"Nah, Sensei ke kamar yang lain, ya. Nanti malam Sensei ke sini lagi, terus kita ke atap sama-sama."
"Oke, Nii-chan! Aku mau baca buku biar nggak ngantuk."
Selepas kepergian Ijyuuin Noboru si dokter imut-imut di hari Selasa malam, Boboiboy tidak benar-benar membaca buku. Dahinya berkerut sambil mengamati tangan kanannya yang sepanjang siang terbakar sinar matahari.
"Ck. Bakal parah banget pasti, belangnya …."
Boboiboy meraih salah satu botol krimnya lalu menggeser jam tangannya untuk mengoles krim itu ke seluruh bagian tangan. Setelah cukup puas dengan usahanya, Boboiboy beranjak ke kopernya, mengeluarkan laptop lalu menyalakannya.
"Kemarin aku sampai mana, ya … ah, ini dia."
Layar laptop menampilkan halaman pencarian internet dengan video-video yang membuat pemiliknya terdiam bermenit-menit. Selagi tatapan mata cokelatnya lekat ke layar, tangan kanannya bergerak di udara, membuat garis membujur dari atas ke bawah seolah sedang mengiris sesuatu.
"Yosh! Ware nara dekiru—Aku pasti bisa melakukannya! Datte tensai damon—Aku, 'kan, hebat! Sekarang, tinggal cari scalpel di suatu tempat …."
Boboiboy membereskan laptop, memakai sandalnya, lalu mengendap-endap ke luar kamar. Lorong itu sekilas terlihat sepi; dia berjalan cepat-cepat menuju kantor dokter. Untungnya kosong. Diedarkannya pandangan di sekitar meja yang berantakan dan ditemukannya sesuatu yang berkilat. Mata cokelat sang anak berbinar penuh minat, diraihnya benda tipis dari logam itu dengan hati-hati.
Dalam semenit, anak itu sudah kembali ke kamar dengan sebuah pisau bedah di tangan. Dia agak berlari karena tadi sempat mendengar suara-suara di luar kantor dokter, tapi ternyata tidak ada yang memergokinya. Setelah duduk kembali di tempat tidur, diamatinya pisau bedah itu—lagi-lagi dengan binar cerah di sepasang matanya.
Kemarin, saat sempat jalan-jalan ke pantry, Boboiboy ingat melihat denah Rumah Sakit Hokuyou. Dia tahu ada kamar jenazah di basement, satu lantai di bawah kamarnya. Tangga ada di ujung lorong, agak lebih jauh daripada ke pantry atau kantor dokter yang barusan. Tak mengapa, lah.
"Sebentar lagi … sebentar lagi aku akan bisa melihatnya! Jantung beneran!"
Semangatnya yang berlebihan, entah kenapa, mendadak membuatnya mengantuk. Boboiboy menguap lebar-lebar. Duh, mungkin dia bakal tidur sebentar, setidaknya setelah menyimpan benda ini di tempat yang aman dulu ….
Namun, Boboiboy sudah jatuh tertidur sambil menggenggam pisau bedah itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BoBoiBoy (c) Animonsta Studios
Team Medical Dragon (c) Akira Nagai & Tarou Nogizaka
Good Night, Have a Nightmare! (c) Roux Marlet
-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-
Cover Art by: Cfy Mai
Boboiboy Japanese ver headcanon by: akaori
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
Chapter 3: The Passenger
.
.
.
.
.
"Rekam jantungnya baik-baik saja."
"Jadi, dia betulan hanya tidur?"
Asada memandangi monitor jantung di dalam PICU dengan alis berkerut. "... iya, tapi bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba jatuh tertidur kayak begitu tadi?"
Toyama menghela napas dengan kasar, jemarinya memutar-mutar syringe berisi obat bius yang tidak jadi terpakai.
"Amato-san nggak bisa dihubungi kali ini," lanjut Asada dengan nada mengeluh. "Kupikir, paling nggak, kita harus tunggu sampai Arase datang besok pagi. Meskipun, aku sendiri punya dugaan yang nggak menyenangkan ..."
Toyama meletakkan syringe-nya di baki obat, beranjak ke bed kosong di sisi Boboiboy, lalu membaringkan diri di atasnya. Kakinya menjuntai di tepi, tentu saja. Ruangan itu adalah unit perawatan intensif untuk pediatri alias pasien anak, jelas semua bed-nya ukuran anak-anak.
"Aku mau istirahat sebentar." Toyama menguap lebar-lebar. "Kau juga, Asada. Duduklah, jangan berdiri dan berjalan terus."
"Aku masih mau memantaunya setengah jam lagi," Asada bersikeras, matanya tak lepas dari si pasien yang kini dadanya ditempeli bermacam kabel.
"Terserah."
Belum ada semenit Toyama memejamkan mata, terdengar bunyi derap kaki yang perlahan tapi pasti menuju ke PICU.
"Ya ampun, siapa lari-lari begitu jam tiga pagi?" gumam Toyama kesal, tapi tetap bertahan mengistirahatkan matanya yang sudah begitu pedas.
BAMMMM! Pintu PICU terbuka dan tampaklah sesosok pria di ambangnya.
"... Amato-san?"
Selorohan Asada membuat Toyama buru-buru bangun.
"A-apa yang terjadi?" Ayah Boboiboy itu bertanya, suaranya tegang, napasnya terengah-engah hebat. Dia tak mengenakan pecinya yang biasa, rambutnya berantakan dan mencuat ke mana-mana. "Apakah Taufan muncul ...?"
"Taufan?" Kedua dokter bertukar pandang dengan kernyitan di dahi masing-masing.
Amato membungkuk, berusaha mengatur napasnya. Asada dengan sigap mendekatinya dan membimbingnya untuk duduk. Dia ingat, Amato pun punya penyakit jantung, meski terkendali oleh pacemaker.
"Boboiboy tadi berusaha mencekikku," ujar Asada berterus terang. Amato melotot, tapi tidak terlihat terlalu kaget karena sejak awal ekspresinya sudah seperti itu.
"Boboiboy ...?" Amato memanggil sang anak yang tertidur pulas. "Boboiboy, apa yang kamu pikirkan?" gumam Amato, lebih kepada diri sendiri.
"Lalu dia mendadak tidur atau pingsan," sambung Toyama sambil merengut. "Kami nggak membiusnya dengan apa pun."
Amato menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Dia belum berbicara apa-apa lagi, membuat Toyama jadi agak hilang kesabaran.
"Kenapa bisa begitu?! Rekam jantungnya normal!"
"Toyama, tahan dulu. Biarkan Amato-san menenangkan diri."
Derap langkah kaki yang lebih banyak menggema lagi di luar ruangan. Sekali lagi, pintu PICU terbuka dan masuklah empat orang sekaligus. Arase si ahli anestesi paling depan, matanya nyalang. Fujiyoshi dan Ijyuuin di belakangnya, wajah keduanya masih tampak mengantuk. Hanya Miki si perawat yang tampak segar dan rapi. Team Medical Dragon dalam formasi lengkap. Amato bangkit berdiri. Sebelum ada yang bicara, Asada menengahi.
"Kita ke kantor saja, Amato-san. Miki, kamu jaga di sini, ya."
"Oke, Ryu-chan."
"Nggg?" Gumaman lirih dari si pasien mengejutkan semuanya.
"Boboiboy?"
Amato bergegas mendekat, demikian pula Asada, lalu Arase. Semua menunggu anak itu membuka matanya perlahan-lahan sambil menguap. Sorot netra cokelat itu pertama-tama mendarat pada Asada di depannya, kemudian ke Amato di samping kanannya.
"Oh, Ayah sudah pulang?" gumam Boboiboy, lalu menguap lagi. "Selamat pagi, Ayah. Boku, onaka suita—aku lapar."
"Eh?" Ijyuuin menengok jam tangan, barangkali Instalasi Gizi saat ini baru mencuci sayuran untuk dimasak!
"Selamat pagi, Boboiboy," sahut Amato, terdengar agak lega dengan kata ganti yang diucapkan anaknya. Yang muncul, antara Ice atau Duri—dua anak yang bukan pembuat masalah.
"Sensei pesankan sarapan untukmu, ya?" Asada menawarkan. "Boboiboy mau makan apa?"
"Hmmmh, apa, ya?" Boboiboy menjilati bibirnya yang terasa kering. Tangannya bergerak ke bagian depan badannya, menggaruk sekilas bagian perut, lalu dia menunduk dengan gerakan lambat. "Apa ini?" tanya anak itu, berkedip-kedip kebingungan menatap beragam kabel yang menempel di dadanya.
"Ini alat perekam jantung," ujar Asada.
"Hooo?"
