"ADA YANG JATUH!"

"Darurat! Darurat!"

Bagian depan Rumah Sakit Hokuyou menjadi ramai oleh petugas. Brankar segera disiapkan, beberapa orang sekaligus bergerak dengan sigap mengangkut korban menuju IGD.

"Ryu-! Asada-sensei!" Seorang perempuan menjerit di pintu masuk IGD.

"Asada?"

"Eh, orang ini Asada Ryutaro?"

"Dokter bedah jantung yang dari Meishin itu?"

"Benar, ini memang dia! Aduh! Darah di kepalanya banyak sekali …."

"Tadi jatuhnya tengkurap. Cek bagian depannya!"

Pakaian sebelah atas dibuka, bantuan pernapasan dipasang, alat ultrasonografi diarahkan ke bagian dada.

"Trauma toraks berat, ada perdarahan di katup jantung!"

"Siapa dokter ruang operasi yang bertugas jaga pagi ini?"

"A-arase-sensei saja … oh, dan Toyama-sensei yang jaga malam, dia belum pulang …."

"Nggak bisa, Toyama-sensei juga sedang ada operasi!"

"Telepon Ijyuuin-sensei kalau begitu!"

"Siap!"

"Sensei, gawat! Katup jantungnya sobek sama sekali …!"

Dokter jaga IGD merasa dirinya tak bisa lebih panik lagi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Team Medical Dragon (c) Akira Nagai & Tarou Nogizaka

Good Night, Have a Nightmare! (c) Roux Marlet

-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-

Cover Art by: Cfy Mai

Boboiboy Japanese ver headcanon by: akaori

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

Chapter 4: The Surgical Team

.

.

.

chapter warning: gross stuff

.

.

.

.

.

"Boboiboy!"

Sambil mencengkeram kepalanya, anak laki-laki itu samar-samar teringat. Dahulu pun, orang-orang berteriak ramai seperti ini. Ada suara-suara pria dewasa yang berseru keras sekali.

Boboiboy tidak terlalu ingat apa yang terjadi saat terakhir kali dia bersama ibunya di ruang makan sore itu. Dia perlu istirahat karena malamnya dia akan menjalani operasi jantung. Rasanya, saat dia sempat tidur sebentar itu di kamarnya, dia mendengar ayahnya dan pamannya bertengkar hebat.

"Kau sendiri tahu Boboiboy itu berbeda dari anak lain!"

"Kau nggak perlu meneriakkan itu padaku! Aku yang paling tahu tentang anakku sendiri!"

"Tenanglah! Ambulans sebentar lagi datang, Abang!"

"Tapi Alya sudah meninggal, Kaizo! Terlambat!"

Bantuan terlambat untuk datang … ibu Boboiboy sudah meninggal, entah karena apa.

Eh, Ibu meninggal? Ini pasti hanya mimpi.

"Boboiboy!"

Kenangannya buyar. Ada yang melangkah setengah berlari di belakangnya. Boboiboy sedikit terhuyung ke depan dan orang itu segera merengkuhnya ke arah pagar.

"Boboiboy! Boboiboy!"

Pandangan mata anak itu tidak fokus. Dia berkedip dengan sangat lambat, pikirannya berputar dalam usahanya mengingat siapa pria kurus berambut ikal berjas putih di hadapannya ini.

"F-fujiyoshi-sensei …?"

"Kamu nggak apa-apa?"

"Asada … sensei …." Boboiboy menunjuk ke bawah, tangannya gemetaran, wajahnya seputih kertas. Fujiyoshi segera menggendongnya turun sambil mengecek nadi anak itu dengan jemarinya. Dahinya berkerut ketika mendapatkan hitungannya. Sang dokter konsultan tidak menuju ke kamar 133 melainkan ke pediatric intensive care unit alias PICU, karena panggilan-panggilannya yang belakangan tidak direspon apa pun oleh Boboiboy, yang kelopak matanya bergetar-getar tanpa henti.

"Kesadaran menurun, nadi cepat 120 kali per menit. Waspadai supraventricular tachycardia."

Operan singkat dan detail telah diberikan kepada perawat di PICU. Boboiboy langsung ditangani sedangkan Fujiyoshi segera membawa kakinya menuju ruang operasi sambil menelepon nomor Amato.

"Asada …! Jangan mati dulu!" gumamnya sambil meremas-remas tangan, terbagi antara cemas terhadap operasi yang sedang berlangsung dan antisipasi pada kontak yang berusaha dihubunginya. "Halo? Amato-san? Bisa ke Hokuyou sekarang juga?"

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Boboiboy? Bangun, Boboiboy."

Waktu dibangunkan Kaizo untuk bersiap-siap ke rumah sakit dalam rangka operasi jantung yang keenam, Boboiboy merasa capek luar biasa. Ayahnya menggendongnya masuk ke mobil.

"Ibu mana?" celetuk sang anak, masih terkantuk-kantuk.

Amato membuat suara seperti tercekik di kursi pengemudi. Kaizo perlahan menjawabnya,

"Boboiboy … ibumu … sudah meninggal."

Boboiboy tidak meneteskan air mata. Dia masih yakin ini hanya mimpi. Saat sudah sampai di rumah sakit lalu dibawa masuk ke dalam ruang operasi, dia berdoa dalam hati. Saat dia bangun nanti, ibunya pasti menyambutnya di rumah, bersama ayah dan pamannya. Seperti biasanya.

Kalau tak salah, Boboiboy tak segera bangun pada hari pertama setelah selesai operasi. Entah berapa hari. Hanya ada Amato, ayahnya, yang memeluknya dengan lembut ketika dia sudah bangun dan selesai diperiksa dokter.

"Boboiboy … Kaizo titip pamit. Dia melanjutkan belajar ke Amerika."

"Oh." Boboiboy memandangi ayahnya lekat-lekat. "Kalau Ibu ke mana?"

Mata Amato bergulir ke samping, selapis bening air mata muncul di sana.

"Ibu sudah bersama Allah …."

"Benarkah?"

Amato tak menjawabnya dan hanya mengeratkan pelukannya. Boboiboy menunduk, air matanya tumpah, dan tak hanya dia sendiri yang menangis.

"Huhu ... Ibu sakit apa?"

Pertanyaan Boboiboy selepas bermenit-menit itu pun lenyap dalam dukacita. Dia tak mendengar ayahnya menjawab dan dia merasa tak perlu menanyakannya lagi.

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Asada-sensei perlu rekonstruksi katup jantung? A-aku mana mungkin bisa …."

