"Astaga!"
"Apa yang terjadi?"
"Kasihan banget …."
"Anak itu habis diapain sama Toyama-sensei, coba?"
"Aku tahu Toyama-sensei itu memang seram, tapi masa sampai segitunya …."
Si pemilik nama, yang luka terbuka di tangannya sedang dijahit oleh Ijyuuin di IGD, jadi panas telinganya dan membentak,
"HEI! AKU, TUH, KORBANNYA DI SINI! DIAM KALIAN!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BoBoiBoy (c) Animonsta Studios
Team Medical Dragon (c) Akira Nagai & Tarou Nogizaka
Good Night, Have a Nightmare! (c) Roux Marlet
-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-
Cover Art by: Cfy Mai
Boboiboy Japanese ver headcanon by: akaori
.
.
.
.
.
Author's Note (1):
Karena beberapa orang bilang kebingungan dan nggak ada gambaran tentang para staf medis, Roux buatkan sebuah kompilasi singkat di wattpad saya EfanillaVivace tentang keenam tokoh dari live action Team Medical Dragon. Nama-nama di luar keenam orang tersebut, tidak berperan signifikan dalam cerita ini.
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Chapter 2: The Cadaver
.
.
.
.
.
"Asada-sensei masih ada operasi," keluh Ijyuuin Noboru setengah jam kemudian di dalam kamar nomor 133, mengantongi kembali ponselnya.
Toyama Seiji mencoba menggerak-gerakkan pergelangan tangannya yang sudah diperban sambil mengamati pasien mereka yang tertidur pulas. "Heeeeh? Malam-malam begini dia operasi di mana?"
"Meishin."
Jawaban juniornya membuat Toyama menyumpah-nyumpah. "Meishin? Rumah sakit durhaka itu? Asada masih mau-maunya diminta operasi di sana?!"
"Dari segi izin praktik dokter, nama kami semua masih terdaftar sebagai staf Meishin," sahut Ijyuuin dengan nada sesal. "Aku nggak tahu seberapa lama semua ini bakal berlangsung."
Toyama merengut. "Kalian semua memang berjasa untuk Hokuyou. Pak Direktur juga sudah bilang, 'kan?"
"Di Hokuyou sendiri banyak staf berkualitas, kok. Tinggal mau atau enggak," sahut Ijyuuin bijak. Tahu bahwa Toyama tidak suka pujian secara langsung, dia segera mengalihkan topik. "Boboiboy ... kita harus segera hubungi ayahnya."
"Ah, iya. Si bapak-yang-tak-bertanggung-jawab."
"Jangan bilang begitu dulu, Toyama-sensei."
Sejurus kemudian, Ijyuuin termenung dengan bunyi nada sambung monoton pada ponselnya.
"Nyambung, tapi nggak diangkat? Kasihan, kasihan."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Percakapan di dunia maya pun dimulai setelah Toyama diundang masuk ke dalam grup chat Team Medical Dragon, menceritakan kejadian malam itu.
"Terus, sekarang gimana?" Hanya satu penanya yang sedang daring di tengah malam, dia adalah Asada Ryutaro yang baru selesai dengan operasinya.
"Anak itu tidur."
"Anak itu punya nama, Toyama-sensei."
"Iya, iya. TERIMA KASIH, Ijyuuin. Boboiboy masih tidur, tadi tangan dan badannya sudah kami bersihkan dari darah. Dia nggak terluka, kok. Kami pasang restraint di tempat tidurnya, jaga-jaga kalau dia bangun dan berulah lagi."
"Oke. Aku ke sana sebentar lagi."
"Eh, tapi, Asada-sensei besok dinas pagi, 'kan? Istirahat saja."
"Gampang, Ijyuuin. Nanti aku tidur di sofa saja."
"Oi, Asada. Kamu tahu? Ayahnya Boboiboy belum berhasil dihubungi. Dasar."
"Dia juga mungkin sedang istirahat. Nanti waktu subuh, coba saja telepon lagi. Sudah dulu, ya, aku berangkat ke Hokuyou."
"Baiklah, Asada-sensei. Hati-hati di jalan."
"Awas, jangan nyemplung ke sawah malam-malam."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Toyama sedikit menyesali keputusannya membantu Ijyuuin untuk lembur. Ujung-ujungnya, dia sendiri malah jaga dua shift dari siang ke malam dan malam ke pagi, di mana delapan jam yang terakhir dia terus berjaga di kamar 133. Sebentar-sebentar dia memejamkan mata, tapi tidurnya tidak bisa nyenyak.
Mana bisa tidur nyenyak kalau tadi pasienmu mengamuk tanpa sebab, berkeliaran ke kamar jenazah untuk membongkar cadaver alias mayat manusia, menggunakan scalpel milikmu sendiri? Toyama tahu dirinya lebih suka dengan barang berceceran daripada tertata rapi, tapi mana tahu bahwa hal itu bisa jadi sangat berbahaya? Jadi, karena ada rasa penasaran sekaligus bersalah, Toyama merelakan malam itu untuk menginap di Hokuyou.
Yang aneh ada banyak. Bagaimana bisa Boboiboy yang sebelumnya ramah, periang, dan sopan, jadi seberingas itu? Bagaimana dia mendapatkan scalpel milik Toyama? Bagaimana dia tahu letaknya kamar jenazah dan caranya menggunakan scalpel? Dari pemeriksaan cadaver malang yang sudah diamankan, irisan membujur di tengah rongga dada itu cukup rapi. Nah, satu lagi yang aneh. Buat apa Boboiboy membongkar jenazah menggunakan scalpel?
Asada, yang datang di tengah malam, menduga beberapa kemungkinan, sebelum akhirnya juga memilih menginap dan tidur di kantor dokter. Banyak teori jadi bercokol di dalam kepala, membuat Toyama makin tak bisa tidur. Menjelang pagi, Ijyuuin memberinya kabar bahwa Amato bin Aba akan segera datang ke Hokuyou.
"Toyama-sensei sudah baca grup?" tanya sang dokter berkacamata, terlihat lelah menjelang berakhirnya shift kerja yang extended. Dia mendekati Boboiboy yang masih memejamkan mata, tak bergerak sama sekali dalam lelapnya.
"Belum, nih." Toyama mengeluarkan ponselnya sambil menguap.
"Itu, Fujiyoshi-sensei dan Miki-san juga sependapat dengan Asada-sensei." Ijyuuin sedang mengukur tekanan darah pasiennya.
Toyama membacai layar sejenak. "Yang paling tahu soal ini, pasti ayahnya. Aku nggak suka berspekulasi."
"Kalau begitu, kita tunggu saja Amato-san datang. Kayaknya, Arase-sensei juga akan pulang dari Hokkaido hari ini."
"Hmm. Berarti, Team Medical Dragon, akan full-team hari ini?"
"Miki-san ada keperluan di pagi hari. Dia baru bisa datang siang, begitu juga Arase-sensei."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Sejak bangun di sekitar waktu subuh hari itu, Amato bin Aba merasakan firasat tak enak. Hal itu terjawab waktu dibukanya ponselnya dan coba diteleponnya balik nomor Dokter Asada Ryutaro yang mengiriminya pesan singkat,
"Amato-san, kami perlu dirimu segera di Hokuyou. Boboiboy semalam membuat kekacauan, tapi dia sendiri tidak terluka."
Kebalikan dengan kondisi semalam, kali itu gantian Amato yang tidak mendapat jawaban atas panggilannya—Asada mungkin masih tidur. Tanpa menunggu matahari terbit, Amato segera berangkat ke Hokuyou menggunakan taksi. Dalam perjalanan, ditulisnya pesan kepada sang klien untuk minta izin mendadak hari itu. Tugasnya yang paling utama toh sudah diselesaikan kemarin. Kemudian Amato membuka sebuah aplikasi di ponselnya dan membacai riwayat yang terekam dari jam tangan Boboiboy dengan dahi berkerut dalam.
Di depan IGD, dia disambut oleh seorang dokter berkacamata yang diingatnya dengan nama Ijyuuin.
"Amato-san! Mari, kita langsung ke kamar 133."
Dokter Ijyuuin tampak pucat dan lelah. Rambutnya berantakan, jas putihnya kotor, bahkan kacamatanya agak miring. Apa saja yang terjadi semalam? Amato mengekor sang dokter menuju kamar yang dimaksud dan berakhir dengan mata melotot.
