Perjalanan pulang kami tidak mengalami kendala sama sekali. Kami sampai di rumah tepat saat matahari sudah tidak tampak di cakrawala. Rumah kami selama di Amerika layaknya apartemen dua susun di pinggiran jalan Kota Queens. Kami pun langsung mempersiapkan diri untuk berangkat liburan pada malam hari ini. Aku memasukkan barang-barang yang akan kugunakan untuk berlibur di dalam tas ranselku. Kemudian aku menatap ke arah jendela kamarku.
Aku bisa melihat jalanan kota yang mulai diterangi oleh gemerlapnya lampu jalanan. Banyak orang berlalu lalang dengan santainya sambil sesekali bercengkrama dengan orang terdekat mereka. Ada juga para pekerja yang tampak berjalan sambil menunjukkan rasa lelah mereka setelah bekerja seharian. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang juga menambah kesan ramai di jalanan.
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara ketukan dari pintu kamarku. Aku menoleh dan mendapati ibuku berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah tas besar.
"Apakah kau siap?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Ibuku tersenyum dan berkata, "Baiklah. Aku tunggu di bawah ya." Setelah itu, beliau langsung turun sambil menenteng ta situ.
Aku langsung mengambil tas ranselku dan keluar dari kamar. Tak lupa aku mengunci pintu kamarku sebelum akhirnya menyusul turun. Kulihat bahwa ibuku tengah memasukkan tasnya ke dalam mobil seraya berbincang dengan sepasang suami istri yang tinggal di sebelah rumah kami. Sang suami memiliki perawakan seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang ideal, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Rambutnya yang berwarna seperti garam dan merica dicampur menjadi satu terlihat panjang dan sedikit keriting. Ia mengenakan sebuah kemeja berwarna biru muda dan dibalut dengan jaket berwarna cokelat.
Sedangkan sang istri memiliki paras yang sama cantiknya dengan ibuku. Ia memiliki rambut panjang berwarna cokelat dengan beberapa helai rambutnya yang berwarna sedikit abu-abu. Ia juga mengenakan sebuah kemeja berwarna biru muda sambil mengendong seorang bayi di pelukannya.
Aku mengenal kedua pasangan tersebut. Mereka adalah Tuan Paul Blofis dan Nyonya Sally Jackson-Blofis. Seingatku kedua pasangan tersebut dikaruniai dua orang anak. Anak pertama mereka bernama Percy Jackson, seorang pemuda yang kini tengah menempuh pendidikan di daerah San Fransisco meskipun sekali-kali dia akan kembali ke New York. Anak kedua mereka bernama Estelle Blofis, seorang gadis kecil yang masih berusia kurang lebih 1 tahun.
Kedua pasangan itu baru saja pindah dari Manhattan. Mereka bilang untuk mencari suasana yang lebih asri daripada hiruk pikuknya Manhattan yang menjadi pusat New York. Aku pun segera menghampiri ibuku dan kedua pasangan itu.
"Ah Naruto, sudah bersiap pergi berlibur?" tanya Nyonya Sally kepadaku.
Aku hanya mengangguk. "Iya Nyonya," jawabku.
Nyonya Sally tampak merengut mendengar panggilanku. "Sudah kubilang, panggil aku bibi, Naruto. Tidak perlu terlalu formal."
Perkataannya sempat membuatku canggung. "Baiklah Ny- er … bibi." Aku bisa melihat kalau N-Bibi Sally tersenyum kepadaku. Aku juga bisa melihat kalau Tuan Paul juga menatapku dengan senyumannya. "Kau juga bisa panggil aku dengan sebutan paman, Naruto," katanya. "Sama seperti istriku. Aku juga tidak terlalu suka dengan keformalan."
"Baiklah Paman." Jawabanku membuat kedua pasangan itu tersenyum lembut ke arahku. Kemudian, Bibi Sally bertanya kepada ibuku, "Jadi berapa lama kalian pergi ke Malibu?"
"Mungkin hanya selama dua-tiga minggu." Ibuku menjawab dengan tidak pasti. "Apalagi aku juga baru tahu kalau 'mereka' mulai mengintai. Mungkin bisa lebih lama dari itu."
Bibi Sally yang awalnya tersenyum tampak mulai kehilangan senyumannya. Raut wajahnya mulai menunjukkan rasa khawatir. Aku juga bisa melihat raut wajah Paman Paul juga berubah menjadi risau dan khawatir. Bibi Sally tampak melirik ke arahku sebelum kembali bertanya kepada ibuku, "Apakah Naruto tahu?"
Ibuku tampak terdiam sejenak. "Dia tahu." Ibuku menjawab dengan singkat. "Meski tidak semua."