"Ijyuuin!" Arase membentak si mata empat. "Ini Asada! Jantungnya bocor! Hidup atau matinya bergantung padamu!"

"Kalau Toyama-sensei …."

"Dia masih ada operasi di sebelah!" Arase menarik napas panjang untuk meredam emosinya, lalu berujar dengan lebih pelan, "Yakinlah pada dirimu, Ijyuuin. Ingat semua yang pernah orang ini ajarkan kepadamu."

Sang dokter muda menatap ahli anestesi itu dengan gugup. Arase memang benar, tapi …

"... Aku biasanya hanya jadi asisten Asada-sensei," seloroh Ijyuuin, belum mendapatkan kepercayaan dirinya.

"Toyama akan menyusul segera." Tiba-tiba, Fujiyoshi sudah di ambang pintu ruang persiapan operasi.

"Aku juga siap membantu," ujar Satohara Miki, sudah lengkap dengan baju perawat bedah.

"Ayo, Ijyuuin-sensei," undang Arase sambil tersenyum miring. "Ahli anestesi terbaik Meishin juga ada bersamamu. Mari kita berjuang bersama-sama untuk teman kita."

Ijyuuin menatap si pasien yang terbujur di dalam ruangan operasi, senior sekaligus mentornya, yang tengah meregang nyawa. Sorot mata di balik kacamata itu mengeras. Akhirnya dia mengangguk.

"Iya. Ayo kita berjuang."

.

.

.

.

.

Boboiboy di dalam PICU juga sedang berjuang. Para perawat berusaha merekam aktivitas jantungnya seperti kemarin dengan alat bantuan napas terpasang, tapi Boboiboy sedari tadi mencoba menarik lepas selang-selang itu. Dia agak memberontak ketika dadanya mulai dipasangi kabel-kabel. Dua perawat laki-laki dan satu perempuan harus menanganinya sekaligus.

"Nggak mau … jangan suntik aku …," keluh Boboiboy ketika melihat salah satu dari mereka mendekatkan sebuah syringe ke tangannya, air matanya menetes. Tangisannya makin kencang saat jarum suntik itu sudah menempel ke kulitnya.

"Tenang, tenang … nggak sakit, kok …," gumam si perawat perempuan yang menyuntik, sementara kedua rekannya memegangi tangan dan kaki si pasien. Boboiboy yakin dirinya bisa merasakan cairan obat mengalir ke dalam pembuluh darahnya.

"Aku nggak mau dibuat tidur …," sengal anak itu.

"Kamu perlu istirahat, Boboiboy."

"Ayah, tolong aku … banyak orang jahat …."

"Aduh," seloroh salah satu perawat laki-laki. "Ini bukan obat tidur …."

Kepala Boboiboy terasa berputar di tempat. Dia memejamkan mata tepat saat merasa obatnya mulai bekerja. Lalu rasanya seperti terjatuh … tubuhnya melayang … tapi tak kunjung menghantam apa pun yang keras di bawah. Dia seperti terjun ke jurang tanpa dasar.

Dahulu, satu kali di masa lalu, Boboiboy pernah mengalami ini. Sebuah memori traumatis yang tak menyenangkan dan selalu terpelatuk kembali setiap kali dia disuntik.

Dalam kondisi diikat pada ranjang, Boboiboy diamati oleh belasan pasang mata bersorot dingin, disuntiki berbagai macam obat yang membuat otaknya bolak-balik serasa dilumat, lebur jadi bubur.

Waktu itu, Solar dan Taufan masih ingat, sekelompok orang jahat itu bereksperimen memaksanya untuk muncul. Memaksa mereka, lebih tepatnya. Mereka bertujuh dipaksa keluar bergantian dan ada yang mencatat reaksi apa yang terjadi setiap kali dirinya terbangun dari tidur yang dipermainkan. Rasa ngilu yang ganjil terus-menerus menyerang kepala dan dada Boboiboy, semuanya sungguh menyiksa, tapi dia hanya bisa menangis, atau meraung-raung, atau mencakari ranjang—tingkat ekstremnya tergantung siapa yang sedang keluar. Lalu, setelah Halilintar muncul untuk ketiga kali, penyiksaan itu berakhir. Saat bangun berikutnya, Boboiboy sudah berada kembali dalam dekapan ayahnya yang menangis minta maaf …

… seperti saat ini. Amato sudah hadir kembali di PICU, kabel-kabel dan selang sudah dilepas.

"Boboiboy … Boboiboy … maaf, maafkan Ayahmu …."

Tubuh sang anak masih gemetaran di pelukan. "Boku, kowai yoAku takut … Tou-chan iccha yada–Ayah nggak boleh pergi…."

"Ayah di sini, Boboiboy. Jangan takut …."

Boboiboy menangis sepuasnya di dada sang ayah. Amato membelai rambut dwiwarna itu, cukup lega mendapati fakta bahwa yang muncul saat ini sepertinya adalah Duri.

"Huhu … Asada-sensei … gimana?"

"Dia sudah selesai dioperasi."

"A-apa dia selamat?"

"Untuk sekarang, iya, Boboiboy."

"Dia jatuh karena aku …," isak Boboiboy.

"Sudah, sudah. Sudah nggak apa-apa."

"Aku mau minta maaf pada Asada-sensei!"

"Dia belum bangun."

Saat itu, terdengar seseorang masuk ke dalam PICU—yang ternyata dua orang. Boboiboy menoleh dan memekik,

"Mana Asada-sensei?"

"Dia masih tidur di sebelah," jawab Arase sambil mengedikkan jempol. "Di ICU."

"Nanti Boboiboy mau ketemu?" imbuh Ijyuuin dengan senyum kaku dan gemetar. Arase merangkul bahunya sambil terkekeh.

"Berterima kasihlah pada Ijyuuin-sensei yang hebat ini, Boboiboy."

"A-arase-sensei!" Sang dokter berkacamata tertunduk malu. Habisnya, kakinya masih lemas dan rasanya mau pingsan kalau bukan karena diseret Arase ke sini. Tiga jam di ruang operasi tadi betul-betul pertaruhan. Beruntung Toyama lekas selesai dengan operasinya dan datang membantu, namun dia bersikeras menjadi asisten saja dan membiarkan Ijyuuin-sensei tetap sebagai chief surgeon dari awal sampai akhir.

"Makasih, Ijyuuin-sensei!" sorak Boboiboy terkagum-kagum, sementara Amato melepaskan pelukannya. "Aku kira Asada-sensei tewas …."

