Perjalanan kami menuju pantai utara arah timur laut Long Island hanya ditempuh dalam waktu satu jam. Will terus berusaha untuk menjauhkan Tengu yang mengejar kami dengan menembakkan beberapa anak panah lagi.
"Aku sudah tidak punya anak panah lagi," ujarnya sambil memasukkan badannya kembali ke dalam mobil.
Ibuku yang mendengar itu langsung memacu mobil kami untuk melaju lebih kencang. Kemudian, kami pun sampai di sebuah kebun stroberi yang luas.
"Kita hampir sampai." Nico berbicara dengan cukup keras.
Namun tiba-tiba saja, sesuatu menghantam mobil kami dengan keras. Kami semua sampai terguling-guling di dalam mobil akibat benturan keras yang menimpa kami. Nico dan Will merangkak keluar dari mobil setelah mobil kami berhenti dalam kondisi terbalik. Aku mencoba untuk merangkak keluar bersamaan dengan ibuku.
Setelah berhasil merangkak keluar dari mobil, aku melihat sesosok makhluk berbadan besar berdiri tak jauh dari kami. Makhluk itu memiliki tubuh layaknya manusia dengan kulit berwarna kemerah-merahan. Makhluk itu tidak mengenakan apa-apa di tubuhnya selain sebuah cawat berwarna putih yang menutupi bagian area vitalnya. Kepalanya yang seperti kepala banteng mendengus ganas sambil mengangkat sebuah tombak yang sangat besar.
"Apakah itu putra Pasiphae?" tanya Nico, "Aku tidak pernah bertemu dengannya terutama di Perang Manhattan."
"Hanya mirip," timpal Will. "Aku sudah bertemu dengannya di Pertempuran Jembatan Williamburg tapi aku merasa kalau makhluk ini bukanlah putra Pasiphae."
Tak lama kemudian, ibuku berhasil keluar dari mobil dan tanpa sengaja melihat makhluk itu. "Sial … kenapa makhluk itu ada di sini?"
Nico berbalik ke arah ibuku. "Apakah anda mengetahui sesuatu tentang makhluk itu, Nyonya?" tanyanya.
Ibuku mengangguk. Aku bisa melihat bahwa badannya sedikit gemetar. "Makhluk itu adalah Penjaga Gerbang Neraka. Kebetulan saja jika makhluk itu memiliki bentuk yang mirip dengan putra Pasiphae," ujarnya.
"Apakah makhluk itu ada sangkut pautnya dengan mitologi lain? Sama seperti makhluk yang menyerupai burung yang mengikuti kita dari tadi?" tanya Will.
Tapi sebelum ibuku menjawab, sebuah tombak berwarna hitam legam kembali menancap di dekat kakiku dan membuatku ketakutan. Aku melihat bahwa Tengu itu mulai terbang mendekat ke arah kami.
"Tak kusangka kalau kau juga ke mari, Gozu." Aku mendengar Tengu itu berbicara dengan makhluk di depan kami menggunakan Bahasa Jepang yang tentunya masih aku mengerti.
"Kau terlalu lama, Karasu. Nyonya besar telah menunggu terlalu lama di Yomi. Setidaknya beliau tidak ingin masalah anak itu semakin rumit dan diketahui oleh Takamagahara," ujar makhluk kepala banteng itu kepada Tengu itu.
Siapa 'Nyonya besar' yang mereka maksud? pikirku. Tapi ibuku tiba-tiba menarik lenganku.
"Kita harus segera pergi dari sini," tukasnya. Kemudian beliau merogoh secarik kertas dari saku celananya. Kertas tersebut memiliki corak ataupun tulisan layaknya sebuah jimat. Beliau menjepitkan kertas jimat itu dengan kedua jarinya di depan dada dan merapalkan sesuatu dalam Bahasa Jepang Kuno.
"Raihōu" Ibuku meneriakkan sebuah mantra sambil mengarahkan tangannya ke arah kedua makhluk itu.
Setelah itu, petir mulai menyambar dengan dahsyat ke arah kedua makhluk itu. Tengu yang sebelumnya masih melayang di atas langit terkena sambaran petir itu sehingga terjatuh. Mayatnya yang terjatuh mulai berurai menjadi abu berwarna hitam keabu-abuan. Sedangkan makhluk berbentuk manusia banteng itu masih bisa berdiri tegak meskipun sebagian kulitnya sedikit kehitaman.
