Sepanjang kariernya sebagai dokter bedah—yang sebetulnya belum seberapa panjang—pria muda itu tak pernah tahu bahwa pisau bedah di tangan yang salah bisa sedemikian mengerikan.
"Usseena! Berisik ah!"
Sosok yang berjongkok di atas jenazah dalam gelap itu berteriak nyaring.
"Oresama isogashii kara jama sunna! Aku lagi sibuk di sini jadi jangan ganggu!"
Scalpel itu, instrumen pemotong paling vital milik seorang dokter bedah, dipegang oleh sosok asing yang tampaknya sedang membelah rongga dada manusia yang sudah tak bernyawa.
Si dokter muda dengan gugup membenahi kacamatanya yang melorot kena keringat, lalu mencengkeram tangan rekannya yang juga berdiri di ambang pintu kamar jenazah. "Toyama-sensei … kurasa kita harus panggil polisi."
"Polisi? Tapi, kurasa aku mengenal ... HEI, bukannya itu scalpel punyaku?!"
Sosok itu menerjang keduanya, menggeram keras bagai hewan buas. Dokter yang lebih muda merasa dirinya harus menjerit sebelum batang lehernya digorok pisau bedah milik rekannya sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BoBoiBoy (c) Animonsta Studios
Team Medical Dragon (c) Akira Nagai & Tarou Nogizaka
Good Night, Have a Nightmare! (c) Roux Marlet
-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-
Cover Art by: Cfy Mai
Boboiboy Japanese ver headcanon by: akaori
.
PERINGATAN!
Mengandung asupan Suspense, Family, Angst, Horror masing-masing sekitar seperempat porsi, sedikit bumbu (Dark) Humor dan topping Sci-Fi. Mungkin terdengar lezat, tapi tidak disarankan membaca sambil makan/minum.
.
Ringkasan Cerita:
"Selamat tidur, Boboiboy." / Amato berharap putra semata wayangnya bisa tidur nyenyak di Rumah Sakit Hokuyou yang, mungkin, akan jadi tempat sang anak menutup mata untuk selamanya kalau operasinya yang kesekian ini kembali nihil. / Alternate Universe, crossover BoBoiBoy x Team Medical Dragon.
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Chapter 1: The Handover
.
.
.
.
.
"Maaf, kalian jadi lama menunggu." Pria tinggi besar itu masuk sembari memakai jas putihnya. Tamunya yang sedikit lebih tua, meski tak lebih tinggi, berdiri dari kursi dengan limbung. Suaranya agak parau ketika bicara,
"Maaf sudah mengganggu waktu kalian."
Dokter berpostur menjulang itu tersenyum tenang. Di hadapannya adalah seorang pria dengan peci dan seorang anak laki-laki dengan topi oranye. "Ah, masa datang ke sini cuma untuk maaf-maafan?"
Si anak terkekeh pelan. "Dokter benar, Ayah, Idul Fitri udah lama lewat."
Sang dokter menepuk kepala anak itu, baru menyadari bentuk topi yang serupa dinosaurus. "Menolong pasien 'kan sudah tugasnya dokter. Silakan duduk, Tuan."
"Terima kasih. Namaku Amato dan ini anakku, Boboiboy."
"Salam kenal, Amato-san. Halo, Boboiboy. Salam kenal, aku Dokter Asada."
Anak laki-laki bertopi aneh itu balas tersenyum cerah. "Halo, Asada-sensei."
Yang lebih tua pucat sekali dan tampak bisa pingsan sewaktu-waktu, sedangkan anaknya terlihat segar dan ceria.
"Jadi," Dokter Asada Ryutaro bersuara lagi, menatap kedua wajah yang bertolak belakang itu bergantian, "siapa yang sakit?"
Ditanya begitu, anak bernama Boboiboy menunduk murung. Ayahnya yang menjawab,
"Anakku …."
.
.
.
.
.
"Eh, kursi roda? Tapi, aku ngerasa masih cukup kuat jalan sendiri, kok."
"Nggak apa-apa, Boboiboy. Sudah prosedurnya begitu," sahut Amato sambil menepuk kepala sang putra.
"Apa nanti aku juga diinfus, Ayah?" tanya Boboiboy sambil mendudukkan diri di kursi roda yang disiapkan perawat.
Amato tertawa singkat. "Bagaimana, Dokter? Untuk yang ini aku nggak bisa jawab. Boboiboy memang anak yang ingin tahu."
"Kalau Boboiboy makannya cukup lahap dan cukup minum, nggak perlu infus dulu," jawab Asada sambil tersenyum pada pasiennya.
"Ore wa chuusha ga nigate nande—Aku nggak suka disuntik soalnya ...," sahut Boboiboy, balas tersenyum malu-malu.
"Semoga kamu nggak perlu banyak disuntik," sambung Asada lagi. "Bahasa Jepang kalian cukup lancar, Amato-san. Apa kalian memang tinggal di sini? Dari data Boboiboy tadi, kalian berkebangsaan Malaysia."
"Keluargaku keturunan Jepang, tapi aku dan Boboiboy belum lama tinggal di negara ini. Rumah kami aslinya di Kuala Lumpur."
"Begitu rupanya. Mari kita antar Boboiboy ke kamarnya." Asada mengangguk pada perawat untuk mendorong kursi roda si pasien. Rombongan empat orang itu pun meluncur di koridor, dengan kursi roda yang paling depan.
Asada di belakang bicara lagi, "Anda baru-baru ini bekerja di Jepang, Amato-san?"
"Begitulah. Aku seorang programmer. Ada perusahaan besar yang perlu website development di sini, jadi aku perlu pergi untuk beberapa hari." Amato melempar pandang cemas kepada putranya. "Bisakah kalian jaga anakku selama aku tidak di sini?"
"Jangan khawatir, Amato-san." Asada menatap lawan bicaranya dengan tenang. "Di sini kami punya tim yang baik untuk menangani kasus penyakit jantung."
"Termasuk Anda sendiri, Asada-sensei? Kudengar Anda seorang cardiothoracic surgeon yang terkenal."
Yang ditanya hanya tersenyum simpul. "Terkenal atau tidak, itu relatif. Yang utama adalah pasien."
"Terima kasih," ujar Amato tulus. "Oh, iya. Apa kalian punya CCTV di sini?"
"CCTV? Sayangnya tidak, RS Hokuyou ini rumah sakit kecil. Tapi akan ada petugas yang keliling tiap periode."
Amato mengangguk-angguk. "Tolong lihat Boboiboy sekitar Subuh, bantu awasi kalau dia perlu bantuan untuk wudu dan salat."
"Baiklah."
Saat itu mereka melewati deretan perkantoran dan Asada minta berhenti sebentar. Sang dokter menjenguk ke dalam ruangan, sepertinya memanggil salah satu temannya. Amato bicara lagi, kali ini kepada perawat yang mendorong kursi roda,
"Tolong bantu awasi, jam tangannya … jangan sampai ada yang melepasnya, kecuali saat mandi dan wudu."
"Jam tangannya? Oh, ini smartwatch yang bisa mengukur nadi dan tekanan darah, ya?" sahut si perawat perempuan sambil berjongkok, mengamati perangkat di tangan kanan Boboiboy.
"Betul," jawab si anak dengan senyum terkulum.
Suara Asada muncul kembali, "Boboiboy, ini salah satu dokter yang nanti akan menanganimu."
Seorang pria yang lebih muda dari Asada, tinggi kurus dengan sorot mata tajam, keluar dari pintu sambil mengunyah permen karet. Dia tersedak waktu melihat Boboiboy di kursi roda.
"Bocah laki-laki? Asada, kau nggak bilang pasiennya anak-anak …!"