Aku menatap mereka dengan kebingungan. "Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian di Smithsonian?" tanyaku.
Paman Paul kemudian bertanya kepadaku, "Memangnya apa yang terjadi di Smithsonian?"
Aku pun menceritakan apa yang terjadi di Museum Smithsonian kepada mereka. Beragam ekspresi terlihat jelas di raut wajah mereka, tapi pada akhirnya, raut khawatir kembali menjadi ekspresi yang lebih dominan terukir di wajah mereka.
Paman Paul menepuk pundakku. "Aku tahu kau pasti bertanya-tanya apa yang terjadi 'kan? Aku dulu juga pernah mengalami masa-masa itu," kata beliau yang membuatku menoleh kepadanya.
"Kau pernah Paman?" tanyaku. Paman Paul mengangguk. "Iya, tapi pada akhirnya hanya waktu yang akan menjawab semua masalahmu ini."
Aku hanya bisa terdiam dan mengangguk saja. Meskipun ada sedikit rasa kecewa di dalam hatiku karena ternyata kedua pasangan itu mengetahui sesuatu namun mereka tidak mau (atau mungkin tidak bisa?) memberitahuku.
Bibi Sally hanya tersenyum lembut ke arahku. "Mungkin kalian bisa juga bertanya ke putraku, Percy. Dia bilang kalau dia tidak pulang musim panas ini karena dia tengah berkunjung sekalian menginap di rumah Annabeth," ujarnya.
Annabeth (atau Annabeth Chase, nama lengkapnya) adalah pacar dari Percy. Aku sempat mendengar kalau keduanya berkuliah di satu kampus yang sama dan sudah berhubungan sejak lama. Keduanya berkuliah di suatu universitas lokal di San Fransisco yang bernama Universitas Roma Baru (aku baru pertama kali mendengar nama kampus ini).
Ibuku hanya mengangguk. Kami pun akhirnya berpamitan dengan kedua pasangan itu dan segera berangkat menuju bandara. Perjalanan kami dari rumah menuju tempat liburan kami mencapai 41 jam jika ditempuh hanya menggunakan mobil, maka dari itu ibuku memutuskan untuk menggunakan pesawat untuk terbang dari New York menuju California.
Perjalanan kami dari rumah kami di Cherry Avenue menuju ke bandara JFK hanya berkisar 16 menit menggunakan mobil. Ibuku langsung memacu mobil kami agar tidak sampai ketinggalan pesawat kami. Namun ketika kami sampai pinggir Taman Pidgeon Meadow, tiba-tiba saja sekumpulan gagak berterbangan di atas kami.
Bulu-bulu mereka yang berwarna hitam berjatuhan sehingga menutupi pandangan kami maupun para pengendara lain yang berlalu lalang di taman itu. Mau tidak mau, ibuku langsung membanting setirnya untuk menepi karena bulu-bulu itu tidak bisa dibersihkan menggunakan wiper kaca mobil.
Ketika aku keluar, aku mendapati bahwa jalanan menjadi sangat kacau. Orang-orang berlarian menghindari bulu-bulu gagak yang berjatuhan itu. Mobil-mobil yang belum sempat ke pinggir akhirnya malah saling bertabrakan. Suasana di jalanan menjadi semakin kacau.
Kami melihat ke arah langit dan mendapati sosok makhluk yang cukup mengerikan menurut pandanganku. Makhluk itu memiliki perawakan yang tinggi dan berotot, dengan sepasang sayap burung gagak mengembang lebar di punggungnya. Matanya terlihat tajam menusuk dan memiliki paruh yang pendek dan bengkok. Makhluk itu mengenakan hakama, semacam pakaian tradisional dari Jepang yang berbentuk celana dan rok dan biasanya dikenakan di atas kimono
Sebuah mahkota dengan dekorasi bulu gagak berada di atas kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai secara liar dan dua buah pedang tersarung di pinggangnya, satu buah katana dan satu buah wakizashi. Makhluk itu menatap tajam ke arah kami.
Ibuku hanya bisa mengumpat pelan. "Sial, aku tidak menyangka kalau mereka juga sampai kemari."
Aku menoleh ke ibuku. "Apa maksudmu, Bu? Dan makhluk apa itu?" tanyaku.
"Kita tidak punya banyak waktu." Ibuku langsung menarik lenganku. "Ayo kita pergi dari sini."
Kami pun berlari meninggalkan mobil kami menuju ke dalam taman. Aku melirik ke atas dan melihat kalau makhluk itu mulai mengikuti kami dari atas. Aku dan ibuku sesekali bersembunyi di balik semak-semak ataupun bayangan rerimbunan pohon yang ada di dalam taman itu.
