"Kode Biru di PICU?"

Tangan Toyama yang sedang simulasi menjahit pembuluh darah terhenti di udara ketika mendengar kabar itu. Dilemparnya pandangan pada Ijyuuin yang sedang latihan bersamanya.

"Bukannya saat ini, Boboiboy adalah satu-satunya pasien di PICU?"

Tanpa bicara, keduanya segera meletakkan peralatan masing-masing dan berlari menuju unit perawatan intensif anak-anak itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Team Medical Dragon (c) Akira Nagai & Tarou Nogizaka

Good Night, Have a Nightmare! (c) Roux Marlet

-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

Chapter 5: The Heart Donor

.

.

.

.

.

"Berikutnya Atropine."

Fujiyoshi berkeringat deras, kedua tangannya bertumpu di atas dada Boboiboy, terus memompa sambil memberi instruksi. Salah seorang perawat menyuntikkan obat dari ampul kaca yang dibukanya. Dokter jaga ICU dan perawat yang terlatih untuk penanganan kode biru memang telah datang membantu Fujiyoshi, namun tenaga mereka yang bergantian melakukan pijat jantung hampir mencapai batasnya.

"Nadinya tetap belum kembali."

"Apa kita coba setrum pakai defibrilator?"

"Lihat EKG-nya. Ini PEA, pulseless electrical activity. Percuma menyetrumnya."

"Kita cuma bisa mengandalkan pijat jantung, Epinephrine, dan Atropine."

"Kondisi anak ini sejak awal memang sudah buruk …."

"Kita semua tahu itu," potong Fujiyoshi sambil terengah. "Tapi, aku belum mau menyerah. Siapkan Epinephrine lagi."

Saat itu, Ijyuuin dan Toyama datang ke PICU dan bergegas mendekat.

"PEA?" sambar Toyama cepat setelah melirik monitor EKG, yang dibalas anggukan Fujiyoshi. "Gantian."

Fujiyoshi segera menyingkir, membiarkan Toyama melanjutkan pijat jantungnya dengan tenaga penuh. Ijyuuin berbisik cemas,

"Ayahnya menunggu di luar?"

"Ya," sahut sang dokter konsultan.

"Ini gawat … kita belum dapat donor jantung dan kondisinya drop begini."

"Ijyuuin, percayalah pada anak itu." Fujiyoshi menatap dokter yang lebih muda itu tajam-tajam. "Dia sendiri anak yang kuat. Kita perlu membantu memberinya kekuatan untuk bertahan."

Ijyuuin mengerling ke arah si pasien yang memucat dalam ketidaksadaran dan sedang dibantu oleh Toyama. Dalam waktu ini, sebelum lima menit berlalu, Boboiboy dalam kondisi mati klinis tapi masih ada kemungkinan untuk tertolong.

"Bertahanlah, Boboiboy!" gumam Ijyuuin, lalu menawarkan diri menggantikan Toyama. Obat suntik untuk menunjang kembalinya nadi diberikan lagi.

.

.

.

.

.

"Bertahanlah …"

Bertahan? Buat apa lagi? Jantung ini sudah jelek ….

"... Boboiboy!"

"Aku takut mati! Aku belum mau mati!"

"Aku masih mau lihat bintang bareng Ayah!"

"Aku mau jadi ahli astronomi!"

"Aku belum pernah lihat bunga sakura mekar! Pasti bagus!"

"Yah, asal jangan dicium-cium bunganya, Duri … nanti jadi pusing."

"Oh? Rupanya kamu nggak suka aroma yang terlalu wangi, ya, Halilintar!"

"Cih. Iya, Duri. Bikin mual, tahu! Blaze, kamu juga, habis main dan keringetan, tuh, jangan lupa mandi!"

"Eh? Ehehe, iya …."

"Hmm? Aku juga mau bilang! Terutama kamu, Duri! Jangan lupa pakai sunblock kalau mau main di kebun!"

"Oh? Iya, Solar … maaf, ya?"

"Ehm … Blaze, Taufan, tolong jangan sobek-sobek diary-ku lagi, ya …."

"Eh? Kukira kertasnya udah nggak terpakai, Gempa … aku cuma bosan!"

"Kamu juga, Solar! Jangan sombong kayak gitu terus, nanti dijitak orang gimana?"

"Huh? Nanti otakku yang cemerlang ini jadi–"

"Hoaaaahm, mulai lagi, deh. Tuh, 'kan? Barusan juga dibilangin."

"Eh, Ice! Kamu harus lebih banyak olahraga biar jantung sehat!"

"Kebanyakan lari-lari juga nggak bagus buat jantung, Blaze."

.

"Ya, kalau kalian mau lari-lari, secukupnya saja … teman-teman."

.

Untuk sesaat, hening melanda. Lalu, tujuh suara kompak berseru,

"BOBOIBOY?!"

Ada tangisan dan juga tawa, ketika para penumpang yang tak seharusnya ada dalam tubuh itu akhirnya bisa berdialog dengan pengemudi yang sejati.

"Hei, kalian … apa kita sudah mati? Makanya bisa ngobrol begini?"

"Eum, Duri nggak tahu. Halilintar, apa yang terjadi tadi?"

"Aku tersedak dan muntah–"

"Oh, bukan kabar bagus …."

"Kalau aku mati, ya sudah. Mungkin lebih baik begini. Ayah nggak akan hidup dengan beban–"

"Boboiboy, kamu bukan beban buat Ayah! Kamu anaknya, satu-satunya! Dia pasti sedih kalau kamu mati …."