Asada angkat bahu dengan elegan. "Aku sudah bilang tadi, kau saja yang terlalu fokus nonton sitcom. Yang kaudengar pasti bagian transplantasi jantungnya saja."
Dokter muda itu setengah bersembunyi di balik daun pintu, tampak agak malu tapi juga tidak mau terlihat demikian. Orang bilang yang seperti ini namanya tsundere. "Salam kenal, aku Toyama Seiji."
"Toyama-sensei kurang suka anak-anak," imbuh Asada. "Tapi tenang saja. Kalau sudah menyangkut pasien, dia hebat."
Boboiboy melambaikan tangannya dan Toyama membalas setengah hati.
"Sampai nanti, Toyama-sensei!"
Dari dalam ruangan terdengar suara tawa penonton sitcom, seolah ikut menertawakan kecanggungan sang dokter. "Ergh … bye-bye."
Rombongan kecil itu pun melaju kembali.
"Apa aku nanti dapat teman sekamar, Ayah?"
"Sayangnya enggak, Boboiboy. Ayah minta ruang VIP untukmu," jawab Amato sambil membelai kepala putranya.
"Oh," sahut Boboiboy, terlihat agak kecewa.
"Sisi baiknya, kamu jadi bisa menyimak e-courses sepuasnyatanpa takut mengganggu orang lain."
"Ah, benar juga, Ayah. Ehehe. Terbaik~" Boboiboy mengangkat jempol tangannya sambil nyengir. "Minggu lalu aku sudah sampai bab tentang tata surya! Setelah ini aku mau belajar tentang bintang-bintang galaksi!"
"E-courses?" tanya Asada pelan-pelan selagi anak itu bercerita pada si perawat tentang pelajarannya.
"Boboiboy tidak bersekolah formal."
"Separah itu kondisinya?"
Amato mengangguk dengan murung. "Tapi dia anak yang suka belajar. Dalam kopernya banyak buku, di laptopnya juga banyak modul elektronik. Minatnya pada ilmu sains."
Asada mengingat-ingat umur pasiennya sejenak. "Boboiboy berumur dua belas tahun, ya?" Amato mengangguk. "Dia anak tunggal?"
"Ya."
"Amato-san sendiri, apakah punya riwayat penyakit jantung?"
"Oh, iya. Atrial fibrillation. Aku pengguna pacemaker."
"Begitu, ya."
"Untungnya penyakitku cukup stabil."
"Syukurlah kalau begitu." Asada mendesah lega. "Dokter kami juga ada yang pengguna pacemaker. Mungkin kalian bisa mengobrol lain waktu, karena dia nanti berdinas malam."
Mereka sudah sampai di kamar yang dimaksud. Si perawat membuka pintu dan mendorong pasiennya masuk.
"Waaah!" seru Boboiboy antusias, melempar pandang berkeliling. Kamar itu cukup luas dan berdinding warna pastel dengan aroma sejuk. Ada bilik kecil yang tampaknya adalah kamar mandi di sisi kanan pintu. Sinar matahari menerobos masuk dari kaca jendela di seberang pintu, jatuh di sebelah kanan tempat tidur yang tertata rapi. Di sisi tempat tidur ada sebuah meja troli yang cukup lebar serta sebuah rak kayu berpintu.
"Laptopku boleh ditaruh di situ, Ayah?" Boboiboy menunjuk meja beroda itu.
"Kayaknya itu meja untuk tempat makanan disajikan, Boboiboy," sahut Amato. "Tapi di luar waktu makan, mungkin nggak apa-apa?"
Asada mengiyakan, "Silakan saja." Sekali lagi sang dokter melempar senyum untuk pasiennya yang tampak bersemangat. "Nah, Sensei pamit dulu."
Setengah jam berikutnya, ayah dan anak itu membongkar barang-barang bawaan bersama-sama. Pakaian, buku-buku, laptop dan berbagai perangkat elektronik lainnya, yang beberapa di antaranya si anak sendiri yang mengeluarkan dari koper dan menatanya di atas rak. Boboiboy memang sungguh-sungguh terlihat sehat dan energik kalau seperti ini, tapi pemeriksaan rekam jantung dan CT scan tadi tidak bisa menipu. Gagal jantungnya tak lagi bisa ditolong dengan operasi.
Kelainan jantung bawaan sejak lahir membuat Boboiboy sudah menjalani enam kali operasi sampai usianya yang kedua belas. Pada akhirnya, kondisi itu hanya bisa diatasi dengan transplantasi jantung.
Masalahnya ….
"Transplantasi jantung untuk anak belum banyak dilakukan, juga belum banyak berhasil," ujar Asada berterus terang saat si pasien sedang diperiksa tadi. "Donornya juga harus dicek dulu, apakah cocok dengan kondisi Boboiboy. Kalau tidak cocok, akan ada risiko penolakan organ di dalam tubuhnya."
"Donor jantung itu … berarti pendonornya sudah meninggal?" Amato bertanya pelan-pelan.
"Benar. Kami bisa menghubungi bank organ, mereka lembaga yang mengumpulkan organ tubuh yang masih bisa diselamatkan dari orang-orang yang meninggal karena kecelakaan, karena suatu penyakit di luar organ, yang semasa hidupnya mereka menandai kartu donor organnya."
"Jadi aku harus menunggu ada orang meninggal yang jantungnya cocok untuk anakku?"
"Kurang lebih begitu, Amato-san."
"Dan sekalipun cocok, keberhasilan transplantasi jantung pada anak belum begitu bagus saat ini?"
"Kami akan usahakan yang terbaik."
"Aku nggak tahu harus ke mana lagi," keluh Amato sambil mengurut dahi. "Aku percayakan anakku pada kalian, Asada-sensei." Dia berhenti dan menatap dokternya lekat-lekat, penuh permohonan.
"Jujur saja, timku saat ini sedang di-demosi," ungkap Asada. "Politik bisnis rumah sakit, menyedihkan tapi itu faktanya. Kami tadinya bertugas di Rumah Sakit Universitas Meishin. Aku agak heran Amato-san bisa menemukan kami, Team Medical Dragon, di rumah sakit terpencil ini."
"Katakanlah … jejaring yang luas," balas Amato murung. "Semoga ini jadi kunjungan rumah sakit kami yang terakhir."
"Ya, semoga."
.
.
.
.
.
"Ayah perginya berapa lama?" tanda tanya terlontar saat kamar itu sudah rapi kembali dengan tambahan banyak barang.
"Semoga cuma beberapa hari, Boboiboy. Maafkan Ayah."
"Baik, Ayah." Meski mengiyakan, Boboiboy tetap saja murung.
Amato mengusap kepala putranya yang masih terbungkus topi dengan lidah terbalik. "Boboiboy … semoga tidurmu nyenyak, ya."
Kepala itu mengangguk. "Ya, Ayah."
"Jangan lewatkan salat."
"Siap, Ayah."
Amato membungkuk lalu memeluk Boboiboy, yang dibalas dengan pelukan sama eratnya. "Ayah pergi dulu."
Saat itu pintu kamar terbuka, membuat keduanya menoleh.
"Eh-oh, selamat siang." Seorang pria muda berjas putih dan berkacamata berdiri di ambang pintu, bicara dengan kikuk. "Maaf, sepertinya ketukanku tadi terlalu pelan, ya."
"Selamat siang. Tak mengapa, aku juga mau keluar sebentar lagi." Amato melepas pelukannya dan meraih tas kerjanya. Boboiboy juga menatap dokter baru itu dengan pandang bertanya.
"Ah, aku lupa memperkenalkan diri!" Dokter muda itu masuk lalu membungkuk cepat-cepat. "Namaku Ijyuuin Noboru." Dia menegakkan diri. "Bisa dibilang, aku asisten Asada-sensei."
