MAELSTORM CHRONICLE : THE HAMMER OF GODS
.
Naruto Masashi by Kishimoto
Riordan Universe by Rick Riordan
.
.
Chapter I
PATUNG ETALASE MENYERANGKU
.
.
'Manusia bisa berencana tetapi Tuhanlah yang berkehendak', itulah kata-kata yang sering kudengarkan dari ibuku. Ada banyak nasihat yang aku terima dari ibuku, namun tidak ada satupun yang berguna di kondisiku saat ini selain nasihat itu. Pertama-tama, aku mempersiapkan diri untuk pergi liburan musim panas bersama dengan ibuku. Liburan ini telah kami rencanakan jauh-jauh hari, bahkan semenjak pertengahan musim semi. Ini semua terjadi karena aku mengalami hal yang tidak nyaman dari awal semester ini.
Semua berawal ketika aku menjejakkan kakiku di Akademi Yancy. Ini adalah sekolah pertama yang kumasuki semenjak aku dan ibuku pindah ke Amerika. Dahulu, aku dan ibuku tinggal di Jepang, sebuah negeri yang jauh di timur sana. Segalanya menjadi sedikit rumit sejak aku berada di bangku kelas satu sekolah. Anak-anak lain berpikir bahwa aku ini orang yang aneh. Yah … siapa yang tidak berpikir aneh jika seorang anak malah aktif dan bersemangat saat panas terik dan hujan badai?
Awalnya, aku berpikir bahwa hanya itu hal aneh yang kumiliki sampai sesuatu terjadi ketika aku berada di kelas dua. Api mulai muncul dari telapak tanganku dan secara tanpa sengaja, aku membakar seisi kelasku. Beruntung teman-temanku ataupun guruku tidak menjadi korban. Sejak kecelakaan itu, aku mulai berganti sekolah setiap kali kejadian itu muncul kembali. Aku dan ibuku telah berpergian ke berbagai kota di seluruh penjuru negeri hanya untuk berganti sekolah.
Lalu, ibuku mendapatkan tawaran pekerjaan di Amerika, khususnya di Queens. Ibuku dan aku memutuskan untuk pindah ke Amerika pada akhir musim dingin. Meski begitu, aku mendengar berbagai hal-hal aneh juga terjadi di Amerika akhir-akhir ini. Mulai dari badai dan ombak kencang yang berlangsung hampir sepanjang tahun di Manhattan beberapa tahun yang lalu, kemudian ada erupsi mengerikan dari Gunung St. Helens yang menghancurkan Daerah Washington dan sekitarnya, belum lagi adanya badai yang sangat dahsyat yang menghancurkan separuh dari wilayah Amerika Serikat.
Kemudian, beberapa fenomena aneh juga terjadi sepanjang tahun ini, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga kadang terjadi di Eropa. Setiap kali hal-hal seperti itu terjadi, aku selalu bertanya kepada ibuku, 'Apa yang sebenarnya terjadi?'. Tetapi ibuku selalu menjawab, 'itu hanya fenomena alam biasa, Nak.' Sebenarnya aku sedikit khawatir ketika kami harus pindah ke Amerika setelah kejadian-kejadian itu, tetapi ibuku selalu berusaha untuk menenangkanku dengan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Pada saat awal semester dimulai, beberapa anak mencoba untuk membullyku tetapi aku berhasil membuat mereka menyingkir dariku. Satu-satunya teman yang kumiliki hanyalah Manuel Butler, seorang anak berusia tiga belas tahun dengan rambut coklat kehitaman, kulit sawo matang dan tubuh yang ramping dengan wajah yang chubby. Anak itu selalu memakai baju dan celana yang sedikit using, dengan topi yang juga usang di atas kepalanya serta jalannya yang agak pincang.