"Wow, Halilintar bisa juga ngomong sepanjang itu, ya."

"Berisik, Taufan. Pokoknya, kamu seorang harus hidup, Boboiboy!"

"A-aku seorang …?" Jeda sejenak. "Lalu, kalian?"

"Seharusnya kami bertujuh ini nggak ada sejak semula."

"Bukan gitu, Gempa. Menurut logikaku, sebetulnya dari semula, kita ini ya bagian dari Boboiboy sendiri."

"Kita bagian dari kutukannya?"

"Dibilang kutukan, kok, kesannya menyeramkan, ya, Blaze …."

"Apa pun kita, rasanya setelah ini kita nggak perlu muncul lagi. Boboiboy pasti bisa meneruskan hidup."

"Meneruskan hidup tanpa kita?"

"Bukan tanpa kita, tapi bersama kita di dalam dirinya. Kita semua ini bagian dari kepribadiannya, Duri!"

"Wah, Gempa ternyata bisa berpikiran logis sepertiku, ya …."

….

"Kalian … terima kasih."

.

.

.

.

.

"Nadinya sudah kembali!" seru Ijyuuin yang mengecek sisi leher Boboiboy.

Monitor EKG mulai menunjukkan grafik yang normal dan stabil.

"Boboiboy!" panggil Toyama sambil mendesah lega. Semua dokter dan perawat yang hadir di situ menanti dengan berdebar, dan tiga menit berlalu tanpa adanya penurunan kondisi.

"Syukurlah …."

Peralatan resusitasi dibereskan dan kelompok tenaga medis itu pun bubar kembali ke tempat bertugas masing-masing. Tersisa dokter ICU dan ketiga dokter dari Team Medical Dragon yang tetap tinggal.

Kelopak mata sang anak perlahan bergetar lalu membuka.

"Boboiboy …!" Fujiyoshi memanggilnya sambil menggenggam tangannya. Sorot mata cokelat itu berkeliaran lemah, mencari-cari.

"Ayah …," gumam si pasien, suaranya serak dan hampir tak terdengar.

Ijyuuin berinisiatif lari keluar untuk memanggil Amato. Di ruang tunggu PICU, wajah sang ayah begitu pucat sembari menyimak laporan sang dokter.

"Jantungnya sempat berhenti …?" Amato otomatis mencengkeram dada kirinya sendiri, tempat sebuah pacemaker tertanam. Kabar itu cukup mengejutkan; bukankah Boboiboy masih baik-baik saja sampai beberapa jam yang lalu?

Ijyuuin melempar senyum bersimpati. "Saat ini, Boboiboy sudah tertolong. Mari kubantu, Amato-san. Dia mencari Anda." Dokter muda berkacamata itu juga tampak waspada, dia harus siap pada kemungkinan bahwa ganti Amato yang bakal pingsan setelah ini karena terlalu kaget, tapi untungnya itu tidak terjadi. Pria berpeci itu masuk lagi ke dalam PICU dan segera mendekati putranya, memanggil namanya berulang-ulang.

"Ayah …." Boboiboy meneteskan air mata, suaranya masih sangat lemah. Sang ayah berlutut di sisi ranjang dan memeluknya.

"Boboiboy … Boboiboy … Alhamdulillah ya Allah …."

Dokter ICU pamit undur diri kepada tim dokter bedah. Toyama juga menjauhkan diri ke pinggir ruangan, sedangkan Fujiyoshi dan Ijyuuin masih di dekat ayah dan anak yang berpelukan itu.

"Ayah …," ucap Boboiboy sekali lagi, setelah tenaganya cukup kuat. "Aku mau sembuh dan membahagiakan Ayah."

Mata Amato melebar. Barusan, kata ganti yang digunakannya adalah Ore … tapi, siapa yang bicara dengan optimisme dan empati sebagus ini?

"Kalaupun aku … nggak berhasil jadi ahli astronomi … karena umurku nggak cukup panjang, seenggaknya … aku bisa bikin Ayah bahagia."

"Boboiboy …." Amato mengulang nama anaknya sekali lagi.

"Aku … aku tadi bicara dengan tujuh yang lain," sambung Boboiboy lirih. "Aku mau terus hidup bersama mereka. Ayah bantu aku, ya?"

Para dokter yang menyimak ikut terkejut, namun hanya bertukar senyum dalam diam.

"Tentu saja, Boboiboy," balas Amato, masih bertahan dengan pelukannya. "Ayah juga mau kamu hidup bahagia."

"Maaf kalau selama ini aku menyusahkan Ayah. Nggak akan kuulangi."

"Ayah juga minta maaf buat yang kemarin-kemarin … semua yang sudah berlalu …."

Boboiboy tertawa kecil, air matanya masih menetes. "Ini persiapan kalau nanti aku pulang ke rahmatullah, ya? Saling maaf-maafan sama Ayah."

Amato menggeleng. "Boboiboy, jangan bilang begitu. Kamu harus yakin …"

"... yakin bahwa Allah akan berikan yang terbaik. Ya, 'kan, Ayah?"

Ijyuuin tak tahan lagi, dia bisik-bisik pada Fujiyoshi untuk pamit ke toilet padahal Toyama bisa melihat wajahnya berlinangan air mata sampai kacamatanya berembun.

.

.

.

.

.

"Amato-san. Ada beberapa hal penting yang harus dibicarakan."

Boboiboy telah tidur kembali di dalam PICU, dengan monitor EKG dan perekam tanda vital lainnya tetap terpasang. Akan ada alarm yang berbunyi jika sewaktu-waktu ada perburukan kondisi, dan di ICU di sebelahnya selalu ada dokter yang bertugas jaga. Ayah anak itu telah diminta berdiskusi kembali di kantor dokter oleh Fujiyoshi. Ijyuuin dan Toyama juga ikut hadir.