Anaknya, Boboiboy, putranya satu-satunya, sedang terbujur di tempat tidur dengan kondisi tangan dan kakinya terikat bed restraint. Mata cokelatnya berkeliaran gelisah selagi berusaha bergerak dengan tak nyaman. Asada duduk di dekatnya, menggenggam dan membelai telapak tangan kanannya dengan lembut.
"Tepat sekali, Amato-san. Boboiboy baru saja bangun," ujar sang dokter perlahan ke arah tamunya. "Selamat pagi, Boboiboy."
"Uuh." Boboiboy menoleh ke kiri-kanan dengan pandangan mengantuk, tampaknya belum sepenuhnya sadar dan masih mencoba bergerak.
"Boboiboy ..." Amato mendekat dengan suara gemetar.
"Haaa?" Boboiboy tiba-tiba mengerang sambil meronta-ronta tanpa daya, membuat Ijyuuin terlompat kaget. Toyama juga mengambil satu langkah mundur, matanya melotot waspada.
"Tenang, tenang. Jangan takut, Boboiboy." Asada kembali mengelus-elus tangan anak itu.
"Ugh ... A-aku ... diikat?" Boboiboy berhenti meronta, pandangannya jatuh pada belenggu di tangan dan kakinya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Asada dengan nada lembut.
"Aku ... aku ..."
Boboiboy menggigit bibir dengan gemetar kemudian menangis tersedu-sedu. Asada masih bertahan di tempatnya, terlihat memikirkan sesuatu sambil terus mengelus tangan pasiennya, berusaha menyalurkan ketenangan. Dalam diam, Amato berlutut di sisi tempat tidur dan merengkuh kepala sang putra. Diusap-usapnya kepala itu, sambil menarik lepas topi dinosaurusnya yang menghadap ke depan lalu meletakkannya di meja.
"Ore, mata warui ko ni nacchatta? Apa aku habis nakal lagi?" tanya Boboiboy di sela tangisnya.
Amato mengerling sekilas ke arah Asada, lalu Toyama dan perban di tangannya. "Boboiboy ... Boboiboy hanya ... mimpi buruk."
"Huhu ... benarkah, Ayah?" Boboiboy terisak keras. "A-aku takut ... aku nggak mau jadi anak nakal ..."
Perlahan, Asada melepas restraint itu satu per satu. Boboiboy tidak langsung bergerak. Ketika Amato berdiri dan membopong anaknya ke dalam pelukan, barulah Boboiboy menggerakkan kedua tangannya, balas memeluk sang ayah erat-erat.
"Aku takut, Ayah ... aku janji akan jadi anak baik …."
Amato duduk di tepi ranjang, memeluk putranya dalam pangkuan, mengusap-usap kepala dan punggungnya. Boboiboy meringkuk dan menangis seperti bayi di dada ayahnya sementara sang ayah bergumam-gumam menenangkan,
"Boboiboy anak baik ... anak Ayah, anak baik ..."
Asada berpindah ke dekat Ijyuuin dan Toyama, memberi kode agar mereka keluar dari situ. Dokter bedah senior itu berujar,
"Nanti kalau Fujiyoshi-sensei datang, biar dia yang jaga Boboiboy. Kita perlu bicara dengan Amato-san."
"Oh, tentu saja," komentar Toyama sambil menguap, berjalan ke pintu. Dilihatnya seorang dokter jangkung berambut ikal sedang mendekat, setengah berlari di lorong. "Nah, itu dia orangnya datang."
Fujiyoshi Keisuke mengangguk-angguk saat operan singkat di depan pintu kamar 133. "Kalian ingat, kemarin pagi-pagi, aku mendapati Boboiboy mandi dan dia bilang bajunya kotor. Waktu kutanya kotor karena apa, dia bilang tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan dugaan kita?"
"Bisa saja," lagi-lagi Toyama yang menyahut, menguap sekali lagi. "Ayo segera saja kita berbincang. Aku mau tidur."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Lima belas menit kemudian, setelah memastikan Boboiboy sudah mandi dan sarapan dengan aman (disuapi oleh dokter baru bernama Fujiyoshi), Amato menyusul para dokter lainnya ke kantor mereka.
"Jadi, Amato-san, apakah Anda tahu apa yang Boboiboy lakukan semalam?" Asada membuka pembicaraan, sedangkan Ijyuuin dan Toyama ikut duduk di seberang meja.
Amato menggeleng. "Apa yang dia lakukan?"
Asada tidak langsung menjawabnya. "Amato-san sepertinya punya perkiraan? Anda nggak terlihat terlalu ... kaget, saat melihat Boboiboy terikat ke tempat tidur."
Yang ditanya menghela napas berat. "Apa kalian sudah melakukan semua yang kuminta untuk Boboiboy?"
"Sekiranya, iya?" Asada menoleh ke arah Ijyuuin, yang mengangguk dengan ragu, lalu kepada Toyama, yang diam saja.
"Ehm, Amato-san, maaf. Sepertinya kemarin pagi nggak ada yang membangunkan Boboiboy untuk salat Subuh," ujar Ijyuuin perlahan, teringat operan Fujiyoshi kemarin.
"Tapi akhirnya dia menjalankan, sekitar jam sembilan pagi kemarin," imbuh Asada. "Habis itu dia main di kebun lagi, sampai siang. Benar, ya, Toyama?"
Toyama mengangguk, lalu mencondongkan badan ke depan. "Huh, Asada, kau kelamaan. Biar kuperjelas, Amato-san. Semalam, Boboiboy pergi ke kamar jenazah membawa scalpel dan membedah satu mayat."
Amato terbungkam dengan paras kaget.
"Nggak cuma itu. Aku dan Ijyuuin menemukannya, lalu dia menyerang kami." Toyama mengangkat tangannya yang diperban. "Bisa jelasin kenapa?"
Sang ayah masih terpana dengan mulut separuh terbuka. "Boboiboy … dia ... sering sleepwalk, berjalan dalam tidur."
BAM!
Toyama Seiji memukul meja dengan telapak tangannya yang sehat.
"Toyama-sensei!" seru Ijyuuin kaget.
"Sleepwalk?! Jadi, berkeliaran ke kamar jenazah bawa-bawa scalpel, main bedah mayat,lalu mengiris tangan orang, bisa dilakukan orang yang sedang tidur, gitu?" sembur Toyama.
Dengan sorot mata berkeliaran, Amato meremas-remas tangannya, tampak gelisah parah. Dia menggeleng kalut.
"Maaf ...," gumamnya pelan, pandangan jatuh ke meja, tampak bingung hendak mulai dari mana.
"Apa Boboiboy punya kelainan psikologis?" tanya Asada perlahan, mengutarakan dugaan.
Amato menggeleng. "Aku ... aku juga nggak tahu."
Toyama sudah hampir menyambar lagi, tapi Asada memotongnya,
"Bisakah Anda ceritakan yang Anda tahu, Amato-san? Kalau dibiarkan, Boboiboy bisa membahayakan dirinya sendiri juga."
Si programmer mengangkat kepalanya. "Ya, persisnya itu juga yang kutakutkan."
Saat itu, pintu kantor terbuka sekali lagi dan Fujiyoshi Keisuke masuk ke ruangan.
"Eh? Fujiyoshi-sensei?" Ijyuuin terheran-heran, lalu bangkit berdiri. "Boboiboy ditinggal sendiri?"
"Boboiboy sudah selesai sarapan, lalu dia tidur. Ada satu perawat yang kuminta jaga dia sampai aku kembali." Fujiyoshi membungkuk sedikit ke arah tamu mereka. "Amato-san, kurasa aku juga perlu ikut pembicaraan ini."
Amato mengangguk. Ijyuuin kembali duduk, Fujiyoshi mengambil tempat di sampingnya. Asada menyambung pembicaraan,
"Jadi, bisa ceritakan?"
"Boboiboy sudah pernah kubawa ke psikiater," Amato membuka cerita. "Sampai nggak terhitung lagi, sudah berapa kali. Awalnya dulu kukira dia bipolar dan dia dapat obat untuk itu. Nggak membaik. Kemudian diagnosisnya berubah jadi BPD, borderline personality disorder. Terapinya juga nggak cocok. Baru beberapa tahun terakhir, dia DID."
"Dissociative Identity Disorder?" ulang Asada. "Kelainan kepribadian ganda?"