Arase terkekeh kering. "Orang sepertinya nggak akan semudah itu untuk tewas. Buktinya, dia sudah pernah terjun ke Irak dan Afghanistan, lalu berhasil pulang dengan utuh."

"Woooow …?" Boboiboy masih terdengar kagum dengan sorot mata polos, kelihatan tak paham.

"Negara-negara itu sedang perang, Boboiboy," seloroh Ijyuuin sembari mendekat. "Asada-sensei pernah jadi dokter relawan di medan perang."

"WOW!" Kali ini, mata anak itu terbelalak lebar. "Keren!"

"Asadaitu tangguh, perlu lebih dari itu untuk membuatnya tewas," gurau Arase.

"Selain tangguh, dia juga baik hati," imbuh Ijyuuin.

"Iya, benar!" sahut Boboiboy setuju, kembali ceria.

"Boboiboy mau tahu, nggak? Sejarahnya anggota Team Medical Dragon?" tanya Arase. "Soalnya, Asada adalah pemersatu kami. Selain itu, dia juga penyelamat kami."

"Eh?" Boboiboy mengangguk antusias. "Mau! Cerita!"

Amato pun turut menyimak di sisi sang putra.

Arase menunjuk dirinya sendiri. "Boboiboy ingat, kemarin aku cerita soal fase disosiatif? Yang rasanya kayak kesadaran yang melayang-layang. Aku … aku tahu persis gimana rasanya."

"Kok, bisa?" Si pasien menelengkan kepala, heran.

"Aku dulunya drug abuser."

Boboiboy terperangah. Arase tersenyum senang melihatnya. Selalu menarik membicarakan masa lalunya dulu.

"Apa artinya itu?" tanya Boboiboy dengan polosnya. Arase hampir terjungkal dari kursinya, sementara Ijyuuin tertawa dan membantu menjawab,

"Arase-sensei, 'kan, ahlinya obat bius. Dia pernah makai sendiri obatnya beberapa."

"Haaaah?" Kali ini, si pasien betulan terkejut. "Buat apa?"

Arase mendengus. "Ya, itulah kebodohanku. Aku mencari sensasi melayang itu tadi."

"Kenapa?" Boboiboy bertanya lagi, betul-betul tak paham.

Arase terdiam sejenak, raut wajahnya menjadi muram.

"Dulu, aku punya banyak masalah … dan kupikir aku bisa lari dari semua itu dengan obat-obatan." Arase berhenti lalu terkekeh pahit. "Bodoh banget, itu malah menambah banyak masalah baru. Nggak patut ditiru."

"Lalu, Sensei akhirnya … bertobat?" seloroh Boboiboy.

"Iya. Asada mengajakku masuk timnya. Waktu itu, selain Asada, sudah ada Miki, Ijyuuin, dan Fujiyoshi. Mereka belum punya ahli anestesi. Dan, di sinilah aku sekarang." Arase mengakhiri kisahnya dengan senyum sendu.

"Pasti nggak enak, membicarakan masa lalu yang sedih," ujar Boboiboy dengan tulus. Mata Arase jadi agak berkaca-kaca, tapi dia mengalihkan pembicaraan pada rekannya,

"Hei, Ijyuuin. Ceritakan kisahmu yang cengeng dulu itu."

"Heh?" Wajah Ijyuuin merona. "Y-yah, aku mengenal Asada-sensei waktu aku masih dokter magang di Meishin. Belum pernah menangani operasi betulan—iya, aku tahu aku ini masih canggung dan memalukan dan cengeng sampai sekarang, kok!"

Arase menepuk-nepuk punggung sang dokter yang lebih muda sambil menyeringai. "Tapi, hari ini, dokter canggung itu sudah berhasil menaklukkan operasi besar yang teramat sulit."

Ijyuuin mau tak mau tersenyum bangga dan haru. "Itu karena dukungan Arase-sensei dan yang lain juga."

Arase menyeringai. "Jangan lupakan Toyama. Dia boleh saja songong dan seenaknya sendiri, tapi, sejak mengenal Asada, dia jadi lebih menghargai waktu."

"Fujiyoshi-sensei juga tadi berjasa menolong Boboiboy," imbuh Ijyuuin. "Dia dulu sering cekcok dengan para dokter bedah soal perawatan pasien pascaoperasi, ya?"

"Aku malah kurang tahu soal itu," balas Arase dengan jujur.

Pandangan Ijyuuin menerawang. "Asada-sensei pernah menolongnya waktu Fujiyoshi-sensei kena serangan jantung. Sejak itu, mereka bersahabat baik."

"Eh? Fujiyoshi-sensei juga punya sakit jantung?" seru Boboiboy tak percaya.

"Iya, dia juga pengguna pacemaker, seperti ayahmu," sahut Ijyuuin sambil menoleh pada Amato.

"Tapi, Fujiyoshi-sensei kelihatannya sehat dan baik-baik aja ... nggak sepertiku." Si pasien tertunduk muram.

"Boboiboy juga akan sehat dan baik-baik saja, nantinya," pungkas Arase.

"Amin." Ayah dan anak itu sama-sama menyahut.

"Nah ... Boboiboy mau bantu kami?" tanya Ijyuuin dengan senyumnya yang biasa.

"Bantu apa ...?"

Arase dan Ijyuuin bertukar pandang. Team Medical Dragon sudah berdiskusi banyak soal ini kemarin.

"Kami mau minta tolong padamu untuk mengobrol," lanjut Ijyuuin.

"Ngobrol?" Boboiboy menelengkan kepalanya, lagi. "Kita, 'kan, sedang ngobrol, ini?"

"Ehem, maksud Sensei, ngobrol dengan dirimu yang lain," koreksi sang dokter muda.

"Diriku yang lain?" Jeda beberapa detik membuat semuanya mengira Duri tak ingat apa-apa soal itu, tapi ...

"... Ngobrolin apa, nih? Memangnya bisa, ya?" Boboiboy berbinar-binar antusias. "Dari dulu aku pengen bisa ngobrol sama Solar dan Gempa!"

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Sialan, tadi mereka menyuntikku lagi!"

"Hentikan itu, Taufan. Kau hampir membuat kita semua terbunuh, tahu!"

"Wah, tumben kau bicara padaku, Halilintar ... memangnya kau nggak capek, hidup kayak begini?"

"Apa benar soal Ayah—eh, tunggu dulu. Sejak kapan kita bisa saling bicara begini? Atau aku saja yang pelupa?"

"Hei, ini berhasil! Duri berhasil! Halooo, semuanya!"