"Setelah ini, kurasa Boboiboy nggak bisa lagi ditempatkan di kamar biasa. Dia akan terus tinggal di PICU sampai ada donor," ucap sang dokter konsultan, mengawali pembicaraan.

"Dengan semua alat itu menempel ke badannya?" seloroh Amato dengan paras sedih.

"Ya. Karena, Anda tadi lihat sendiri. Kondisinya bisa secepat itu berubah drastis."

"Boboiboy bisa saja meninggal, tadi?" gumam pria berpeci itu.

"Benar."

Amato menghela napas panjang. Fujiyoshi mengeluarkan beberapa buah map kertas.

"Kalau yang seperti itu terjadi lagi, kami para dokter harus mengambil tindakan." Sang dokter membuka salah satu map itu. "Sebagai ayah pasien, Anda harus mengetahui dan menyetujui atau tidak menyetujui beberapa hal. Pertama-tama, kalau Boboiboy mengalami henti jantung sekali lagi, ada dua opsi."

Amato menunduk dan menyimak tulisan di formulir paling depan.

"Pilihan pertama: kami akan melakukan RJP atau resusitasi jantung paru seperti tadi. Pijat jantung, bantuan napas, dan pemberian obat yang diperlukan untuk mengembalikan detak jantung dan napasnya. Untuk pilihan ini, kami akan berusaha sebaik mungkin, tapi, tetap ada dua kemungkinan hasil akhirnya: detak jantung dan napas bisa kembali, atau nggak bisa kembali … dan ini artinya kematian."

Mata Amato serasa berkabut. "Apa pilihan kedua?"

"DNR atau Do Not Resuscitate."

"Hah?" Amato belum paham.

"Ini pilihan untuk kasus tertentu ketika penyakit sudah mencapai tahap akhir, tak bisa tertolong lagi, atau sangat kecil kemungkinan untuk sembuh. Beberapa keluarga setuju memilih yang ini kalau merasa bahwa RJP yang menunjang hidup pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Dokter nggak akan melakukan RJP pada pasien henti jantung yang keluarganya setuju untuk DNR."

Mendengar itu, Amato betul-betul menangis. Ditutupnya mulut agar isakannya teredam, tapi tak berhasil. Napasnya berantakan, sampai-sampai Ijyuuin mendekatinya karena khawatir Amato kena serangan jantung. Setelah agak tenang, Amato bicara lagi,

"Apa kondisi Boboiboy … separah itu? Mana yang harus kupilih?"

Fujiyoshi berpikir-pikir, dahinya berkerut dalam. "Kalau nggak ada donor jantung ketika dia mengalami itu lagi … RJP mungkin hanya akan membantu sedikit. Jantungnya yang sekarang benar-benar dalam kondisi buruk."

"Apa sudah nggak ada harapan …?"

"Selalu ada harapan, tapi hidup-mati manusia ada di tangan Tuhan. Kami menghargai keputusan Anda, Amato-san. Mohon Anda pikirkan baik-baik." Fujiyoshi menatap lawan bicaranya lekat-lekat.

"Aku nggak mau memilih DNR," ujar Amato akhirnya, terdengar sangat yakin. "Dia masih anak-anak. DNR itu sama saja dengan … membiarkannya mati."

"Berarti, Anda memilih opsi pertama?" Fujiyoshi memastikan, menunjuk tulisan yang dimaksud.

"Ya."

"Kalau begitu, Anda bisa tanda tangan di sebelah sini."

Amato membubuhkan tanda tangan di bagian yang diminta, sambil berdoa bahwa keputusannya ini adalah yang terbaik.

"Selanjutnya, tentang transplantasi jantung." Fujiyoshi membalik kertasnya.

"Baiklah …?"

"Donor jantung hanya bisa diperoleh dari manusia yang baru saja meninggal–entah karena kecelakaan atau meninggal secara alami, bila organ jantungnya masih utuh dan nggak ada kerusakan, maka bisa didonorkan. Maka dari itu, mendapatkan donor jantung sangatlah sulit. Selain itu, jantung yang bisa dipakai untuk transplantasi hanya bisa bertahan beberapa jam. Biasanya, operasi transplantasi jantung harus dilakukan dalam 4-6 jam sejak jantung dikeluarkan dari tubuh pendonor yang meninggal."

Amato mengernyit. "Berarti, donornya harus dari sekitar sini?"

"Ada bank organ di pinggir kota, sekitar satu jam jaraknya dari sini. Mereka harapan kita yang terdekat, dan direktur Hokuyou sudah mencoba menghubungi mereka lagi. Begitu ada donor, mereka akan menelepon ke sini. Makanya," Fujiyoshi mengerling ke arah dua rekannya yang dokter bedah, "mereka berdua menginap di sini untuk latihan dan siap-siap ketika saatnya tiba."

"Menginap di sini? Demi Boboiboy?" Amato tertegun, takjub menatap Toyama yang membuang muka dan Ijyuuin yang tampak malu. "Anda berdua … lalu, keluarga di rumah, gimana?"

"Oh, aku belum menikah, kok," sahut Ijyuuin tersipu-sipu. "Aku tinggal di apartemen sendirian."

"Aku juga," imbuh Toyama, singkat, padat, jelas.

"Terima kasih." Amato begitu terharu sampai menangis sekali lagi. Para dokter ini begitu banyak berkorban demi anaknya … apalagi kalau dia mengingat pasien di kamar 101 saat ini, Asada Ryutaro ….