"Salam kenal, Ijyuuin-sensei," balas Amato, membungkuk sedikit.
"I-iju … namanya susah, hehe," keluh Boboiboy sambil menggaruk pipi.
"Panggil Sensei saja nggak apa-apa," sahut Ijyuuin, mendekati pasiennya dengan senyum tenang.
"Ore, Boboiboy da—Aku Boboiboy!" Si empunya nama balas tersenyum. "Yoroshiku ne—salam kenal!"
"Ijyuuin-sensei, aku perlu pergi untuk beberapa hari." Amato melirik jam tangannya. "Anda yang bertugas jaga siang ini?"
"Benar, Amato-san. Asada-sensei tadi sudah mengoperkan apa-apa saja yang perlu."
"Baguslah. Aku titip Boboiboy …."
"Siap. Anda tenang saja. Kondisi Boboiboy saat ini masih cukup stabil."
Amato tersenyum sekilas, lalu sekali lagi pamit. "Ayah pergi dulu, ya …."
"Bye Ayah, selamat bekerja," sahut Boboiboy, memaksakan diri untuk balas tersenyum. Lihat saja, sepeninggal Amato dari ruangan itu, senyumnya langsung luntur.
"Boboiboy sayang banget sama Ayah, ya?" Ijyuuin mendudukkan diri di kursi di sebelah ranjang.
"Iya, Sensei." Boboiboy berhenti sejenak. "Aku anak tunggal dan ibuku sudah meninggal. Jadi kami hanya berdua ke mana-mana."
"Sementara Ayah pergi kerja, biasanya Boboiboy ngapain?" tanya Ijyuuin sambil mencondongkan badan. Meski sebetulnya Ijyuuin sudah tahu dari operan Asada yang berjaga shift pagi, membuat pasiennya merasa senang dan tenang adalah kelebihan si dokter muda. Kebalikan dari Toyama, Ijyuuin mudah sekali dekat dengan anak-anak.
"Belajar," jawab yang ditanya. "Aku punya buku-buku ensiklopedi dan modul elektronik di laptop. Apa Sensei suka bintang?"
"Bintang? Tentu saja suka!"
"Waaaaah! Sama dong!" Mata cokelat Boboiboy berbinar-binar. Diraihnya satu buku di tumpukan teratas. "Konstelasi apa yang Sensei paling suka?"
"Umm, kalau konstelasi, aku nggak terlalu hapal, hehe … aku suka lihat bintang di atap rumah sakit bareng Asada-sensei."
"Jadi kita bisa lihat bintang di atap?" balas Boboiboy makin bersemangat, tak jadi membuka ensiklopedinya. "Aku mau!"
"Nanti malam, yuk?"
Boboiboy mengangguk antusias. "Jitsu wa ore, senseijutsu-shi ni naritainda—Aslinya aku pengin jadi astrologer!"
Senyum Ijyuuin terkembang. "Cita-cita yang bagus."
"Nanti malam kita lihat bintang, ya, Sensei!"
"Iya, sehabis operan shift malam, ya. Sekitar jam sembilan."
"Operan? Apa maksudnya?"
"Operan atau shift handover itu, artinya proses serah-terima tanggung jawab dari petugas yang akan pulang kepada petugas yang akan berjaga. Rumah sakit harus buka dua puluh empat jam, maka petugasnya harus gantian, 'kan?"
"Jadi nanti Sensei … operan … ke dokter yang berjaga malam?"
"Iya, betul."
"Apa aja yang dioperkan?"
Asada sudah bilang bahwa Boboiboy penuh rasa ingin tahu, jadi Ijyuuin memang sudah menyiapkan diri untuk banyak ditanya. Dia menjelaskan,
"Jumlah pasien keseluruhan, pasien baru dalam hari ini, kondisi yang gawat, dan hal lainnya yang perlu." Ijyuuin menunjuk. "Boboiboy termasuk yang dioperkan tadi pagi kepadaku, dan akan kuoperkan lagi nanti malam."
"Karena … aku pasien yang baru masuk hari ini?"
"Benar lagi. Kamu pintar, ya."
Boboiboy terkekeh malu. "Kalau kondisi gawat tadi gimana maksudnya?"
"Pasien-pasien yang memerlukan pertolongan segera. Misalnya tiba-tiba sesak napas, kejang, atau pingsan."
"Ugh. Sepertinya seram. Aku nggak pernah begitu."
"Semoga nggak, ya. Tapi kalau Boboiboy merasa ada yang gawat lainnya, pencet saja belnya." Ijyuuin meraih sebuah tombol di dekat kepala ranjang.
"Baik, Sensei!"
"Oya, Boboiboy tadi sudah ketemu Toyama-sensei, ya?"
"Sudah. Orangnya lucu," kikik si anak laki-laki.
"Selain Asada-sensei dan Toyama-sensei, ada juga aku sebagai dokter bedah yang akan menemanimu."
Mata cokelat Boboiboy membola. "Eh, Sensei juga dokter bedah jantung?"
Ijyuuin tersenyum manis. "Nggak kelihatan ya? Hehe."
Boboiboy balas tersenyum, agak merasa bersalah. "Eum, Sensei umur berapa sih?"
"Aku dua puluh enam."
"Aku dua belas. Sensei pasti pintar banget, sudah jadi dokter bedah jantung di umur segini."
"Ini juga berkat didikan Asada-sensei," Ijyuuin merendah. "Nah, selain kami bertiga, tim yang akan menolongmu ada tiga orang lagi."
"Tim?"
"Orang-orang menyebut kami Team Medical Dragon. Apa Boboiboy tahu, agar sebuah operasi bisa berlangsung, nggak hanya dokter bedah yang berperan?"
"Um, entahlah. Biasanya Ayah yang mengurus semua hal soal operasi di rumah sakit."
"Dokter bedah jantung tiga orang: satu sebagai pemimpin operasi dan dua asisten. Selain itu, minimal ada satu dokter anestesi atau bius, satu perawat bedah, dan satu lagi dokter konsultan yang bukan dokter bedah untuk pemulihan setelah operasi."
"Jadi yang belum kutemui ada dokter bius, perawat, dan satu lagi … apa tadi?"
"Dokter konsultan. Nanti dia berjaga malam bersama perawat bedah yang kumaksud. Kau bisa kenalan dengan mereka nanti."
Boboiboy mengangguk-angguk. "Kalau gitu, tinggal dokter bius yang belum bisa kutemui?"
"Ya, betul."
"Apa dia libur hari ini?"
"Iya, dia sedang ada pertemuan di luar kota sejak minggu lalu. Mungkin lusa dia pulang."
Saat itu, terdengar sebuah suara yang cukup nyaring di dekat mereka. Ijyuuin sampai terlonjak karena kaget. Boboiboy tampak salah tingkah dan buru-buru melepas jam tangannya.
"Suara apa itu?" tanya sang dokter sambil menatap perangkat yang masih bersuara itu. Layarnya gelap, tapi Ijyuuin yakin suaranya berasal dari benda itu.
"Ini alarm buat waktu salat."
"Oh?" Ijyuuin juga sudah diberi tahu tentang agama pasiennya. "Kalau begitu, Boboiboy salat dulu ya? Nanti Sensei bakal ke sini lagi, agak sore gimana?"
Boboiboy mengangguk riang. "Aku suka ngobrol dengan Sensei."
Ijyuuin tersenyum senang. "Oke, Sensei pamit dulu ya!"