Dia selalu menjadi target mudah untuk dibully oleh anak-anak lain yang dulu mencoba untuk membullyku, tetapi sejak dia menjadi teman baikku, anak-anak itu juga mulai menjauhinya (Yah … itupun juga terjadi karena aku sering menjahili balik mereka. Lagipula aku suka menjahili mereka dengan cukup keras). Kemudian tiga minggu yang lalu, sebuah kejadian aneh kembali menimpaku ketika kami sedang mengadakan studi banding ke Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian.
Semuanya berjalan normal ketika kami sampai di museum. Tracy, salah satu anak yang dahulu mencoba untuk membullyku dan Manuel, mencoba lagi untuk menjahili Manuel tetapi aku mengusirnya dengan pandanganku saja. "Terima kasih, Naruto," cicit Manuel dengan suara kecil.
"Santai saja kawan. Kau tidak perlu khawatir," jawabku.
Rombongan kami pun terus menyusuri etalase-etalase yang dipajang pada museum itu. Ketika kami masuk ke Aula Hewan-Hewan Mamalia, aku merasakan firasat yang tidak mengenakkan. Anak-anak yang lain tampak melihat ke sekeliling dengan antusias. Banyak sekali patung-patung dari hewan-hewan mamalia dari seluruh penjuru dunia dipajang di sana.
Tanpa sengaja, aku melihat sesosok hewan mamalia yang aneh menurutku. Hewan itu memiliki tubuh seperti rusa jantan dan leher berambut seperti seekor singa. Hewan itu juga memiliki kuku yang bercabang di keempat kakinya. Entah apakah itu perasaanku atau tidak tetapi aku melihat kalau pupil mata patung itu seperti bergerak memandangku.
Aku bisa merasakan kalau Manuel bergidik di sampingku. "Tidak … tidak mungkin. Mengapa hewan itu ada di sini?" cicitnya. Aku yang melihatnya sontak mengangkat alisku dengan heran. "Bung, kau kenapa?"
"Kita harus lari dari sini," ucapnya.
"Kenapa kita harus lari?" tanyaku. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ia menarik-narik lengan bajuku seraya berkata, "Tidak ada waktu lagi, Naruto. Kita harus pergi sebelum makhluk itu mengincar kita."
Ia menarik lenganku dengan kuat sehingga aku pun terpaksa mengikutinya. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara salah satu guruku memanggil kami berdua, tapi aku tidak bisa berhenti hanya untuk menjawab panggilan beliau. Kami menyusuri lorong-lorong di aula tersebut dan aku mulai merasakan sesuatu hal aneh berada di belakang kami.
"Sial, makhluk itu sudah semakin dekat," kata Manuel.
Aku menoleh ke belakangku dan melihat sosok hewan yang kuanggap aneh tadi kini berlari sepanjang lorong sambil mengejar kami. Mulutnya terbuka menampilkan sesuatu seperti tulang yang menonjol sebagai ganti dari gigi.
"Makhluk apa itu?" tanyaku dengan nada panik.
"Leucroccotes." Manuel menjawab dengan singkat.
"Leu-apa?"
"Leucroccotes." Manuel menjawab lagi. "Monster sejenis hyena yang terkadang dapat ditemukan di pedalaman Afrika. Monster itu baru dikenal ketika masa-masa Alexander Agung mulai menjelajahi dataran Afrika setelah menginvasi daerah Mesopotamia."
"Tunggu … kau bilang monster?" tanyaku.
Manuel menatapku dengan sedikit tercengang. "Tentu saja itu monster. Kau pikir ada hewan yang seperti itu di dunia nyata? Tentu saja tidak," jawabnya.
Tak lama kemudian, kaki Manuel tersandung sehingga membuat kami jatuh di antara beberapa etalase hewan-hewan mamalia lain yang ada di sana. Monster itu perlahan mendekati kami dengan tatapan lapar. Ia menggaruk-garuk lantai museum dengan kukunya yang tajam dan bercabang menghasilkan bunyi yang sedikit memekakkan telinga.
"Err … apakah kau tahu cara untuk mengalahkan monster itu?" tanyaku.