"Poin kedua tentang transplantasi, setelah donor didapatkan, perlu dilakukan tes singkat apakah ada kemungkinan nggak cocok."

"Begitu?" Amato keheranan karena memang kurang paham. "Apa saja tesnya?"

"Tes golongan darah dan tes antibodi. Mari kita lihat …." Fujiyoshi membolak-balik berkas di map yang lain. "Golongan darah Boboiboy adalah O Rhesus positif. Golongan yang cocok adalah O juga, baik Rhesus positif maupun negatif. Orang dengan golongan darah O jumlahnya terbanyak di populasi, jadi, mari kita berharap memang akan segera ada donor."

"Amin," sahut Amato.

"Kalau semuanya cocok, maka transplantasi bisa dilakukan." Fujiyoshi menutup map berisi rekam medis Boboiboy. "Kalau operasinya lancar, Boboiboy akan bangun dengan badan yang lebih sehat, dengan jantung yang baru dan berfungsi baik. Ada lagi satu hal terakhir yang perlu dijalani setelah transplantasi."

"Ya? Apa itu?"

"Obat-obatan yang menekan daya tahan tubuh, atau immunosuppresant. Organ yang ditransplantasi akan dianggap sebagai sesuatu yang asing oleh tubuh, maka sistem kekebalan tubuh akan menyerang organ baru itu, seolah tubuh 'menolak' si organ baru. Tentunya kita nggak mau itu terjadi. Boboiboy memang nggak perlu lagi minum Digoxin untuk menguatkan jantungnya, tapi dia harus minum obat immunosuppresant selama beberapa waktu setelah operasi."

Amato mengangguk maklum.

"Tes kecocokan yang sebelumnya, dilakukan untuk meminimalkan hal ini. Namun, tetap ada kemungkinan bisa terjadi penolakan oleh tubuh. Makanya, pemantauan pascaoperasi juga sangat penting. Di situlah tugasku nanti," pungkas Fujiyoshi dengan percaya diri.

"Sensei … kalian semua … terima kasih." Amato membungkuk dalam-dalam.

"Boboiboy punya semangat hidup yang tinggi," balas Ijyuuin menyemangati.

"Dia beruntung banget, punya ayah sepertimu," imbuh Toyama, yang segera dilirik oleh kedua dokter lainnya. "Ap-apa lihat-lihat?"

"Kau jadi makin bijak, ya, Toyama." Yang membalas adalah Fujiyoshi, sambil nyengir kecil.

"Berisik!" Toyama buang muka, tak mau mengakui bahwa dia sebetulnya agak iri pada pasiennya. Selama ini dia tidak menyukai anak-anak karena masa kecilnya sendiri jauh dari kata menyenangkan. Sebagai anak bungsu dari keluarga dokter, dia pun dituntut menjadi dokter yang hebat dan harus belajar terus sejak kecil.

Namun, kalau dipikir lagi … kalau bukan karena didikan keluarganya yang keras itu, barangkali Toyama tak akan bertemu Asada dan timnya, juga Boboiboy dan ayahnya, di RS Hokuyou ini …. Mau tak mau, raut wajah sang dokter melembut juga.

"Semoga segera ada donor," ujar Toyama akhirnya, mengulangi harapan yang sama. "Aku nggak sabar untuk operasinya."

"Toyama-sensei semangat banget, ya," kekeh Ijyuuin.

"Nah, sudah selesai, 'kan, Fujiyoshi-sensei? Ayo, Ijyuuin. Kita lanjut latihannya."

"Eh … kita belum makan malam, lho, Toyama-sensei …."

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

Dokter anestesi Arase Monji terbelalak di operan pagi berikutnya.

"Ya ampun, aku libur sehari saja dan sudah begitu banyak yang terjadi." Si dokter gempal geleng-geleng kepala, mengacak rambut pirangnya dengan frustrasi. Miki, yang bertugas jaga malam, juga menyampaikan kecemasannya.

"Waktu diskusi dengan Fujiyoshi-sensei kemarin, Amato-san nggak memilih DNR. Semoga memang segera ada donor yang cocok."

"Oh, dia masih di ruang tunggu PICU?" tanya Arase, belum bisa menemukan kembali respect kepada pria itu.

"Terakhir kutengok sekitar waktu subuh tadi, iya," sahut Miki.

"Baiklah. Aku mau ke PICU. Ijyuuin dan Toyama tidur di kantor, kah?"

"Toyama-sensei masih tidur. Aku nggak melihat Ijyuuin di sana tadi. Mungkin dia di ruang latihan."

"Anak itu … semangat banget. Kalau dia sendiri tumbang, gimana, coba?"

Miki tersenyum geli. "Yah, dia itu perlu diingatkan terus, Arase-sensei."

"Lalu Asada … gimana kabarnya?"

Raut Miki berubah. "Tadi dia sudah ingat namaku, tapi yang lain … belum. Dia masih terus melatih tangannya juga."

"Oke, oke. Pulanglah, Miki. Istirahat yang cukup."

"Siap."

.

.

.

.

.

Ijyuuin ternyata ada di kamar Asada pagi itu. Arase melewati kamar 101 selagi hendak menuju PICU.

"Lalu, foto yang ini … Sensei belum ingat? Ini pasien pertama yang kutangani … meski kasusnya bukan bedah tapi kemoterapi untuk kanker, wanita tua ini yang membuatku teguh di jalan hidup sebagai dokter."