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Rupanya hari itu cukup banyak pasien yang bertandang ke Instalasi Gawat Darurat. Sekitar jam tujuh malam barulah Ijyuuin kembali ke kamar Boboiboy dan mendapati anak itu sedang tidur. Dilihatnya meja beroda tempat makan itu begitu kotor meski sudah tidak ada piring bekas makanan di atasnya. Oleh dorongan hati, Ijyuuin mengambil tisu dan mengelap meja itu sampai bersih. Setelah ini Ijyuuin mau mampir ke Instalasi Gizi untuk memberi masukan ke petugas, agar sekalian membersihkan meja kalau beres-beres perkakas makan pasien.
Tiba-tiba alarm jam tangan Boboiboy berbunyi, nyaring seperti siang sebelumnya. Ijyuuin menunggu sejenak tapi anak itu tidak terbangun. Kalau tidak salah, bila waktu salat tiba, sebaiknya segera dilaksanakan. Diguncangnya bahu Boboiboy perlahan untuk membangunkannya.
"Boboiboy … ayo bangun," panggil sang dokter berkacamata. Karena tidak ada respon, Ijyuuin memperkuat guncangannya.
"Ngg?" Boboiboy akhirnya membuka mata cokelatnya dengan gerakan lambat.
"Sudah waktunya salat," ujar Ijyuuin cukup keras.
"Haa?" Boboiboy kemudian menguap lebar-lebar sambil menggeliat.
"Kamu salat dulu ya, nanti Sensei ke sini lagi."
"Hmmm …."
Karena Boboiboy tidak juga mengubah posisinya dari berbaring ke duduk, Ijyuuin tidak segera pergi. Diraihnya tangan kiri sang anak dan diceknya sekilas denyut nadinya. Tak ada yang aneh. Ijyuuin juga mencoba menyentuh tombol pada jam tangan anak itu, tapi layarnya tetap gelap dan alarmnya tetap berbunyi.
Boboiboy lalu bergumam sambil mengucek mata, "Ano, Sensei ... boku chotto onaka suita—Permisi, Pak Dokter, saya agak laper."
Ijyuuin mengernyit. Kalau melihat bekas meja tadi, mestinya Boboiboy sudah makan malam, karena makan malam dihidangkan pukul enam sore tepat.
"Nanka tabemono nai desu ka—Ada makanan nggak ya?"
Meraih sakunya, Ijyuuin berujar, "Sensei ada cokelat sebatang. Boboiboy suka?"
Anggukan-anggukan malas sebagai jawabannya.
"Tapi, Boboiboy salat dulu, ya. Itu alarmmu sudah bunyi dari tadi. Atau, kamu perlu bantuan ke kamar mandi?"
Kali ini Boboiboy menggeleng-geleng. Gerakannya lambat dan monoton seolah sekadar bernapas saja menyedot begitu banyak energinya.
"Cokelatnya Sensei taruh di meja, ya," Ijyuuin tetap bersabar. "Boboiboy makan cokelatnya sehabis salat."
"Umm."
Waktu Ijyuuin kembali sehabis berkeliling ke semua bangsal rawat inap, didapatinya Boboiboy sudah tidur lagi. Sajadahnya terserak di lantai tanda habis dipakai tapi tak dibereskan, dan bungkus cokelat pemberian Ijyuuin sudah tandas di tempat sampah.
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Sekitar jam setengah sembilan, Ijyuuin yang hendak bikin kopi bertemu rekannya yang akan berjaga malam di pantry dokter.
"Ijyuuin, kamu tahu cookies yang kusimpan di sini?"
Yang ditanya mendongak dari kegiatannya meracik kopi, menatap lemari es yang pintunya sedang dibuka oleh pria tinggi kurus berjas putih. "Nggak tahu. Apa Fujiyoshi-sensei ada simpan cookies di situ?"
"Ada, baru semalam. Kemasannya plastik pembungkus biasa sih, bukan toples." Dokter yang dipanggil Fujiyoshi itu membungkuk, meneliti setiap sudut lemari es.
"Banyak?" Ijyuuin ikut mendekat.
"Banyak, setengah kilogram ada. Kalau ada yang makan, masa sebanyak itu langsung habis nggak bersisa?"
Ijyuuin hanya menggeleng karena juga tak tahu. Apalagi, sepanjang hari ini dia baru masuk ke pantry malam itu. Dilanjutkannya kegiatan meracik kopi, sudah sampai tahap menyeduh.
"Hee, aku jadi ingat. Ada pasien baru yang perlu bantuan tim kita, Fujiyoshi-sensei."
"Oya? Kamar berapa?"
Ijyuuin menyeruput kopinya sedikit. "Kamar 133. Apa mau jenguk dia sekarang? Aku janji mau mengajaknya melihat bintang malam ini."
"Boleh, ayo. Sebelum operan?"
"Aku habiskan kopi dulu, ya."
Saat lima menit kemudian cangkir Ijyuuin sudah kering dan kedua dokter itu masuk ke kamar Boboiboy, anak itu sudah tidur.
"Yah, nyenyak banget tidurnya," bisik Ijyuuin. Bisa didengarnya dengkur halus dari anak itu, yang saat tidur pun tetap memakai topi dan jam tangannya. Kali itu, lidah topi Boboiboy menghadap ke depan dan agak turun, seolah menudungi matanya dari cahaya lampu. Fujiyoshi berinisiatif menekan beberapa saklar, mengurangi jumlah lampu yang menyala dalam ruangan.
"Besok saja kalau begitu, kau besok jaga malam, 'kan, Ijyuuin?"
"Iya, benar. Ya sudahlah. Ayo kita operan dulu, Fujiyoshi-sensei. Apa Miki-san sudah datang? Besok sajalah kalian kenalan dengan pasien kita."
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Hari baru saja berganti, lonceng kuno di kantor direktur rumah sakit menggema dua belas kali.
"Mou yoru ni natta ka? Udah malem, nih?"
Sosok itu menyeringai dalam gelap, berjalan berjingkat-jingkat.
"Yatto oresama no asobi jikan da—Akhirnya, waktu untukku main!"
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Miki-san, tolong tangani pasien di bed satu."
"Fujiyoshi-sensei, ada kegawatan di bangsal lantai dua."
Malam itu, sejak awal shift sampai menjelang matahari terbit, Fujiyoshi sama sekali tak beristirahat.
"Kyaaa!"
"Ih, kok ada lagi sih!"
"Dari mana masuknya, coba?!"
Suara-suara ribut kaum hawa dari pantry perawat di dekat IGD membuat Fujiyoshi penasaran dan menengok.
"Ada apa, Miki-san?"
"Sensei, ini sudah bangkai tikus kelima yang kutemukan sejak semalam," perawat bernama Miki menjawabnya.
"Kenapa harus di dalam pantry ini!" pekik seorang perawat lainnya.
"Di mana?" Kalau diingat-ingat, Fujiyoshi juga seperti melihat bangkai tikus di lorong waktu berjalan keluar ICU tadi.
"Itu di dekat jendela, Sensei."
Bahkan Fujiyoshi yang laki-laki pun merasa mual saat melihat pemandangan mengerikan di dekat jendela. Isi perut hewan pengerat malang itu terburai, berceceran di lantai di sekitarnya, ditambah ada percikan darah di sekitar ambang jendela itu sendiri.
"Ini … ulah kucing?" gumam sang dokter sambil menutup mulut dan hidung. Bau darahnya juga tajam, kemungkinan masih baru.
"Kalau kucing, kucingnya jahat banget! Semua bangkai tikus dibikin kayak begitu!" keluh Miki sambil geleng-geleng kepala.
Fujiyoshi juga mengerutkan wajah dengan jijik. Dia harus memberi tahu petugas kebersihan yang datang di pagi hari nanti untuk siap sedia dengan masker dan sarung tangan untuk menangani kekacauan ini.
"Miki-san, kau sudah selesai? Ada pasien baru untuk Team Medical Dragon, aku mau mengunjunginya. Semalam, anak itu sudah tidur."