Amato mengiyakan dengan paras sedih. "Aku tetap nggak yakin itu penyakitnya."
"Kapan gejalanya mulai muncul?" Asada bertanya sesuai urutan pendekatan profesional medis.
"Aku nggak terlalu ingat. Kayaknya Boboiboy masih balita waktu itu ... dia mendadak ngamuk dan merusak barang-barang, setelah berhari-hari sebelumnya tidur terus-menerus. Itu terulang terus sampai beberapa bulan."
"Memang terdengar seperti bipolar atau BPD," komentar Toyama perlahan, "tapi, kami semua di sini bukan ahli kesehatan jiwa."
"Tadi, Amato-san bilang ... nggak yakin itu penyakitnya?" Asada meminta konfirmasi, yang diiyakan lagi. "Psikiater yang bilang, 'kan?"
"Benar, yang bilang seorang psikiater, dan dia betul-betul ahli di bidangnya. Hanya saja ... obat darinya juga nggak cocok."
"Jadi, Boboiboy sekarang ini nggak minum obat apa pun?"
"Cuma obat untuk jantungnya. Obat dari psikiater nggak diteruskan."
"Amato-san, apa Anda tahu memang butuh waktu beberapa bulan bagi obat semacam itu untuk bekerja?"
"Aku tahu. Bertahun-tahun dia minum obatnya, aku selalu mengawasinya, tak pernah sebutir tablet pun terlewat. Boboiboy tetap saja seperti itu."
"Seperti itu, bagaimana?" Asada melontarkan pertanyaan itu tak hanya pada Amato.
"Apa kesan kalian terhadap anakku?" Amato balik bertanya.
"Kekanak-kanakan," jawab Fujiyoshi.
"Hampir puber," jawab Ijyuuin, menoleh ke arah Fujiyoshi dengan heran. Kemudian matanya membelalak. "Oh! Soal Boboiboy mandi dengan pintu terbuka, kemarin?"
Asada mengernyit. "Kesan yang kudapat, dia anak yang sopan dan ramah. Meskipun, aku cukup setuju dengan Fujiyoshi-sensei. Kemarin Boboiboy mengajak bicara bunga-bunga di kebun. Ijyuuin, kenapa kau berpendapat begitu?"
"Eh ... Boboiboy bilang dia bercita-cita jadi ahli astronomi. Kelihatannya dia juga sangat suka belajar tentang bintang dan cukup mantap tentang cita-citanya," sahut si dokter muda sambil membetulkan letak kacamatanya. "Nafsu makannya juga cukup besar di hari pertama. Sehabis makan malam, belum ada satu jam, dia bilang masih lapar ... jadi, kuberi dia cokelat sebatang. Lalu kemarin dia pakai body lotion beberapa varian sekaligus setelah mandi. Kupikir mungkin Boboiboy sudah hampir pubertas."
Ada jeda sejenak. Amato menghela napas selagi dijatuhi pandangan dengan emosi campur aduk dari para dokter di hadapannya.
"Aku nggak yakin bahwa apa yang mengganggu Boboiboy murni penyakit kejiwaan," mula sang programmer. "Kalian staf medis. Mungkin kalian nggak akan percaya ceritaku."
"Ceritakan saja, Amato-san," Asada mendukung.
Helaan napas satu kali lagi dari Amato, sebelum dibukanya kisah,
"Kakek buyut dari kakek buyutku pernah terlibat ilmu hitam dan keluargaku dikutuk tujuh turunan. Aku generasi keenam, sedangkan Boboiboy yang ketujuh dan jantungnya lemah sejak lahir. Sampai umur dua belas dia sudah menjalani operasi jantung enam kali, aku nggak berharap apa-apa lagi kalau operasi ketujuh, transplantasi ini, juga gagal."
Toyama terlihat jelas skeptis. Fujiyoshi mengernyit heran. Asada tampak berpikir. Ijyuuin yang pertama bersuara, mengutarakan logika,
"Tapi, Amato-san sendiri juga punya penyakit jantung."
"Ya. Aku dan adikku, Kaizo, sama-sama pengguna pacemaker. Akan tetapi, ayahku, kakekku, kakek buyutku, dan seterusnya dalam riwayat keluarga kami ... nggak satu pun yang punya penyakit jantung."
"Artinya, bukan penyakit menurun?" gumam Fujiyoshi.
"Kalau begitu, kutukan itu, apa maksudnya?" lontar Toyama.
"Kutukan itu selalu berupa penyakit yang berbeda-beda. Saking nggak nyambungnya, bagiku ini nggak bisa disebut penyakit turun-temurun. Ada yang kanker usus, tumor otak, kanker hati, leukemia, lalu gagal ginjal."
Keempat dokter di hadapan Amato sama-sama berpikir.
"Baru aku dan adikku, lalu anakku, yang penyakitnya sama, yaitu di jantung."
"Kalau anak dari adikmu, bagaimana?" tanya Toyama.
Amato menggeleng. "Kaizo memutuskan untuk nggak akan menikah."
"Karena sudah hampir pasti, anaknya kelak akan punya penyakit juga?" Asada menebak.
"Ya ...," gumam Amato tak ikhlas.
"Apa Amato-san nggak punya pikiran yang sama?" Pertanyaan blak-blakan Toyama berbuah sikutan dari Ijyuuin, yang langsung dipelototi seniornya. "Oi. Apa?!"
Amato menunduk, menggigit bibir dengan gelisah. "Bukannya aku nggak kepikiran. Tapi, zaman sudah berubah. Leluhurku mungkin mati muda karena penyakit-penyakit yang belum bisa ditangani dengan teknologi di masa itu. Meski di zaman sekarang pun, ada teknologi untuk berhenti reproduksi secara permanen ... dan, untuk tujuan yang syar'i, hal seperti itu diperbolehkan dalam agama. Tapi, masa nggak meneruskan keturunan karena takut pada kutukan itu? Penyakitku sendiri bisa dikendalikan dengan pacemaker. Waktu menikah, aku dan istriku sepakat untuk menerima apa pun penyakit anak kami nanti. Kukira akhirnya aku bisa mengakali kutukan tujuh turunan ini, tapi, ternyata aku salah."
"Karena ... penyakit Boboiboy ... lebih berat darimu dan dia perlu transplantasi jantung?" Asada bertanya pelan-pelan.
"Ya. Nggak hanya itu, ada yang lebih buruk dari itu ... anakku bukan orang yang sama saat berangkat tidur dan saat bangun tidur."
Para dokter membelalakkan mata dan jadi berisik sendiri.
"Karena itu, diagnosisnya yang terakhir jadi DID? Ini seperti dugaan Asada-sensei ..."
"Heh. Ada berapa kepribadiannya?"
"Tapi, tunggu dulu, switching kepribadian dalam DID biasanya bukan karena tidur ..."
"Sabar, sabar. Amato-san belum selesai bercerita," sela Asada, masih perhatian pada paras cemas tamu mereka.
"Sampai sejauh ini, yang kutahu, ada tujuh kepribadian berbeda dalam diri Boboiboy. Dia ... um, mereka ... punya cara berbeda-beda menyebut diri sendiri dan saat memakai topi."
Ijyuuin menjentikkan jari. "Pantas saja aku merasa aneh. Waktu Boboiboy bicara tentang cita-cita ... lalu sore harinya ... kemudian yang tadi malam ... di kamar jenazah ... semua kata ganti 'aku' yang disebutkan selalu beda."
"Pagi ini, ore," ujar Asada sambil mengingat-ingat. "Itu juga yang disebutnya saat hari pertama. Beda di hari kedua ... kalau nggak salah, boku."
"Tadi malam waktu pakai body lotion, dia bilang ware ...," imbuh Ijyuuin. "Itu kata ganti kuno yang cukup aneh kalau diucapkan anak-anak, makanya aku ingat."
"Di kamar jenazah, dia menyebut oresama ...," sambung Toyama.
Amato mendesah lelah. "Yang bicara menggunakan ware namanya Solar, sedangkan oresama itu Blaze."
"Astaga, mereka bahkan punya nama masing-masing?!" Toyama terkejut.
"Supaya mudah membedakan," balas Amato sambil mengusap wajah. "Anakku bisa begitu manis di satu waktu ... kemudian dia tidur, lalu bangun sebagai anak nakal yang hanya bisa merusak ..."