"Petir ini bukanlah petir biasa, tapi petir surgawi," ujar makhluk berkepala banteng itu. Kemudian, ia melirik ke arah ibuku. "Seorang demigod lain? Tapi kau memiliki kemampuan para Omyouji, berarti kau berasal dari Shinto!"
Ibuku melihat ke arah makhluk itu. "Kau seharusnya menjadi Penjaga dan Pengikut Setia Raja Enma, tapi mengapa kau kemari?" tanya beliau.
"Raja Enma bukanlah tandingan dari siapapun yang menjadi penyokong kami, bahkan Takamagahara pun akan berpikir dua kali untuk melawan beliau." Makhluk itu menjawab dengan nada sinis.
Nico dan Will hanya bisa sedikit bengong mendengar percakapan ibuku. "Apakah anda mengenal kedua makhluk ini, Nyonya?" tanya Nico.
"Tidak ada waktu." Ibuku menjawab dengan singkat, kemudian melihat ke arahku. "Naruto, tarik Manuel keluar dari mobil dan segera naik ke puncak bukit!"
"Tapi bu-" "Tidak ada tapi-tapian, nak. Biarkan ibu yang menahan kedua makhluk itu." Ibuku memotong pembicaraanku dan melihat ke arah Nico dan Will. "Salah satu dari kalian bisa membantuku untuk menahan mereka sedangkan yang lain bisa menolong anakku membawa Manuel ke Perkemahan kalian."
"Apakah besi Stygian mampu untuk melukainya?" tanya Nico kepada ibuku.
Ibuku mengangguk. "Makhluk itu masih bisa dibunuh menggunakan logam magis milik Olympian. Aku akan membantumu menggunakan sihirku."
Kemudian beliau kembali melontarkan mantra yang sama kepada kedua makhluk itu, namun makhluk berkepala banteng itu berhasil menahan serangan ibuku dengan tombaknya.
"Kau pikir aku akan terkena serangan yang sama dua kali?" katanya seraya mengacungkan tombaknya ke arah kami.
"Sekarang nak!" seru ibuku.
Aku dan Will segera berlari ke sisi lain mobil kami dan menarik Manuel keluar dari dalam mobil. Aku melihat dia masih pingsan setelah benturan keras yang kami terima.
"Gagak!" serunya dalam keadaan pingsan.
Aku dan Will segera membopoh kedua lengan Manuel di pundak kami dan mulai mendaki bukit itu. Aku melirik ke belakang dan melihat ibuku dan Nico saling bekerja sama untuk menghadapi monster itu. Nico menghindari tusukan tombak dari makhluk berkepala banteng itu sambil menyabetkan pedangnya sendiri ke tangan monster itu.
Darah berwarna hitam mengalir dari tangan monster itu tetapi monster itu tidak mempedulikan lukanya dan terus menyerang Nico menggunakan tombaknya. Ibuku sedikit menjauh dari jangkauan serangan monster itu dan kembali merapalkan mantra.
"Suna no Ketsugō!" seru ibuku.
Tak lama kemudian, pasir-pasir yang ada di sekitar monster itu mulai naik merambati tubuh monster itu dan mengikatnya dengan kuat. Monster itu meronta-ronta karena kekangan dari pasir-pasir itu.
"Ayo Nico!" Ibuku menarik lengan pemuda itu dan mendaki bukit.
Kami berempat mendaki bukit itu dengan cepat. Sesekali aku bisa melirik ke arah ibuku yang melihat ke arah belakang, tempat di mana monster itu masih meronta-ronta karena kekangan mantra ibuku. Monster itu meraung dengan sangat keras di bawah.
"Akan kumakan kau, dasar Omyouji sialan!! Aku tidak akan melepaskanmu jika aku berhasil lepas dari kekangan ini!!" raungnya.
Raungannya itu terdengar hingga ke seluruh pelosok daerah itu sehingga membangunkan makhluk lain yang ada di puncak bukit. Makhluk itu awalnya merebahkan dirinya di bawah sebuah pohon pinus yang tumbuh sangat tinggi, namun kini makhluk itu mulai berdiri.
Seekor naga … itulah yang kulihat sekarang tengah berdiri dengan gagah di puncak bukit itu. Naga itu memiliki kepala layaknya seekor ular, dengan sisiknya yang bercahaya memantulkan cahaya bulan. Matanya yang berwarna kuning bersinar di dalam kegelapan malam.
