia mendengus. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. "Aku hanya melakukan tugasku sebagai polisi dan tugasku sebagai manusia." Dia tidak punya tujuan untuk mengejek, tapi nada suaranya terdengar demikian. "Kau mengutip dari film apa?"

Harry memutar mata malas. Ini sebenarnya bukanlah sikap yang akan ia perlihatkan di depan orang yang baru ditemuinya. "Aku senang kau menganggapnya lucu, Dokter," balas Harry dengan sinis.

Harry melirik dokter yang tertawa itu dari ujung matanya. Ia membaca nama yang berada di jas putihnya. Draco Malfoy. Nama yang cukup unik.

Pandangan Harry beralih dari nama Draco pada wajahnya. Harry cukup terkejut. "Kupikir dokter menjaga waktu tidur mereka dengan baik."

Draco sudah masuk dari tadi ke kamar Harry. Ia berdiri tidak jauh di samping ranjang Harry. "Well, well, kuharap juga demikian. Tapi menjadi dokter bukan berarti kau akan menjadi orang paling sehat di dunia," balas Draco. Ia menyentuh wajahnya. "Aku belum tidur selama tiga hari dan tidak merawat diriku. Aku pasti terlihat buruk sekarang."

Harry mengangguk menyetujui. Muncul rasa puas saat Draco mendecak kesal. "Kantong matamu bahkan lebih hitam daripada para polisi yang selalu patroli malam. Ditambah dengan rambutmu yang lebih berantakan dari rambutku."

Draco seketika menyentuh rambutnya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan. Tidak begitu jelas, tapi Harry bisa melihat semburat merah di pipinya.

"Dan mereka bilang menjadi dokter adalah hal yang keren," Draco mendengus.

Harry mengangguk, tidak berniat membenarkan perkataan Draco. Harry malah hanya ingin membuat Draco semakin kesal. "Jadilah seorang dokter, itu pekerjaan yang keren. Carilah kekasih seorang dokter, mereka selalu keren dan tampan." Harry mencibir dan kemudian tertawa. "Tapi sepertinya tidak semua dokter itu keren dan tampan." Harry melirik Draco dari sudut matanya.

Draco memang tidak pernah berpikir bahwa semua dokter itu tampan dan cantik. Tapi perkataan Harry barusan jelas-jelas ditujukan padanya. Ia memandang kesal ke arah Harry. "Oh, terima kasih karena telah mengingatkanku, Pak Polisi yang selalu menjadi pahlawan."

Harry tidak merasa tersinggung sama sekali. Lagi pula, ia tidak pernah merasa seperti pahlawan. Ia kemudian teringat sesuatu. "Ah, ngomong-ngomong, terima kasih."

Draco sedikit terkejut dan bingung dengan ucupan terima kasih yang tiba-tiba ini. "Untuk apa?"

"Kau menyelamatkanku," jawab Harry tanpa ragu. "Kau dokter yang menanganiku semalam, kan?"

Draco mengangguk. "Benar, kau harus berterima kasih padaku. Kalau aku tidak segera menghentikanmu bicara, entah apa yang akan terjadi padamu." Draco bicara dengan nada kesal. Ia tidak akan melupakan betapa menyusahkannya Harry semalam. "Kau sangat cerewet bahkan saat seluruh tubuhmu tertutupi darah. Apa lagi jika kau sehat-sehat begini. Kau pasti tidak akan berhenti bicara selama berjam-jam."

Harry menggeleng tidak setuju. "Aku tidak cerewet. Aku hanya bicara seperlunya," jawab Harry begitu yakin. "Aku hanya akan bicara banyak saat aku harus, biasanya terkait pekerjaan. Dan satu-satunya waktu aku menjadi cerewet adalah ketika aku suka mengobrol dengan orang yang kuajak bicara. Biasanya orang-orang yang punya ketertarikan atau hobi yang sama denganku. Atau orang yang membuatku nyaman. Aku banyak bicara dengan orang yang membuatku nyaman, seperti orang yang kusuka dan teman-teman dekatku."

Draco mengangguk-angguk ringan. Ia bersenandung, memikirkan sesuatu. "Dan kau banyak bicara sekarang," gumam Draco yang bicara dengan keras agar Harry mendengarnya. "Kita tidak sedang berbicara tentang pekerjaan. Kita juga bukan orang yang punya hobi sama. Aku juga bukan seorang teman yang sudah lama kau kenal. Hm... Kira-kira, kenapa kau bicara banyak denganku?"

Draco berpikir dengan keras, terlihat dari wajahnya. Namun tidak sulit untuk mengatakan bahwa Draco tidak benar-benar sedang berpikir. Ia hanya sedang menunggu reaksi Harry. Saat Harry tampaknya menyadari apa yang ia pikirkan, Draco berusaha keras menahan senyum di wajahnya. Draco gemas melihat wajah Harry yang memerah hingga ke telinga.

"A-aku tidak banyak bicara," sangkal Harry, "aku hanya mencoba menjelaskan padamu. Wajar jika aku bicara sedikit lebih banyak saat menjelaskan sesuatu."

Draco akhirnya melepaskan tawa yang ditahannya. Ia benar-benar gemas. "Aku akan mempercayaimu untuk sekarang." Sudut bibir Draco terangkat saat Harry tersenyum ke arahnya.

"Well, then," Draco menunjuk ke belakang, ke arah pintu, "aku harus kembali bekerja. So..." Draco sedikit bingung dengan apa yang ingin dikatakannya lagi, jadi, setelah Harry mengangguk, Draco pun berbalik.

Harry masih mempertahankan senyum di wajahnya. Matanya terpaku pada punggung Draco yang menjauh. Sebelum Draco melalui pintu, Harry tertawa kecil saat menyadari rambut pirangnya benar-benar sangat berantakan. "Hey," panggilnya membuat Draco berbalik. "You really need some rest, you know."

Draco kembali mengulas senyum. Manik kelabunya menatap lama pada Harry yang masih tersenyum ke arahnya. Ia mengangguk dan kemudian berbalik.

Begitu Draco sudah keluar, Harry terkekeh pelan. Ia kemudian mengalihkan pandangan pada kakinya yang terbalut perban. Harry tidak pernah menyangka jika ia akan tersenyum melihat kakinya yang cedera. Dan, mungkin ini akan menjadi pertama kalinya Harry tidak merasa bosan di rumah sakit.

.

.

The Doctor and the PolicemanCompleted

.

.

.