"Switching-nyaselalu terjadi karena tidur dan bangun?" selidik Asada.
Anggukan dari Amato sebagai konfirmasi.
"Boboiboy pagi ini kayaknya nggak terlalu ingat apa yang terjadi semalam," ujar Asada lagi. "Apa biasanya begitu?"
Kali ini, Amato menggeleng. "Kemampuan mengingat mereka berbeda-beda. Ada yang sangat ingat tentang semua pengalaman kepribadian lainnya, ada yang ingat sedikit, ada yang sama sekali nggak bisa mengingat."
"Boboiboy semalam ingat bahwa aku pernah menjanjikannya nonton bintang di atap," seloroh Ijyuuin.
"Semalam? Berarti yang ngomong ware?" tanya Amato.
"Iya, betul."
"Solar memang yang biasanya paling ingat tentang semua yang lain," terang Amato. "Lain halnya dengan Gempa, anak manis yang tadi pagi nangis karena diikat. Dia hanya bisa ingat samar-samar tentang kepribadian yang lain dan mengira semua itu mimpi buruk."
Ganti Ijyuuin yang bertanya, "Bagaimana dengan yang lain? Yang namanya Blaze tadi?"
"Blaze sulit sekali diajak berdiskusi. Kalau dia keluar, dia hanya bisa mengacau."
"Benar," dengus Toyama.
Asada mencoba meluruskan, "Kita baru mendengar tiga nama dengan kata ganti ware, ore,dan oresama. Siapa yang pakai kata boku?"
"Sebentar. Ada dua lagi yang menggunakan kata ganti ore. Sepertinya mereka belum muncul ...," balas Amato dengan dahi berkerut. "Yang bicara dengan boku ada dua, Ice dan Duri. Yang satu selalu ngantuk dan hobi makan, satunya suka main dengan tumbuh-tumbuhan. Dua-duanya ... bisa dibilang manis dan nggak mengacau, tapi kekanak-kanakan."
Fujiyoshi dan Ijyuuin mengangguk-angguk.
"Jadi, masih ada dua lagi ...?" ulang Asada.
Amato tak langsung mengiyakan. "Sepertinya begitu." Dia meremas-remas tangan dengan gelisah. "Pantauan tekanan darah, denyut nadi, dan suhu tubuh dari jam tangan Boboiboy membuatku bisa mengira-ngira siapa yang keluar ... Sekarang hari Rabu. Riwayat yang terekam di jam tangannya sempat terputus sejak Senin malam sampai Selasa pagi. Apa ada yang melepas jamnya saat Boboiboy tidur?"
Pandangan para dokter jatuh pada Fujiyoshi, yang di hari Senin berdinas malam. Dokter konsultan itu menggeleng.
"Aku nggak melepasnya ... jujur saja, kami hanya sempat menengok Boboiboy di awal shift—bersamamu, 'kan, Ijyuuin—dan juga menjelang akhir shift, aku bersama Miki."
Ijyuuin merenung. "Kayaknya waktu kita datangi Boboiboy dan dia sudah tidur, jam tangannya terpasang." Dia menggeleng. "Nggak juga, aku nggak terlalu yakin ..."
"Apa Anda menyampaikan pada kami soal jam tangan itu, Amato-san?" tanya Asada. "Aku baru dengar soal itu."
"Aku minta jangan ada yang melepas jam tangan Boboiboy."
Asada makin mengernyit. "Bilang pada siapa?"
"Bukan ke Asada-sensei, ya?" Amato juga ikut mengernyit. "Waktu itu kita sedang antar Boboiboy ke kamarnya ... oh, mungkin aku bilangnya ke perawat waktu itu, bukan ke Sensei."
"Hmm?" Toyama menaikkan alis. "Perawat yang di lorong waktu kau memanggilku keluar itu, Asada? Bukannya dia perawat baru?"
"Iya, memang," sahut Asada dengan nada sesal. "Mungkin dia kurang paham bahwa hal itu harus dioperkan pada shift selanjutnya. Aku sendiri benar-benar nggak tahu."
"Aku juga nggak tahu," timpal Ijyuuin, matanya berkedip-kedip cepat. "Aku jaga shift sore di hari Senin dan nggak ada operan perawat tentang itu juga."
"Aku pun," imbuh Fujiyoshi sambil angkat bahu.
Asada mengurut dahinya, terlihat kecewa. "Maaf, Amato-san. Ada yang kurang beres dalam komunikasi tim kami."
"Di hari Selasa pagi, setelah mandi, Boboiboy bilang dia harus pakai jamnya ... kalau nggak, nanti ayahnya marah," sambung Fujiyoshi, baru teringat.
Amato mengangguk. "Ya, aku memang minta Boboiboy untuk terus memakainya." Dia berpikir sebentar. "Apa ada kejadian aneh di hari Senin malam?"
"Sekarang kalau kuingat-ingat lagi, aku kehilangan sebungkus besar cookies dari kulkas pantry dokter," jawab Fujiyoshi, "dan, malam itu, banyak ditemukan bangkai tikus di dalam rumah sakit." Mata si dokter membelalak. "Paginya, Boboiboy mandi pagi-pagi dan mencuci bajunya sendiri ... dia bilang, bajunya kotor."
"M-mungkinkah ...?" Ijyuuin tak berani lanjut bertanya.
Amato menerangkan, "Saat kutinggal Boboiboy di hari Senin siang, itu Gempa. Sorenya, dia Ice. Setelah itu, rekamannya hilang. Ketika dipakainya lagi jam itu hari Selasa pagi, dia Duri. Selasa sore, ganti Solar. Malamnya, dia pergi ke kamar jenazah sebagai Blaze ..."
"... dan berakhir dengan kekacauan." Toyama menyelesaikan kalimat Amato. "Kaubilang tadi, Blaze hanya bisa mengacau. Apa dua yang belum disebut ini, juga begitu?"
"Bisa dibilang begitu ..." Amato menggantung kalimatnya. "Halilintar jarang sekali keluar, dia nggak suka interaksi dengan orang lain. Taufan ... yah, dia pengacau mirip Blaze, tapi masih lebih terkendali."
Toyama mengejarnya. "Apa mereka tipe anak yang akan berburu tikus malam-malam?"
Amato menggeleng sambil menghela napas. "Kurasa yang keluar di Senin malam juga Blaze. Dia cukup sering keluar ... dan berulah. Membuat Boboiboy pernah kubawa ke ... ya, Allah. Aku pernah membawa anakku sendiri ke dukun! Nggak berhasil apa-apa juga!" Amato agak histeris. "Ini anakku sendiri ... satu-satunya ... apa yang mengganggunya sampai seperti ini, aku nggak tahu ..."
"Tenang, Amato-san, tenanglah," ujar Asada lembut.
"Apa kalian percaya padaku?" tanya Amato ragu-ragu.
Cerita Amato memang terdengar rumit dan sulit dipercaya. Dia sudah menempuh berbagai cara, jalur medik maupun klenik, untuk anak satu-satunya yang tak hanya berpenyakit jantung.
"Memang sulit dipercaya," sahut Fujiyoshi. "Namun, DID itu klasifikasi penyakit baru. Gejala dan diagnosisnya berubah-ubah terus beberapa tahun terakhir."
"Penderitanya nggak selalu amnesia," sambung Asada. "Ada yang ingat, ada juga yang nggak. Tentang apa saja pemicu switching, yah, itu pun masih diteliti."
"Jadi, ada kemungkinan Boboiboy memang mengidap DID, seperti psikiater yang terakhir bilang," lanjut Ijyuuin tenang.
"Yang jadi soal adalah, gimana kita menghadapi DID ini untuk persiapan operasinya sewaktu-waktu, begitu, 'kan?" imbuh Toyama. "Begitu ada donor, operasi harus langsung dilakukan."
Amato mengerjap, terlihat takjub pada optimisme keempat dokter di hadapannya, dan jadi terharu. "Kalian ... terima kasih."
"Kalau Amato-san berpikir perlu, kami akan coba menghubungi psikiater di Meishin," usul Asada.
"Kukira ... belum perlu." Amato tersenyum, setitik air mata jatuh ke pipinya. "Aku nggak mengira akan bertemu tim dokter sebaik kalian."
"Kita perlu bekerja sama demi kebaikan Boboiboy," balas Asada ramah. "Ijyuuin, apa kau mencatat?"