"Miki, telepon Instalasi Gizi, coba," imbuh Asada, sebelum berpaling lagi ke pasiennya. Sementara itu, Miki segera meraih telepon dan memesan sarapan yang terlalu awal. "Kabel-kabel ini terhubung ke monitor yang besar ini, jadi para dokter bisa melihat rekaman jantungnya Boboiboy."
"Hmm, begitu?" balas Boboiboy dengan nada malas. Tiap tarikan napasnya seolah beban yang teramat berat.
"Namanya elektrokardiogram."
"Hmm, hmm."
"Boboiboy nggak penasaran sama alatnya?"
Anak itu menggeleng. "Gatal," komentarnya singkat, sambil sedikit menggaruk dadanya.
"Nanti juga dilepas, kalau kondisimu stabil." Asada memberinya senyuman menenangkan, tapi Boboiboy malah menguap lebar-lebar.
"Mana makanannya? Aku sudah lapar banget."
"Kok, kamu sudah lapar?" Sang dokter bedah menatapnya lekat-lekat. "Kemarin-kemarin, jam segini kamu masih tidur, lho."
Boboiboy menggeleng. "Nggak tahu. Pokoknya lapar."
"Apa Boboiboy ingat, semalam kamu habis ngapain?"
Yang ditanya diam sejenak, kemudian menggeleng lagi lambat-lambat.
"Kamu yakin?" Asada mendesak. Pasalnya, dirinyalah yang dicekik anak itu semalam dan dia masih ingat sorot mata penuh amarah yang waktu itu berbeda jauh dengan tatapan berselimut kantuk yang ini.
"Lapar," ulang Boboiboy lagi, tak mau atau terlalu malas untuk menjawab pertanyaan Asada.
"Instalasi Gizi hanya punya bubur instan untuk dimasak sekarang," ujar Miki pada Asada.
"Boboiboy mau bubur?" Asada meneruskan informasi itu.
"Boleh. Pokoknya makan," sahut pasiennya.
Bubur instan itu masih mengepulkan uap hangat ketika diantar ke PICU. Boboiboy segera melahapnya sampai tandas dalam satu menit.
"Mau lagi, masih lapar."
Orang-orang dewasa di sekitarnya sedari tadi berbisik-bisik, tapi Boboiboy hanya peduli untuk porsi berikutnya. Tak sampai lima menit, tiga porsi bubur instan yang datang kemudian segera dihabiskannya.
"Ngantuk." Boboiboy menguap lebar-lebar sekali lagi. Dikuceknya mata sambil mencari-cari. "Ayah, aku tidur lagi, ya?"
Amato mendekat lalu mengusap-usap rambut anaknya. "Selamat tidur, Boboiboy."
"Mm-hmmm."
Dengkuran halus dari si pasien sesaat kemudian membuat Toyama terperangah. "Astaga, jadi dia bangun cuma untuk makan?!"
"Dia anak yang manis," komentar Miki yang merapikan selimut Boboiboy sambil tersenyum kecil.
"Berarti, yang barusan itu ... Ice?" Ijyuuin mengecek daftarnya sendiri.
"Benar," sahut Amato. "Tapi, yang semalam ...?"
"Sebaiknya memang ada yang tinggal untuk menjaganya, Miki-san," usul Fujiyoshi. Miki mengangguk.
"Mari, Amato-san. Kita perlu diskusi panjang," ajak Asada, yang mengerling ke arah sang dokter anestesi, Arase.
Lima menit kemudian, lima orang dokter dan satu orang tamu mereka duduk berhadapan di ruang kantor. Bukan Asada yang pertama membuka pembicaraan, melainkan malah sang tamu.
"Pertama-tama, aku mau bertanya lagi tentang hari Selasa malam. Apa Sensei yakin Boboiboy bicara dengan kata ganti 'ware' malam itu?"
Semua menoleh pada Ijyuuin yang berdialog dengan Boboiboy di hari Selasa malam, sebelum insiden di kamar jenazah itu.
Ijyuuin segera menyahut, "Aku cukup yakin."
"Dan dia sedang pakai body lotion?" desak Amato.
"Iya, benar. Wanginya ada bermacam-macam."
"Jadi, mestinya benar Solar, ya?" Amato mengurut dahinya lalu menghela napas panjang. Dipandanginya kelima dokter itu satu per satu. Toyama, Ijyuuin, Asada, Arase, dan Fujiyoshi, dengan sang pemimpin tim bedah itu, Asada, duduk di tengah. Ada helaan napas satu kali lagi sebelum Amato meneruskan, "Kenyataannya adalah … aku memasang obat bius di dalam jam tangan Boboiboy. Biusnya akan ditembakkan kalau sistemnya mendeteksi karakter pembuat masalah."
Kalau dalam dialog sebelumnya, amarah Toyama membuatnya sampai menggebrak meja, kali ini Arase si ahli anestesi sampai melompat ke atas meja dan meraih kerah baju Amato, bicara kepadanya dari jarak yang sangat dekat.
"AMATO-SAN! ANDA INI AYAH MACAM APAAAAA?!"
Mata Amato terbelalak, mulutnya terbuka tapi tak bicara apa pun, dibalasnya tatapan marah Arase dalam diam.
"Obat bius apa yang kau berikan kepadanya?!" Napas sang dokter bius memburu.
"T-thiopental ...," jawab Amato terbata-bata. "Kerjanya cepat—"
"Thiopental? GILA! Demi Tuhan …!" Arase masih mencengkeram kerah baju lawan bicaranya, melupakan segala formalitas. "Efek toleransinya besar, tahu! Kau mau anakmu ketergantungan obat? TERUS, KALAU SAAT OPERASI NANTI DIA DIBIUS LALU NGGAK BISA BANGUN LAGI GIMANA, HAH?"
Amato menggeram kecil dan memejamkan mata, tampak putus asa dan kacau. Dicengkeramnya tangan gendut Arase lalu didorongnya sang dokter untuk mundur. Sementara Arase berusaha mengatur napas, wajah merahnya masih diselubungi amarah, Amato mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Kalau memang itu yang terbaik, Sensei ... dia nggak perlu bangun lagi …."
Arase menyembur lagi dengan kasar, "Gila, gila, gila! Kau mau mengeutanasia anak sendiri?!"
Asada, dibantu Ijyuuin dan Fujiyoshi, berusaha menarik Arase mundur. Dokter gempal itu akhirnya terempas ke belakang, lalu merengut di kursinya. Karena Amato masih diam, Asada segera bicara,
"Boboiboy memang belum dapat donor jantung, tapi bukan berarti dia nggak punya harapan lagi, Amato-san ... kami masih ada opsi lain semisal jantungnya mengalami perburukan dalam waktu dekat."
Amato menggigit bibir dan menatap sang dokter bedah, gelisah parah. "Soal obat bius, aku ... aku terpaksa."
"Kenapa begitu?" Asada lanjut bertanya, lugas tanpa nada menuduh.
"... istriku terbunuh olehnya, tapi mana bisa aku membenci anakku sendiri? Yang bersalah hanya satu dari mereka ... satu dari tujuh, entah yang mana, yang barangkali juga nggak tahu apa yang dia perbuat. Boboiboy bisa begitu manis di satu waktu, lalu di waktu lainnya dia sangat liar, sampai aku pun tak bisa mengenali anakku sendiri. Kalau seperti itu terus, suatu saat dia bisa saja membuat dirinya sendiri terbunuh."
Penuturan Amato membuat semuanya tertegun.
"B-boboiboy ... membunuh ...?" gumam Ijyuuin tak percaya.
"Ibunya sendiri? Bagaimana mungkin?!" Toyama juga bereaksi serupa.
"Hanya ada Boboiboy dan Alya di rumah hari itu. Rumah terkunci. Kami nggak pernah menerima tamu. Kaizo pulang ke rumah lebih dulu dariku dan saat itu Alya ditemukannya sudah lemas di dapur, sementara Boboiboy tidur di kamar."
"Kaizo? Adikmu?" seloroh Asada sambil mengingat-ingat.
"Ya. Waktu itu dia memang masih kuliah di Malaysia. Kaizo segera menelepon ambulans dan juga menghubungiku ... ta-tapi, tubuh istriku bahkan sudah mendingin saat diangkut ke ambulans."
Amato menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu terisak-isak.
"Bukannya justru adiknya itu yang patut dicurigai?" tuduh Arase, bisik-bisik pada Asada dan Fujiyoshi.
"Apa penyebabnya meninggal?" gumam Ijyuuin, tapi seperti bicara sendiri. Tak ada yang mengusik Amato selagi pria itu larut kembali dalam kesedihan yang mungkin sudah coba dilupakannya selama ini.
Rasanya masalah ini semakin campur aduk. Para dokter memang sudah melihat sendiri beberapa contoh kepribadian Boboiboy yang cukup destruktif dan berani melakukan kekerasan. Tapi, siapa yang mengira hal itu bahkan sampai ke tingkat membunuh orang? Terlebih, ibunya sendiri?