"Oh? Ya, baiklah. Aku ke sini juga karena sudah longgar."
Si perawat perempuan mengekori Fujiyoshi menuju kamar 133. Lampu di dalam kamar masih sama terang, juga ada bunyi air mengalir. Fujiyoshi mengetuk pintu tanpa dijawab. Dibukanya pintu dan didapatinya tempat tidur si pasien kosong, berantakan.
"Boboiboy?" panggil sang dokter.
Sebuah kepala menjenguk dari bilik di sisi kanan pintu. "Ya?"
"Eeh!" pekik Miki terkejut, segera menutup wajahnya dengan tangan.
"Ka-kamu sedang mandi?" Fujiyoshi tertegun, mendapati anak laki-laki itu berdiri di pintu kamar mandi tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang basah.
Boboiboy mengangguk-angguk, memainkan jari-jarinya. "Ano ne, okitara boku no fuku, yogorechattanda ... Tadi tuh ya, pas aku bangun tahu-tahu bajuku kotor ..."
"Pintunya kenapa nggak ditutup?"
"Ehehe …." Boboiboy hanya garuk-garuk kepala. Fujiyoshi melihat bahwa di antara helaian rambut yang gelap dan basah, ada selajur warna yang lebih terang di kepala anak itu.
"Boboiboy 'kan sudah besar, malu, ada perempuan lho di sini." Fujiyoshi memberi kode agar Miki keluar saja dari kamar dan membimbing Boboiboy kembali ke bilik kamar mandi.
Miki menggerak-gerakkan kakinya, tampak tak enak hati. "Sebetulnya nggak apa-apa sih … biasa 'kan, memandikan pasien. Maaf, tadi aku kaget saja."
"Nggak apa-apa, biar aku saja. Kamu kembali ke pantry saja, Miki-san."
"Baiklah. Terima kasih, Fujiyoshi-sensei."
Fujiyoshi berbalik, kembali menatap si bocah laki-laki yang sekarang bermain air dari shower. "Boboiboy, kamu sudah selesai mandi atau belum?"
"Um, aku belum ambil handuk dan baju ganti."
"Kamu bangun tidur lalu langsung masuk kamar mandi?"
Boboiboy mengangguk-angguk lagi.
"Ini bajunya kamu cuci sendiri?" Fujiyoshi menunjuk tumpukan pakaian yang digulung di keran shower.
"Iya, cuci baju sendiri!" sorak Boboiboy seolah itu sesuatu yang sangat membanggakan untuk anak berumur dua belas tahun.
"Memangnya kotor kena apa?"
Boboiboy menggeleng-geleng. "Nggak tahu. Bangun-bangun udah kotor."
Fujiyoshi menghela napas ringan. "Oke, kuambilkan sebentar … handuk dan baju ganti … apakah di dalam koper?"
"Di lemari, kayaknya …."
Sejurus kemudian, Boboiboy sudah duduk di tempat tidurnya sendiri, tersenyum senang sementara Fujiyoshi sedang mengeringkan rambutnya dengan menggosokkan handuk ke kepala.
"Sudah lama nggak ada yang mandiin," lontar Boboiboy riang, mata cokelatnya bersinar-sinar.
"Boboiboy 'kan sudah besar, sudah bisa mandi sendiri, dong?"
"Enakan dimandiin, tahu. Eeh, topinya sini. Sama jam tanganku. Ayah marah nanti kalau sampai nggak kupakai."
Fujiyoshi mengamati saja si pasien mengenakan jam di tangan kanan, lalu topinya dengan lidah miring ke kiri belakang. Pasien barunya ini cukup … unik.
"Jam tangannya mati?" tanya Fujiyoshi karena melihat layarnya gelap.
"Nggak, memang nggak ada yang bisa dilihat. Semua datanya langsung direkam ke ponselnya Ayah."
"Boboiboy sendiri, punya ponsel?"
Yang ditanya menggeleng. "Oya, Sensei namanya siapa? Kita belum kenalan."
"Aku Fujiyoshi Keisuke, dokter konsultan penyakit dalam." Tangan Fujiyoshi otomatis bergerak membelai lembut kepala anak itu, teringat pada anaknya sendiri di rumah.
"Sarapan nanti jam berapa ya? Aku mau main di luar!"
.
.
.
.
.
Asada Ryutaro menaikkan sebelah alis mendengarkan operan dari kedua rekannya, sekitar jam tujuh pagi.
"Dan sekarang Boboiboy ada di mana?"
"Di kebun. Sudah kuminta salah satu perawat mengawasinya," jawab Fujiyoshi.
"Kukira dia lebih suka aktivitas di dalam ruangan," komentar Asada, mengingat kesannya terhadap anak itu kemarin.
"Ryu-chan, ngomong-ngomong, semalam banyak bangkai tikus," Satohara Miki mengadu.
"Oh? Coba ya, nanti kuhubungi lembaga pest control."
"Aneh, rasanya jarang ada tikus sampai ke bangsal pasien," komentar Fujiyoshi. "Juga kucing yang mengejar tikus-tikus itu, masuk dari mana dan keluar lewat mana kira-kira?"
"Mungkin kita perlu mengecek juga bagian atap dan saluran air di dapur atau pantry," usul Asada.
"Oya, Fujiyoshi-sensei, apa tadi pagi itu Boboiboy sudah salat?" Miki teringat salah satu operan, permintaan dari ayah si pasien.
"Astaga, saking ramainya semalam aku lupa sama sekali," keluh Fujiyoshi sambil mengusap rambut ikalnya yang jatuh ke dahi. "Kalau dia mandi habis bangun tidur dan seterusnya … kayaknya belum."
"Subuh itu sekitar jam setengah empat pagi, tapi salat Subuh bisa dilakukan setelahnya," ujar Asada, yang berkat pengalaman di waktu dulu jadi punya banyak wawasan. "Coba nanti kuingatkan Boboiboy."
"Ya, Ryu-chan … setelah sarapan tadi dia langsung main ke kebun."
"Oke. Kalian pulanglah, istirahat. Hati-hati di jalan."
Miki melambaikan tangan gontai, terlihat sama lelahnya dengan Fujiyoshi. Perawat lainnya sudah lebih dahulu pulang. Asada berjalan menuju kebun di samping rumah sakit dan mendapati pasiennya sedang meniti pembatas taman. Ada satu perawat dan seorang lagi yang bersamanya.
"Lihat! Lihat!" Boboiboy tertawa-tawa sambil meniti dengan agak goyah, kedua tangannya terentang mencari keseimbangan.
"Hati-hati, nanti jatuh," seru si perawat.
"Nggak akan, nggak akan!" sahut si pasien, geleng-geleng kepala bersemangat. "Aku nggak mau melukai bunga-bunga cantik ini~ sayang kalau mereka luka, iya, 'kan, Ojiisan?"
Asada baru menyadari siapa pria yang satu lagi, yang duduk di bangku taman, karena posisi duduk orang itu agak membelakanginya. Orang yang dipanggil "Kakek" oleh Boboiboy barusan adalah direktur RS Hokuyou yang memang sudah berumur kepala enam.
"Iya, Boboiboy. Kamu harus hati-hati!" sahut sang direktur sambil balas tertawa.
"Yoshida-sensei," Asada menyapanya.
"Pagi, Asada-sensei."
Boboiboy sudah selesai meniti pembatas sampai ke seberang. Dia lalu berbalik dan hendak menitinya kembali, tapi sesuatu yang lain menarik perhatiannya. "Ooh, lihat! Di sana ada bunga matahari!"
"Jangan lari-lari," Yoshida memperingatkan si pasien. Boboiboy tidak berlari, tapi dia berjalan sambil melompat-lompat ke rumpun bunga yang dimaksud. Si perawat mengikutinya.