"Huh? Berisik banget di sini. Ngganggu orang tidur aja ..."

"Waaah, seru banget! Semua berkumpul! Ayo, kita main!"

"Alamak, apa yang terjadi? Ini semua nggak masuk akal. Logika otakku macet ..."

"Boboiboy! Bangun, dong! Duri mau ngobrol!"

"Eeeeh?!" Enam suara kompak berseru. Selanjutnya, keheningan menyambut.

"Yaaah, Boboiboy masih tidur, ya? Duri sedih, deh."

"Ya udah. Aku juga mau tidur."

"Tunggu dulu. Jangan tidur dulu, Ice!"

"Apaan, Blaze? Aku capek kalau badanku dibawa main ke sana-sini."

"Hei, Gempa benar. Kok, kita jadi bisa bicara satu sama lain begini? Menurut persamaan matematis yang sudah kutelaah, probabilitas terjadinya dialog …"

"Ish, Solar! Duri pening mendengarnya!"

"Tunggu, diam semua! Yang terakhir bangun tadi, kamu, 'kan, Duri? Kamu habis ngapain?!"

"Um, Halilintar, jangan galak-galak, dong … tadi itu, Pak Dokter lagi-lagi mijat kakiku."

"Eh? Dokter yang gendut berambut pirang? Memijat kayak kemarin?"

"Iya, Taufan …."

"Namanya Arase-sensei, wahai kalian kaum pelupa."

"Huh, Solar, kamu sendiri pun nggak ingat kejadian waktu Halilintar muncul kemarin."

"Memangnya ada yang ingat?"

Keheningan mendadak malah menimbulkan ketegangan. Satu-satunya yang bersuara adalah yang tadi disebut namanya, Halilintar,

"Cih. Nggak perlu diingat juga nggak masalah!"

"Tapi, aneh banget. Aku nggak ingat sama sekali, padahal biasanya aku yang hebat ini selalu ingat kalian semua ngapain aja …."

"Duh, Solar. Kamu kira hanya dirimu yang ingatannya kuat, ya? Kalau saja aku ini pelupa macam Gempa, mungkin obat bius yang kuterima nggak akan sebesar ini. Tapi, iya. Aku pun nggak ingat kemarin Halilintar berbuat apa, hanya tahu dari cerita Asada-sensei pada Ayah."

"Jadi, kenapa kalian semua jadi seperti aku yang pelupa?"

"Eum, Gempa, Halilintar sendiri bilang dia ingat, kok."

"Ya, maksudku kita yang lain. Kalau Halilintar, 'kan, memang hanya dia yang sadar waktu itu."

"Mungkinkah …?"

"Mungkin apa, Solar? Kalau mau ngomong, cepetan sedikit. Aku udah mau merem lagi."

"Ice, kita simak dulu si Lampu sampai selesai!"

"Siapa yang kausebut Lampu, eh, Kompor?"

"Habisnya, Solar selalu bilang dirimu terang dan bersinar!"

"Pintar dan bersinar, kali?!"

"Eeeeh, buruan, Solar! Aku ngantuk!"

"Huuuh! Dengarkan baik-baik, kalian semua. Menurutku, Boboiboy sendiri yang 'terbangun' waktu Halilintar beraksi. Makanya nggak ada di antara kita yang ingat kejadiannya kecuali Halilintar …."

"Memangnya Halilintar ngapain? Kenapa kalian begitu ribut? Aku jadi nggak bisa tidur, ini."

"Ice, kamu bangun persis setelah kejadiannya, lho!"

"Halilintar mencekik Asada-sensei. Dia kira itu Toyama-sensei."

"Eh? Toyama-sensei, yang suka nonton televisi itu? Menurut Duri, orangnya lucu, memangnya dia salah apa?"

"Memangnya kalian semua sudah lupa?! Pernah diikat dan disuntik?!"

Tidak ada yang bersuara lagi setelah itu, seiring terbitnya sebuah rasa tak nyaman di sekujur badan, seolah-olah ada kobaran api yang terperangkap dalam tulang-belulang.

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Ryu-chan sudah sadar!"

Satohara Miki adalah yang pertama menyampaikan kabar itu–baik kepada yang sedang berdinas maupun di grup media sosial Team Medical Dragon. Arase bersama Ijyuuin bergegas masuk ke ICU dan mendapati sang dokter bedah sedang membuka mata.

"Asada-sensei!" seru Ijyuuin, serta-merta mendekati ranjang sang mentor.

"Hoi, Tujuh-Enam Kilo." Arase juga mendekat, tersenyum miring. "Masih hidup, kamu?"

"Syukurlah! Aku nggak sabar untuk melakukan o.p. denganmu lagi, Asada-sensei!" Ijyuuin menambahkan.

Pria di atas ranjang itu berkedip lambat-lambat. "O.P. …? selorohnya, mengulangi singkatan lazim untuk operation itu. "Siapa …?"

Kedua dokter itu terperanjat.

"Heeeeh?!"

.

.

.

.

.

"Asada … mengalami amnesia?"

Direktur Yoshida Hideki menunduk muram mendengarkan penjelasan kedua dokter dari Meishin yang sedang berdinas itu.

"Sudah kuduga, benturan di kepalanya juga cukup keras …," seloroh Ijyuuin.

"Kita tunggu dulu beberapa hari. Pemulihan untuk operasi pada katup jantungnya juga tidak singkat, 'kan?" balas direktur RS Hokuyou itu, berusaha berpikir positif dengan pertimbangan medis.

"Tapi, Yoshida-sensei … bagaimanapun, kami harus menginfokan hal ini pada direktur Meishin," imbuh Arase sambil merengut. "Si setan Noguchi itu pasti senang, punya alasan untuk bisa mendepak Asada dari Meishin secara permanen."

"Ya … kita tetap harus memberikan informasinya." Yoshida menyetujui dengan setengah hati, sama seperti dua lainnya. "Noguchi sendiri punya mata-mata, 'kan … agen dari sumber dana mereka."

"Sister company apanya? Semua ini hanya permainan bisnis yang busuk!" seru Arase geram. "Mereka sengaja melemparkan pasien dengan kondisi buruk ke RS Hokuyou, supaya reputasi RS Meishin terangkat. Makanya angka kematian dan kecacatan di sana sedikit."

"Aku nggak akan menyangkal itu," gumam Yoshida sedih. "Tapi, kalau nggak begitu, aliran dana ke Hokuyou akan berhenti."

Ketiga dokter itu terdiam dengan perasaan kesal dan sedih yang tak bisa disalurkan pada siapa pun.