"Aku tetap nggak percaya Boboiboy melakukan itu," ucap Ijyuuin sekali lagi. "Dia masih anak-anak."
"Amato-san tadi bilang istrinya terbunuh. Mungkin Boboiboy berbuat sesuatu yang ternyata—secara nggak sengaja—mengakibatkan ibunya meninggal," balas Asada sambil mengamati tamu mereka, yang tampaknya sudah cukup mampu menenangkan diri. Amato mengusap wajahnya dengan kasar.
"Tapi, Asada ...," ujar Toyama. "Semalam itu, Boboiboy benar-benar mencekikmu sepenuh tenaga, lho. Dia bahkan berseru padamu untuk mati."
Asada terdiam. Memang benar. Hawa membunuh yang dirasakannya semalam memang sangat nyata. Sorot mata itu, kekuatan luar biasa di tangan kecilnya itu ...
"Boboiboy—melakukan ... apa?" Amato cegukan satu kali sambil mendongakkan kepalanya ke arah Asada, padahal tadi Asada sudah sempat bilang tentang itu. "Mencekikmu?"
"Benar, Amato-san," jawab Asada sambil meraba lehernya sendiri. "Lalu, sebelum kami bisa berbuat apa pun, dia tiba-tiba tidur."
"Mestinya itu saat obat bius di jamnya ditembakkan?" komentar Arase dengan nada sengit. "Jadi, apa sistemnya tahu siapa yang muncul semalam?"
Amato menggeleng pelan-pelan. "Aku hanya bisa menebak dari pantauan sistem. Tekanan darahnya nggak terlalu naik, tapi denyut jantung dan napasnya cepat sekali. Kalau Taufan yang muncul, biasanya dia selalu aktif bergerak sehingga bahkan tekanan darahnya ikut naik drastis."
"Taufan sudah muncul kemarin sore. Dia membuat kekacauan di IGD," sambung Arase, masih dengan nada yang sama. "Sehabis makan lalu salat, dia nggak mau pakai jam tangannya lagi dan kabur dari kamar."
Amato termenung. "Pantas saja pantauannya kemarin sore sempat hilang lagi." Kemudian dia melotot. "Kalau begitu, yang semalam bukan Taufan ...?"
"Kalau berdasarkan teorimu, jelas bukan," balas Arase, setengah mengecam.
"Apa dia pakai topi?" tanya Amato.
Toyama dan Asada bertukar pandang.
"Pakai, lidahnya hadap ke depan," sahut Asada.
"Halilintar ...?" Amato bergumam-gumam. "Tapi, bagaimana bisa? Biasanya Halilintar nggak seaktif itu ..."
"Daripada aktif, aku lebih suka menyebutnya bagaikan assassin dalam misi balas dendam," komentar Toyama datar.
"Jadi, jam itu bukannya menembakkan bius untuk karakter tertentu, tapi karena hasil pemantauan tanda vital tertentu?" tebak Arase, masih merengut. "Siapa pun yang keluar, kalau kelakuannya brutal, bakal dibius, begitu?"
"Dosis sebesar itu biasanya hanya untuk Taufan ...," balas Amato, mengusap wajahnya sekali lagi. "Berarti, Halilintar juga harus diwaspadai mulai sekarang."
"Bagaimana ceritanya bius itu dipasang, Amato-san?" Asada bertanya lagi.
"Dulu, Boboiboy pernah jatuh dari jendela sampai patah tulang. Yang bertingkah hiperaktif begini, antara Taufan atau Blaze. Tapi, setelah kuamati dari caranya menyebut diri dan memakai topi, Taufan punya kecenderungan menyakiti diri sendiri, sedangkan Blaze sepertinya hanya ingin main-main. Taufan adalah yang paling sering kena bius, makanya dosisnya saat ini adalah yang terbesar."
"Jadi, kau sendiri sudah tahu bahwa lama-lama dosisnya harus dinaikkan, bukan?!" semprot Arase sekali lagi. "Parah, parah ..."
"Sebentar, Arase," sela Asada, mendapati ada hal krusial yang belum disampaikan Amato. "Maaf bertanya begini, Amato-san ... apa penyebab istrimu meninggal?"
Amato menarik napas dalam-dalam. "Ditemukan sianida dalam obat nasal spray miliknya. Alya memang punya alergi hay fever."
"Sianida?!" Para dokter kompak terkejut.
"Masa Boboiboy bisa melakukan itu?" ulang Ijyuuin, bersikukuh pada pendapatnya. "Pasti orang luar yang melakukannya."
"Ada banyak bahan kimia di rumah kami, karena Alya berjualan obat-obatan. Tapi ..." Amato menggantung kalimatnya sendiri.
"Kalau adikmu? Dia dulu tinggal bersamamu juga?" Arase berseru curiga.
"Ya. Kaizo memang tinggal bersama kami bertiga. Karena dia nggak akan menikah, dia membantu kami merawat Boboiboy ... bahkan sampai beberapa bulan setelah istriku meninggal."
"Di mana dia sekarang?" desak Arase lebih lanjut.
"Kuliah S2 di Amerika," jawab Amato. "Aku sudah terlalu banyak merepotkannya. Datang ke sini adalah pilihan terakhirku."
Setelahnya, ada jeda sejenak.
"Semua ini absurd," komentar Toyama. Tak ada yang menanggapinya.
"Amato-san," ujar Asada, "di hari pertama Anda menemui kami, Anda menyatakan setuju untuk menyampaikan dengan jujur segala hal tentang riwayat pasien—yaitu Boboiboy. Anda sudah melanggar poin ini."
Amato menunduk lesu, tahu bahwa pada akhirnya akan seperti ini lagi. "Aku takut kalian akan serta-merta menolak Boboiboy kalau tahu semuanya di awal."
"Kami memang punya hak untuk menolak pasien, apalagi yang keluarganya tidak mau jujur soal riwayatnya, sekalipun dia sudah membayar mahal," balas Asada, lalu mencondongkan badannya ke depan. "Tapi itu bertentangan dengan apa yang kupercayai."
Nada bicara Asada yang tetap tenang itu membuat Amato mengangkat kepalanya lagi.
"Nyawa semua orang itu berharga," lanjut Asada, "dan hubungan antara dokter dan pasiennya bukanlah bisnis. Harus ada rasa saling percaya di antara kita."
Mata cokelat Amato berkaca-kaca. "K-kalian nggak menolak Boboiboy?"
"Asada-sensei ...?" gumam Ijyuuin, menatap seniornya itu dengan kagum.
"Huh. Kurang jelas apa, coba?" bentak Arase yang masih belum ramah. "Kami nggak menolak kalau kau mau jujur!"
"Ada lagi yang belum disampaikan, Amato-san?" senyum Asada masih ada di sana. "Kalau sudah semua, kuminta Anda melepaskan apa pun itu obat bius dari jam tangan Boboiboy."
Amato masih diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Ada satu lagi yang menggangguku ... di hari Selasa malam, kalau yang muncul memang Solar, kenapa biusnya juga keluar? Apa dia berbuat sesuatu yang aneh?"
Ijyuuin berpikir-pikir. "Dia bilang, sehabis pakai body lotion, dia mau baca buku. Aku nggak tahu dia benar-benar baca buku atau nggak."
"Waktu itu, kamu janjiin mau lihat bintang, 'kan, Ijyuuin?" tanya Toyama.
"Iya, Toyama-sensei. Lalu waktu kita cari, dia nggak ada ... ternyata di kamar jenazah ..."
"Dan ... di kamar jenazah itu, yang terdeteksi adalah Blaze, biusnya sempat keluar dalam dosis sedang," sahut Amato perlahan-lahan.
"Hah?" Ijyuuin melongo. "Jadi, malam itu Boboiboy mendapat Thiopental dan Midazolam sekaligus?!"
"Pantas saja dia nggak bangun-bangun sampai siang," komentar Arase tajam.
"Bius yang keluar di hari Selasa malam, dosis sedang atau dosis besar?" selidik Fujiyoshi. "Yang saat ... Solar ... muncul?"
"Juga dosis sedang. Blaze pernah berusaha melepas jam tangannya dengan paksa di luar waktu salat ...," seloroh Amato, lalu tertegun sendiri. "Barangkali ..."
Saat itu, telepon ruangan berdering. Fujiyoshi yang terdekat, segera berdiri dan menjawabnya. Sejurus kemudian, dokter konsultan itu bicara,
"Miki-san bilang, Boboiboy sudah bangun."
Semuanya melempar pandang ke arah jendela. Di luar ruangan, rupanya hari telah terang.
"Amato-san, Anda bisa ke kamar 133 sekarang. Boboiboy sudah dipindahkan kembali ke sana," sambung Fujiyoshi sambil kembali duduk.
Amato buru-buru bangkit lalu membungkuk sedikit. "Baiklah, terima kasih." Dia memandangi sejenak para dokter yang tidak beranjak.