"Eh?" Si dokter muda gelagapan, mencari alat tulis dalam sakunya. "Mungkin ... ada baiknya kita ulang sedikit, Amato-san. Siapa saja nama-nama tadi dan apa ciri khas mereka."
"Tentang cara memakai topi, tadi belum dibahas?" lontar Toyama. "Setidaknya, kita ingat yang patut diwaspadai saja."
"Taufan, topinya miring ke kanan belakang. Blaze, Halilintar, dan Ice memakai topinya menghadap ke depan. Bedanya, lidah topi Blaze diangkat sedikit, Halilintar biasa saja, sedangkan Ice lebih turun lagi. Kalian bisa melihat rambut putih kalau Blaze yang keluar."
"Rambut putih?" ulang Asada keheranan.
Amato menarik lepas peci di kepalanya sendiri. Mereka semua bisa melihat adanya selajur rambut berwarna putih di tengah ombak cokelat.
"Ini tanda kutukan turun-temurun di keluargaku ..."
"Ku-kukira itu semacam fashion di Malaysia," celetuk Ijyuuin yang juga sudah melihat perbedaan warna itu di kepala Boboiboy sebelumnya.
"Jangan meledek, Ijyuuin," Asada mengingatkan.
"I-iya, maaf ..."
"Jadi," sela Toyama sambil menahan kuapan, "kami perlu waspada terhadap Blaze dan Taufan saja?"
Amato tak segera mengiyakan. "Yang paling utama memang mereka berdua, tapi aku nggak terlalu yakin bahwa yang lain nggak akan berulah ..."
Ijyuuin tak tahan untuk tidak menguap kali itu.
"Jadi, sebaiknya kita selalu waspada." Asada menutup diskusi, melihat dua rekannya yang overworked sudah pada kelelahan. "Sini catatanmu, Ijyuuin. Kau dan Toyama pulang duluan saja, biar aku dan Fujiyoshi-sensei yang operan pagi."
Mereka semua berdiri dari kursi. Amato membungkuk, demikian pula para dokter.
"Anda masih kembali ke tempat kerja, Amato-san?"
"Sayangnya, iya. Semoga nggak sampai satu minggu ..."
Tamu mereka pun pamit sekali lagi. Toyama segera menyusul keluar setelah pamitan setengah hati, saking ngantuknya. Ijyuuin masih tinggal dan berbisik takut-takut pada Asada,
"Asada-sensei, nanti 'kan aku jadwal jaga malam lagi. Boleh, nggak, aku tukeran jadwal?"
Fujiyoshi, yang juga mendengarnya, mendengus sambil menahan tawa.
"Eeh, Fujiyoshi-sensei! Semalam itu seram banget, tahu!"
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Operan pagi berjalan mulus, secara lisan maupun tulisan. Semua yang dicatat Ijyuuin tak terlewatkan satu pun, disampaikan kepada semua staf. Pasien mereka yang satu ini benar-benar unik dan butuh penanganan yang kompleks.
Boboiboy sendiri tidak kunjung bangun sampai menjelang shift pagi berakhir, yaitu jam dua siang, membuat Asada menghubungi Ijyuuin sekali lagi untuk menanyakan seberapa banyak Midazolam yang disuntikkannya semalam.
"Satu ampul penuh, Sensei. Maaf, aku terlalu panik ... kalau seumuran Boboiboy, mestinya setengah ampul saja cukup, ya? Lagian, awalnya aku dan Toyama-sensei nggak tahu kalau itu Boboiboy! Kami kira orang dewasa!"
"Ya sudah, nggak apa-apa," balas Asada tenang, tapi juga sedikit cemas. Pada shift siang nanti akan hadir si ahli obat bius yang baru selesai pelatihan di luar kota, Arase Monji. Mungkin dia lebih tahu harus bagaimana.
"Tekanan darah dan denyut nadinya stabil," ujar Fujiyoshi yang sudah mengecek sekali lagi. "Mungkin saja Boboiboy kecapekan habis kejadian semalam."
"Yang jadi soal, kalau nanti dia bangun, jadi siapa dia?" gumam Asada setengah melamun. Tangannya membelai rambut dwiwarna Boboiboy dengan lembut. Anak itu mendengkur sedikit, terlihat sangat pulas dan damai. Jam tangannya melingkar di pergelangan kanan. "Lihat, Fujiyoshi-sensei. Dia tersenyum dalam tidurnya."
Fujiyoshi juga mendekat. "Apa dia bermimpi indah?"
Asada ikut tersenyum. "Semoga saja begitu."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Oi, Tujuh-Enam Kilo. Ada berita baru apa?"
Berkacak pinggang di lobi dengan tas kerja tersampir di bahu kiri adalah dokter anestesi Arase Monji. Dia terlambat datang tiga puluh menit. Operan shift pagi ke siang sudah selesai dari tadi, tapi Asada dan Fujiyoshi belum pulang karena menunggunya meski juga sudah operan kepada Satohara Miki.
"Halo, Arase. Kena macet?" Asada membalas panggilan yang bukan menyebut namanya itu.
"Huh, iya," sahut Arase sambil menyibakkan poni rambutnya yang seluruhnya dicat warna pirang. "Gimana anak itu?"
"Dia masih tidur," jawab Fujiyoshi. "Ayo, kamar 133."
"Masih tidur?!" Arase menunduk, melihat jam tangan sambil berjalan. "Memangnya semalam Ijyuuin menyuntiknya dengan apa?"
"Midazolam, satu ampul penuh," sahut Asada. "Boboiboy bahkan belum makan siang ..."
Arase cemberut sambil menggerundel sendiri, menyalahkan Ijyuuin yang memberi dosis terlalu besar. Di dalam kamar 133, rupanya sudah ada Miki yang sedang duduk di sisi ranjang. Boboiboy masih belum bangun.
"Tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh, denyut nadi tujuh puluh per menit," lapor Miki sambil menulis. "Tidurnya panjang sekali."
"Jadi?" tuntut Arase. "Anak ini punya tujuh kepribadian yang berganti setiap dia bangun tidur?"
"Begitu menurut ayahnya. Beberapa kejadian terakhir membenarkan hal itu. Ini, tadi Ijyuuin mencatat nama-nama dan ciri khas mereka." Asada menyodorkan selembar kertas.
Arase masih manyun sambil membaca. Miki, yang tadi sudah membaca duluan daftar itu, bicara pada kedua dokter shift pagi,
"Kalian pulanglah dan istirahat. Nanti Ryu-chan jadi tukar dengan Ijyuuin, 'kan?"
Asada mengangguk. "Tapi, kalau ada yang gawat, telepon saja."
Miki menggeleng gemas. "Istirahatlah! Kami bisa tangani ini."
Fujiyoshi menepuk bahu sang dokter bedah. "Ayo, kau pun perlu tidur, Asada."
Arase masih serius membaca sambil duduk ketika kedua rekannya berlalu dari kamar 133.
"Arase-sensei, aku ke IGD duluan, ya," ujar Miki sambil beres-beres peralatan untuk mengecek pasiennya.
"Hmm, nanti kususul," sahut Arase tanpa mengangkat kepala. Dari daftar dan kronologi kejadian di tangannya ini, rasanya ada sesuatu yang mengganjal ... tapi, apa? Arase belum menemukan jawabannya. Saat sudah sekitar lima menit Miki keluar dari kamar itu, Boboiboy membuat suara.
"Haaaaahhmmm."
Arase melirik dengan waspada, masih duduk di tempatnya. Siapa yang keluar kali ini? Anak itu menggeliat di tempat tidur sambil menguap dan mengucek mata.
"Selamat ... pagi?" gumam Boboiboy sambil duduk di ranjang, memandangi jendela dengan agak linglung.
"Selamat siang. Eh, malah sudah hampir sore," balas Arase ringan. Dia beranjak mendekati tempat tidur. "Tidurmu lama banget. Mimpi indah?"
Boboiboy tampak berpikir sejenak, sebelum tertawa kecil. "Soudane. Ore, ii yume michatta kamo! Ya. Kayaknya aku mimpi indah."
"Kamu Boboiboy, 'kan? Namaku Arase Monji. Salam kenal."
"Salam kenal, Arase-sensei," balas Boboiboy sambil tersenyum. Kemudian dia meregangkan kedua tangan. "Ehehe. Enak banget tidurku ..."