"Arase-sensei … saat ini, kita perlu fokus pada yang bisa kita lakukan."

"Kau benar, Ijyuuin," balas Arase sambil berpikir, lalu menambahkan, "-sensei."

Ijyuuin tersenyum haru sekali lagi. Asada memang berhasil diselamatkan dari maut berkat kerja keras mereka semua, tapi tak ada yang tahu apakah dia masih akan bisa melakukan operasi di kemudian hari. "Aku dan Toyama-sensei mau berlatih untuk persiapan transplantasi jantung Boboiboy. Jadi, ketika nanti ada donor, kami sudah siap melakukannya tanpa Asada-sensei sekalipun."

"Oke. Aku siap membantu." Sang ahli anestesi balas tersenyum. "Kalau kita sampai bubar hanya karena satu orang absen, itu bukan tim namanya."

Yoshida menatap dua orang muda itu, ikut terharu. "Aku juga akan mencoba hubungi lagi lembaga donor organ di sekitar sini."

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Ayah … apa Asada-sensei akan selamat?"

Amato, yang barusan sedang menekuni ponselnya selagi Boboiboy menyelesaikan makan malam, mendongak dengan dahi berkerut. "Tadi para dokter memang bilang bahwa Asada-sensei lupa ingatan … tapi, katanya itu nggak permanen."

"Dua hari yang lalu … ore ga yattanda, osottaaku melakukannya, kuserang dia," keluh Boboiboy dengan nada menyesal. "Kukira dia Toyama-sensei …."

"Ada apa dengan Toyama-sensei?"

"Shibararetanda–Dia pernah mengikatku! Ttaku, tondemonai yatsu! Jahat banget, aku benci dia!" Boboiboy tiba-tiba bicara dengan sengitnya.

Amato tertegun, lalu perlahan mengusap rambut anaknya. "Toyama-sensei mengikatmu karena waktu itu kamu pegang senjata tajam, Boboiboy …."

"Apa pun alasannya, aku benci dibegitukan," lanjut Boboiboy, mulai merajuk. "Ayah juga ingat, 'kan, dulu …?"

"Iya, Ayah ingat," sahut Amato, tanpa sadar meremas tangannya sendiri. "Ayah nggak akan biarkan orang-orang itu mengganggumu lagi, Boboiboy."

"Apa yang mereka mau waktu itu?" tanya sang anak, agak gemetar mengingat kenangan yang menyakitkan. "Waktu itu, Ibu juga masih ada, 'kan?"

"Iya, benar. Mereka pengin tahu apa yang ada di dalam dirimu, karena kamu sangat unik, Boboiboy."

"Aku? Unik?" Boboiboy mengerjap. "Maksud Ayah … yang ada tujuh ini?"

"Tepat sekali," keluh Amato, tangannya masih membelai rambut sang anak. "Mereka menculikmu waktu kami semua lengah dan …." Amato berhenti agak lama. "Pokoknya, hal itu nggak akan terulang lagi. Ayah janji."

Tangan Boboiboy terkepal. "Aku benci mereka."

"Ayah sudah lapor polisi."

"Rasanya aku pengin mencekik mereka."

Mata Amato terbelalak sedikit. "Boboiboy, nggak ada gunanya kamu membalas kejahatan dengan kejahatan."

Raut Boboiboy makin tertekuk, alisnya saling bertaut. Amato melanjutkan, yakin bahwa yang sedang bicara adalah Halilintar,

"Yang paling penting sekarang, mereka nggak akan mengganggumu lagi."

"Tapi, aku nggak bisa lupain perbuatan mereka, Ayah …."

"Boboiboy," ujar Amato dengan suara lembut, "memaafkan orang lain, bukan berarti kamu melupakan kesalahan yang mereka perbuat padamu. Tapi, kamu bisa mengingatnya lagi tanpa rasa sakit."

"Mengingatnya … tanpa rasa sakit?" gumam Boboiboy keheranan. "Gimana caranya?"

Ditanya begitu, paras Amato jadi agak berubah. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan jawabannya,

"Boboiboy perlu memohon rahmat Allah agar bisa melakukannya." Amato mengucapkannya sambil tersenyum hambar.

"Rahmat Allah, ya …? Jadi, nggak mungkin kita bisa melakukannya sendiri?"

"Benar. Boboiboy sudah memaafkan Ayah, belum?"

Sang anak memandangi ayahnya. "Tentang obat bius di jam tangan?"

"Iya, yang itu."

"Aku … cukup mengerti kenapa Ayah memasangnya. Tapi, mungkin ada yang nggak suka …"

"... Taufan, ya?"

"Ya …," sahut Boboiboy perlahan. "Aku juga minta maaf, Ayah, mewakili Taufan dan yang lain. Kemarin itu … bodoh banget, berpikiran mau terjun dari atap. Malah bikin Asada-sensei celaka, pula."

Amato mendesah lega dan meraih putranya ke dalam pelukan.

"Buat Ayah, yang terpenting adalah Boboiboy bahagia."

Terdesak oleh suatu buncahan perasaan yang ganjil, tangis Boboiboy pecah secara mendadak.

"Ayah, aku takut dioperasi lagi," isak sang anak. "Ini bakal jadi operasi yang ketujuh … jantungku sudah jelek."

"Dokter-dokter di sini hebat, Boboiboy."

"Gimana kalau aku beneran nggak bisa bangun lagi, Ayah?"

Amato tak langsung menjawabnya, hanya mengusap-usap punggung dan kepala anaknya dengan lembut. Dipeluknya Boboiboy sampai anak itu puas menangis.

"Boboiboy," panggil sang ayah kemudian. "Yang penting bukan seberapa lama kita hidup, tapi seberapa bermakna hidup yang kita jalani."

Mata cokelat sang anak tampak sembab. Dipandanginya sang ayah lekat-lekat.

"Apakah hidupku sudah punya makna?" isak Boboiboy sekali lagi. "Aku nggak sekolah, nggak punya teman, dan kadang-kadang aku bangun sebagai anak nakal."

"Boboiboy hadir sebagai anaknya Ayah, itu saja sudah besar sekali maknanya," jawab Amato bijak.

"Aku cuma nyusahin Ayah."

"Nggak, itu nggak benar, Boboiboy … Ayah memang kesulitan, itu harus kuakui. Tapi, aku nggak pernah sekalipun berpikir kamu hanya menyusahkan."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena kamu anak Ayah."