Asada mengamati layar ponsel Ijyuuin dengan senyum terkulum. "Lalu, di mana wanita ini sekarang?"

Ijyuuin menatap sedih. Rupanya ingatan sang mentor belum kembali sepenuhnya. "Dia sudah meninggal …."

Asada terkesiap. "Turut berdukacita …."

"Tapi, Asada-sensei!" Ijyuuin mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. "Selagi dia dirawat di Meishin dulu, aku mengajarinya mengetik SMS di ponsel. Dan, SMS yang dia kirimkan untukku sebelum meninggal … adalah SMS pertama dan terakhirnya. Ini dia."

Asada membaca dengan seksama, kemudian ikut meneteskan air mata bersama dokter yang lebih muda. Hatinya ikut tersentuh meski belum bisa mengingat sepenuhnya.

"Dia menulis, 'Kamu pasti jadi dokter yang hebat, Ijyuuin-sensei.' Apakah sudah demikian?"

Ijyuuin mengangguk tanpa suara, dia selalu jadi agak emosional kalau membicarakan kembali sosok motivator pertamanya yang sudah tiada itu. Dia bicara sambil sesenggukan, "A-aku … bisa jadi dokter yang hebat, b-berkat dirimu, Asada-sensei."

"Berkat aku?" ulang Asada keheranan, lalu menatap kedua tangannya.

Arase si dokter anestesi mundur sendiri dari ambang pintu yang terbuka sedikit itu sambil bergumam, "Dasar cengeng …."

Sambil setengah berlari menuju PICU, Arase juga mengusap kasar pipinya yang tiba-tiba basah.

.

.

.

.

.

"Arase-sensei!"

Boboiboy terdengar sehat dan ceria ketika si dokter gendut masuk ke PICU. Amato ada di dekatnya, mangkuk nasi dipegang di tangan kiri dan sendok di tangan kanan. Tampaknya si pasien sedang sarapan.

"Halo, Boboiboy. Apa kabar?"

"Belum pernah sebaik ini," sahut yang ditanya dengan riang. Dibukanya mulut ke arah sang ayah yang langsung menyuapinya.

"He, kamu makan disuapi Ayah?" ledek Arase.

Boboiboy mengunyah dan menelan sampai tuntas dulu baru membalas, "Nggak apa-apa, 'kan? Sudah lama banget sejak terakhir Ayah nyuapin aku …."

Amato hanya tertawa singkat, sadar diri pada aura sentimen yang menguar dari sikap tubuh dokter anestesi itu. Sepertinya Arase tetap tak bisa mengampuni kesalahannya tentang obat bius.

"Nah, jadi? Kudengar, kamu sudah berdialog dengan semuanya?" selidik sang dokter, yang dibalas anggukan.

"Jadi, kamu yang ini adalah Boboiboy?"

"Tentu saja!"

"Maksudku, bukan Gempa atau yang lain yang bicara dengan ore …?"

Kali ini, Boboiboy menggeleng, lalu menaruh tangannya di dada. "Mereka semua ada di dalam sini, bagian dari kepribadianku."

Arase tersenyum senang. "Jadi, kamu sudah menerima mereka sebagai bagian dari dirimu?"

"Ya!" balas Boboiboy senang. "Buatku, ini bukan kutukan, tapi anugerah."

Amato terdengar seperti menarik ingus yang ditahan. Dioperkannya makanan Boboiboy yang masih setengah porsi kepada sang dokter sambil berujar,

"Permisi, Sensei, aku mau ke toilet."

Arase menerima makanan itu sambil memandangi kepergian Amato yang terbirit-birit. Boboiboy mendesah.

"Ayah nggak mau nangis di depanku. Padahal, nggak apa-apa, lho." Anak itu tiba-tiba sudah meneteskan air mata lagi. "Nangis itu bukan berarti lemah …."

Sang dokter anestesi menepuk kepala si pasien, yang kali ini terbungkus topi dinosaurus menghadap ke belakang. "Tandanya kalian saling menyayangi. Iya, 'kan?"

Boboiboy mengangguk dengan senyum haru. Binar yang cemerlang di mata cokelatnya … itu bukan sorot mata seorang pasien tahap akhir yang menyerah dengan penyakit. Arase yakin bahwa inilah kepribadian Boboiboy yang sesungguhnya.

"Berdoalah untuk yang terbaik, Boboiboy. Kami semua mendukungmu juga. Ayo, kok, makannya berhenti? Buka mulutmu … pesawatnya mau masuk … aaaaa."

Si pasien tertawa lalu membuka mulutnya. Arase masih sempat melirik ke monitor EKG dan tanda vital, yang semuanya masih dalam batas normal. Arase pun berdoa dalam hati, semoga mereka semua diberi waktu dan kesempatan agar anak ini bisa ditolong.

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"ADA DONOR UNTUK BOBOIBOY!"

Informasi dari direktur kepada Fujiyoshi yang diteruskannya ke beberapa pihak sekaligus membuat segelintir orang yang sedang tidur jadi terbangun dengan kaget, tapi segera jadi bersemangat. Matahari memang belum terbit di hari ketiga belas Boboiboy tinggal di RS Hokuyou itu.

Toyama meregangkan badan dan menyiagakan scalpel-nya. Miki mencuci muka lalu menyiapkan seragamnya. Ijyuuin berlari-lari ke kamar 101 untuk memberi tahu Asada.

"Boboiboy akan ditransplantasi pagi ini!"

Asada ikut berbinar, saat itu dia sudah cukup mengingat lebih banyak hal tentang Boboiboy dan ayahnya. "Syukurlah." Dia perlahan bangkit dari tempat tidurnya. "Aku … aku mau melihat jalannya operasi."

