Aku sudah sarjana sekarang. Terakhir kali kita saling interaksi itu mungkin pertengahan bulan April. Ingat ga sih, kita bertengkar lagi? Terus, setelah itu kita ga bicara, ga chat lagi dan tiba-tiba kamu kabarin kalau kamu sudah punya pacar. Congratulations.
Aku benar-benar bahagia untuk hubunganmu yang baru. Aku harap kalian bahagia bersama-sama. She looks kind and she is gorgeouse young lady. Mungkin sudah saatnya aku memulai juga, membuka diriku dengan orang yang baru.
Sebenarnya ini bukan tentangmu, bukan tentang kamu dan pacar barumu. Ini tentang aku.
Setelah begitu lama aku berpikir, aku merenung, seperti... kita sudah lama mengenal satu sama lain. Bisa dikatakan sebelum aku kuliah, kamu adalah teman laki-laki satu-satunya yang aku miliki. Kamu seluruhnya aku, segala hal tentangku mungkin saja kamu tahu. Kamu tahu traumaku, hal-hal bodoh tentangku dan luka-lukaku. Sekaligus, kamu juga tahu seberapa tidak berdayanya aku selama ini. Seberapa seringnya aku berpura-pura dan berusaha baik-baik saja. Seberapa gelapnya sisi lain yang ku miliki. Ya, hanya kamu satu-satunya manusia yang tahu.
Kita berteman sejak masih sekolah dasar lalu kita kembali marahan saat sekolah menengah pertama. Setelah itu kita berteman lagi selama sekolah menengah atas tapi hanya sebentar saja karena ya lagi-lagi kita bertengkar. Lalu, selama aku gap year, kamu ada untukku. Masa-masa terberat dalam hidupku, -hm, lebih ke masalah yang cukup mengguncang mentalku.
Aku ingat sekali, aku memberitahu banyak hal kepadamu. Tentang aku yang gap year, tentang mental ku yang makin kacau tiap harinya, tentang diriku yang gelap gulita, tentang betapa rendahnya aku memandang dan mendeskripsikan diriku, tentang aku yang selalu saja negatif dan tidak punya semangat untuk bangkit. Kamu tahu itu.
Kamu tahu.
Orang-orang di sekitarku, yang bertemu denganku, tidak akan pernah tahu -bahkan mereka mungkin tidak akan pernah menyadari hal tersebut karena aku terlalu berusaha untuk menjadi baik-baik saja. Aku tersenyum, aku tertawa, bercakap riang gembira, hahihi tapi jauh dalam diriku, aku ingin pergi dan menangis. Aku kacau, aku gelisah. Saat gap year itu, aku merasa tidak tenang. Aku merasa rendah diri. Namun, tiap kali orang-orang bertegur sapa denganku, dengan riang, dengan baik-baik saja aku menyapa balik mereka. Tentu saja, aku berbicara dengan senyum yang merekah.
Kamu tahu, kamu tahu kepura-puraanku itu.
Aku menceritakan semua beban hati dan pikiran itu. Betapa aku lelah dan betapa sulit bagiku untuk bisa melalui hari-hari memalukan itu. Namun, kamu ada di sana, di masa-masa itu dan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Lalu, kamu menghilang lagi. Saat aku sudah menjadi baik-baik saja.
Ya, kamu selalu ada di saat-saat terendahku.
Apakah karena itu, aku selalu menerima perlakuan buruk darimu? Apakah karena itu juga, kamu seakan tak punya kontrol saat mengatakan hal-hal buruk padaku? Tiap kali, tiap kali pertengkaran itu terjadi, kata-katamu terkadang terlalu menyulitkanku. Setiap pertengkaran itu terjadi pula, aku akan menjauh darimu. Aku akan menyibukkan diri, tanpa henti, sibuk sibuk sibuk dan tak membiarkan diriku membuka diri, membuka diri yang sebenar-benarnya bahwa aku terluka dan lelah. Itu semua aku lakukan semata-mata karena aku tak ingin membiarkan orang lain mengetahui diriku yang kacau dan lelah ini.
Ini tentangku. Cukup lama untuk menyadarinya.
Akhirnya, baru beberapa hari ini setelah sarjana. Beberapa bulan ini, hidupku begitu tenang. Aku tak mengambil kerja, proyek, magang, volunteer dan sebagainya. Setelah melalui begitu banyak pelik, duka, dan runyam... aku menyadari beberapa hal. Sungguh, ketenangan ini tak menenangkanku. Seakan-akan, tenang ini mengusik diriku dan membuka kembali semua hal yang aku kesampingkan selama ini.