Asada menanggapinya, "Kami masih akan berdiskusi sebentar. Masih ada Miki di kamar itu, kalau perlu apa-apa bilang saja padanya."
Amato membungkuk sekali lagi tanpa bicara, lalu keluar dari kantor itu.
"Gila, gila, gila, gila, gila ...," racau Arase sambil menjambaki rambut pirangnya begitu Amato sudah di luar jangkauan pendengaran.
Toyama geleng-geleng kepala. "Aku, kok, jadi meragukan seluruh ceritanya kalau kayak gini? Kayak karangan!"
"Yang jelas, penyakit jantungnya Boboiboy bukan karangan," balas Asada dengan paras berpikir.
"Kasihan sekali mereka ... Boboiboy, ayahnya juga ...," gumam Ijyuuin yang masih mencoba bersimpati.
"Memang ganjil sekali kedengarannya, ya?" ujar Fujiyoshi yang tampak kesulitan untuk berpihak. "Tapi, Asada benar. Boboiboy perlu transplantasi jantung dalam waktu dekat, satu hal itu sudah jelas."
"Mendengar penjelasan Arase tadi, aku nggak bisa membayangkan bagaimana membiusnya saat operasi nanti," komentar Toyama. "Benar juga. Kalau saat dia dibius dia adalah Taufan, dosisnya pasti lebih besar dari yang lain. Kalau begitu, dosis itu bakal jadi terlalu besar bagi yang akan bangun berikutnya."
"Dan Boboiboy nggak akan pernah bangun selamanya, kalau itu yang terjadi," dengus Arase. "Kukira ayahnya itu cerdas. Gila, gila, gila ..."
"Yah, orang bilang, pintar dan gila itu beda tipis, Arase-sensei ...," seloroh Ijyuuin.
"Tadi lupa kutanyakan. Sudah berapa tahun, coba, Boboiboy bolak-balik dibius seperti itu?! Ya, Tuhan. Ayah macam apa si Amato itu ... aku nggak habis pikir!" Arase terus saja mengomel.
"Kukira satu hal sudah jelas," Asada menengahi. "Boboiboy adalah pasien kita. Dia harus segera mendapat transplantasi jantung. Mau ada hal-hal lain di luar itu, entah roh jahat, gangguan jiwa, atau apa pun, kita tetap harus memperlakukannya selayaknya pasien lainnya."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Boboiboy!"
Amato membuka pintu kamar 133 dan langsung mendapati anaknya sedang dibantu berpakaian oleh si perawat. Seluruh kabel yang tadinya menempel di dadanya sudah dilepas.
"Ayah?"
Satohara Miki bergeser, memberi tempat bagi Amato untuk mendekati putranya. Amato segera memeluk Boboiboy erat-erat, tapi sang anak malah mendorongnya dan beranjak ke tepi ranjang.
"Eh?" gumam Amato terkejut.
"Ware, kiji uchi ni iku noda—Aku mau pergi nembak burung pegar*."
Amato sempat kebingungan, tapi lalu dia paham setelah Boboiboy buru-buru masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu.
"Dia mau buang air," seloroh Miki, setengah terkikik geli. "Kebanyakan makan waktu sarapan tadi."
"Dia bilang 'ware', ya, barusan?" Amato tampak lega.
"Ya," sahut si perawat sambil tersenyum. "Sepertinya yang satu ini cukup kalem dan kooperatif."
Saat itu, Asada Ryutaro masuk ke kamar 133 dan mendapati ranjangnya kosong sementara Amato duduk di kursi di sampingnya. "Boboiboy di mana?"
"Kamar mandi," sahut Miki sambil menunjuk.
"Dia sudah bicara sesuatu? Siapa yang muncul?" tanya sang dokter bedah.
"Solar." Baik Amato maupun Miki menjawabnya.
"Solar, ya? Apa menurut Amato-san, dia bisa diajak kerja sama?"
Amato mengerjap. "Maksudnya ...?"
"Aku tadi sudah bilang, kami nggak akan menolak Boboiboy sebagai pasien kami. Tapi, banyak hal yang harus diantisipasi. Selain dari Amato-san, kami perlu kerja sama dari Boboiboy sendiri ... kalau bisa, kepribadian yang cukup ingat tentang riwayatnya sendiri, dan nggak mengacau waktu muncul."
Amato memertimbangkan penuturan sang dokter. "Solar cukup bisa diajak kerja sama. Tapi, aku masih penasaran soal bius di hari Selasa itu ..."
"Bius ...?" seloroh Miki, terkejut.
"Nanti kujelaskan, Miki. Selain Solar, siapa lagi, Amato-san? Akan sulit kalau kita hanya bergantung pada satu dari tujuh kemungkinan."
"Gempa tentu saja mau membantu. Sayangnya, dia biasanya hanya ingat sedikit tentang yang dilakukan yang lain."
"Ice dan Duri? Mereka sepertinya nggak berbuat onar," usul Miki.
Amato menggeleng. "Ice terlalu malas melakukan apa pun dan hanya mau makan lalu tidur lagi. Duri juga hanya peduli main-main dengan tanaman. Tiga lainnya ... nggak usah dijelaskan."
Asada mengangguk maklum. "Jadi, dua dari tujuh? Solar dan Gempa? Karena saat ini Solar yang muncul, kita nggak boleh buang waktu."
"Ya, benar." Amato sekali lagi mengusap wajahnya. Sudah berapa kali hal itu dilakukannya pagi ini?
"Arase dan Ijyuuin yang berdinas pagi ini. Sebentar lagi mereka ke sini. Miki, ayo ke kantor sebentar."
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Meski aku bilang Boboiboy tetap pasien kita, masih ada beberapa hal yang harus kita waspadai."
Empat dokter lainnya masih menatap Asada lekat-lekat.
"Menurut cerita, istri Amato meninggal karena ada racun dalam obat semprot hidungnya. Siapa pun yang melakukannya, orang itu cukup paham soal obat-obatan dan punya sifat licik yang mumpuni."
"Setuju," dukung Toyama.
"Thiopental itu termasuk obat yang dibatasi peredarannya di Malaysia. Kalaupun istri Amato dulu pengusaha toko obat, harusnya mereka nggak mudah mendapatkan obat bius yang satu itu."
"Kecuali, ada relasi dengan pedagang gelap," komentar Arase, belajar dari pengalaman.
Asada mengangguk. "Dan terakhir ... serangan Boboiboy yang semalam. Dia merasa ditipu ... bahkan sempat bilang 'aku benci kalian' ketika melihat Toyama membawa jarum suntik. Mungkin dulu Boboiboy punya pengalaman nggak menyenangkan terkait itu. Yah, di hari pertama di sini, dia memang bilang nggak suka disuntik."
"Aku nggak mau membayangkan apa-apa, aku ngantuk banget," seloroh Toyama, menguap dengan mata berair lalu berdiri dengan agak terhuyung. "Tapi, kalau aku jadi kalian, Arase ... Ijyuuin ... kalian yang dinas pagi ini ... aku akan mengawasi ayahnya mulai sekarang."
"Kurasa memang masih ada hal yang disembunyikannya," imbuh Fujiyoshi. "Ayo, Toyama. Kau benar-benar perlu istirahat."
.
.
.
.
.
"Hmm? Sensei berdua, kok, duduk-duduk di sini? Memangnya IGD sepi, ya?" Boboiboy, yang sudah selesai dengan urusannya di kamar mandi, kembali duduk di ranjangnya.
Ijyuuin membetulkan kacamatanya sambil tersenyum. "Kami mau ngobrol sebentar denganmu dan ayahmu, nih."
"Hmm?" Boboiboy mengangkat alis, memandangi si dokter imut-imut dan dokter satunya yang berambut pirang dan berwajah merengut.
"Amato-san, mungkin dirimu duluan?" undang Ijyuuin, menatap pria yang duduk di sisi ranjang itu.
"Ya, baiklah." Amato menghela napas panjang. Boboiboy kini menatapnya penuh perhatian.
"Ayah mau bilang sesuatu?"
"Iya, Boboiboy." Sang ayah mengusap-usap rambut dwiwarna anaknya. "Ayah mau minta maaf."
"Minta maaf?" Boboiboy menelengkan kepala tak paham, tapi dia menunggu ayahnya melanjutkan.
"Selama ini, Ayah memasang obat bius di jam tanganmu."
Begitu kalimat itu terlontar, suasana jadi tegang. Boboiboy tidak bersuara. Amato deg-degan, Ijyuuin juga sama. Arase masih bertahan dengan raut merengut. Kira-kira bakal seperti apa reaksi anak itu?
"Oh, begitu rupanya." Boboiboy menaruh tangannya di dagu, suaranya terdengar tenang.
"Eeh?" Lebih dari satu suara terheran-heran mendengarnya.