"Pasien baru Team Medical Dragon, ya?"
"Benar."
"Kudengar kemarin ayah anak itu langsung membayar di muka?"
Asada mengangguk lagi, ekspresinya menggelap.
"Terima kasih," Yoshida meneruskan. "Berkat kalian di sini, rumah sakit ini tidak jadi bangkrut."
"Anda terlalu jujur, Yoshida-sensei."
"Aku memang selalu jujur. Minggu lalu kami hampir tak bisa membayar uang listrik," keluh sang direktur.
"Semua ini permainan bisnis yang keji," komentar Asada dengan tangan terkepal. Dia masih ingat dua minggu yang lalu, direktur RS Universitas Meishin membacakan kesepakatan sepihak itu, yang membuatnya serta teman-temannya seolah "terbuang" ke rumah sakit kecil ini.
"Tapi kalian tetap melakukan yang terbaik."
"Karena yang utama adalah pasien." Tatapan Asada masih lekat pada Boboiboy, yang kini sedang bicara pada salah satu bunga matahari.
"Boboiboy perlu transplantasi jantung, ya?"
"Iya. Semoga saja donornya segera ada."
"Dan semoga lokasinya terjangkau dari sini," imbuh Yoshida. "Di sekitar sini hanya ada sawah, kendaraan masih agak susah."
Asada tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, aku harus menelepon pest control. Semalam banyak bangkai tikus di dalam RS."
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Sore itu, Dokter Toyama Seiji baru saja selesai makan. Seperti biasanya, ketika tidak ada jadwal operasi dan sebagainya, dia memanfaatkan waktu santai dengan selonjoran di depan televisi kantor dokter—apalagi operan dari Asada tadi pagi tidak mengindikasikan adanya kegawatan pasien dan lain-lain. Biarkan saja dokter junior yang berjaga dan keliling bangsal, dia cukup standby kalau ada operasi darurat saja.
Remote control ditekan dan tampillah sitcom yang biasa di layar. Selera anak bungsu keluarga Toyama itu memang receh, tapi kalau ada yang berani melempar kritik tentang itu, siap-siap saja kena tempeleng. Toyama memang temperamental dan ringan tangannya, meski sebagai dokter ia juga expert di bidangnya. Tak seperti Asada dan yang lain, sejak semula Toyama memang bekerja di RS Hokuyou. Tak banyak rumah sakit mau menerima dokter dengan watak bermasalah sepertinya, harusnya Toyama cukup bersyukur. Dengan mengenal Team Medical Dragon, meski baru dalam dua minggu terakhir, setidaknya ada sedikit perbaikan karakter.
Namun, tidak juga untuk yang satu ini ….
"Hahaha, goblok! Goblok!" kekeh Toyama, ikut tertawa bersama latar suara sitcom.
"Goblok, goblok!" Sebuah suara kekanakan menirukannya. Toyama menoleh cepat.
"HIEEEEEEHHHH?!" Sang dokter begitu kaget sampai terjungkal jatuh dari sofa.
"Eh? Sensei?"
Jantung Toyama serasa berhenti berdetak karena dua hal yang mengagetkan: sejak kapan si pasien kecil duduk di sebelahnya tanpa dia sadar, dan kenapa pasien itu harus si bocah laki-laki bertopi aneh yang diperkenalkan Asada kemarin?
"HUWAAAAA! NGAPAIN KAMU DI SINI?"
Boboiboy menelengkan kepala dengan polos. "Nonton tivi bareng Sensei."
"Aku nggak suka ditemani nonton tivi!" pekik Toyama sebal, yang separuh berbohong tentu karena dia lebih tidak suka pada anak-anak, dan seketika merasa bersalah. Pasiennya menunduk dengan wajah cemberut.
"Di luar hujan ... jadi nggak bisa main bunga."
Toyama melempar pandang ke luar jendela. Benar juga, rupanya memang sedang hujan. Asada tadi bilang pasien ini seharian main-main di kebun bunga, memang tercium bau matahari dari pakaiannya.
"Erm, kalau gitu, kamu tidur aja di kamar, gimana?" Niat hati Toyama adalah sesegera mungkin menyingkirkan anak itu agar dirinya bisa lanjut nonton.
"Aku nggak mau tidur!" balas Boboiboy agak histeris, menarik lidah topinya yang miring ke kiri semakin ke bawah. "Na-nanti mimpi buruk …."
"Eh?" Toyama tertegun. Sepertinya tidak ada masalah tentang tidur sejauh yang ia tahu. "Apa semalam kamu mimpi buruk?"
Boboiboy tak segera menjawabnya. "Aku takut tidur sendiri."
Toyama memutar bola mata. Ayah anak ini, seenaknya saja pergi dan meninggalkan tanggung jawab, begitu batin sang dokter. Menundukkan segala ego dan harga diri, ia berujar, "Sensei temani kamu sebentar, deh, di kamar."
"Temani sampai aku tidur?" Boboiboy menatap penuh harap.
Toyama berharap itu tidak akan lama, dan untungnya benar. Begitu mencium aroma bantal, Boboiboy langsung mendengkur. Sepertinya capek sekali. Sebesar-besarnya ketidaksukaannya pada anak-anak, Toyama jadi luluh juga. Dirapikannya selimut Boboiboy, yang tetap memakai topinya bahkan saat tidur.
"Selamat tidur, Boboiboy."
Saat itu Ijyuuin Noboru masuk ke kamar dan agak kaget mendapati pemandangan yang langka.
"Apa? Mau ketawa?" salak Toyama yang mendadak salah tingkah.
Ijyuuin geleng-geleng dengan panik. "Ng, nggak kok! Aku tadi nyariin Toyama-sensei di kantor, tapi kok nggak ada, kupikir kamu ke sini dan ternyata benar."
"Oya, televisinya masih nyala, 'kan," balas Toyama, beranjak pelan-pelan dari sisi tempat tidur. "Hei, bukannya nanti kamu jaga malam? Kok sudah datang jam segini?" Penanda waktu di pergelangan tangannya menunjukkan jam lima sore.
"Toyama-sensei dari tadi belum ke IGD, ya? Teman satu shift-mu keseleo kakinya, jadi aku diminta masuk lebih awal."
Toyama tertegun, betulan merasa bersalah sekarang. "Oh, ya ampun." Dan dirinya tadi malah enak-enak nonton sitcom.
"Jadi nanti kamu bakal lembur, Ijyuuin? Kutemani deh, sampai tengah malam, ya. Ayo, kita ke IGD."
"Eh?" Kerasukan apa Toyama Seiji hingga jadi sebaik ini? Namun, Ijyuuin tak mau menolak kebaikan hati seniornya itu, jadi dia diam saja. Sekilas dilihatnya Boboiboy yang terlelap, tersenyum dalam tidurnya.
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Boboiboy bin Amato … jadi dia sudah dirawat di Hokuyou?"
"Sudah, Noguchi-sensei."
Dokter berambut putih di seberang meja tersenyum dingin. "Pasien-pasien malang, akhir mereka sudah ditentukan kalau masuk ke rumah sakit bobrok itu."
"Sementara RS Universitas Meishin tetap jaya dan ternama dengan sedikitnya angka kematian pasien," balas wanita muda di hadapannya, juga sambil tersenyum. "Anda memang cerdik, Noguchi-sensei."
"Karena pasien yang pasti mati, kita transfer ke Hokuyou! Beruntung sekali kau berhasil mengakuisisinya menjadi sister company Meishin."
"Sister company in name only," imbuh lawan bicara Noguchi sambil merapikan sanggul rambutnya.
Tawa dingin sang dokter memecah keheningan di lantai sepuluh sebuah rumah sakit megah yang jauh di pusat kota.