"Kamu nggak lapar? Jam makan siang udah lama lewat."
"Hah?" Boboiboy bengong. "Astaga, berarti aku juga kelewat salat Dzuhur?!" Anak itu buru-buru turun dari ranjang sambil melepas jam tangannya.
"Akan kumintakan jatah makan siang lagi, ya," ujar Arase. "Habis salat, baru kamu makan."
"Oke. Makasih, Sensei yang baik hati!"
Arase masih mengamati sejenak Boboiboy yang masuk ke kamar mandi untuk membasuh diri, sebelum keluar sebentar untuk menelepon Instalasi Gizi. Ada tiga kemungkinan yang ada di hadapan Arase sekarang dan dia baru akan tahu setelah Boboiboy memakai topinya nanti. Diraihnya kembali catatan Ijyuuin sambil menunggu Boboiboy selesai dengan ibadahnya yang terlambat.
Yang bicara dengan ore ... adalah Gempa, Taufan, Halilintar. Tadi pagi Gempa sudah muncul, apakah mungkin dia muncul lagi setelah tidur yang panjang di siang hari?
Troli makanan dari petugas gizi datang saat salat sudah selesai. Boboiboy menatap menunya dengan penuh minat.
"Waaah. Makaroni panggang!"
"Selamat makan," ujar Arase riang.
"Selamat makan~"
Arase jadi makin bertanya-tanya. Siapa yang ada di hadapannya ini? Boboiboy belum menyentuh topinya, masih melahap santap siangnya yang juga terlambat.
"Arase-sensei sudah makan?" tanya Boboiboy di sela kunyahan.
"Sudah, sih. Kenapa? Kamu mau bagi makaroninya ke Sensei?"
Boboiboy terkekeh geli sedemikian hebat. Tawanya panjang dan berderai, kakinya menendang-nendang dan tangannya memukul-mukul meja makan, seolah Arase baru saja melontarkan lelucon paling lucu sedunia. Dia baru berhenti setelah tersedak ludah sendiri dan Arase menepuk-nepuk punggungnya.
"Uhuk. Ya, enggak, lah! Ini, 'kan, makan siangku, uhuk. Sensei lucu, deh."
Arase tersenyum miring. "Lagian, aku juga sudah kenyang." Sang dokter tiba-tiba menyadari sesuatu ketika melihat bekas berbentuk persegi di pergelangan tangan Boboiboy. "Hei, kamu belum pakai lagi jam tanganmu."
Si pasien menyipitkan mata, masih asyik mengunyah. "Aku malas pakai."
"Tapi, kamu harus pakai."
"Nande? Kimi wa Tou-san janaishi—Kenapa harus? Toh, 'kan, kamu bukan ayahku," tantang Boboiboy, membuat Arase terdiam dengan penuh perhatian.
Tak sampai semenit kemudian, isi piring itu sudah tandas. Lahap sekali makannya orang yang baru bangun dari tidur panjang. Boboiboy meraih topinya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu memakai sandal rumah sakit.
"Sekarang, saatnya main!"
"Kamu mau main apa?" Arase berdiri dari kursi, seketika kembali waspada. Matanya terbelalak saat Boboiboy memakai topi itu dan memutar lidah topinya dengan cepat ke ... sebelah kanan. Arase meraih tombol bel untuk memanggil bantuan, tapi Boboiboy lebih cepat darinya. Anak itu melesat ke pintu dalam sekejap mata, tawanya menggema di lorong.
"Bocah!" geram Arase, melempar diri ke pintu yang terbuka dan bersiap untuk lari mengejar. Boboiboy menuju ke kantor dokter ...
"Arase-sensei!" Terdengar suara Miki dari jauh.
"Boboiboy!" seru Arase, mengejar di lorong lalu masuk ke kantor dokter. Dilihatnya Boboiboy sedang memompa alat pengukur tekanan darah sambil tertawa-tawa.
"Jangan main dengan alat itu!" Arase memekik dengan cemas.
"Apa dia bisa meledak kayak balon? Aku mau lihat! Hahaha!" Boboiboy memencet-mencet karet pompa serupa balon itu sampai maksimal dan berhenti karena Arase sudah sampai di dekatnya. Anak itu mundur sambil melompat-lompat.
"Beda dengan balon, tapi bisa pecah juga," gerutu Arase sambil membuka kenop alat, mengeluarkan udara dari dalamnya. "Bahaya, alat ini bahannya kaca, kalau pecah bisa terbang ke mana-mana ... OI! JANGAN KE SITU!"
"Hahaha! Ada apa di dalam sini?" Boboiboy membuka pintu sebuah kulkas raksasa. "Woaaah. Jus tomat!"
"I-itu bank darah!" seru Miki yang baru sampai di pintu kantor. "Jangan—"
Boboiboy memutar-mutar keran di ujung bawah kantong plastik itu dan cairan merah segera mengalir ke lantai. Anak itu tertawa-tawa sambil menjejakkan sandalnya ke darah yang mulai menggenang. Arase sudah mendekat tapi terlambat, jadi dicobanya meraih Boboiboy yang berkelit kabur.
"Tangkap aku kalau bisa! Hahaha!" Boboiboy sudah lari ke luar kantor dokter, meninggalkan jejak merah sepanjang jalan. Arase mengejarnya kembali.
"Miki! Tolong urus yang ini, atau panggil yang lain!"
"Satpam sedang ke sini, Sensei!" Miki berusaha menutup kembali keran pada kantong-kantong darah.
"Boboiboy! Arghh, astaga!" seru Arase yang kalah cepat. Beberapa pekikan perawat terdengar ketika Boboiboy sampai di IGD. Anak itu masih lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, menyeret troli-troli obat jadi bertabrakan dalam perjalanannya entah menuju ke mana. Bunyi ampul kaca pecah di dalam troli-troli itu bisa didengar semua orang.
"Boboiboy ... Taufan ...," gumam Arase yang hampir kehabisan napas di pintu masuk IGD.
"Kenapa, Sensei? Katanya, tadi sudah makan. Kok, lemas? Hahaha!"
Bukan perkara makan yang jadi masalah. Arase sudah lama tak berolahraga dan akhir-akhir ini berat badannya naik. Mata sipitnya kembali melotot saat sadar tujuan Boboiboy selanjutnya. Dipaksanya kaki gempalnya untuk melaju secepat yang bisa diusahakan.
"OI! BERHENTI!" Arase agak putus asa saat melompat dan menerjang Boboiboy dalam usaha terakhirnya mencegah anak itu mendekati tabung oksigen setinggi badan yang berdiri di pojok IGD. Keduanya jatuh ke lantai, Arase berhasil mengunci pergerakan Boboiboy yang meronta sambil tertawa.
"Lepaskan aku!" seru anak itu.
"Boboiboy, kamu tahu ini apa?" tanya Arase, tersengal dalam pergulatan. Salah seorang perawat laki-laki di IGD membantunya meringkus tangan si pasien.
"Tahu, lah. Ini tabung oksigen. NGGAK! NGGAK MAU! JANGAN SUNTIK AKU!"
Arase memberi tanda kepada si perawat untuk menjauhkan jarum suntiknya. "Boboiboy nggak akan disuntik kalau berhenti main-main. Ayo, kita kembali ke kamar aja, ya."
Seketika Boboiboy berhenti bergerak. "Janji, ya? Aku nggak suka disuntik."
"Iya, iya."
Semua staf yang ada di IGD terlihat terkejut, tapi tak ada yang bicara. Mereka sudah tahu dari operan rekan yang lain.
"Kenapa kamu pengin main sama tabung oksigen?" selidik Arase sambil menggiring pasiennya ke kamar.
"Tabung bertekanan tinggi, 'kan? Kayaknya seru kalau tabungnya bisa meloncat ke udara."
Arase terperangah mendengar jawabannya, tapi saat itu ia berpapasan dengan Miki di depan kantor dokter.
"Oh! Kalian mau kembali ke kamar," ujar si perawat dengan nada hati-hati.
"Terima kasih, Miki. Ayo ikut kami," undang Arase.
"Iya. Kita main di kamar, yuk!" sahut Boboiboy, entah apa maksudnya. Arase punya firasat tak enak.
"Boboiboy, kamu cuci tangan dulu. Kotor, tuh," tegur Miki saat mereka bertiga sudah kembali di dalam kamar 133.