"Sebenarnya makhluk apa itu, Bu?" tanyaku ketika kami berhasil bersembunyi di balik sebuah semak-semak.
Ibuku menoleh kesana-kemari, layaknya memastikan bahwa makhluk itu tidak berada di dekat kami. "Makhluk itu bernama Tengu, atau Dai Tengu. Makhluk mistis yang sering muncul di mitologi negara asal kita, Jepang," jawabnya.
"Tunggu dulu … maksud ibu, makhluk tadi itu Yokai Tengu? Makhluk itu nyata?" tanyaku lagi.
Ibuku hanya mengangguk. Aku menjatuhkan diri sambil terduduk. "Arghh! Apa yang sebenarnya terjadi sih!? Sebelumnya dikejar makhluk Mitologi Yunani, sekarang malah dikejar Yokai," keluhku.
Ibuku langsung menghardikku sambil memberikan isyarat untuk diam. "Jangan teriak! Nanti makhluk itu akan menemukan kita."
Kami pun mendengar suara kepakan sayap tak jauh dari tempat kami bersembunyi. Namun, aku tidak hanya mendengar suara kepakan sepasang sayap saja, namun ada beberapa yang menandakan bahwa Tengu yang mengejar kami tidak hanya seorang saja. Aku melirik dan melihat ada jenis Tengu yang lain tengah bertengger di sebuah pohon.
Tengu yang ini tidak mengenakan kimono sama sekali, hanya memakai hakama yang menutupi bagian pinggang ke bawah, menampakkan badan mereka yang penuh bulu berwarna kecokelatan layaknya bulu elang. Makhluk itu memiliki kepala layaknya manusia, namun memiliki hidung layaknya paruh. Sepasang sayapnya yang berwarna cokelat mengembang gagah di punggungnya.
Tak lama setelah itu, beberapa tengu juga turun dan mencari lewat darat. Aku melihat mereka dalam semak-semak sambil mendengar beberapa obrolan mereka.
"Aku heran mengapa kita harus melakukan hal ini," ujar salah satu Tengu menggunakan bahasa Jepang.
"Diamlah!" hardik Tengu yang lain. "Kita sudah menjalin kesepakatan dengan Lubang Kehampaan dan Orang Troy itu untuk memusnahkan para blasteran Yunani beserta para keturunan Orang Troy itu yang malah bersekutu dengan Bangsa Yunani."
"Tapi rencana Nyonya besar kita s-" "Nyonya besar telah menyetujui kesepakatan itu dengan imbalan seluruh Dunia Timur," jawab Dai Tengu itu seraya turun dari langit. Suaranya yang berat menggema ke seluruh taman itu. "Dan anak yang kita incar adalah kunci dari semuanya."
"Apakah anda mempercayai kata-kata Peramal dari Barat itu, Tuan Dai Tengu?" tanya salah satu Tengu yang lain dengan nada sopan.
"Sayangnya tidak hanya Peramal dari Barat yang meramalkan tentang anak itu, Nyonya besar kita juga mendapatkan penglihatan terkait ramalan itu dan anak itu akan menjadi satu-satunya penghalang kita untuk menguasai dunia." Setelah mengatakan hal itu, Dai Tengu itu mulai memeriksa sekeliling. "Cepat!! Cari anak itu!!"
Tapi sebelum mereka mulai mencariku dan ibuku, aku mendengar suara desingan seperti peluru yang melesat dan mengenai Tengu yang tengah bertengger di atas pohon. Aku melihat dengan lebih jelas dan menemukan bahwa benda yang mengenai Tengu itu adalah sebuah anak panah. Kemudian beberapa anak panah kembali melesat dari suatu tempat.
"Musuh menyerang!! Cari mereka!!" Dai Tengu itu berteriak untuk memperingati mereka, tapi desingan demi desingan anak panah terus terdengar. Tak lama setelah itu, tanah mulai bergemuruh dan beberapa kerangka keluar dari dalam tanah. Kerangka-kerangka tulang itu mulai menyerang para Tengu itu menggunakan senjata ala kadarnya.
Aku terkesima saat melihat itu sampai sebuah tangan menepuk pundakku dengan cukup keras. Aku langsung menoleh dan hampir menjerit sampai sebuah tangan menyuruhku untuk diam. Aku melihat seorang pemuda dengan kulit yang sangat putih, bahkan hampir pucat, dengan sedikit warna bercak-bercak seperti berwarna biru keunguan.
Pemuda itu terlihat kurus. Ia mengenakan sebuah kaus oranye kehitaman dengan tulisan 'KEMAH BLASTERAN' di bagian depan, dan tulisan 'KABIN 13' di bagian lengan kirinya. Selain itu, ia mengenakan celana semi panjang berwarna hitam. Rambutnya yang berwarna hitam dan acak-acakan terlihat menutupi sebagian matanya, namun aku bisa melihat kalau pemuda itu memiliki iris mata berwarna hitam kelam. Sebuah pedang yang tersarung bergantung di pinggangnya.