"Hanya senjata yang terbuat dari bahan logam magis seperti Perunggu Langit, Emas Imperial dan Besi Stygian yang bisa membuyarkan monster itu kembali ke Tartarus," jelas Manuel.
"Tunggu. Tartarus?" Aku menoleh kepadanya dengan heran. "Maksudmu lubang neraka yang ada di dalam Mitologi Yunani itu?"
Sebelum Manuel menjawab, makhluk itu menerkam ke arah kami. Untung saja, kami berhasil menghindar dari terkaman makhluk itu. Makhluk itu menabrak salah satu patung dari etalase itu dan menghancurkannya hingga berkeping-keping menggunakan kukunya.
"Apakah tidak ada cara lain?" tanyaku yang terengah-engah di balik sebuah patung.
Manuel menggelengkan kepalanya. "Sudah kubilang … hanya logam magis yang bisa membunuh monster. Entah dalam bentuk senjata atau dalam bentuk yang lain."
Makhluk itu mengintai kami dengan tajam. Kukunya kembali menggaruk-garuk lantai marmer yang menghasilkan bunyi berdencing yang keras. Aku melirik ke arah Manuel. "Kita berpencar saja. Buat monster itu bingung dengan pergerakan kita sampai kita menemukan sesuatu untuk bisa membunuhnya," ujarku.
Manuel menggelengkan kepalanya. "Itu ide yang buruk, Naruto."
"Tidak ada cara lain, Manuel." Aku menoleh ke arah makhluk yang siap menerkam kami kapan saja itu. "Kita tidak punya sesuatu yang terbuat dari logam magis yang kau bicarakan itu. Jadi yang bisa kita lakukan hanyalah kabur dari monster itu."
Manuel masih terlihat tidak yakin dengan keputusanku, namun setelah beberapa saat, ia akhirnya menganggukkan kepalanya. Setelah itu, aku kembali melirik ke arah makhluk itu. "Tunggu aba-aba dariku, oke ..."
Manuel hanya menggangguk dan ikut melihat ke arah makhluk itu. Makhluk itu mulai mengendap-endap mendekati kami. Aku menghitung jarak antara kami dengan makhluk itu. Setelah aku merasa bahwa jarak kami sudah cukup dekat, aku pun berteriak, "Sekarang Manuel!"
Kami berdua langsung berpencar berlawanan arah membuat kepala makhluk itu bingung sementara, namun makhluk itu melihatku dan langsung berlari mengejarku. Aku terus berlari melewati berbagai patung yang dijadikan anjungan di museum itu. Tiba-tiba, aku mendengar suara Manuel berteriak, "Awas Naruto!!"
Aku menoleh dan melihat bahwa makhuk itu sudah berada di dekatku. Ketika makhluk itu melompat untuk menerkamku, aku tanpa sengaja tersandung sesuatu dan terjatuh ke lantai membuat makhluk itu melewatiku begitu saja.
Aku mencoba untuk berdiri sambil menyandar pada sebuah patung perunggu yang terlihat seperti seekor hewan pengerat raksasa. Aku melihat bahwa monster yang tadi disebut Leucroccotes ini mulai kembali menatapku dengan tajam. Dengan panik, aku mencoba untuk berbalik dan berlari lagi namun makhluk itu berhasil melompat melewatiku lagi, mencegahku untuk bisa kabur lagi.
'Oke … ini tidak bagus,' pikirku.
Tanpa sengaja, aku merasakan sesuatu yang menonjol di punggung patung itu. Aku menoleh dan melihat sebuah simbol yang cukup aneh. Simbol itu memiliki huruf seperti huruf 'Y', namun terdapat garis horizontal kecil yang melintang di ujung bawah huruf tersebut sehingga membentuk seperti salib. Aku memegang simbol itu dan kemudian simbol itu tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya berwarna oranye kemerahan. Setelah itu, aku merasakan bahwa patung itu perlahan-lahan mulai bergerak.