Tak jauh darinya, aku bisa melihat sebuah patung seorang Dewi berukuran besar. Sang Dewi mengenakan sebuah toga berwarna emas yang pernah aku lihat di film-film. Di satu tangannya, ia membawa sebuah patung kecil seorang Dewi lain yang memiliki dua pasang sayap di punggungnya, sedangkan di tangan yang lain, ia membawa sebuah perisai dengan ular-ular keluar dari belakang perisai itu. Patung itu memancarkan cahaya keperakan di atas bukit itu.
"Kita sudah dekat," ucap Will. "Itu Peleus dan Patung Athena Parthenos, Pelindung Perkemahan."
Naga itu hanya melihat ke arah kami dengan matanya, mengawasi keadaan di lereng bukit itu. Kami terus mendaki tanpa kenal lelah (apalagi aku dan Will yang masih sembari membopong Manuel yang masih pingsan). Namun raungan monster di belakang kami semakin keras. Aku bisa mendengar dia tertawa keras di belakang kami.
"Hahaha! Akhirnya aku bisa lepas dari kekangan ini!" tawanya.
Ibuku langsung berteriak, "Ayo cepat!"
Kami kembali memacu laju kami dalam mendaki hingga tiba-tiba aku mendengar suara seperti seseorang menabrak sesuatu. Aku berbalik dan melihat kalau ibuku ternyata terhalang sebuah dinding tak kasat mata di belakangku sementara Nico tidak jauh di depannya.
"Ibu!" teriakku. Nico pun ikut berbalik dan menggerutu, "Sial, aku lupa masalah medan pelindung Perkemahan."
Kemudian, ia mengangkat tangannya dan berseru, "Aku Nico di Angelo, Putra Hades dan Duta Hades atau Pluto untuk Perkemahan Jupiter, mengizinkan Nyonya Kushina Uzumaki untuk memasuki Perkemahan Blasteran!"
Suara petir menggema di seluruh area itu dan tiba-tiba saja dinding penghalang yang berada di depan ibuku mulai menghilang. Ibuku dengan cermat langsung segera masuk ke area yang sebelumnya terlindungi oleh dinding penghalang hingga akhirnya dinding penghalang itu tertutup kembali. Tepat setelah itu, monster itu sudah berlari dan menabrak dinding pembatas tak terlihat itu.
Monster itu kembali meraung dengan keras dan menghantam dinding penghalang itu berkali-kali menggunakan tangannya. Hal itu ternyata menarik perhatian siapa pun yang berada di balik bukit. Aku melihat sesosok siluet makhluk hybrid dengan badan layaknya manusia namun dari bagian pinggang ke bawah merupakan tubuh seekor kuda jantan berwarna putih.
Makhluk itu membawa sebuah busur dan juga tas yang penuh berisi anak panah di punggungnya. Ia mengambil sebuah anak panah dan memasangnya di busur yang ia bawa dan mengarahkannya ke arah kami. Tak lama setelah itu, ia meluncurkan anak panah itu dan mengenai monster yang ada di belakang kami.
Monster berkepala banteng itu meraung kembali dengan sangat keras. Bahunya mulai tertancap anak panah yang dilesatkan makhluk tadi dan mengeluarkan darah berwarna hitam. Monster itu mencabut paksa anak panah itu dari bahunya dan meraung, "Siapa yang telah menembakku!?"
Kemudian, makhluk hybrid itu mulai berlari menuruni bukit untuk menghampiri kami. Aku bisa melihat dengan jelas sosok tersebut. Badan manusianya adalah seorang pria paruh baya dengan rambut cokelat yang menipis, alis yang lebat, mata cokelat pekat dan janggut yang berantakan. Ia menggenakan sebuah setelan jaket berwarna cokelat tua dengan sweater abu-abu layaknya seorang guru yang amat pintar.
"Chiron," ujar Will sambil menghela nafas lega.
Sosok yang dipanggil Chiron itu mengangguk. Matanya terfokus kepada monster yang masih berdiri di belakang kami dan terhalang oleh dinding tak terlihat itu. Kemudian, ia menatap ke arahku dan ibuku.
"Sepertinya akan ada banyak hal yang perlu dibicarakan. Kebetulan Tuan D juga sedang berada di Rumah Besar, tapi sebelum itu mari kita mengatasi makhluk ini terlebih dahulu," ujarnya.