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
.
.
Dokter Ijyuuin Noboru melotot lebar di balik kacamata menyaksikan pasiennya sedang mengaplikasikan krim tangan malam itu. Yang bikin heran bukan kegiatan itu sendiri, melainkan berbotol-botol produk perawatan kulit yang berserakan di tempat tidur si pasien, yang jelas sudah mandi karena pakaiannya sudah berganti dan aroma segar menguar darinya.
"Fumu, douyara kesa, ware ga hiyakedome o tsukeru no wo wasureta mitaida—Hmm, kayaknya aku lupa pakai sunblock tadi pagi."
"Yah, kata Toyama-sensei seharian tadi kamu berjemur di bawah sinar matahari," ujar Ijyuuin dengan dahi berkerut. "Waktu di luar, kamu nggak kepanasan?"
Boboiboy tidak menjawabnya. Tiba-tiba dia bertanya,
"Nee, Nii-chan. Biasanya dokter bedah nyimpen scalpel di mana?"
"N-nii-chan?" Ijyuuin tersedak ludah sendiri. Itu bahasa Jepang yang artinya panggilan akrab untuk kakak laki-laki.
"Iya, soalnya Nii-chan masih imut-imut meski sudah jadi dokter. Jawab pertanyaanku, dong."
"Boboiboy tahu scalpel itu apa?"
"Pisau bedah, 'kan?"
"Benar. Scalpel yang sudah dipakai untuk operasi, dikirim ke bagian sterilisasi, biar bersih dan siap dipakai untuk operasi berikutnya. Scalpel baru yang bersih biasanya langsung dikirim ke ruang operasi."
"Ada nggak, dokter yang nyimpen scalpel sendiri?"
"Toyama-sensei kadang suka gitu sih. Barang-barangnya banyak berceceran di meja kantor deket televisi." Ijyuuin masih bingung ke mana arah pertanyaan ini.
"Eh. Nii-chan ke sini mau ngukur tekanan darahku, 'kan? Nih, di tangan kiri aja, ya." Boboiboy mengoleskan krimnya ke punggung tangan kanan, lalu ke lengan bawahnya.
"Kamu nggak lepas dulu jam tangannya?" tanya sang dokter yang mendapati hal itu aneh di matanya.
Boboiboy menggeleng.
"Cara pakai jamnya gimana sih? Bisa dipakai ukur tekanan darah juga nggak? Lalu kemarin waktu alarm bunyi, waktu kamu tidur, Sensei bingung cara mematikan suaranya."
"Aku juga nggak tahu. Semua Ayah yang memprogram."
Ijyuuin teringat bahwa Amato adalah seorang programmer. Dibayangkannya ke mana-mana Amato tetap memantau kondisi sang anak menggunakan gawai, canggih sekali.
"Besok pasti tanganku belang," keluh Boboiboy.
"Ya, lain kali ingatlah untuk pakai sunblock dulu," kekeh Ijyuuin geli. "Oh, Sensei jadi ingat. Nanti malam kamu mau lihat bintang?"
"Mau dong!" Boboiboy rupanya ingat janji si dokter kemarin. "Kayaknya semalam aku ketiduran, ya. Nanti malam Nii-chan bangunkan aku kalau aku ketiduran lagi, ya!"
"Iya, iya. Sini tanganmu, Sensei ukur dulu tekanan darahmu ya …. Oya, Boboiboy sudah salat?"
"Sudah dong, habis mandi tadi." Dengan nada bangga Boboiboy menjawabnya.
"Salat itu lima kali sehari, ya?"
"Betul, Nii-chan."
"Kalau ibadahmu sehari sampai lima kali, tentunya tidurmu selalu nyenyak."
"Nggak selalu, sih ..." Boboiboy menyahut dengan nada menggantung.
"Jarang ada pasien yang tersenyum saat tidur," ujar Ijyuuin sambil mengamati alat pengukur.
"Apa iya?"
"Boboiboy tadi sore tersenyum waktu tidur. Apa berarti tadi kamu bermimpi indah?"
Yang ditanya masih tertegun, mata cokelatnya berkedip-kedip cepat dalam keheranan. "Ah ... bisa juga dibilang mimpi indah."
Ijyuuin menyunggingkan senyum sambil menepuk kepala di balik topi yang malam itu serong ke arah kiri depan. Boboiboy mengingatkannya pada masa kecilnya sendiri yang dibesarkan di pedesaan, jadi melihat tumbuh-tumbuhan selalu menyenangkan hatinya. "Tekanan darahmu 110/80, masih dalam batas normal."
"Alhamdulillah." Boboiboy balas tersenyum.
"Nah, Sensei ke kamar yang lain, ya. Nanti malam Sensei ke sini lagi, terus kita ke atap sama-sama."
"Oke, Nii-chan! Aku mau baca buku biar nggak ngantuk."
Ijyuuin tertawa singkat sambil berlalu dari kamar. Ada angin apa sih, mendadak pasiennya yang satu ini memanggilnya seperti itu? Yah, tak perlu terlalu dipikirkan. Mengingat bahwa Boboiboy anak tunggal, barangkali dia hanya menginginkan sosok seorang saudara yang lebih tua. Lagipula kemarin anak itu bilang dia suka mengobrol dengan Ijyuuin, 'kan?
Bersama Toyama yang kali itu lebih aktif menjalankan tugasnya karena merasa bersalah, Ijyuuin juga berhasil menyelesaikan rondenya ke semua bangsal dan IGD dalam waktu singkat. Sebelum jam sembilan malam, dia sudah kembali ke kamar 133.
Namun, Ijyuuin mendapati kamar itu kosong. Boboiboy juga tidak ada di kamar mandi, tidak seperti kejadian tadi pagi saat Fujiyoshi dan Miki mengunjunginya.
"Boboiboy?" panggil sang dokter. Hening menyambut. Duh, ke mana anak itu? "Boboiboy?"
Ijyuuin berlari keluar kamar. Rasanya tidak mungkin kalau Boboiboy masuk ke kamar pasien lain, jadi Ijyuuin tidak mencoba satu per satu. Tujuan pertamanya adalah sambungan telepon internal terdekat di lantai satu.
"Toyama-sensei? Apa Boboiboy ada di sana?"
"Huh? Nggak ada. Dia nggak di kamar?"
"Kamarnya kosong, padahal aku tadi menjanjikannya nonton bintang di atap jam sembilan ini. Bisa bantu aku cari dia?"
"Kamar mandi juga kosong?"
"Iya, Sensei." Ijyuuin hampir saja merepet panik.
"Baiklah, aku cari mulai dari IGD ya."
"Terima kasih."
Sambungan diputus, Ijyuuin memutar tubuh dengan napas menderu. Boboiboy adalah penderita gagal jantung dengan beberapa kali riwayat operasi bypass aorta, akan berbahaya kalau dia pingsan di suatu tempat tanpa ada yang tahu. Entah kenapa Ijyuuin kemudian masuk ke pantry dokter yang letaknya berdekatan. Ruangan itu kosong. Di seluruh lantai satu, hanya pantry ini yang bukan merupakan kamar rawat pasien, sisanya adalah gudang dan IGD serta instalasi farmasi 24 jam di ujung dekat pintu masuk ...
Ijyuuin mendapati pintu gudang lantai satu terkunci. Opsinya tinggal menemui Toyama di IGD, lalu melanjutkan pencarian ke lantai dua atau ke basement. Untung rumah sakit itu tak terlalu besar. Hanya ada kamar jenazah di lantai terbawah, sedangkan di lantai dua ada kamar operasi, unit sterilisasi, laboratorium, dan bangsal perawatan.
"Belum ketemu?" Toyama menemuinya di dasar tangga dekat IGD.