Boboiboy termenung beberapa saat. Sesuatu yang hangat menjalar di dalam dada … bukan kobaran api kemarahan seperti yang biasa dirasakannya. Dadanya terasa agak sesak, tapi bukan karena ngilu dingin yang diakibatkan kekecewaan pada diri sendiri. Apa ini namanya kasih sayang yang sesungguhnya? Namun, Boboiboy saat ini tak mau terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya menyukai sensasi itu.

"Ayah benar, dokter-dokter ini hebat," ujar sang anak tiba-tiba. "Mereka berhasil mengubah Ayah kembali jadi seperti dulu."

"Hah?" Amato tercengang. "Maksudnya …?"

"Sejak Ibu meninggal, Ayah jadi agak lain. Ayah nggak lagi mengobrol denganku soal bintang, nggak pernah lagi mengajakku nonton bintang …."

Amato mengerjap satu kali, berusaha menguasai diri karena tak menduga anaknya akan mengungkit kembali topik itu. Rasanya memang mustahil kalau salah satu dari kepribadian sang anak adalah pembunuh Alya ….

"Maaf, ya, Boboiboy. Ayo, kapan-kapan lihat bintang lagi bareng Ayah, ya?"

Boboiboy tersenyum dan mengangguk senang.

"Oh, ya … Ayah, aku mau tanya … soal jam tanganku. Gimana caranya bisa nggak ada rasanya waktu biusnya ditembakkan?"

"Oh?" Amato berpikir sebentar. "Itu karena biusnya ada dua macam. Yang satu dikeluarkan duluan dengan semprotan ke kulitmu, bius lokal yang nggak ada baunya, namanya Lidocaine. Segera setelahnya, sebuah jarum kecil yang tipis akan keluar dan menyuntikkan Thiopental ke pembuluh darahmu."

"Semuanya Ayah buat dengan teknologi?" Boboiboy bertanya kagum.

"Iya. Meskipun, referensi tentang obat-obatan, dulu Ayah pelajari dari Ibu. Itu juga alasannya Ayah minta Boboiboy pasang jamnya harus ketat menempel di tangan, karena kalau longgar nanti malah sakit."

"Mana aku tahu kalau alasannya itu?" balas Boboiboy, suaranya agak meninggi. "Kadang-kadang, bekas jam tangannya kelihatan jelas banget kalau aku mandi atau wudu …."

"Ayah minta maaf lagi, ya," sahut Amato. "Dan, mulai sekarang kamu nggak perlu lagi memakainya terlalu ketat."

Boboiboy mengangguk perlahan. "Ya, Ayah."

"Kemarin, kamu jadi mengobrol dengan yang lain?"

"Uh? Iya, tapi sebentar saja." Boboiboy berhenti sejenak. "Kok, bisa begitu? Sebelumnya nggak pernah bisa."

"Menurut Arase-sensei, kepribadianmu yang lain bisa dihubungi saat kesadaranmu di fase disosiatif. Makanya kemarin kakimu dipijat lagi, juga tangan dan kepalamu."

Mata Boboiboy melebar. "Jadi, ada cara kayak begini? Aku bisa bicara pada yang lain?"

"Kita baru mencobanya satu kali."

"Aku mau bilang pada Duri bahwa aku nggak suka menciumi bunga yang terlalu wangi. Itu bikin kepalaku pusing. Juga pada Blaze, yang kadang suka lupa mandi habis main-main di luar. Kukira hidungku adalah yang paling sensitif di antara semuanya. Yang lain, entahlah, aku nggak terlalu ingat yang lain suka berbuat apa. Kayaknya nggak berhubungan dengan indera penciuman."

Amato balas menatap anaknya dengan takjub. "Kamu bisa bilang pada yang lain saat fase itu tiba. Hari ini, Arase-sensei sedang libur. Jadi, besok, ya."

"Baik, Ayah."

Sang ayah kembali membelai kepala putranya. "Boboiboy … tampaknya yang ada tujuh ini bukan sesuatu yang mengganggu lagi, ya?"

"... entahlah, Ayah. Bukankah Ayah bilang ini sebuah kutukan?"

Amato menggeleng. "Ayah sudah salah menyebutnya begitu. DID–dissociative identity disorder–pun nggak ada obatnya, kata para dokter."

"Jadi, aku nggak bisa sembuh?" tanya Boboiboy takut-takut.

"Bukan begitu," balas Amato sambil tersenyum sendu. "Ayah rasa … ini bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan obat. Ini adalah bagian kepribadianmu, yang akan terus hidup bersamamu."

Boboiboy mengulangnya dengan nada melamun, "Terus hidup bersamaku …."

"Kita hanya perlu mencari cara yang tepat biar kalian semua bisa saling bekerja sama dalam satu tubuh."

Boboiboy mengangguk pelan-pelan, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. "Asada-sensei sudah boleh dijenguk atau belum, ya?"

"Hmm. Coba Ayah tanya Fujiyoshi-sensei dulu, ya. Dia yang bertugas jaga."

.

.

.

.

.

"Asada-sensei?"

Pintu kamar 101 dibuka perlahan, sebuah kursi roda menyembul masuk. Seorang anak berambut cokelat dengan topi dinosaurus menghadap ke depan duduk di atasnya, didorong oleh seorang dokter berambut ikal. Seorang pria berambut cokelat dengan peci menyusul di belakang mereka.

Asada Ryutaro dalam baju yang sama dengan si anak, baju pasien rumah sakit, menatap tamunya dengan sorot ingin tahu. Meja dorong berada di depannya, sebuah buku tergeletak di atasnya dengan tangan kiri si dokter menjepit bagian tengah halamannya. Itu adalah sebuah buku tentang jantung kalau ditilik dari gambar sampulnya.

"Kau mendapat tamu, Asada," ujar Fujiyoshi. Hening sejenak selagi Asada mengerjap beberapa kali, kepalanya masih dibebat perban. Setelah siuman, Asada memang dipindahkan ke ruang rawat inap biasa, bukan lagi di ICU. Dia mendesah perlahan.

"Maaf. Aku belum bisa ingat siapa kamu," ujar Asada dengan senyumnya yang biasa kepada anak di kursi roda. "Tapi aku merasa, aku ingin membantumu."

Boboiboy menangis, tak sanggup bicara apa-apa. Asada kemudian menunjukkan tangan kanannya yang besar, jari-jemarinya membuka dan menutup dalam gerakan konstan namun agak gemetar. "Aku sedang melatih tanganku, karena kata mereka, aku ini dokter bedah jantung. Dokter bedah mana yang tangannya gemetar waktu pegang pisau bedah?"