"Pantas saja kemarin itu aku ketiduran sehabis nyolong scalpel-nya Toyama-sensei."
"EEEEEH?" Ijyuuin tersentak.
"Boboiboy ingat kamu ambil scalpel-nya Toyama?" Arase mulai bertanya.
Yang ditanya mengangguk.
"Buat apa kamu ambil?" Mata sipit Arase melotot.
"Aku pengen lihat jantung beneran di kamar jenazah."
Amato terbelalak. "Boboiboy, Ayah tahu rasa ingin tahumu itu tinggi, tapi ..."
"Ayah, kalau aku, aku pasti bisa menjaga barang itu dengan aman. Sayangnya, aku ketiduran ... dan yang bangun setelah aku ... ya, bukan aku yang ini lagi. Bahaya banget, sih, kalau yang pegang scalpel adalah orang selain aku."
Sungguh kepercayaan diri dan narsisme yang sangat tinggi, Arase sampai menghitung ada berapa kali anak itu menyebutkan aku dengan kata ganti yang sama.
Ijyuuin masih terkaget-kaget. "Lalu, kenapa kamu bisa sampai ketiduran?"
"Tiba-tiba aja, sehabis dapat scalpel, rasanya ngantuk berat. Mungkin biusnya keluar waktu itu."
"Apa kamu sempat coba lepas jam tanganmu?" Amato menduga-duga.
"Oh!" Mata Boboiboy melebar. "Iya, Ayah ... waktu pakai krim di tangan ... jamnya kugeser sedikit, biar nggak belang ..."
Semuanya jelas sekarang, alasan mengapa bius itu bisa keluar meski yang muncul bukan pribadi troublemakers. Tanpa sadar, Amato mendesah lega sekali lagi. Kepribadian Solar tak lagi menjadi misteri.
Arase melanjutkan penyelidikannya. "Boboiboy, kamu tadi sempat bilang, ada 'kamu yang ini' dan ada 'yang bangun setelah kamu' ... apa maksudnya?"
Boboiboy mengangguk. "Sejauh ini kami ada tujuh: Gempa si penurut dan anak kesayangan Ayah, Halilintar si paranoid dan memusuhi semua orang, Taufan si ribut dan hiperaktif, Blaze si otak kacau dan pengacau, Ice si tukang tidur dan pemamah biak, Duri si manja dan herbologis gadungan, lalu ada aku ... Solar si pintar dan bersinar."
Ijyuuin berseloroh, "Si pintar dan bersinar ..."
"Itulah Solar!" Boboiboy tersenyum sambil membusungkan dada.
"Kalau Boboiboy—Solar—pintar, pasti karena suka belajar, ya?" lontar Arase.
"Tentu saja! Aku paling suka belajar astronomi!"
Arase meneruskan, "Kamu pengen jadi ahli astronomi?"
"Ya, ya!" Anggukannya amat bersemangat.
"Sejak kapan kamu suka bintang-bintang?" Ijyuuin ganti bertanya.
"Sejak kecil!"
"Kamu sering lihat bintang sama Ayah?"
"Iya, sama Ibu dan Paman juga!"
Ijyuuin menatap Amato, yang mengangguk kecil. "Kalian selalu lihat bintang berempat?"
"Di kamarku dulu, bagian atapnya dari kaca. Jadi, sambil tiduran bisa lihat langit."
"Kayaknya menyenangkan, ya," ujar Ijyuuin sambil tersenyum.
"Tentu aja! Apalagi Ibu sering nyanyiin lagu buatku, biar aku bisa tidur nyenyak ... tapi, Ibu sudah tiada."
Ekspresi Boboiboy memurung setelah mengucapkan itu. Amato membelai kepalanya, sedangkan Ijyuuin mengelus tangannya.
"Boboiboy sering susah tidur nyenyak?" Ijyuuin bertanya lagi.
"Iya, Nii-chan."
"Nii-chan?!" Baik Amato maupun Arase terkejut. Ijyuuin hanya terkekeh.
"Boboiboy suka memanggilku begitu. Lebih tepatnya, baru Solar saja, sih, yang manggil seperti itu. Karena, Boboiboy anak tunggal, ya? Jadi, nggak tahu rasanya punya kakak?"
"Betul, Nii-chan. Dulu, di rumah ada Paman Kaizo yang jauh lebih muda dari Ayah, tapi dia sedang sekolah di luar negeri."
"Waaah, jadi pamanmu juga suka belajar, ya?" Ijyuuin mendekatkan kursinya ke arah si pasien.
"Di ... Amerika?" Arase meminta konfirmasi pada sang ayah, yang dijawab anggukan oleh Amato. Arase menyipitkan mata. "Amerika itu malah lebih maju dalam hal transplantasi jantung, lho. Kenapa nggak ke sana saja?"
Amato menjawab tergesa, "Ada banyak pertimbangan. Dan, seperti sudah kubilang tadi, kami sudah terlalu banyak merepotkan adikku."
Arase semakin curiga, tapi dia merendahkan suaranya, "Hubunganmu dengan adikmu nggak terlalu baik, kayaknya?"
Boboiboy rupanya masih mendengar percakapan mereka meski diajak bicara oleh Ijyuuin. "Paman Kaizo memang sering beda pendapat sama Ayah. Kadang Paman betul, kadang Ayah yang betul."
"Beda pendapat soal apa?" tanya Ijyuuin, yang mengernyit karena usahanya mendistraksi si pasien gagal.
"Hmm, ada banyak, sih ...," gumam Boboiboy, menatap pada ayahnya.
"... salah satunya, Kaizo pernah berpendapat, Boboiboy harus masuk sekolah formal. Aku nggak setuju. Dan aku yang benar saat itu."
Boboiboy menepuk dahinya perlahan. "Parah, seandainya aku yang muncul waktu itu, mungkin saja para guru nggak bakalan seheboh itu, Ayah."
"Apa yang terjadi? Di sekolah?" Ijyuuin sudah banyak terkejut hari ini, rasanya dia tak mungkin lebih terkejut lagi.
"Ada teman sekelasku yang orang India, namanya Gopal. Kulitnya cokelat dan badannya gemuk. Ice adalah yang muncul waktu itu, dan dia mengira jari-jari tangan Gopal itu sosis bakar ... yah, kalian tahu kelanjutannya."
Wajah Ijyuuin memucat. Ekspresi Arase campur aduk antara geli, jijik, dan kaget. Amato menghela napas lelah.
"Ka-kamu ingat banget hal-hal di masa lalu, ya, Boboiboy—eh, Solar?" Ijyuuin akhirnya bersuara lagi.
"Iya, dong! Tapi, meski Ayah dan Paman sering beda pendapat, Paman juga sangat baik padaku. Dia dan Ayah selalu membelikanku buku baru bergantian."
Amato tersenyum sendu saat Boboiboy mengucapkannya.
"Oh, ya. Kamu suka baca buku, ya!" ujar Ijyuuin, kembali antusias.
"Tentu, dong. Tapi, akhir-akhir ini, aku lebih banyak mengunduh buku digital di laptop. Sayangnya, yang bisa pakai laptop hanya aku saja. Bahaya kalau laptopnya rusak."
"Oh, kalau Gempa dan yang lain, gimana?" tanya Ijyuuin.
"Gempa itu pelupanya parah banget. Laptop dan kopernya kuberi password. Aku nggak mau ambil risiko menuliskannya di suatu tempat. Kalau yang baca password selain Gempa, aku nggak tahu bakal berakhir kayak apa laptopnya."
"Pernah terpikir menulis diary?" usul Arase. "Banyak kasus kepribadian ganda yang berhasil dengan itu."
"Oh, Gempa pernah mencoba menulisnya. Tapi, buku diary-nya disobek-sobek Blaze atau Taufan buat dilipat jadi pesawat kertas, atau dipakai Duri bikin origami bunga. Nggak pernah sampai dimakan si Ice, sih. Aku ingat semua hal yang terjadi pada diaries itu, tapi, karena si Gempa pelupa kronis, dia nggak ingat. Dia mengira hanya lupa menyimpan di mana, jadi dia menulis lagi. Dan lagi. Kalau misalnya coba kusimpan di tempat aman, dia juga nggak akan bisa menemukannya. Ya ampun, gimana juga caranya aku bisa bilang padanya kalau itu semua sia-sia? Habis-habisin buku dan tinta pulpen, juga."
"Tunggu. Ayah baru tahu kamu nulis diary ...," seloroh Amato.
"Bukan aku, Ayah. Gempa yang bikin," koreksi Boboiboy (Solar).
"Y-ya, maksud Ayah begitu. Jadi, sampai sekarang Gempa masih nulis diary?"
"Sejak di RS ini, Gempa belum nulis lagi. Tapi, aku selalu simpan semua sobekan diary yang bisa diselamatkan, kok. Ayah mau lihat beberapa? Semua ada di koper."