Ia menatap lekat-lekat monster berkepala banteng yang tengah memukul-mukulkan tangannya ke dinding tak terlihat di depan kami. Tak lama kemudian, ia bergumam, "Aku belum pernah bertemu dengan makhluk ini. Ia mirip dengan anak Pasiphae, namun ia tidak mengeluarkan ichor."
"Apa itu ichor?" bisikku kepada Will.
"Ichor adalah darah para makhluk Immortal, biasanya berwarna keemasan dan dimiliki oleh para makhluk Immortal seperti Para Dewa, Titan ataupun monster," jawab Will sambil ikut berbisik.
Kemudian ibuku membalas perkataan sosok bernama Chiron itu, "Ia memanglah bukan anak Pasiphae, Chiron. Dia adalah Penjaga Gerbang Istana Neraka di Yomi, Gozu."
"Ah … salah satu tangan kanan Raja Enma," tukas Chiron. "Aku baru tahu kalau mereka memang mirip putra Pasiphae."
"Jangan samakan aku dengan makhluk bodoh itu!?" Monster itu berteriak keras. "Kalau tidak ada pelindung ini, akan kuhabisi perkemahanmu yang busuk itu!!"
Chiron hanya manggut-manggut. "Sedikit lebih pemarah daripada putra Pasiphae, tapi ya sudahlah," ujarnya. Kemudian ia mengangkat kembali busur miliknya, memasukkan sebuah anak panah dan membidiknya tepat di kepala makhluk itu.
Setelah itu, ia menembakkan anak panah itu dan tepat mengenai dahi makhluk itu. Makhluk itu kemudian langsung terkulai tak berdaya dan tubuhnya mulai mengurai jadi abu. Chiron yang melihat fenomena itu hanya berkomentar, "Yap, sama sekali berbeda dengan monster yang kita kenal."
Kemudian, ia melihat ke arahku dan ibuku, lalu ke Will dan Nico. "Sepertinya kondisi di sini sudah terkendali. Will … Nico … kalian bisa membawa Manuel ke ruang Kesehatan, sementara anda berdua bisa mengikutiku menuju Rumah Besar," ujarnya.
Mau tidak mau, aku mengangguk. Nico langsung menghampiriku dan mengambil lengan Manuel dari pundakku. Kemudian, ia dan Will langsung membopoh Manuel menuju ke ruang kesehatan sementara aku dan ibuku mengikuti Chiron.
.
.~.
.
Perkemahan itu sangat luas. Aku bahkan tidak bisa menebak seberapa luas perkemahan ini. Aku diberitahu oleh Chiron bahwa seluruh perkebunan stroberi yang ada di sekitar perkemahan juga merupakan properti perkemahan, sehingga aku pun tidak bisa menghitung dengan jeli seberapa luas perkemahan ini.
Ketika kami sampai di puncak bukit, aku bisa melihat dengan jelas sosok naga yang berdiri dengan santai mengelilingi pohon pinus terbesar yang pernah aku lihat. Di sebelah pohon itu, berdirilah patung yang tadi kulihat di kaki bukit. Chiron menjelaskan kalau patung itu adalah Athena Parthenos, salah satu landmark milik Yunani yang sempat dirampas oleh Bangsa Romawi namun berhasil dikembalikan oleh Legiun Romawi pada saat Perang Raksasa Kedua.
Selain itu, ia menceritakan tentang Peleus, Naga penjaga yang kini sudah merebahkan diri kembali mengelilingi pohon pinus itu (yang akhirnya aku ketahui bernama Pohon Thalia). Di salah satu dahan terendah pohon itu, tersampirlah sesuatu layaknya bulu berwarna keemasan.
"Apakah itu Bulu Domba Emas?" tanya ibuku.
Chiron menganggukkan kepalanya. Ibuku terlihat cukup terkejut. "Bagaimana bisa kalian menemukannya? Kupikir bahwa Bulu Domba Emas telah menghilang sejak lama semenjak Para Argonaut mengambilnya," ujar beliau.
Chiron menjelaskan sebuah pencarian yang pernah dilakukan beberapa tahun silam oleh salah satu pekemah untuk mendapatkan benda itu salah satu pulau di suatu kawasan yang disebut Laut Para Monster. Ia menjelaskan tentang Pohon Thalia yang diracuni oleh sekutu Bangsa Titan agar Perkemahan bisa diserang oleh pasukan Monster dan Bulu Domba Emas adalah satu-satunya benda magis yang dapat menyembuhkannya.