"Tunggu, Asada-sensei! Akan kupanggilkan Fujiyoshi-sensei untuk mendampingimu!"

Fujiyoshi sendiri sedang membangunkan Arase yang tidur di PICU sekaligus memberitakan kabar itu kepada Amato, yang baru selesai salat Subuh.

"Alhamdulillah …." Pria berpeci itu memberikan sujudnya kepada Tuhannya sekali lagi. Air matanya bercucuran. Akhirnya saat ini tiba juga!

Boboiboy ikut terbangun karena mendengar keributan. Arase segera mendekatinya, dengan eyepatch kesayangan masih terpasang di bagian atas kepala karena baru bangun tidur.

"Boboiboy dapat donor jantung! Apa kamu sudah siap?"

Awalnya anak itu terbelalak kaget, lalu dengan cepat ekspresinya berubah. "Alhamdulillah … aku akan sembuh! Aku siap, Sensei!"

Sekali lagi, Arase menilik monitor pemantau. Kondisi si pasien masih baik saat ini. Tak ada yang perlu dikhawatirkan … mereka tinggal menunggu organ itu datang dan melakukan tes matching, lalu … menjalankan operasi pada Boboiboy.

.

.

.

.

.

"Propofol intravena untuk induksi anestesi … Sevoflurane inhalasi untuk maintenance. Neuromuscular blocker memakai Pancuronium, untuk reversal: Neostigmine atau Sugammadex? Aku lebih suka Neostigmine."

Arase menyemburkan berbagai instruksi pada perawat anestesi, sibuk mempersiapkan dan menghitung dosis obat bius yang diperlukan. Tak perlu mencemaskan dosis besar atau kecil, Arase cukup yakin bahwa berat badan Boboiboy sudah cukup sebagai pertimbangan.

Boboiboy dalam baju operasi berbaring dengan gelisah. Di sekelilingnya, orang-orang berkeliaran, membicarakan istilah-istilah yang kurang dipahaminya. Aroma samar alkohol mampir di hidung, tampaknya dari permukaan ruangan dan alat yang sudah steril. Suara Arase adalah yang paling banyak masuk ke telinganya, karena pembiusan adalah hal pertama yang akan dilakukan. Di atas sana, agak serong di langit-langit ruang operasi, ada sederet jendela kaca yang cukup besar.

Ayah Boboiboy ada di sana, berdiri berdampingan dengan Fujiyoshi dan juga Asada di kursi roda. Boboiboy melihat ke arah sang ayah dan mendapati Amato balik menatapnya. Sang ayah melambaikan tangan sambil tersenyum, mulutnya bergerak-gerak. Boboiboy tak tahu apa yang diucapkan ayahnya, tapi dia jadi lebih tenang. Ini adalah operasinya yang ketujuh, harusnya dia tak perlu terlalu takut lagi, apalagi mungkin ini akan jadi operasi terakhirnya. Dibayangkannya raut wajah yang mirip dirinya itu tersenyum bahagia ketika mendapati sang anak sembuh total.

"Jantungnya sudah datang!" Seseorang berseru sambil membawa masuk sebuah kotak serupa koper berukuran sedang. "Tes matching cocok!"

"Boboiboy, ayo kita berhitung sama-sama," ujar Arase di dekatnya, siap menembakkan obat bius lewat infus dan selang pernapasan. Boboiboy hanya bisa mengangguk, karena selang obat bius sudah dipasang ke mulut dan hidungnya.

"Satu sampai tujuh, ya? Kita mulai. Satu … dua … tiga …."

Gempa … Solar … Duri … Ice … Halilintar … Blaze … Taufan.

Boboiboy selesai menghitung tujuh nama saat Arase juga menyebut angka tujuh, lalu mata si pasien terpejam. Dia tak sadarkan diri.

"Boboiboy sudah tidur." Arase mengumumkan.

"Kita mulai," ujar Ijyuuin sang chief surgeon, suaranya sedikit bergetar, "operasi pengangkatan jantung dan transplantasi jantung baru pada Boboiboy bin Amato. Tolong, scalpel."

Miki dengan sigap mengoperkan alat yang diminta dan Toyama membantu jalannya operasi. Arase mengawasi tanda vital si pasien dan beberapa kali mengatur ulang kecepatan infus yang diperlukan.

Operasi ini … akan berjalan lancar. Optimisme itu terpancar di mata semua petugas yang hadir, juga pada para pentonton di sebelah atas mereka.

.

.

.

.

.

***...***...***...***...***

GOOD NIGHT,

HAVE A NIGHTMARE!

***...***...***...***...***

.

.

.

.

.

"Selamat tidur, Boboiboy," ucap Amato sambil melambaikan tangan ke ruang operasi di bawah, matanya berkaca-kaca. "Setelah ini, semua mimpi burukmu akan berakhir …."

Ketiga pria dewasa itu menatap pemandangan di bawah mereka dengan penuh perhatian. Sayatan telah dibuat di bagian dada dan Toyama saat ini sedang menggunakan retraktor untuk membuka tulang-tulang rusuk si pasien.

"Kudengar, Anda juga pengguna pacemaker, Amato-san?" Fujiyoshi berbasa-basi, membuka percakapan daripada merasa canggung, karena Asada di kursi rodanya juga diam seribu bahasa.

"Benar."

"Aku menggunakan device dari Medtronic. Kualitasnya bagus."

"Oh, iya. Fujiyoshi-sensei juga pakai pacemaker, ya," gumam Amato, teringat obrolan mereka sebelum ini.