Amato tampak antusias. "Mau. Ayah buka kopermu, ya."
Ijyuuin bertukar pandang dengan Arase, dan yang lebih muda akhirnya mengikuti Amato membongkar koper si pasien. Arase melanjutkan dialognya dengan Boboiboy,
"Boboiboy, karena kamu sudah tahu tentang obat bius di jam tanganmu, dan karena kamu anak pintar, kamu mestinya bisa menebak apa yang perlu kubicarakan."
"Sensei ... Arase Monji, dokter ahli anestesi, 'kan?"
"Betul. Sedangkan, yang bertemu denganku kemarin ..."
"... Taufan. Kacau."
"Ya. Karena kamu yang ini nggak pengacau dan juga pintar ..." Arase memainkan umpannya dengan lihai, tahu betul bahwa kepribadian yang satu ini sangat suka disanjung-sanjung, "... kamu tahu apa yang kumaksud?"
"Kira-kira aku bisa menebak, Sensei. Dosis obat biusnya untuk operasi akan jadi bermasalah?"
"Tepat sekali. Kamu memang pintar, ya."
Hidung Boboiboy kembang-kempis dengan rasa bangga. "Jangan sampai Taufan atau Blaze yang muncul sebelum operasi, atau dosisnya bakal terlalu besar?"
"Ada satu lagi. Semalam, Halilintar muncul, sempat mengacau, lalu terkena bius ..."
"Oh?" Boboiboy begitu tertegun sampai terdiam beberapa detik. "Semalam? Kok, a-aku ... aku nggak ingat ...?"
"Kalau tadi pagi, kamu ingat sarapan bubur empat porsi?" Arase juga heran, tapi terus bertanya. Ada hal baru lagi! Ingatan Solar rupanya juga memiliki kelemahan.
"Aku ingat, dan tadi waktu bangun, 'kan, perutku mulas banget. Tapi, semalam ...?"
"Waktu minta sarapan tadi, kamu sedang di PICU dengan alat EKG merekam jantungmu."
"Iya, itu juga aku ingat."
"Kenapa kamu bisa dirawat di PICU? Ingat alasannya?"
Boboiboy mengerutkan dahi dalam-dalam, tampaknya tidak bisa segera menjawab. "Yang kuingat terakhir adalah Sensei bilang, 'Selamat tidur' pada diriku yang lain."
"Itu sore, setelah Taufan membuat kekacauan, lalu kakimu kupijat."
"Lalu, tadi pagi aku yang lain lagi itu terlalu malas untuk bertanya, meski tahu ruangannya berbeda."
"Ice, ya?"
Boboiboy mengangguk, tampak masih berpikir-pikir.
"Banyak sekali kertasnya," seloroh Ijyuuin, mengusik dialog itu, sementara Amato mengamati berberkas kertas di tangannya. "Kamu sudah menulis tiga tahun belakangan, Boboiboy?"
"Gempa yang menulisnya," koreksi si pasien sekali lagi. Dia tampaknya tak suka dijuluki sebagai yang punya kebiasaan menulis diary. "Iya, kayaknya sudah tiga tahunan. Hei, Sensei. Arase-sensei."
"Hmm? Apa?"
"Kemarin itu, Sensei memijatku supaya tidur, 'kan?"
"Iya."
"Apa itu cara kerjanya sama dengan obat bius?"
Arase tak segera menanggapi, memertimbangkan jawaban yang tepat. "Obat bius dan reflexology agak berbeda cara kerjanya. Kamu anak pintar, 'kan? Kuharap, penjelasanku setelah ini akan bisa kamu pahami."
"Oh, tentu saja." Boboiboy agak mengangkat dagunya, tak sudi dicap tidak paham padahal Arase memang hanya menggertak dari tadi.
"Di antara kesadaran dan ketidaksadaran, bisa dibilang ada tiga fase. Fase analgesia, fase disosiatif, dan fase anestesia. Analgesia, fase pertama, artinya hilangnya rasa sakit, tapi kesadaran masih ada. Anestesia adalah hilangnya rasa sakit plus kesadaran, dan di fase ini barulah operasi bisa dijalankan. Kalau kebanyakan obat bius bekerja dari fase analgesia langsung ke anestesia, segelintir obat lain dan pijat refleksi bisa punya fase yang di tengah, fase disosiatif."
"Apa maksudnya disosiatif itu?"
"Karena ini fase tengah, artinya sungguh di tengah-tengah," ujar Arase. "Disosiatif sendiri artinya 'terpisah dari kenyataan'. Rasa sakit sudah hilang, tapi kesadaran ... nggak selalu sepenuhnya hilang. Kesadaran ... seperti sedang melayang. Setengah sadar, mungkin bisa disebut demikian."
"Alam bawah sadar?" Boboiboy tampak masih belum paham tapi tak mau mengakuinya.
"Bisa juga dibilang begitu. Tapi, bawah sadar artinya kamu betul-betul nggak sadar. Ini agak berbeda. Ahli hipnoterapi sering memanfaatkan fase ini."
"Hipnoterapi? Berarti, orang-orang jahat yang menggunakan hipnotis, konsepnya juga sama?"
"Wah, nggak sama persis juga. Kalau hipnotis untuk kejahatan, beda lagi. Mereka mempermainkan fase gelombang otak."
Boboiboy mengacak rambutnya, tampak kesal pada hal baru yang belum diketahuinya. "Argh! Sudahlah. Begini, Sensei. Aku punya sebuah teori, aku mau tahu pendapatmu sebagai ahlinya ilmu kesadaran manusia."
"Teori apa? Tunggu sebentar. Kalau kuberi contoh, mungkin kamu akan lebih paham."
"Contoh?"
"Tentang fase disosiatif. Pernah, nggak, kamu sedang tidur lalu terbangun kaget karena ada serangga di badanmu? Kamu berusaha mengusirnya, berusaha teriak minta tolong, tapi kamu nggak bisa bergerak dan nggak keluar suara apa pun? Rasanya nyata sekaligus nggak nyata, lalu saat kamu benar-benar bangun, kamu merasa capek banget."
Boboiboy terdiam lagi untuk sesaat. "Seperti itu maksudnya fase disosiatif?"
"Kurang-lebih."
Si pasien mengangguk-angguk. "Oke, aku lebih paham sekarang. Nah, Sensei, dengarkan teoriku ..."
"Silakan, aku mendengarkan."
"Di dalam tubuh ini ...," Boboiboy menepuk dadanya sendiri, "selain kami bertujuh, ada satu lagi kepribadian yang sedang tertidur."
Ponsel Amato berdering nyaring saat itu.
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Jadi, malam ini yang bangun adalah Gempa?" ulang Asada setelah Fujiyoshi kembali ke kantor dokter.
"Kebetulan macam apa ini?" komentar Toyama, skeptis.
"Yah, pokoknya, Arase dan Ijyuuin sudah mengumpulkan banyak informasi dari Solar sepanjang siang tadi. Kita juga harus mencari tahu lewat Gempa," balas Fujiyoshi. "Dia sedang salat di kamarnya sekarang."
"Huh, di saat yang penting, selalu saja ayahnya menghilang," cibir Toyama sekali lagi.
"Amato-san sudah ikut serta pembicaraan mereka cukup lama. Kata Ijyuuin tadi, ada telepon yang mengabarkan kepentingan mendadak dan dia harus segera pergi."
"Untuk pekerjaannya programming itu?" dengus Toyama. "Kutebak, alasannya memilih Jepang daripada Amerika untuk berobat anaknya adalah karena masih ada kliennya di negara ini."
"Menurutku masih ada yang belum disampaikan Amato-san kepada kita," Asada juga berpendapat serupa. "Tapi, paling nggak, kita punya gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana harus menangani Boboiboy."
"Karena ini Gempa dan malam ini cerah, bagaimana kalau kita ajak dia ke rooftop? Dari kemarin dia dijanjikan untuk melihat bintang, tapi belum jadi juga," usul Fujiyoshi.
"Ide yang bagus."
Saat ketiga dokter itu berkunjung ke kamar 133 dan menyampaikan ajakan itu, si penghuni kamar yang sudah selesai dengan ibadahnya berbinar-binar di ranjangnya.
"Waaaaah! Ayo, Sensei! Sekarang saja! Aku ... aku pengen jadi ahli astronomi!"
Dengan digendong oleh Asada yang berbadan besar, Boboiboy diajak naik dua lantai menuju bagian atap rumah sakit yang datar. Fujiyoshi menyapu sedikit dedaunan yang berserakan dengan kakinya. Toyama memilih tempat yang cukup aman di bagian tengah, lalu duduk berselonjor dan mendongak. Boboiboy didudukkan di sebelahnya, sedangkan Asada di belakang mereka.
"Waaaaaaaaah ...!" Boboiboy, yang ikut mendongakkan kepala, begitu takjub pada taburan titik kelap-kelip nun jauh di bentangan langit yang gelap.