"Toyama-sensei habis dari lantai dua?" Ijyuuin bertanya sambil terengah.
"Iya. Di atas 'kan lebih banyak yang jaga, mereka bilang nggak ada yang lihat Boboiboy."
"Barusan kucek lagi ke kamar 133, dia belum ada di sana."
"Kita coba ke basement kalau gitu?"
"Kecil kemungkinannya. Ngapain Boboiboy ke kamar jenazah?"
"Kalau dia nggak ada di sana, baru kita cek kamar pasien satu per satu."
"Itu opsi terakhir, Sensei mau bikin pasien-pasien terganggu istirahatnya?"
"Habisnya mau gimana lagi? Ini satpam shift malam cuma satu, dia lagi ngecek ulang semua yang di lantai dua habis itu turun ke sini. Kita duluan aja ke kamar jenazah."
"Baiklah."
Kedua dokter itu berderap menuruni tangga menuju lantai terbawah, Toyama menyalakan senter dari ponselnya. Ijyuuin terbelalak mendapati pintu kamar jenazah terbuka sedikit. Meski biasanya memang tidak dikunci, pintu itu hanya dibuka kalau ada pasien yang habis meninggal ... sedangkan rasanya sepanjang sore sampai malam ini tidak ada ...
Toyama mendekati pintu itu duluan, lalu berhenti.
"Pintunya rusak," bisik dokter yang lebih tua.
"Ha?" Ijyuuin bisa melihat sendiri gagang pintu itu sempal. Seketika tubuhnya terasa dingin. "A-ada penjahat yang masuk?"
Mereka berdua bisa mendengar bunyi kemeresak dan derit kayu dari dalam.
"Barangkali. Kau bisa bela diri, Ijyuuin? Aku karate sabuk hitam. Sebentar lagi satpam juga akan menyusul ke sini."
Pantas saja Toyama terlihat (terdengar, karena kondisi gelap) sangat percaya diri. Ijyuuin agak gemetar.
"Kayaknya hanya satu orang," ujar Toyama sambil mengintip. "Di dalam nggak ada jendela, nggak ada akses kabur kecuali pintu ini. Akan kulumpuhkan dia dengan cepat. Ijyuuin, ambil kotak emergency di IGD. Siapkan Midazolam kalau perlu."
Ijyuuin buru-buru naik lagi ke IGD di lantai satu lalu kembali secepat kilat.
"Siap? Kubuka pintunya."
Dokter yang lebih muda mengangguk sambil menelan ludah. Pintu itu terbuka dengan derit aneh—tampaknya engselnya juga habis dihantam sesuatu dengan paksa.
"Siapa di situ?!" seru Toyama garang.
Cahaya senter jatuh di depan sesosok bayangan di tengah ruangan, di atas meja salah satu jenazah. Hanya sebuah pisau bedah yang bisa terlihat dengan jangkauan sinar senter yang terbatas.
"Hei! Jawab aku!" Toyama berteriak lebih keras, tapi dia bertahan di pintu.
"Usseena! Berisik ah!"
Sosok itu membalas, suaranya serak dan ganjil seolah berasal dari dunia lain.
"Oresama isogashii kara jama sunna! Aku lagi sibuk di sini jadi jangan ganggu!"
"Toyama-sensei … kurasa kita harus panggil polisi."
Toyama sudah hampir bergerak mendekat tapi Ijyuuin menahan tangannya. Sosok dalam kegelapan itu mengacungkan senjatanya ke arah mereka!
"Polisi? Tapi, kurasa aku mengenal … HEI, bukannya itu scalpel punyaku?!"
"HAAAAAAAAAARRRRRRRRGGHHHHHHHHHHHH!" Sosok itu menerjang ke arah kedua dokter.
"WAAAAAAAAAA!" Ijyuuin menjerit dan melompat ke arah dinding, membuat ponsel Toyama terlempar ke lantai.
"Ijyuuin! Midazolam-nya!" Toyama dengan gesit berkelit ke samping dan berusaha meringkus anggota gerak sosok yang ternyata bertubuh kecil itu.
"AAAARRRRRRRRGGHHHH" Sosok itu meraung sekali lagi. Kali itu, Toyama juga menjerit.
"WUAAAAAAH!"
"Toyama-sensei!" Ijyuuin meratap dalam gelap, ponsel tadi jatuh dalam posisi terbalik sehingga cahaya hampir padam sama sekali. Dengan tangan gemetaran Ijyuuin mencari saklar lampu yang ia yakin harusnya ada di dekat pintu.
Begitu lampu itu menyala, Ijyuuin tak percaya pada matanya sendiri. Sosok yang menindih Toyama adalah Boboiboy. Dengan kedua tangan berdarah-darah dan scalpel di tangan kanan, sorot mata cokelat anak itu terlihat liar dan penuh amarah. Pisau bedah yang dipegang sang anak rupanya telah menggores tangan pemiliknya sendiri dalam pergulatan.
"Midazolam ..." sengal Toyama, berusaha mendorong Boboiboy yang beringas menggunakan lututnya. Pergelangan tangan si dokter berdarah banyak sekali, sepertinya hampir kena pembuluh nadi.
Ijyuuin menarik keluar syringe yang sudah disiapkannya tadi, tapi dia meragu.
"URGHHH ..." Boboiboy mengerang ketika perutnya disodok lutut. Toyama dengan cepat memuntir kedua tangan anak itu dan menahannya di lantai. Begitupun Boboiboy masih meronta dengan hebatnya sampai Toyama meraih sebuah tali di dekat situ dan mengikat tangan si anak.
"Sekarang, Ijyuuin!"
Dengan perasaan gamang, Ijyuuin menyuntik lengan kiri Boboiboy. Anak itu berangsur menjadi lemas, menggelepar dengan tangan terbelenggu tali.
"Boboiboy ...?" panggil Ijyuuin hati-hati. Topi dinosaurus itu, tak mungkin salah dikenali. Lidah topinya sekarang menghadap ke depan dan agak terangkat naik. Ijyuuin baru melihat adanya sedikit rambut putih di antara helaian gelap rambut anak itu. Sorot mata yang tadi liar, kini agak meredup dan bergetar-getar tak fokus.
Desisan pelan dari Toyama yang sedang menyeka darahnya sendiri menyadarkan Ijyuuin.
"Ayo balik ke IGD."
.
.
.
.
.
***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***
.
.
.
to be continued.
.
.
.
Author's Note:
*Midazolam termasuk golongan obat bius suntik yang bekerja cepat.
.
Kesampaian juga akhirnya bikin fanfic BoBoiBoy yang (sedikit) ada unsur horornya. Belum begitu kerasa, ya? Memang Roux belum pernah bikin cerita horor mencekam, jadi nikmati saja unsur genre yang lain ya /maksa.
Karakterisasi tokoh-tokoh Team Medical Dragon di sini hampir semuanya canon, semoga nggak terlalu bikin bingung.
.
Special thanks to akaori yang BBB Japanese version headcanon-nya saya pinjam untuk cerita ini dan jadi konsultan saya untuk beberapa dialog berbahasa Jepang.
Oh! Ada yang notis beberapa kata yang saya cetak tebal dalam dialog? :)
Terima kasih juga pada kARImu yang pertama melontarkan usul ke saya untuk nyoba bikin cerita horor. Semoga cukup mencekam meski nggak murni horor, ya :")
Dipublikasikan tanggal 13 Maret 2022 dalam rangka turut memeriahkan ulang tahun si tokoh utama \^o^/ #HappyBirthdayBoBoiBoy
Yah, birthday fic masa ceritanya serem gini. Antimainstream /nggakgitu
.
Akhir kata ... terima kasih sudah membaca, kritik dan saran sangat diterima!