Tak terasa kami tiba di depan sebuah rumah berukuran besar. Rumah itu berdiri cukup menjulang dengan tinggi mencapai lima lantai. Dindingnya di cat dengan warna biru muda beserta trim putih. Di atap terdapat sebuah baling-baling cuaca dengan tambahan patung elang yang terbuat dari perunggu. Dan di teras, aku dapat melihat sebuah lonceng angin yang berbunyi ketika semilir angin berhembus.
Chiron mengajakku dan ibuku masuk ke dalam ruang tamu. Di dekat perapian, duduklah seorang pria dengan muka sedikit tembam, hidung kemerahan dan rambut keriting yang berwarna sangat hitam hingga terlihat ungu. Matanya yang beriris biru tampak sedikit kemerahan dan berair layaknya orang yang baru saja bangun tidur. Pria itu mengenakan sebuah piyama dengan motif bercak macan tutul yang terbuka sehingga memperlihatkan dadanya yang cukup kekar dan berbulu lumayan lebat dan sebuah sandal berbulu berwarna ungu. Di tangannya terdapat sebuah kaleng soda yang bertuliskan 'Diet Coke'.
"Maafkan kami jika mengganggu tidur malam anda, Tuan D," ujar Chiron kepada pria itu.
Pria itu hanya meminum soda yang ada di tangannya dan menunjuk ke arah ibuku. "Aku tidak pernah mendengar laporan kalau ada dua demigod dan salah satu yang akan dibawa sudah berusia paruh baya?" tanyanya.
Sebelum aku sempat bertanya, tiba-tiba ada sesuatu yang bercahaya di atas kepala ibuku. Aku melihat suatu pedang yang berpendar layaknya hologram berwarna biru muda. Pedang itu memiliki bilah yang panjang, melengkung dan ramping dengan tepi yang sangat tajam. Pada bilahnya terdapat sebuah pola bekas tempa yang khas. Pegangannya yang sedikit melengkung menampilkan ukiran pola yang rumit.
Chiron dan pria yang duduk di dekat perapian itu hanya terdiam sebelum akhirnya Chiron menundukkan kepalanya. "Salam wahai Puteri Susanoo, Dewa Petir dan Badai dari Mitologi Shinto," ujarnya.
Pria yang tadi dipanggil Tuan D itu hanya mendengus. "Hah … segalanya menjadi semakin rumit," keluhnya.
"Maaf jika kehadiran saya menambah rumit situasi saat ini, Tuan Dionysus," ujar ibuku sambil membungkukkan badannya.
Aku mengernyitkan dahiku. "Dionysus? Maksud ibu, Dionysus Sang Dewa Anggur?" tanyaku.
Pria itu kembali mendengus. "Sang Dewa Anggur … Pria Anggur … blablabla, banyak orang yang memanggilku seperti itu."
Setelah itu ia menunjukku dengan tangan kanannya. "Jika kau membuat lelucon sekali saja dengan julukan 'Pria Anggur', kau akan tahu akibatnya," tukasnya.
Chiron berdeham pelan. "Ingat Tuan D, anda tidak ingin masa hukuman anda ditambahkan oleh Tuan Zeus bukan?"
"Jangan mengancamku seperti itu, Chiron!" Tuan D beranjak dari kursinya seraya menunjuk ke arah Chiron dengan kesal. Tapi tak lama setelahnya, ia menghembuskan nafasnya dan berkata, "Atur mereka sesukamu, Chiron."
Setelah itu, ia menjentikkan jarinya dan menghilang begitu saja. Chiron hanya menghela nafas pelan kemudian berbalik ke arahku dan ibuku. "Maafkan Tuan D, beliau sedang banyak pikiran terlebih dengan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini."
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya ibuku.
Chiron menjelaskan kepada kami tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini, mulai dari Perang Titan Kedua yang terjadi kurang lebih setahun silam, lalu Perang Raksasa Kedua yang sempat terjadi di Parthenon, Yunani serta di Perkemahan Blasteran tak lama setelahnya. Setelah itu, konflik yang terjadi karena bangkitnya kaisar-kaisar terburuk Romawi dan jatuhnya Dewa Apollo menjadi manusia biasa.