Tangis Boboiboy makin menjadi, membuat Asada tampak kebingungan. Pria berpeci yang tampaknya adalah ayah anak itu berjongkok dan bicara dalam bahasa asing untuk menenangkannya. Asada mengernyit dalam, lalu memandangi Fujiyoshi.

"Namanya Boboiboy dan dia ini perlu transplantasi jantung, Asada. Mari doakan yang terbaik untuknya," ujar si dokter konsultan.

"Tentu." Asada kembali berpaling pada Boboiboy. "Jangan menangis, Boboiboy. Tersenyumlah. Senyum saja sudah dua per tiga porsi agar tubuh jadi sehat."

Boboiboy mengusap matanya lalu coba tersenyum dan mengangguk. "Lekas sembuh, Asada-sensei!"

"Terima kasih. Kamu juga, Boboiboy!"

.

.

.

.

.

"Apa Asada-sensei masih bisa melakukan operasi?" tanya Boboiboy saat kembali ke PICU.

"Kami juga belum tahu," jawab Fujiyoshi, memang terlihat tak yakin. "Yang jelas, pemulihan bakal makan waktu lama. Kalau dalam waktu dekat ada donor jantung, Ijyuuin dan Toyama yang akan melakukan operasi–eh, Boboiboy?" Sang dokter segera meraih tangan si pasien ketika melihat tangan satunya mencengkeram dada kirinya dengan mendadak.

"Kenapa?" Amato juga bangkit dari kursi.

"Boboiboy?" panggil sang dokter, menghitung nadi yang cepat di pergelangan tangan. "Dadamu sakit?"

Boboiboy tak bisa bersuara, napasnya tersengal dan dia hanya mengangguk sekilas. Wajahnya memucat dan kelopak matanya berkedip-kedip panik. Fujiyoshi meraih bel dan menekan, memanggil perawat yang segera muncul di pintu.

"Kita pasang EKG sekali lagi. Kondisinya menurun. Amato-san, mohon Anda tunggu di luar dulu."

"Boboiboy," gumam sang ayah yang ikut cemas, tapi menurut saat diminta keluar ruangan. "Bertahanlah, Boboiboy!"

Pakaian Boboiboy dibuka dan kabel-kabel untuk merekam jantung dipasang sekali lagi.

"Takikardi lagi, ya?" gumam Fujiyoshi sambil mengamati monitor EKG yang menampilkan garis-garis tajam yang meninggi. Dengan cepat, diberinya instruksi kepada si perawat untuk menyiapkan obat suntik yang diperlukan. Boboiboy bahkan tak bisa lagi menangis mendapati jarum suntik itu ditusukkan, segenap energinya terkuras hanya untuk bertahan tetap sadar. Dadanya sakit dan sesak sekali, seperti mau meledak.

Untungnya, setelah beberapa menit, grafik pada EKG mulai tampak teratur. Boboiboy meneteskan air mata sambil menyebut nama Tuhannya.

"Sensei … aku takut mati." Akhirnya sebuah kalimat lirih berhasil diucapkannya. Rasanya begitu ngeri, berada sangat dekat dengan kematian seperti barusan. "Aku juga takut dioperasi."

Fujiyoshi tersenyum lembut, lalu meraih tangan si pasien dan menggenggamnya. "Kamu nanti akan tidur kalau dioperasi. Nggak perlu takut."

"Tapi, badanku susah untuk dibius … 'kan?"

"Ah, soal itu … kukira Arase punya solusinya."

"Arase-sensei punya solusi?"

Fujiyoshi mengangguk, lalu berujar, "Boboiboy. Apa pun tujuanmu dan ayahmu datang ke sini … kamu pasien kami. Jadi, adalah tanggung jawab kami untuk memastikan kamu bisa melanjutkan hidup dengan bahagia."

"Melanjutkan hidup dengan bahagia? Aku?" Boboiboy tampak terheran-heran, seolah hal seperti itu belum pernah terpikirkan olehnya.

"Boboiboy, aku akan bilang sesuatu yang pernah diucapkan Asada. Menurutnya, menjadi dokter itu bukan mata pencaharian, tapi panggilan hidup."

"Panggilan hidup, ya? Seperti … cita-cita?"

"Hampir betul. Cita-cita yang kamu jalani sepenuh hati dan bermanfaat bagi orang lain … itu yang Asada sebut sebagai panggilan hidup."

"Aku … mau jadi ahli astronomi," gumam Boboiboy, mengulanginya untuk kesekian kali. "Biar nggak ada lagi orang-orang yang tersesat tentang ilmu perbintangan, memuja bintang yang juga ciptaan Tuhan."

Fujiyoshi mengangguk sambil tersenyum. "Itu bagus sekali. Sedangkan, cita-cita kami para dokter … semua adalah peningkatan kualitas hidup pasien. Boboiboy mau, 'kan, punya hidup yang berkualitas?"

Boboiboy mengerjap, tak habis rasa herannya hari ini. "Mau. Tapi, kayak apa itu?"

"Hidup yang berkualitas itu misalnya … bisa hidup dengan bahagia dan menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Sensei yakin, ayahmu pasti bahagia kalau kamu sembuh dan bisa hidup bahagia juga."

Hati Boboiboy sangat terharu, dia menangis sekali lagi. "Aku nggak pernah betul-betul memikirkan kebahagiaan Ayah. Yang selalu kupikirkan hanya, betapa aku ini selalu jadi beban buat Ayah, aku nggak puas dengan hidupku. Aku cuma memikirkan diri sendiri."

"Mulai sekarang, Boboiboy pikirkan ayahmu juga kalau kamu takut membayangkan operasi. Bayangkan wajah ayahmu yang tersenyum melihatmu pulih."

Boboiboy mencoba membayangkannya dan tersenyum sendiri. "Kurasa aku bisa, Sensei …."

"Bagus sekali," puji Fujiyoshi sekali lagi.

Si pasien menatap dokternya lekat-lekat. "Dari dulu aku penasaran, operasi jantung itu kayak gimana, Sensei?"

"Hmm? Kamu yakin mau tahu gimananya dengan detail?"

Boboiboy mengangguk tanpa ragu. Jadi, Fujiyoshi mencoba menjelaskan,

"Pertama, kamu dibius dulu sampai tidur dan nggak akan merasa sakit. Lalu, dokter akan membuat sayatan di dadamu menggunakan pisau bedah." Fujiyoshi menunjuk tulang dadanya sendiri, lalu meneruskan, "Dari sebelah sini, sayatannya sekitar lima belas sentimeter ke bawah."