"Bagus, ya?" seloroh Fujiyoshi, yang duduk di sisi satunya sambil mengusap-usap bahu si pasien. Boboiboy mengangguk tanpa suara, pandangannya masih fokus ke atas.
Untuk beberapa menit, semuanya hanya diam, menikmati perhiasan langit yang begitu indah dan gratis untuk ditonton itu.
"Rasanya kayak jadi penumpang," seloroh Boboiboy sesaat kemudian. Ketiga dokter menoleh ke arahnya.
"Penumpang ...?" ulang Toyama. Pasalnya, Arase dan Ijyuuin membicarakan kata itu saat operan tadi.
.
.
.
.
.
"Selain kami bertujuh, ada satu lagi kepribadian yang sedang tertidur. Menurutku, dia adalah Boboiboy yang asli, dia sudah cukup lama tidur terus. Sejak kami-kami bertujuh ini keluar, dia nggak pernah keluar lagi."
Arase hanya menatap pasiennya tanpa berkedip.
"Waktu dipijat Arase-sensei kemarin, rasanya si original ini 'terbangun' sebentar. Selama ini, kami nggak pernah bisa berkomunikasi satu sama lain, tapi kemarin, aku seperti mendengar Taufan bicara dengan seseorang—satu kepribadian yang asli itu. Aku tahu dia bukan Gempa, meski cara bicaranya mirip."
"Apa yang mereka bahas?" Arase sudah menemukan kembali suaranya.
"Taufan kemarin habis melukai diri sendiri dan mengulang lagi keinginannya untuk mati, jadi Boboiboy memintanya untuk tetap bertahan. Tapi, kemudian Taufan menyebut nama Toyama-sensei ... dan dia bilang bahwa sebelumnya dokter yang satu itu sudah mengikatnya, mestinya saat Blaze muncul di kamar jenazah kemarinnya lagi. Boboiboy kayaknya percaya bahwa Toyama-sensei orang jahat ... lalu aku nggak bisa mengingat apa yang terjadi setelah itu."
Jadi itu alasannya Boboiboy beraksi seperti ingin balas dendam semalam? Karena dalam pikirannya, Toyama adalah orang jahat? Tapi, mungkin karena kondisi ruangan gelap, dia salah sasaran dan mencekik Asada?
"Tadi pagi, sebelum aku yang pintar ini bangun ... aku mendengarnya menangis lagi." Solar rupanya belum selesai berbagi cerita.
"Siapa yang menangis?" Arase mengernyit.
"Boboiboy yang asli. Dalam tangisannya, kudengar dia merasa seperti jadi penumpang di dalam tubuhnya sendiri ... dia nggak punya kendali penuh atas tubuhnya, bukan dia pengemudinya. Habis itu, aku terbangun dengan sakit perut."
.
.
.
.
.
"Melihat bintang-bintang sebanyak itu di langit seluas itu ... rasanya, kita ini kecil banget, ya. Rasanya, kita umat manusia ini cuma penumpang kerdil di dunia, di antara miliaran ciptaan Tuhan lainnya, menumpang hidup bersama-sama."
Kalimat Boboiboy barusan mengundang senyum haru bahkan di wajah Toyama yang biasanya berekspresi keras. Agaknya Gempa memang tidak ingat percakapan antara Solar dengan Arase tadi siang.
"Ya. Pencipta kita memang luar biasa," ujar Asada bijaksana.
"Aku ingat, Ayah pernah cerita, bahwa bintang jatuh adalah panah api untuk setan yang mencoba menguping pembicaraan penduduk langit. Perintah-perintah Tuhan kepada malaikat, sering diperbincangkan oleh penduduk langit. Jadi, setan-setan ini sumbernya para dukun di dunia untuk meramal, tapi dicampur kebohongan."
Fujiyoshi dan Toyama melongo mendengarnya. Asada tertawa kecil karena sudah pernah mendengarnya dari seorang kenalan Muslim sebelum ini.
"Jadi, kalau kebiasaan orang Jepang yang berdoa saat ada bintang jatuh, itu benar, nggak?" Boboiboy bertanya dengan lugu.
"Yaaa, itu, sih, percaya atau nggak percaya aja," seloroh Toyama. "Boboiboy pernah dengar istilah, ucapan adalah doa? Kalau kamu yakin, ucapkan saja berulang-ulang, maka akan terjadi."
"Ya, Sensei! Aku mau jadi ahli astronomi! Aku sudah bilang ini puluhan kali! Jadi, kalau aku besar nanti, pasti akan terjadi!"
Para dokter tersenyum sekali lagi, bahkan ada yang tambah terharu dan jadi memalingkan muka.
"Hmm ... Boboiboy, kamu ingat nggak, dulu pernah nulis diary?" Fujiyoshi bertanya, teringat salah satu operan Ijyuuin.
"Nikki? Diary?" Yang ditanya merenung sebentar. "Tashika kaita koto aru kamo na ... Ore, doko ni oita ndarou?—Kayaknya pernah nulis … tapi aku lupa. Dulu aku taruh di mana, ya?"
"Hmm, mungkin kamu simpan di koper?" usul Asada.
"Apa iya?" Boboiboy malah balik bertanya. "Coba nanti aku cari, deh. Kenapa tanya itu, Sensei?"
Fujiyoshi menyahut, "Yah, Sensei penasaran aja, seperti apa masa kecilnya Boboiboy. Siapa tahu, kamu pernah tulis di diary."
"Oh." Boboiboy terdiam. "Ayah banyak mengajariku tentang bintang. Ibu suka menyanyikan lagu pengantar tidur. Paman sering membelikanku buku. Kurasa masa kecilku sama saja seperti anak-anak lainnya ..." Namun, sesungguhnya tidaklah demikian. Mata Boboiboy tiba-tiba berkaca-kaca, entah untuk alasan apa. Dia tidak bisa bersekolah layaknya anak-anak lain, ayahnya bilang itu karena kondisi jantungnya yang lemah—tapi, rasanya ada alasan yang lebih dari itu, yang dia tak paham apa.
Tapi, yang jelas, rasa hangat yang pernah ada di hatinya itu memang masih ada. Boboiboy percaya ayahnya masih menyayanginya, meski kini ibunya sudah tiada dan pamannya juga sedang di negara lain. Atas dorongan yang tak diketahuinya, Boboiboy melanjutkan bicara,
"Ayah pernah bilang, keluarga kami dikutuk tujuh turunan."
Kalimat itu membuat ketiga dokter tersentak kaget. Rupanya Amato menceritakan hal itu juga pada Boboiboy?
"Karena, leluhur kami dulu memuja bintang Sirius."
"Sirius? Bintang paling terang di langit malam?" sahut Asada.
"Ya. Dalam kitab suci kami, bintang itu disebut Syi'ra. Leluhur kami menyembahnya sebagai dewa ... itu sebelum akhirnya dia bertobat dan masuk Islam."
"Tapi, kutukan itu tetap ada ...?" Toyama mengernyit prihatin.
"Iya, tetap ada. Nah, Sensei. Kata Ayah, aku adalah generasi yang ketujuh ... berarti, kalau aku bisa bertahan hidup dan suatu saat nanti berkeluarga, lalu memiliki anak ... anakku akan bebas dari kutukan ini. Bukan begitu, Sensei?"
"Tentu saja, Boboiboy." Asada menaburkan optimisme di hati pasiennya. "Boboiboy akan sembuh, akan terus hidup, dan akan bahagia."
"Amin." Boboiboy tersenyum senang. Semuanya kembali menatap ke langit, ke permadani mahaluas bertabur permata yang diciptakan bagi semua orang tanpa terkecuali.
Tak sampai satu jam kemudian, para dokter itu kembali ke kamar 133 dengan si pasien sudah terkantuk-kantuk di gendongan Asada. Namun, seulas senyum tersungging di bibir sang anak.
"Selamat tidur, Boboiboy. Mimpi yang indah," gumam sang dokter bedah sambil membenahi posisi pasiennya di ranjang.
"Asada, apa itu benar?" seloroh Toyama perlahan. "Kudengar dari Ijyuuin tadi, kalian akan kembali ke Meishin?"
"Belum pasti," sahut Asada, bertukar pandang dengan Fujiyoshi. "Kalaupun iya ... bagaimana dengan Boboiboy?"
.
.
.
.
.
***...***...***...***...***
GOOD NIGHT,
HAVE A NIGHTMARE!
***...***...***...***...***
.
.
.
.
.
"Selamat tidur, Boboiboy."
...
Ada siapa di situ?
Hanya keheningan yang menyambutnya. Itu tak lama, karena berikutnya sebuah suara menanggapi,
"Mau jadi ahli astronomi, eh? Berkeluarga? Punya anak? Mimpi!"
A-apa ...? Siapa ...?