"Ya. Aku mengidap Wolff-Parkinson-White."

Saat itu, ponsel Amato berdering nyaring.

"Maaf, permisi sebentar." Pria itu menyelinap keluar sambil menjawab dalam bahasa Melayu. Fujiyoshi mempersilakan, sedangkan Asada masih diam dan fokus ke bawah.

"Gimana bocah setan itu, Bang?"

Telinga Amato menegak mendengar suara serak familier dengan bahasa yang sama itu.

"Dia sedang dioperasi," balasnya setengah mendesis, sambil menoleh ke belakang. Oh, dia kurang rapat menutup pintu itu saat keluar tadi. Biar saja, lah. Toh dia bukan bicara dengan bahasa Jepang di sini. Fujiyoshi dan Asada tak mungkin paham pembicaraannya kalaupun sampai terdengar.

"Dapat donor, ya? Selamat, kalau begitu. Kau harus berterima kasih kepadaku, tapi aku juga mau mengucapkan turut berdukacita."

Dahi pria berpeci itu berkerut. "Apa maksudmu?"

"Amato sudah meninggal pagi ini."

Kabar itu menghadirkan hening yang tajam.

"Jantung yang mau ditransplantasi itu, jantungnya Amato. Hampir mustahil kalau organnya nggak cocok. Mereka ayah dan anak, hahaha."

Pria berambut dwiwarna itu belum juga bersuara.

"Kenapa, Bang Kaizo? Kau kaget bahwa abangmu yang senantiasa berbadan sehat itu mati juga akhirnya?"

"... nggak juga. Beberapa hari yang lalu kau sudah memberi tahuku bahwa kondisinya makin menurun. Dia nggak mau makan dan minum apa pun, selalu terjebak di masa lalu … dan selama ini dia mengira anaknya sendirilah yang telah membunuh istrinya."

"Yah, siapa pun yang melakukannya, yang jelas warisan Amato sekarang berada di tanganmu. Karena, saat ini kamu adalah Amato. Seandainya orang-orang tahu bahwa Amato yang asli masuk rumah sakit jiwa sejak istrinya terbunuh, anak itu pasti dibawa ke yayasan sosial dan uang warisannya ditahan oleh negara sampai dia berusia dewasa. Idemu menyamar jadi Amato brilian sekali, Bang. Kau sampai operasi plastik demi menipu semua orang termasuk bocah itu sendiri. Amato dari dulu memang agak sombong, mentang-mentang hanya dia sendiri di keluargamu yang nggak penyakitan."

"Kau kira aku nggak tahu siapa yang membunuh Alya, iparku itu?" gumam pria yang bernama asli Kaizo itu sambil tanpa sadar mencengkeram dadanya, tempat pacemaker itu berada sejak dia masih kecil. Memang benar bahwa Amato terlahir sehat tanpa penyakit apa pun sedangkan adiknya, Kaizo, mengidap atrial fibrillation.

Amato menyukai IT programming dan sering berlatih di rumah, membuat Kaizo ikut tertarik dan akhirnya keduanya mendalami ilmu yang sama. Kepercayaan diri yang terlalu tinggi bahwa dirinya bebas dari kutukan turun-temurun telah menghantam Amato dengan keras ketika mendapati putra tunggalnya lahir dengan jantung lemah. Meski begitu, bukan merupakan kebohongan bahwa Amato menyayangi Boboiboy. Mereka bertiga–Amato, Alya, dan Kaizo–mengusahakan apa pun yang terbaik untuk anak itu. Namun, rupanya ada guncangan yang lebih dahsyat lagi, yaitu kematian Alya, yang akhirnya meruntuhkan tiang kewarasan Amato. Semua yang dikisahkan Boboiboy sendiri kepada para dokter merupakan kenyataan di masa lalu, kecuali pada bagian Kaizo menempuh pendidikan lanjut ke Amerika. Nyatanya, Kaizo tak pernah pergi ke Amerika, melainkan terus bersama Boboiboy, meski anak itu sendiri tak tahu kebenarannya. Karena Kaizo tak sanggup seorang diri untuk mengurus Boboiboy dan ada bisikan setan yang mau membantu suplai obat bius, dia pun merancang sistem jam tangan yang menembakkan bius ketika diperlukan dan hanya bisa dilepaskan saat waktu salat tiba.

"Bago Go? Kau masih di situ?"

Kali ini, ganti suara di seberang sambungan yang membisu sejenak. "Ahaha, jadi akhirnya kau bisa menebaknya, Bang? Yang mana dari bocah setan itu yang jadi pembunuhnya?"

"Bukan Boboiboy, bukan juga salah satu dari tujuh kepribadiannya yang kausebut kutukan itu, Bago Go …," gumam Kaizo, meremas ponselnya. "Tapi, KAU YANG MEMBUNUH ALYA!"

Pikiran sang pria kembali pada beberapa hari sebelum itu, ketika didengarnya Asada terjatuh dari atap karena menolong Boboiboy yang hampir membunuh dirinya sendiri. Sambil memeluk sang anak, dia mengucapkan,

"Boboiboy … maaf, maafkan ayahmu."

Itu betul-betul ungkapan permintaan maaf yang diwakilkan oleh Kaizo, karena Amato tak mungkin lagi bisa diberi tahu soal kebenarannya. Selama ini Amato hidup dalam kegilaan, mengira putra tunggalnya sendiri telah membunuh Alya, sang istri. Kaizo sendiri selama ini mengira hal yang sama sampai kemarin dia menemukan salah satu sobekan diary yang ditulis Gempa:

"Sebelum tidur, aku melihat pria cebol yang kumisnya lucu itu, yang kayaknya teman bisnis Ibu, memainkan alat semprot hidung milik Ibu."