[Prototipe MO-01 … diaktifkan]
Aku mendengar suara-suara mekanik keluar dari patung itu. Mata patung itu juga ikut menyala berwarna oranye kemerahan. Kemudian patung itu menerjang ke arah monster yang mengejarku itu. Keduanya saling bergelut di lantai museum itu, sesekali ekor mereka menyambar patung-patung lain dan menghancurkannya hingga aku terpaksa menunduk untuk menghindarinya.
"Psst … Naruto." Aku menoleh dan melihat kalau Manuel sudah berdiri tidak jauh dariku. Aku pun langsung menghampirinya.
"Sejak kapan kau ada di sini?" tanyaku.
"Aku sudah mengikutimu semenjak monster itu langsung mengejarmu," ujarnya. Kemudian, ia menoleh ke arah monster dan patung itu. "Kau beruntung menemukan sebuah automaton."
"Automaton?"
Manuel mengangguk. "Kau bisa menyebutnya juga sebagai robot. Kebanyakan dari mereka terbuat dari logam-logam magis, kebetulan kau menemukan automaton yang terbuat dari perunggu langit."
Aku hanya bisa mengangguk setelah mendengar penjelasan dari Manuel. Kemudian, aku teringat akan sesuatu dan kembali menoleh ke arah Manuel. "Ngomong-ngomong, apakah kau mengetahui makna dari simbol ini?" tanyaku sambil menggambarkan simbol yang tadi kutemui di punggung patung itu.
Manuel sedikit terkejut ketika aku menunjukkan simbol itu. Ia terlihat berpikir keras sambil bergumam, "Tidak mungkin … tapi … sepertinya belum tentu … hanya saja …"
Kemudian, ia menjawab, "Simbol ini adalah simbol dari Hephaestus, Dewa Penempa dan Pandai Besi Yunani, namun simbol ini lebih sering dipakai oleh sisi lain dari Hephaestus yaitu Vulcan, Dewa Penempa dan Pandai Besi Romawi."
Aku terdiam dan sedikit mengangguk. "Masuk akal juga," kataku.
Kami melihat monster dan automaton itu masih saling bergulat satu sama lain hingga akhirnya monster itu terkena gigitan dari patung itu. Tubuh monster itu langsung buyar menjadi debu emas yang langsung menghilang di terpa angina.
"Seperti itulah cara monster mati dan kembali ke Tartarus," ujar Manuel. Kemudian, aku melihat jika automaton itu terlihat menoleh kesana-kemari seperti mencari mangsa baru.
"Bagaimana cara untuk mematikannya?" tanyaku.
Manuel hanya mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu. Beberapa automaton tergolong unik bergantung pada siapa yang membuat."
Tiba-tiba saja, patung itu melihat ke arahku. Patung itu hanya melihatku dari atas ke bawah lalu kembali ke tempat dia semula. Setelah berdiri di etalasenya semula, mata patung itu mulai meredup dan tidak mengeluarkan cahaya sama sekali.
Aku menoleh ke arah Manuel dan menunjuk patung itu. "Sepertinya begitulah cara mematikannya."
Kami pun menghela nafas lega setelah kejadian itu. Siapa yang menyangka bahwa tur kami akan diwarnai dengan dikejar oleh monster yang tidak kukenal? Aku terduduk di lantai karena kecapekan dan menoleh ke arah Manuel.
"Sekarang … bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa makhluk seperti monster yang kita hadapi dan patung itu bisa eksis di dunia nyata?" tanyaku.
Manuel terlihat kebingungan mendengar pertanyaanku. Ia menoleh kesana-kemari tanpa melihatku. Aku mencengkeram kakinya dan berkata, "Manuel, aku perlu penjelasan. Kau tahu 'kan kalau kita baru saja dalam bahaya?"
"Tapi semakin banyak yang kau tahu, maka semakin banyak pula monster-monster itu akan memburumu." Manuel berkata dengan sedikit tertatih.
"Apa maksudmu?"
Ia tidak menjawab dan merogoh sesuatu dari kantungnya. Aku melihat sebuah kartu nama kini berada di tangannya. Kartu nama itu terlihat sedikit kusam, namun aku bisa melihat tulisan di kartu nama itu seperti terbuat dari tinta emas yang menyala.