"Memangnya aku bisa bertahan sampai sejauh itu? Bukannya jantungku sudah waktunya diganti?"
Taufan?
"Ya, kau pasti tahu siapa aku."
M-memang benar, transplantasi itu ... kata dokter, harus dilakukan segera.
"Memangnya sudah ada donornya? Kalaupun ada, memangnya aku bisa dioperasi?"
Ke-kenapa nggak bisa?
"Tubuh ini punya masalah dengan obat bius. Semua gara-gara Ayah."
Gara-gara Ayah?
"Ayah nggak sayang padaku! Dia begitu tega masang obat bius di jam tangan karena aku, tuh, anak nakal yang nggak bisa diatur! Jadi, buat apa lagi aku hidup kalau jadi beban Ayah terus?"
Taufan, jangan bilang begitu ... tapi, apa benar Ayah ...?
"Tanya, tuh, sama Solar! Dia dengar semuanya, termasuk pengakuan Ayah kemarin!"
S-solar ...?
"Yaaah, soal obat bius di jam tangan, itu memang benar ... tapi—"
Tapi kenapa?
Hening sekali lagi.
Hei, siapa pun? Tolong jawab aku.
Aaah ... kenapa, rasanya sakit sekali ...?
Di dalam dada ... sakit ... sakit ...
... sakitnya, tak tertahankan.
"Aku tak tahan lagi."
.
.
.
.
.
Boboiboy tersentak bangun sambil menghirup napas dengan rakus. Paru-parunya terasa sesak, rasanya seperti habis dicekik waktu tidur.
"Selamat pagi, Boboiboy."
Rupanya si perawat perempuan yang bertugas pagi ini, dia sedang membuka tirai-tirai jendela. Boboiboy menanggapi dengan senyuman, "Pagi."
"Hari ini Boboiboy mau ngapain?" Miki bertanya sambil mendekat, menata peralatan untuk mengukur tekanan darah.
Boboiboy berpikir sejenak, lalu nyengir. "Kyou ne, boku, teien de asobitai!—Hari ini, aku pengen main di kebun!"
"Wah, asyiknya! Jangan lupa, pakai sunblock dulu, hihihi."
"Baiklah! Aku akan ingat-ingat."
Miki melempar senyum manis sekali lagi sambil menepuk kepala anak itu. "Tekanan darah 120/80, normal."
"Yay!" sorak Boboiboy ceria.
"Aku pergi dulu, ya. Sarapanmu sebentar lagi diantar."
"Oke!"
Sepeninggal Miki, Boboiboy justru beranjak dari ranjang. Dia tak berniat menunggu sarapan. Dia masih ingat jalan menuju rooftop semalam. Ke sanalah Boboiboy pergi, bukan ke kebun seperti yang diucapkannya. Dirinya yang ini juga bukan Duri si pecinta tumbuhan seperti yang disangka Miki tadi.
"Kinou, ore ga koko ni kite yokatta yo—Untung banget semalam aku diajak ke sini."
Boboiboy sudah sampai di atas atap rumah sakit yang datar. Dipandanginya sekilas bagian tengah, yang semalam menjadi tempatnya duduk bersama para dokter. Dia melangkah mendekati tepi sambil bergumam,
"Kaa-san, ore dayo—Ibu, ini aku."
Perlahan, tubuh Boboiboy merosot. Saat itu, seseorang yang sedang berjalan di pintu masuk rumah sakit mendongak tepat ke arahnya.
.
.
.
.
.
"Boboiboy!" Suara itu menggema di atas atap.
"Biarkan aku sendiri!" balas anak itu, yang kini sedang duduk dengan kaki menjuntai dari tepi atap. Dia sudah melewati bagian atap yang berpagar—tak ada lagi penghalangnya kalau dia mau meloncat ke bawah.
Asada Ryutaro dalam pakaian kasual, jaket dan denim—karena sudah akan pulang—tetap mendekati pasiennya, langkahnya waspada. Kata ganti yang diucapkan Boboiboy barusan adalah ore ... dan semalam, Gempa sudah muncul. Ini berbahaya sekali—yang ada di hadapan Asada saat ini ada dua kemungkinan, Taufan atau Halilintar, dan kedua-duanya adalah troublemakers.
"Donor jantung itu susah banget dapatnya, aku tahu, kok." Boboiboy kembali bicara. "Kalaupun dapat, operasi terhadapku juga bakalan susah. Aku yang ini dosis biusnya harus besar, tapi yang bangun setelah aku belum tentu. Ada kemungkinan aku nggak bisa bangun lagi, 'kan? Jadi, karena ending-nya bakalan sama aja, kenapa nggak dipercepat aja?"
"Boboiboy ..."
"Kalian para dokter juga bakal hemat pikiran dan tenaga kalau aku mati. Nggak usah susah-susah melakukan operasi yang sulit itu."
"Kami nggak berpendapat itu semua buang pikiran dan tenaga."
"Kudengar, Sensei juga mau pindah ke rumah sakit lain, 'kan? Pada akhirnya, semua orang nggak peduli padaku. Apalagi aku yang ini, yang dari dulu hanya menyakiti diri sendiri. Bukannya aku nggak sayang diriku sendiri ... tapi aku sudah lelah hidup kayak begini."
"Aku sudah janji akan menolongmu, Boboiboy." Asada menatapnya tepat di mata, akhirnya yakin bahwa yang sedang dihadapinya adalah Taufan. Dipanjatnya pagar itu dengan mudah, lalu diulurkannya tangannya yang kekar itu ke arah pasiennya. "Kamu pasti tertolong."
Angin bertiup kencang dan Asada bergeming. Sorot matanya, meski di wajah yang tampak lelah sehabis berdinas shift malam, tetap penuh determinasi. Diulangnya ucapan tadi sekali lagi,
"Kamu pasti tertolong, Boboiboy. Pasti."
Boboiboy meragu sejenak, kemudian meraih tangan Asada. Dia berdiri dengan agak terhuyung. Asada melempar senyum yang menenangkan kepadanya.
Mungkin benar. Mungkin memang masih ada harapan. Dokter berbadan besar ini sangat baik, Boboiboy juga bisa merasakan hal itu, entah siapa pun yang sedang muncul dalam kesadarannya. Boboiboy merasa bisa percaya pada Dokter Asada Ryutaro.
Tepat di saat harapannya tengah melambung, kaki kiri Boboiboy berpijak ke tempat yang tidak stabil. Dia berdiri terlalu ke tepi dan seketika kehilangan keseimbangan.
Semuanya kemudian terasa seperti mimpi, bagaikan film yang diputar dengan gerakan lambat.
"Boboiboy!" Asada mendorong diri ke depan sambil menarik si pasien ke arah pagar dan dalam prosesnya malah tak sengaja berganti terlempar ke pinggir.
Boboiboy berbalik dan hanya bisa menyaksikan tubuh sang dokter terjun bebas kemudian menghantam aspal keras di bawah sana.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
to be continued.
.
.
.
Author's Note:
Scene terakhir itu beneran ada di serial Team Medical Dragon season 3. Roux sampai rewatch episodenya demi membangun feel yang tepat. Oh, tidak, Asada! :"""
Berhubung Team Medical Dragon itu tamatnya baru di season 4, kalian bisa tebak apa yang terjadi di canon. Ta-tapi, ini 'kan fanfic :" suka-suka penulisnya, dong, mau bikin nasibnya Asada-sensei kayak gimana? /heh
.
*Nembak burung pegar itu istilah halus untuk menyebut aktivitas buang air besar, karena posenya sama-sama jongkok XD / thanks to akaori yang lagi-lagi memperkaya kosakata Roux, selain membantu menerjemahkan beberapa dialog Boboiboy dengan kata ganti diri yang berbeda.
.
Bintang Sirius, alias Alpha Canis Majoris, disebut-sebut dalam Alquran surat An-Najm, bahwa ada yang lebih tinggi dari ciptaan (yang disembah sebagai dewa, bintang Syi'ra) itu, yaitu penciptanya.
Terima kasih untuk Shaby-chan dan akaori untuk referensinya buat Roux yang kitab sucinya bukan Alquran tapi Alkitab :)
.
Heuuu, di sini ada pembahasan soal fase pembiusan, tapi sebetulnya agak campur aduk dari fakta yang sesungguhnya. Yang mau Roux bahas di sini lebih ke arah dissociative anesthesia yang efeknya seperti melayang, terpisah dari kenyataan (seperti yang dibilang Arase).
.
Rencananya, cerita ini bakal tamat dua bab lagi. Tapi, kapan update-nya? Berhubung Roux masih ada satu proyek multichapter lain, yaitu side story terakhir dari Through the Darkness, mari kita lihat saja di mana yang Roux nggak kena writer's block dan bisa lanjut duluan. Mwahahaha!
.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
Kritik dan saran sangat diterima.
15.05.2022