"Ah, aku mau lihat bunga matahari yang kemarin. Kelihatan, nggak, dari sini?" Boboiboy tiba-tiba menghambur ke jendela. Miki mendekatinya dan seketika menjerit kaget seiring bunyi kaca yang pecah.
Arase sampai terbungkam saking kagetnya. Boboiboy barusan meninju kaca jendela itu ... dan sekarang malah tertawa-tawa.
"Kaget, ya? Hahaha!"
Miki mundur beberapa langkah, wajahnya memucat demikian cepat. Arase maju dan meraih tangan Boboiboy. Ada darah di sekitar buku jarinya, merah segar, bukan noda bekas darah dari kantong transfusi yang dibukanya seperempat jam yang lalu.
"Boboiboy ... ini nggak sakit?" tanya Arase pelan-pelan. Didengarnya Miki mendesis kasihan sekaligus takut. "Miki, tolong ambilkan perban."
Boboiboy menggeleng selagi Miki berlari keluar mencari peralatan yang diperlukan. "Aku udah lupa sakit itu kayak apa."
Jawaban Boboiboy sambil menyeringai membuat Arase terheran-heran sekali lagi. "Ayo, duduk sini. Kita bersihkan lukamu."
Kasa dan antiseptik yang dibawa Miki dengan cepat, segera dipakai untuk pertolongan pertama. Boboiboy tidak mengernyit sama sekali saat cairan antiseptik mengenai lukanya.
"Beneran, nggak sakit?" Arase yang mengamati Miki merawat luka itu, masih heran dengan ekspresi pasiennya.
Yang ditanya hanya menggeleng, malah tertawa kecil. "Cuma, agak geli!"
Sejurus kemudian, tangan Boboiboy sudah terbungkus perban. Mata cokelat anak itu berbinar, terlihat bangga atas prestasinya barusan. Lalu, dia menghela napas panjang.
"Aku capek," keluhnya.
Arase mendengus, dia juga capek. "Iya, lah. Tadi kejar-kejaran sama Sensei."
"Aku capek hidup."
Baik Arase maupun Miki terdiam dan saling bertukar pandang.
"Buat apa, sih, aku terus hidup? Jadi bebannya Ayah terus. Kalau aku mati, wussss, beban Ayah juga lenyap ditiup angin. Hahaha!"
"... Ayahmu sayang padamu, lho. Kamu yakin, ngomong kayak begitu?" ujar Arase setelah terdiam lima detik. Miki masih mengamati dalam diam.
"Hahaha. Mana ada? Dia nggak sayang aku. Buktinya, dia pergi terus."
"Ayahmu pergi cari uang untuk pengobatanmu."
Boboiboy memejamkan mata dan menggeleng. "Nggak usah diobatin. Nanti juga aku mati."
"Apa Boboiboy nggak kepengin sembuh?"
Mata cokelat itu membuka lagi. "Sembuh dari apa? Aku nggak sakit, kok. Tadi, 'kan, aku sudah bilang."
"Itu, kamu harus minum Digoxin buat jantungmu tiap siang. Bukan sakit, namanya?"
"Oh, sakit yang itu. Kukira maksudmu sakit yang ada tujuh ini."
"Boboiboy tahu tentang yang ada tujuh itu?"
"Tahu, lah." Boboiboy menjeda sejenak, kemudian sengaja membuat cempreng suaranya, "Ore, tenbungakusha ni naritainda—aku pengin jadi ahli astronomi! Tentu saja, yang bilang pengin jadi ahli astronomi itu, bukan aku."
"Lalu, siapa yang bilang?"
"Aku yang lain."
Arase mengerjap. "Kalau kamu yang ini, pengin jadi apa?"
Boboiboy angkat bahu. "Aku sendiri nggak tahu apa cita-citaku."
"Kamu ingat, semalam habis ngapain?" pancing Arase.
"Mmm ... membedah jenazah?" Boboiboy terlihat tak yakin.
"Iya. Kenapa kamu lakukan itu? Apa kamu mau jadi dokter bedah?"
Boboiboy menggeleng. "Wah, itu terlalu tinggi. Kayaknya, semalam itu, aku cuma pengin tahu kayak apa jantung manusia kalau sudah jadi mayat."
"Kamu nggak terlalu ingat, ya, kejadian semalam?"
Lagi-lagi, Boboiboy menggeleng. "Ini sebuah penyakit, 'kan? Penyakit, tapi nggak terasa sakit. Mana ada orang punya tujuh macam kepribadian? Aku seharusnya nggak ada sejak awal mula."
Pada kalimat itu, Arase terhenyak sampai tak tahu harus bicara apa. Boboiboy kemudian menoleh pada Miki dan berujar,
"Ngomong-ngomong, Satohara-san. Kamu sudah punya pacar?"
"Hee?" Yang ditanya bengong, demikian pula Arase. Si dokter anestesi tersenyum tipis dan menjawabnya,
"Asada-sensei bisa ngamuk kalau kamu nanya begitu, Boboiboy."
"Yaaah," sahut Boboiboy kecewa, "padahal, Satohara-san cantik, lho."
Miki tersenyum manis, sudah kebal digombali pasien laki-laki, tapi kaget juga karena yang ini masih anak-anak. "Makasih."
"Cantik, tapi kerempeng."
Komentar datar tak terduga itu membuat senyum Miki luntur. Arase membalasnya,
"Nggak, kok. Dia ini empat puluh lima kilogram. Dengan tinggi badannya segini, itu termasuk ideal."
Mata cokelat Boboiboy melebar. "Kok, Arase-sensei bisa tahu berat badannya Satohara-san?"
Senyuman bangga kini terpampang di raut sang dokter anestesi. "Aku bisa tahu berat badan orang dengan melihatnya saja."
"Wow. Kalau aku, berapa?"
Arase berpikir sejenak. "Dua puluh delapan?"
"Ah," jawab Boboiboy, "sebetulnya aku lupa berat badanku yang terakhir berapa. Kayaknya sekitar segitu. Sensei cenayang, ya?"
"Ya, Tuhan." Cobaan Arase di sore hari ini banyak sekali. Kali ini, Miki gantian membantunya,
"Arase-sensei itu sudah banyak pengalamannya, makanya bisa memperkirakan sehebat itu."
"Bukan cenayang?" tanya Boboiboy dengan raut datar sekali lagi. "Mungkin penyihir?"
Arase sampai tak paham lagi, apakah anak ini bercanda atau serius. Apa hubungannya, coba, perkiraan berat badan dengan ilmu sihir? Kalau dengan cenayang alias peramal, sih, masih agak nyambung meski dipaksakan juga.
"Bukan, aku seratus persen manusia tulen, bukan serigala jejadian juga," sahut sang dokter yang juga balas bercanda aneh-aneh, "tapi, aku bisa menyihirmu biar tidur, lho. Mau coba?"
"Eh, Arase-sensei?" bisik Miki keheranan.
"Miki, tolong basahi lap ini dengan air panas."
Boboiboy mengangguk-angguk antusias. "Tunjukkan padaku!"
Arase berpindah ke kaki tempat tidur lalu menyeka kaki Boboiboy dengan kain panas dari Miki, kemudian memijat-mijat telapak kakinya. "Boboiboy bisa berhitung dari satu sampai tujuh?"
"Bisa, lah."
"Berhitung bareng, yuk. Satu ..."
"Dua, tiga, empat, lima—"
"Hei, terlalu cepat. Bareng-bareng, diulangi, ya. Satu ... dua ... tiga ..."
"Empat ... lima ... enam ... tujuh."
"Bagus, Boboiboy. Hitungan tujuhnya diulang tujuh kali, ya. Satu ... dua ..."
Arase menekan titik-titik yang tepat di telapak kaki sambil mengamati wajah pasiennya. Pada hitungan tujuh kali yang keenam, suara Boboiboy mulai melemah.
"Lima ... enam ... tujuh ... simsalabim, selamat tidur, Boboiboy."
Miki menatap takjub. Boboiboy benar-benar jatuh tertidur, matanya terpejam dan tarikan napasnya dalam.
"Arase-sensei ... aku baru tahu dirimu paham reflexology."
"Anestesi nggak selalu menggunakan obat, tahu," balas Arase serius, masih memikirkan sesuatu sambil memasangkan jam tangan Boboiboy ke tangan kanan. "Nah, dia akan tidur untuk empat-lima jam ke depan. Ayo, kita kerja. Pecahan kacanya harus dibersihkan dulu."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Selamat tidur, Boboiboy."