.
MANUEL BUTLER
PENJAGA
BUKIT BLASTERAN, LONG ISLANDS, NEW YORK
(800) 009-0009
.
Aku menaikkan alisku. "Apa itu B-"
"Jangan katakan hal itu di sini," hardik Manuel sambil menutup mulutku.
Aku menyingkirkan tangannya dari mulutku. "Kenapa tidak boleh?"
"Sudah kubilang, semakin banyak yang kau tahu maka semakin banyak monster yang mengincarmu," jelas Manuel dengan seksama. "Yang perlu kau tahu adalah tempat itu adalah alamatku selama musim panas ini. Pastikan kau datang saat musim panas, oke?"
"Entahlah." Aku berdiri sembari mengibas celanaku. "Aku tidak bisa janji."
Aku berjalan melewatinya tanpa sama sekali menoleh ke arahnya. Kami berdua langsung bergegas menuju ke tempat rombongan kami yang lain untuk melanjutkan tur kami.
.~.
Beberapa minggu telah berlalu setelah kejadian di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, hari-hariku dan Manuel mulai berjalan seperti biasa. Belum lagi adanya minggu ujian sebelum liburan musim panas dimulai membuatku sedikit melupakan apa yang terjadi di museum itu.
Minggu ujian merupakan saat yang tidak menyenangkan bagiku, seperti … ayolah! Aku tidak terlihat seperti seorang kutu buku yang sangat suka belajar. Belum lagi aku mengidap Disleksia dan ADHD membuatku sulit sekali untuk belajar, kecuali untuk aksara-aksara yang tergolong unik dan susah dipelajari seperti kanji dan mungkin aksara Yunani.
Tidak ada satupun kejadian aneh yang terjadi selama beberapa minggu terakhir. Meskipun sesekali aku merasakan bahwa ada sesuatu atau seseorang yang sepertinya mengawasiku dari jauh, tapi semuanya terasa berjalan dengan sangat lancar.
Hingga tibalah saatnya liburan musim panas. Aku pun mempersiapkan diri untuk pulang sampai Manuel datang menghampiriku.
"Ada apa, Manuel?" tanyaku.
Manuel tampak sedikit ragu, kemudian ia bertanya, "Kau bisa datang ke tempatku 'kan?"
"Sudah kubilang, aku tidak janji." Aku menjawab dengan cukup singkat. Aku mengemas barang-barangku dan menghadapnya. "Lagipula aku sudah ada rencana dengan ibuku untuk liburan ke Malibu."
Tiba-tiba saja, ia menggenggam tanganku. Aku menoleh dan melihat bahwa mukanya menatap serius ke arahku. "Kau harus datang." Ia berkata dengan tegas. "Situasinya menjadi semakin serius."
Aku menaikkan alisku dengan heran. "Apa maksudmu?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya masih menggenggam erat lenganku. Aku hanya bisa menghela nafas. "Apakah ini ada kaitannya dengan di Smithsonian?"
"Aku tidak bisa menjawab lebih detail, tapi yang pasti kau harus datang ke tempatku. Kepala Perkemahan yang akan menjelaskannya nanti."
"Kepala Perkemahan?" tanyaku. "Apa maksudmu?"
Tidak terasa bahwa bel sekolah pun berbunyi. Manuel pun melepaskan genggamannya dari lenganku, menjejalkan sesuatu ke dalam kantongku dan berkata, "Jangan lupa, Naruto. Kunjungi tempatku!" Setelah mengatakan hal itu, ia pun langsung keluar kelas dan menghilang dari pandanganku.
Aku hanya terdiam saat melihatnya pergi. Kurogoh sesuatu yang ia jejalkan di kantongku dan aku melihat kartu nama yang sempat ia perlihatkan kepadaku. Aku mengalami sedikit dilema sekarang ini. Di satu sisi, aku juga ingin mengetahui rahasia apa yang kumiliki dalam hidupku, tetapi di sisi lain, aku juga tidak bisa membatalkan apa yang telah kurencanakan dengan ibuku.