Alya meninggal karena ada racun sianida dalam nasal spray miliknya! Bagaimana mungkin Kaizo tak pernah mencurigai Bago Go, salah satu pemasok obat-obatan di toko Alya, yang juga gila uang sebagai tersangka utama? Mungkin mudah saja membuat Boboiboy jadi tertuduh karena hanya dia dan Alya yang ada di rumah waktu itu. Pria cebol berkumis lucu–sekali baca saja, Kaizo langsung paham siapa yang dilihat Gempa waktu itu dan kemudian dilupakannya karena Gempa memang pelupa parah.

"Haaa? Aku? Mana buktinya? Apa kau mau meminta bocah setan itu untuk bersaksi di pengadilan? Hahaha, mana bisa begitu, Bang …."

"Jadi, benar kau, 'kan?" seru Kaizo, agak menaikkan suaranya.

"Eits, tunggu dulu, Bang. Aku nggak bilang begitu juga. Abang ini, jangan main tuduh saja, lah … ayo, kita bahas saja, nanti Abang mau masukkan uang itu ke akun bank yang mana? Kalau Bank Gogoba, biaya simpannya paling murah, Bang~ Ini yang Abang tunggu-tunggu, 'kan? Amato sudah beneran meninggal …."

Cengkeraman Kaizo pada ponselnya makin erat. "Kau salah, Bago Go. Dari awal aku nggak mengincar uang abangku. Aku hanya ingin Boboiboy bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, semisal dia sudah nggak bisa tertolong lagi. Namun, datang ke sini, aku malah jadi punya harapan. Dia akan terus hidup, keponakanku itu. Dia akan terus hidup dan mengalahkan kutukan ini. DAN, DIA PUNYA NAMA! BERHENTI MEMANGGILNYA 'BOCAH SETAN', KAU YANG KETURUNAN SETAN!"

"Eh, Bang ... lalu gimana dengan kesepakatan kita?"

"Kesepakatan apa?" balas Kaizo dingin. "Kau tampung kakakku di rumah sakitmu sampai dia meninggal, lalu kau dapat uangmu. Kau dan mata-mata sister company Hokuyou yang gila reputasi itu! Kontrak kita sudah selesai, Bago Go."

Hening ada di ujung sambungan. Mungkin Bago Go masih terlalu kaget. Kaizo bicara lagi,

"Kuperingatkan kau. Kalau kau mau mengganggu Boboiboy lagi seperti waktu teman-teman setanmu menculiknya dulu, LANGKAHI DULU MAYATKU!"

Telepon ditutup sepihak. Bago Go memang setan busuk, harusnya Amato dulu menendang orang itu keluar dari roda bisnis Alya setelah apa yang pernah teman-temannya lakukan terhadap Boboiboy–menculik anak itu dan menyiksanya untuk mengetes ketujuh pribadinya yang unik itu. Hanya karena banyak permintaan maaf disertai bujuk rayu dan potongan harga, Amato dan Alya tidak lagi memperkarakan penculikan itu meski sudah sempat lapor ke polisi. Sungguh mulut manis yang licin! Kaizo teringat bahwa, beberapa waktu lalu, Boboiboy (atau Halilintar) bilang mau mencekik orang-orang jahat itu, yang telah mengikatnya dan menyuntiknya berulang kali. Ya, Kaizo sendiri merasakan nafsu membunuh yang serupa, tapi juga berpikiran tak ada gunanya karena dia tak punya cukup bukti untuk menyeret Bago Go ke penjara.

Yang penting, sekarang, setelah Amato juga tiada, orang jahanam itu tak akan mengganggu hidup mereka lagi. Kaizo berbalik dan mendapati Asada di kursi roda sedang meluncur perlahan ke arahnya.

"Kedengarannya Anda sedang ada masalah," ujar sang dokter, sorot matanya tampak serius.

"Oh, telepon yang barusan, Sensei? Bukan apa-apa, bukan masalah."

"Anda yakin ...?" Asada menatap pria itu tepat di matanya, tajam tapi bersimpati, "... Kaizo-san …."

Si empunya nama terperangah. Dia tidak tahu, bahwa pengalaman sang dokter ke berbagai negara membuat Asada Ryutaro juga memahami bahasa Melayu termasuk seluruh isi percakapannya barusan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's Note:

Ini tamat. Beneran.

Ending-nya gantung? Sengaja! XD

Ada yang mendengar suara Bago Go sambil membaca dialog via telepon di adegan terakhir? :"D tadinya Roux mikir-mikir cukup lama, siapa villain yang cocok buat dijadikan dalang di balik batu, lalu teringat bahwa cerita ini ditujukan berisi dark humor dan seketika Retak'ka, Bora Ra, Ejo Jo dieliminasi dari pilihan XD

Di bab ini, banyak unsur asli dari serial TMD: pasien yang sudah tiada yang jadi motivator Ijyuuin, latar belakang keluarga Toyama, Fujiyoshi yang pengidap WPW dan pengguna pacemaker, juga kebiasaan Arase yang tidur pakai eyepatch XD dan, jangan lupakan sejarah Asada yang jadi dokter relawan di berbagai negara hingga menguasai banyak bahasa!

.

Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini! Kritik dan saran sangat diterima. Setelah ini, sampai ketemu lagi di side story ketiga Through the Darkness,

[Harapan yang Menyingsing]!

25.05.2022