"Setelah semua itu terjadi, aku mendapat kabar kalau Olympus kembali menutup diri namun kali ini Tuan D tetap berada di Perkemahan, berbeda dengan pada saat sebelum Perang Raksasa Kedua dimulai. Dan adanya beberapa monster yang belum pernah kami ketahui membuat hal itu semakin membingungkan," jelas Chiron lagi.
"Apakah hal ini berhubungan dengan Pantheon lain?" tanya ibuku lagi.
"Bisa saja itu terjadi, namun monster-monster yang kami temui ini sangat berbeda dengan monster yang pernah aku temui, sehingga kami pun juga kebingungan untuk menahan mereka," balas Chiron. "Dan hal ini tidak merambah ke perkemahan ini saja, tetapi juga ke Perkemahan Jupiter?"
"Perkemahan Jupiter?" tanyaku.
Chiron mengangguk. "Sama seperti Perkemahan Blasteran, Perkemahan Jupiter adalah wilayah aman untuk demigod-demigod Romawi. Setelah Perang Raksasa Kedua, kami telah mengumumkan gencatan senjata antara kedua perkemahan dan kami pun memutuskan untuk saling membantu sama lain. Namun akhir-akhir ini monster itu tidak hanya muncul di New York, tapi juga San Fransisco tempat di mana Perkemahan Jupiter berada," jelasnya.
Kemudian ia melanjutkan perkataannya, "Namun setelah melihat kalian berdua di sini, maka bisa aku asumsikan bahwa makhluk-makhluk itu berasal dari Pantheon Shinto yang kami sama sekali belum pernah bersinggungan."
Mendengar hal itu, ibuku sedikit mengerutkan dahinya. "Memangnya Pantheon mana saja yang pernah bersinggungan dengan kalian?" tanya beliau.
"Ada dua Pantheon yang pernah bersinggungan dengan salah satu dari Pekemah kami," balas Chiron. Kemudian ia berjalan menuju sebuah kursi roda yang berada di sudut ruangan. Ia membungkukkan badannya dan secara ajaib, tubuh kuda bagian bawahnya seperti terserap ke dalam kursi roda itu dan membuatnya seolah-olah duduk di kursi roda itu.
Lalu, ia menggerakkan roda dari kursi itu untuk mendekat ke arah kami. Kemudian ia mempersilahkan kami untuk duduk. "Sebelumnya apakah kalian berdua mengenali putera Nyonya Sally?" tanya Chiron.
Aku dan ibuku mengangguk. Chiron menyunggingkan sebuah senyuman. "Perseus 'Percy' Jackson, Putera Poseidon dan juga Nyonya Sally, merupakan salah satu Pahlawan terhebat abad ini atau mungkin sepanjang masa karena dia bisa hidup setelah mengalami dua perang besar di Pantheon Yunani-Romawi. Selain itu dia juga pernah bersinggungan dengan dua Pantheon lain secara langsung," jelasnya.
Ia mengeluarkan dua buah foto, foto pertama adalah gambar sebuah punggung tangan yang mengeluarkan sebuah simbol yang bercahaya dan foto kedua adalah gambar seorang gadis berambut pirang keriting panjang dengan mata berwarna abu-abu tengah merangkul seorang pemuda yang hampir mirip dengan gadis di sebelahnya, hanya saja potongan tubuhnya sangat mirip seperti Kurt Cobain.
Tak lama setelahnya, ia menceritakan kepada kami tentang petualangan yang Percy alami sewaktu membantu sepasang penyihir bersaudara bersama Annabeth melawan seorang penyihir mesir kuno yang ingin menguasai dua jenis sihir untuk menguasai dunia. Selain itu, ia juga menceritakan tentang saudara sepupu Annabeth yang ternyata adalah seorang demigod dari mitologi Nordik dan menjadi Prajurit abadi dari Odin.
Chiron menceritakan semuanya kepadaku dan ibuku hingga larut malam. Kemudian, ia mempersilahkanku dan ibuku untuk tidur di kamar tamu sebelum akhirnya memperkenalkan kami kepada seluruh pekemah keesokan harinya. Ibuku setuju dan akhirnya Chiron mengantarkan kami ke kamar tamu yang terpisah.
Kamar itu terlihat sederhana, dengan sebuah tempat tidur kayu berwarna cokelat gelap dengan kasur yang berseprai biru muda. Aku yang sudah sangat kelelahan memutuskan untuk berbaring dan memejamkan mataku, namun tanpa sadar aku malah terseret ke dalam mimpi yang cukup aneh.
.
~.~
.