Selama ini, akhirnya aku menyadari kenapa aku tetap menerima dirimu setelah semua luka yang kau torehkan dari kalimat-kalimat yang kau berikan. Kenapa aku melupakan semua kesalahanmu begitu saja. Kenapa aku menerimamu kembali dan sangat mengharapkan kamu untuk kembali padaku. Ugh, andai saja aku yang dulu mendengarkan diriku saat itu yang terlalu berharap padamu, berharap mungkin saja kamu akan minta maaf atau kembali menyapaku lagi, mungkin saja bukti-bukti tangkapan layar itu tak tersimpan sampai saat ini. Awal-awal perkelahian kita, aku selalu menghapus semua bukti buruk tentangmu dan melupakan begitu saja setiap salahmu karena aku berharap kamu akan kembali, aku benar-benar berharap kamu kembali.
Kenapa? Kenapa aku mengharapkanmu? Kenapa?
Bukan, akhirnya aku sadar. Aku tidak mengharapkanmu. Bukan kamu.
Yang sangat aku harapkan selama ini ternyata adalah orang yang mau melihatku letih, luka dan runyam. Orang yang tak mengkerdilkan tiap luka-lukaku. Orang yang memeluk seluruh diriku. Orang yang membuatku merasa aman memperlihatkan tiap dosa dan kekacauan diriku. Orang yang tahu bahwa aku sedang berpura-pura menjadi baik-baik saja, berpura-pura bisa merangkul semua beban dan tanggung jawab, berpura-pura bahwa semua aku adalah matahari yang terus menerus tanpa henti bisa bersinar kapan saja dan di mana saja dan meskipun kamu tahu, kamu tak memberitahu siapa pun. Kamu melihat, mendengar dan memerhatikan dari jauh dengan penuh kepercayaan bahwa aku bisa dan aku mampu meski semua itu hanya pura-pura.
Dan kamu memang benar, aku benar-benar bisa dan mampu meski memang aku berpura-pura cerah dan ceria selama ini.
Aku hanya membutuhkan orang yang seperti itu untuk diriku. Orang yang percaya dan mendukungku. Lalu, kamu lah orang itu selama ini. Bukan karena tak ada yang lain selain kamu. Itu hanya karena aku tak membiarkan orang lain untuk mengenal diriku yang lain itu. selain karena aku sulit percaya pada orang baru, ya karena aku takut bahwa orang baru itu akan memberikan duka yang sama yang kau berikan padaku. Salahku karena memproyeksikan dirimu pada orang lain. Padahal ya, orang pasti ga semua sama. Namun, aku tak bisa. Aku harus terlihat kuat. Orang-orang menggenggam tanganku dan aku sedang memerankan tokoh penolong yang selalu bersinar meski diterpa angin topan. Tak mungkin aku mematahkan mereka, membuat mereka merasa bersalah dan tak enak hati menggenggam tanganku hanya karena mereka sadar bahwa aku ternyata tak sekuat itu, bahwa ternyata kata-kataku "gapapa, kalau butuh bantuan, bilang saja. Aku usahakan semampuku." Atau "aku tahu yang kamu lewati berat, aku yakin kamu bisa melewatinya" atau "gapapa, semangat! Semangat yaa!" itu hanya bualan semata. Bahwa aku tak cukup kuat untuk menopang semua luka-luka mereka.
Menjadi penopang luka-luka orang lain cukup membuatku harus memoleskan senyum setiap hari, meski entah kapan hari aku bisa saja menangis atau meraung. Aku harus tetap baik-baik saja di sekitar orang-orang yang membutuhkan dukunganku.
Alasan terbesar? Karena mereka sendiri berkata padaku tentang orang lain
"aku tak ingin memberatkan dirinya (orang lain). Masalahnya sudah cukup berat. Aku tidak enak"
"aku tidak tahu harus cerita ke mana. Aku butuh dukungan mu saat ini. Aku ingin cerita, tolong"
Sedihnya, aku tak punya lagi orang seperti diriku untuk diriku. Aku tak tahu harus membuka diri pada siapa. Orang-orang sekitarku terlalu kusut jalan hidupnya, tak mungkin aku berkata ";D i need help too" pada orang yang sedang kalut begitu.
Itulah, ini cerita tentangku. Bukan tentangmu atau pacar barumu.
Aku harap, aku segera menemukan orang yang kubutuhkan dan kuinginkan itu. lalu aku dan dia akan saling menyokong dan berbagi ruang lelah bersama-sama.
Congratulations!