Boboiboy meringis kecil membayangkannya, tanpa sadar meraba dadanya sendiri, tempat bekas sayatan yang terakhir pernah dibuat. "Lalu?"

"Oh, iya. Sebelum itu, kami akan menyiapkan ventilator dan mesin jantung-paru untuk menggantikan fungsi jantung dan paru-parumu selama operasi."

"Ventilator? Mesin jantung-paru?" ulang Boboiboy.

"Jantungmu akan dibuat berhenti berdetak menggunakan suatu obat, namanya cardioplegia. Kalau jantung berhenti, maka aliran darah ke seluruh tubuh akan berhenti juga, dan kondisimu yang dibius tidak bisa mengambil napas sendiri. Kedua alat itu akan memompa darah dan oksigen ke seluruh tubuhmu."

"Hooo …," seloroh si pasien.

"Karena ini akan jadi operasi besar, transplantasi jantung, para dokter akan menggunakan alat bernama Finochietto retractor untuk memisahkan tulang rusukmu, biar rongga dadamu terbuka seluruhnya."

Boboiboy berjengit mendengarnya, otomatis memeluk rusuknya sendiri.

"Jangan khawatir, nanti tulangmu bisa tumbuh dan menyatu lagi, kok."

"Tu-tulangku bisa menyatu lagi?!"

Fujiyoshi mengangguk sambil tersenyum.

"Jantung yang baru … yang akan menggantikan jantungku, gimana memasangnya?"

"Nah, di situ bagian yang paling sulit. Setelah jantung yang lama diangkat, banyak pembuluh darah yang akan dijahit …."

Boboiboy menggeleng-gelengkan kepala. "Oke, Sensei. Sudah cukup. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan." Kemudian anak itu terbelalak. "Tunggu dulu, bukannya Fujiyoshi-sensei bukan dokter bedah?"

"Hmm? Memang bukan."

"Kok, bisa tahu sebanyak itu?"

Fujiyoshi tertawa kecil. "Aku selalu menonton jalannya operasi Team Medical Dragon. Peranku memang hanya sebelum dan sesudah pasien dioperasi, tapi aku perlu tahu apa saja yang terjadi selagi pasiennya di meja operasi."

Boboiboy manggut-manggut. "Lalu … kalau Asada-sensei belum bisa operasi, maka Ijyuuin-sensei dan Toyama-sensei yang akan mengoperasiku?"

"Iya, betul."

"Aku nggak suka Toyama-sensei," ujar Boboiboy, kembali agak merengut.

"Toyama juga mencemaskanmu, lho. Dia yang punya ide mengajak Ijyuuin latihan operasi biar mereka siap ketika ada donor dan Asada belum pulih juga."

"Apa iya?" Boboiboy betul-betul keheranan.

"Masa Sensei bohong?" Fujiyoshi terkekeh. "Meski ada satu orang yang nggak bisa hadir, tim bisa tetap jalan. Kami tetap tim yang solid, dan tim itu sebenarnya nggak hanya di antara para tenaga medis saja …. Kamu sendiri, sebagai pasien, dan ayahmu, keluarga pasien … kita semua melawan penyakit ini bersama-sama sebagai sebuah tim."

Jadi, dirinya juga bagian dari tim? Sebuah tim yang hebat untuk melawan penyakit jantungnya? Boboiboy belum pernah memikirkannya, bahwa dirinya pun bisa punya makna bersama orang lain, bahkan meski itu untuk tubuhnya sendiri. Perlahan, senyum di wajah anak itu kembali.

"Terima kasih, Fujiyoshi-sensei. Aku haus, tolong ambilkan air, ya?"

"Oke. Tunggu sebentar, ya."

Boboiboy–Halilintar–merasa tak sabar menanti hari esok, ketika Arase akan datang lagi untuk membukakan jalan baginya berdialog dengan enam yang lain. Atau tujuh, kalau Boboiboy yang asli, pemilik tubuh yang sesungguhnya, juga sedang terbangun.

Diterimanya gelas air dari Fujiyoshi dan diminumnya sampai tandas. Rasanya sungguh melegakan. Ayahnya benar, dokter-dokter di sini memang hebat.

Saat meletakkan gelasnya ke meja, Boboiboy terbatuk kecil. Air yang diminumnya sempat naik kembali ke kerongkongan dan membuatnya tersedak parah.

"UHUK–"

"Boboiboy?" Terdengar suara Fujiyoshi yang langsung waspada.

Napas Boboiboy jadi sesak lagi dan sebuah dorongan kuat dari dalam pencernaannya membeludak ke atas. Boboiboy muntah ke atas selimutnya, begitu banyak cairan tumpah di sana. Fujiyoshi menjauhkan selimut kotor itu dan mengelap mulut Boboiboy, namun ada hal lain yang membuat mata sang dokter melotot.

Pasiennya sudah pingsan dengan mulut terbuka. Monitor EKG menunjukkan grafik kecil-kecil yang sangat landai dan Fujiyoshi segera mencari nadi di leher si pasien namun tak menemukannya.

"Nadi tak teraba … pulseless electrical activity!"

Fujiyoshi dengan sigap memencet sebuah tombol berwarna biru lalu meraih sebuah papan panjang dari bawah ranjang. Segera saja menggema suara operator,

"Code blue … PICU bed 1. Code blue … PICU bed 1. Code blue ... PICU bed 1 …."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

to be continued.

.

.

.

Author's Note:

Code blue: kode bencana yang menandakan adanya kegawatdaruratan medis. Artinya? Ada orang yang henti jantung/napas :( Biasanya kode ini diumumkan sebanyak tiga kali disertai lokasi (ruangan, tempat tidur pasien) agar tim code blue bisa segera bergerak ke TKP dan memberi pertolongan.

.

Asada masih tertolong, tapi dia lupa ingatan dan butuh waktu yang nggak sebentar untuk bisa pegang scalpel lagi :" bagi yang tahu serial TMD sampai dengan season 3, bagian ini diadaptasi hampir persis sama, ya XD

Tentang operasi jantung, Roux lebih banyak belajar dari serial TMD daripada buku kuliah, kok (lagian kuliahnya Roux memang bukan Kedokteran XD) soal istilah-istilah medis yang bermunculan, sebisa mungkin sudah dijelaskan dalam cerita.

Tentang pulseless electrical activity dan tindakan pertolongannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab terakhir.

.

Langsung lanjut, karena ini double update!

25.05.2022