Orang-orang bilang kalau hidupku sudah jelas karena aku hanya menjalani apa yang sudah ditata. Bukankah itu sungguh sangat melegakan? Tiap pagi aku terbangun tanpa resah ekonomi lalu tertidur tanpa resah kelaparan. Hidup berjalan baik-baik saja. Senang dan gembira.
Namun, aku merasa begitu pengap. Apakah aku baik-baik saja? Aku ingin bercerita kepada teman-temanku, tetapi masalah hidupku terlalu biasa-biasa saja bagi orang sekitarku. Aku tak ditimpa masalah besar yang mengguncang hidup seperti masalah teman-temanku sehingga sulit bagiku untuk bercerita. Meskipun aku benar-benar ingin menceritakan apa yang sedang aku rasakan. Namun, lebih baik tidak mengatakannya. Mereka tidak akan paham dan memproyeksikan masalahku dalam standar hidup mereka. Oleh sebab itu, diam adalah tindakan yang tepat.
Diam? Sampai kapan aku diam. Dirimu yang selalu mendengar gemuruhku pun pergi. Tak ada manusia yang mendengarkan aduanku ini. Aku sangat ingin menghubungimu lagi, tetapi itu terlalu angkuh sekali. Sebab aku menghubungimu karena diriku, bukan karena dirimu. Jika tak ada lagi masalahku, aku lupakan kamu begitu saja. Apakah ini dosaku juga? Apakah karena ini pula aku tak bisa lepas darimu? Aku pun tak tahu.
Aku lelah. Amat lelah. Aku ingin menyuarakan ini sekian lama, tetapi aku pendam saja sejauh ini. Lalu, aku berpikir "kenapa tak kuceritakan saja semuanya?"
Aku selalu punya minat dan keinginan pada suatu hal. Namun, aku sudah tak memiliki itu lagi. Hidup ini terasa seperti terlalu tenggelam saja. Rasanya, saat aku berenang ke permukaan untuk mencapai pesisir pantai, ombak besar pasti menimpaku dan aku tenggelam sekali lagi. Begitulah rasa inginku pada dunia ini.
Aku ingin melakukan hal-hal sederhana saja. Aku ingin pergi ke suatu tempat dan menikmati perjalanannya. Aku ingin terbangun pagi hari tanpa rasa bersalah karena menjadi rajin. Aku muak saja menjadi lebih baik. Karena menjadi orang yang lebih baik penuh dengan beban di sini, di lingkunganku. Aku berapa kali membicarakan ini, tetapi aku dihadang dengan kalimat "jamanku dulu lebih sulit lagi" "sabar" ah, sabar. Ah, jamannya lebih sulit. Baiklah, aku tidak punya keinginan untuk menjadi lebih baik dan rajin dari diriku yang sekarang. Aku muak harus mengalah dan melakukan pekerjaan yang seharusnya bisa dibagi rata ke lainnya. Aku menyesal menjadi lebih baik karena itu malah membuatku di ekspektasi untuk tetap melakukan itu bahkan saat seharusnya pekerjaan itu digantikan atau digulir dengan orang lain hanya karena aku mengerjakannya lebih baik. Aku tidak ingin menjadi lebih baik lagi. Aku tak mau, lelah. Aku tak masalah menjadi lebih baik untuk diriku sendiri dan memberikan dampak untuk diriku sendiri. Namun, aku menjadi lebih baik dalam melayani orang-orang yang sebenarnya punya kemampuan untuk melayani diri sendiri atau bergantian. Apakah ini yang dinamakan keluarga? Aku lelah.
Aku lelah mengalah dan aku lelah menahan diri. aku berada di titik tidak ingin menjadi apa pun lagi. Aku mau mati saja.
Sebelumnya, aku punya berbagai mimpi. Aku ingin pandai ini itu, aku ingin mencapai titik ini itu, aku ingin berada di sini dan di situ. Namun, aku sudah tidak punya lagi keinginan itu. aku bahkan tak tahu kenapa aku harus menjalani hidup yang tak sesuai keinginanku. Aku hidup karena tak mati saja.
Buat apa aku pandai ini itu lalu aku harus selalu berkorban ini itu pada keluarga dengan kepandaianku dan ketika aku berharap sebaliknya, aku dituntut untuk tak berharap. Bahwa sesungguhnya aku memang harus melakukan pengorbanan itu dan sudah seharusnya aku tak berharap. Ah, mati memang lebih baik.
Buat apa juga aku mengembangkan minatku. Sumpah, membahas ini saja aku menangis. Aku sudah tidak punya hasrat untuk mengembangkan bakatku. Bakatku dikatakan tidak berguna dan membuang waktu. Aku mau gila rasanya. Lalu aku dipaksa melakukan hal yang membuatku lebih gila lagi, sungguh aku tak mau hidup lagi. Aku harus fokus akademik dan angka-angka itu, padahal aku tak minat di situ. Dulu aku suka sekali belajar, tetapi aku diberitahu untuk tak perlu berlebihan belajar dan sejak itu aku tak berlebihan malah tak suka dan sekarang aku harus suka lagi belajar? Aku muak.
Aku suka sekali membaca dan aku dilarang membeli novel dan membaca novel lalu saat minat literasiku rendah, itu salahku lagi? Oh Tuhan, renggutlah aku.
Rasanya, ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan ini mengoyak diriku. Dilarang lalu dipertanyakan kenapa tidak seperti ini atau itu? tidakkah terlintas di pikiran bahwa ini bukan salahku?
Sekarang aku berpikir tidak ingin melanjutkan pendidikan. Aku ingin kerja karena ruang gerakku sangat dibatasi, tetapi kerja pun aku dilarang. Aku harus lanjut pendidikan yang sudah jelas aku muak. Aku tidak mempersiapkan apa pun untuk tes nanti. Aku hancur dan kacau. Aku menjalani hari-hariku bermain sosial media. Aku membiarkan diriku terpapat kesenangan sesaat sehingga daya fokusku menurun yang mengakibatkan daya pikir dan daya ingatku menurun. Perlahan merusak diri karena lelah menjadi lebih baik. Apalagi aku sudah tidak punya keinginan apa pun.
Aku sebenarnya masih memiliki keinginan, tetapi aku tahu aku tak dapat mencapainya dan itu sangat menyedihkan. Dilarang melakukan yang kuinginkan dan melaksanakan apa yang tidak kuinginkan. Hidupku berputar-putar seperti itu sampai aku mati. Mengenaskan.