Aku pun memasukkan kartu nama itu ke kantongku dan segera mengemas semua barangku. Setelah itu, aku langsung berjalan keluar hingga ke depan sekolah. Aku bisa melihat jika ibuku telah menunggu di depan mobilnya.
Ibuku adalah seorang wanita yang sangat cantik bagiku. Rambutnya yang berwarna merah terlihat menyala diterpa cahaya matahari senja. Aku bisa melihat bahwa beberapa pria, baik guru maupun orang tua murid, terlihat terpukau oleh pesona yang dipancarkan ibuku. Aku melihat beliau tengah tersenyum lembut ke arahku.
"Sudah lengkap semua?" tanyanya.
Aku mengangguk dan menaruh tasku di dalam mobil. Aku masuk ke dalam mobil dan diduduk di dekat kursi pengemudi sambil melihat ibuku sedang sedikit berbincang dengan orang tua murid yang lain. Setelah itu, beliau langsung masuk ke dalam mobil dan kami pun melaju ke rumah.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya ibuku.
Aku hanya bergumam, "Yah … seperti biasa saja."
Kami terdiam sejenak sambil menikmati jalanan Kota New York, sampai akhirnya aku memutuskan untuk bersuara, "Bu, apakah kau memiliki sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Ibuku terlihat mengangkat alisnya. "Apa maksudmu, Nak?"
"Apakah aku memiliki sesuatu yang spesial dari anak-anak yang lain, Bu?" tanyaku lagi.
Ibuku sempat terdiam mendengar pertanyaanku. Beliau terlihat bingung ingin menjawab apa.
"Tentu saja kau spesial di mata ibu. Memangnya apa lagi?" "Aku tahu kau berbohong, Bu." Ibuku tersentak ketika aku membalas lagi perkataan beliau.
Ibuku menghela nafas. Beliau menatap diriku sejenak sambil bertanya, "Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
Aku pun menceritakan kejadian yang kualami saat berada di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, mulai dari munculnya monster aneh itu hingga diriku yang tanpa sengaja mengaktifkan sebuah automaton. Ibuku semakin terdiam mendengarkan ceritaku. Dari situ aku mulai memahami jika ada sesuatu yang beliau sembunyikan dariku.
Akhirnya, ibuku menepikan mobilnya sebentar. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghelanya secara perlahan. Lalu, ia menoleh ke arahku dan berkata, "Aku tidak bisa mengatakannya secara langsung, Naruto. Hanya waktu yang bisa menjawab kapan kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya tidak ingin kau berada di dalam bahaya yang lebih besar."
"Apakah karena jika aku tahu informasi itu maka akan ada banyak monster yang mengincarku?" tanyaku. Ibuku hanya mengangguk.
"Kasusmu boleh dibilang adalah kasus khusus, namun hanya waktu yang bisa menjawab," kata ibuku lagi.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sudah kuduga ada rahasia besar yang tersembunyi di dalam keluargaku. Entah rahasia apa yang telah ibu sembunyikan dariku.
Kemudian ibuku kembali menginjak pedal gas mobilnya dan kami kembali menyusuri jalanan New York untuk sampai ke rumah. Tanpa sengaja, aku melihat seseorang pria dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi tengah berdiri di pinggir jalan. Pria itu memiliki warna kulit yang cukup gelap, mengenakan sebuah topi lebar dan sebuah jaket wol berwarna hitam. Pria itu menatap ke arahku sambil mengucapkan sesuatu yang tidak bersuara.
"Aku tunggu kau." Begitulah kata-kata yang ia ucapkan tanpa suara. Aku mengernyitkan dahiku ketika melihat hal itu, namun aku menganggapnya angin lalu. Aku hanya menatap diam jalanan Kota New York tanpa mengetahui bahwa tak lama lagi, kehidupan normalku akan berubah total.