Si-siapa?
Siapa itu?
Siapa di sana?
Tak ada jawab. Tubuhnya terasa dingin. Ia menggigil, padahal tak ada angin berembus. Seseorang sedang tertawa di kejauhan.
Taufan?
Siapa pun?
Jawab aku.
Tolong ...
"Hahaha ..."
Gema dari tawa itu memantul-mantul mengerikan, memperkuat rasa dingin yang selalu menyiksanya. Ia hampir tak tahan lagi. Jeritannya tertahan tanpa suara. Tak ada yang bisa mendengarnya.
Tolong, bertahanlah ...
"Aku sudah capek hidup."
Jangan, jangan bilang begitu!
Bertahan, harus bertahan ...
"Nggak ada yang menginginkanku untuk hidup."
Nggak, itu nggak benar ...
"Para dokter pun nggak suka padaku."
... apa benar begitu?
"Buktinya, semalam aku diikat."
Eh, siapa?
Siapa yang mengikat?
"Namanya Toyama-sensei ..."
Toyama?
Toyama, ya ... dokter yang suka nonton televisi itu?
"Benar! Namanya Toyama."
Toyama ... Toyama ...
Sesuatu yang seperti api menyala dan menjalar, terperangkap di dalam tulang-belulang. Hangat menjurus panas di dalam rongga dada. Ini bahkan lebih menyakitkan daripada rasa dingin yang biasanya.
Marah! Membara! Membakar! Ia jauh lebih tidak tahan pada perasaan yang satu ini. Antara nyeri dan ngilu yang susah dideskripsikan, yang terus-menerus mengganggu selagi belum terlampiaskan. Ia harus segera melepaskannya daripada tersiksa lebih lama ...
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Boboiboy tersentak bangun dan membuka mata, seluruh tubuhnya berkeringat dingin. Jantungnya berdebar-debar menggila sampai rasanya bisa didengar di telinganya sendiri. Langit di luar jendela sudah gelap. Dia turun dari tempat tidur lalu meraih topinya dan berjalan menuju pantry dokter tanpa menggunakan alas kaki lebih dahulu. Topi itu diarahkannya ke depan, siaga seperti akan maju berperang.
Dengan mata nyalang, ditelusurinya daftar yang tertempel di dekat pintu pantry. Jadwal jaga dokter ... malam ini ... Ijyuuin, dicoret, ganti Asada, lalu di bawahnya ada nama yang dicarinya: Toyama.
"Toyama ... Toyama ... yoku ore ni shibaritsukete—beraninya kau mengikatku ... koukai sasete yaru—akan kupastikan kau menyesali ini ..."
Langkah kecil Boboiboy membawanya dengan cepat ke kantor dokter, ke balik sofa sederhana di seberang televisi yang sedang menyala. Suasana gelap, berkas sinar hanya berasal dari satu-satunya perangkat elektronik di tengah ruangan. Diregangkannya otot-otot di jemari tangan yang terbungkus perban.
"SHINE! MATILAH, KAU!" Boboiboy menerjang maju dari bagian belakang sofa. Leher jenjang di atas jubah putih itu jadi sasarannya. Sosok yang duduk di sofa tak mengira akan mendapat serangan dadakan dari belakang, ikut terjatuh ke depan akibat momentum keras yang ditimbulkan Boboiboy. Cekikan tangan anak itu begitu kuat di leher berotot pria dewasa yang diserangnya ...
"Ukh, Bo—"
Satu tangan sang dokter balas mencengkeram erat tangan Boboiboy yang lebih kecil, pada bagian yang ditutup perban.
"Argh!" Anak itu mengerang kesakitan.
"Asada!" seru seseorang sambil menyalakan lampu. Boboiboy mendelik ketika menyadari siapa dokter yang diserangnya.
Asada ... lho, Asada? Kenapa malah Asada yang tadi duduk di depan televisi? Apa mereka, para dokter ini, mau menjebaknya? Kenapa ... kenapa ... seolah-olah semua orang bersekongkol melawannya? Boboiboy meraung gusar ketika melihat Asada balik menatapnya dengan sorot (pura-pura?) cemas, tangan si dokter masih menahan tangannya untuk lanjut mencekik leher yang, kalau dipikir lagi, memang terlalu besar. Dokter Toyama Seiji, yang tubuhnya lebih kurus daripada Asada, sedang berjalan mendekati mereka sambil membawa sesuatu.
Boboiboy melotot melihat jarum suntik di tangan Toyama. Sial, dia memang dijebak dengan sengaja! Boboiboy mendorong dirinya menjauh dari Asada dengan panik dan marah sampai punggungnya membentur dinding. Napasnya memburu, mata cokelatnya membelalak liar. Asada bangkit dan sedang mencoba meraih pasiennya ketika anak itu berteriak lagi,
"Singkirkan benda itu!"
"Boboiboy ...," panggil Asada sambil mengibaskan tangan pada Toyama, "kami nggak akan menyuntikmu ..."
"USO DA—BOHONG! Kore dakara kisamara kirai nanda—Karena inilah aku benci kalian!"
Baik Asada maupun Toyama mendekatinya bersamaan, membuat Boboiboy berusaha mundur, tapi dia sudah terdesak dinding di belakangnya. Mendadak, Boboiboy merasakan badannya lemas. Tiap tarikan napasnya jadi begitu berat dan panjang. Dalam hitungan detik, kelopak matanya segera merekat satu sama lain, membuat kedua dokternya terkejut. Asada segera mengecek nadi di leher Boboiboy, kemudian pupil matanya di balik kelopak yang terpejam.
"Dia ... tidur," gumam Asada, nadanya tegang.
"Hei ... aku belum membiusnya," sahut Toyama dengan nada yang sama, isi syringe di tangannya masih utuh.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
to be continued.
.
.
.
Author's Note (2):
Jadi, predikat terbaru Trio Troublemakers jatuh kepada: Blaze, Taufan, dan ... Halilintar!
Satunya bukan Duri? Bukan, dia hanya anak manis yang kekanak-kanakan dan suka mengajak bicara bunga-bunga di kebun :)
Kalau pembaca belum terbiasa dengan kata ganti yang dipakai Boboiboy untuk menyebut diri sendiri alias "aku", berikut ini catatan dari Ijyuuin, urut dari kemunculan mereka sejak chapter 1:
Gempa: ore
Ice: boku
Blaze: oresama
Duri: boku
Solar: ware
dua yang belum muncul saat catatan itu ditulis, juga menyebutkan "kamu/kalian" dalam dialog mereka di chapter ini:
Taufan: ore – kimi
Halilintar: ore – kisama
(Kisama itu kasar banget, ngomong-ngomong.)
.
Ada juga satu koreksi terjemahan dari chapter 1 yang sudah dibetulkan di sini. "Senseijutsu-shi" yang disebutkan sebagai "Astrologer" itu sudah benar dari segi terjemahan, tapi yang Roux maksud cita-cita Boboiboy adalah ahli astronomi (yang betul "Tenbungakusha") sedangkan astrologer itu lebih terkait ilmu "meramal" berdasarkan bintang. Nope, bukan yang itu maksudnya. Yang Roux mau, ilmu tentang tata surya dan rasi bintang, murni sebagai ilmu pengetahuan, bukan soal ramalan. Perihal bintang ini nanti akan jadi cukup penting di chapter mendatang, makanya ditegaskan ulang.
.
Tebakan pembaca di chapter 1, sudah mulai terjawab di sini, ya. Eh, jadi belum semua jawaban ada di sini? Kalau semuanya ada di chapter 2, sudah tamat dong, ceritanya XD
Awalnya Roux mikir lumayan keras soal Amato dan pilihannya untuk punya anak. Sampai nanya-nanya ke shaby-chan dan akaori tentang aturan KB permanen dalam Islam. Akhirnya, ya, jadi begini aja. Nggak berat, kenapa juga sempat dipikir berat-berat :"D
Pesan moral dari cerita ini apa, sih? Roux juga bingung /ditampol/
Pada intinya, dari chapter 1 dan nyambung ke sini, operan shift itu penting banget kalau bekerja dengan banyak orang, di lembaga yang selalu buka24 jam pula.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
Kritik dan saran sangat diterima :D
26.03.2022