"Diamlah," bisiknya. "Kau tidak ingin sampai tertangkap oleh mereka 'kan?"
Aku mengangguk mendengar perkataan pemuda itu. Kemudian, ia berbalik dan menghadap ke arah sekawanan Tengu itu. Aku melihat sekelompok kerangka itu masih memberikan perlawanan sengit kepada sekawanan Tengu itu seraya dibantu oleh rentetan hujan anak panah yang entah datang darimana.
Tiba-tiba saja, seorang pemuda lain datang menghampiri kami. Pemuda itu memiliki rambut pirang yang keriting dan kusut, postur tubuh yang atletis seperti seorang peselancar dan juga iris mata berwarna biru. Pemuda itu juga mengenakan kaus oranye bertuliskan 'KEMAH BLASTERAN' dan celana pendek berwarna coklat.
Pemuda itu membawa busur panah dan juga tas selempang berisi beberapa anak panah. Ia menatapku lekat-lekat dan berbisik kepada pemuda yang satu lagi, "Jadi … dia yang kita cari?"
"Tentu saja," balas pemuda yang pertama sambil berbisik. "Sebaiknya kita perlu pengalih yang lebih baik untuk menyelamatkannya beserta ibunya."
"Kau benar," bisik pemuda berambut pirang itu lagi. Kemudian, ia menoleh kesana-kemari sambil berbisik kembali, "Apakah kau melihat Manuel?"
"Bukannya kau bersamanya?" tanya balik pemuda yang pertama. Pemuda berambut pirang itu tidak menjawab kembali membuat pemuda berambut hitam itu mengumpat dalam bahasa yang belum pernah aku dengar sebelumnya namun entah mengapa aku pahami (aku mendengar pemuda itu mengatakan gagak bau (?) atau semacamnya).
"Kalian mengenal Manuel?" tanyaku seraya berbisik.
"Tentu saja," jawab Pemuda berambut pirang itu. "Dia salah satu dari kami."
"Sudahlah Will." Pemuda berambut hitam itu menepuk pundak pemuda berambut pirang itu. "Kita harus membawa mereka segera ke Bukit Blasteran."
"Bukit Blasteran?" tanyaku lagi. "Tempat apa itu?"
"Tidak ada waktu menjelaskannya." Pemuda berambut hitam itu hanya menjawab dengan singkat. Kemudian, ia menoleh ke arah ibuku. "Apakah anda tahu tempatnya?"
Ibuku menjawab, "Sally sudah memberitahuku lokasi pastinya, tapi apakah aku bisa memasuki wilayah sana?"
Pemuda pirang yang dipanggil dengan nama Will tadi menjawab, "Anda bisa masuk, Nyonya. Asalkan salah satu dari kami memberikan izin kepadamu untuk masuk ke dalam wilayah perkemahan. Dan orang di sebelahku ini … " Ia menunjuk ke arah pemuda berambut hitam di sebelahnya. "… adalah putera salah satu dari Tiga Dewa Besar."
"Yang terpenting, …" Pemuda berambut hitam itu kembali berbicara, "… kita harus segera pergi ke Kemah Blasteran, sekarang!"
"Tapi bagaimana?" tanyaku. "Bukannya kau bilang kita butuh pengalih?"
Tiba-tiba saja, kami mendengar suara alunan seruling yang membuat para Tengu itu kebingungan. Mereka dengan brutal saling membantai satu sama lain tanpa mempedulikan kami. Tak lama setelah itu, aku mendengar suara yang terdengar tidak asing bagiku, "Akhirnya ketemu juga!"
Aku menoleh dan melihat seorang anak remaja berlari tergopoh-gopoh dalam kegelapan malam. Topinya yang terlihat usang tampak naik-turun seirama dengan irama lari anak itu. Ketika ia mulai sedikit dekat dengan kami, aku pun mulai mengenali sosok anak itu.
"Manuel!" seruku. Anak itu mendekati kami dengan masih tergopoh-gopoh. Sebuah seruling yang terbuat dari kayu berada di tangan kirinya dan tangan kanannya tampak memegangi topi usangnya. Aku bisa melihat bahwa baju usangnya telah hilang dan diganti oleh kaus berwarna oranye yang sama seperti yang dikenakan oleh kedua pemuda tadi.
Sesampainya di dekat kami, ia berbicara sambil terengah-engah, "Hah … aku cari kalian dari tadi … untung saja aku melihat pasukan kerangka milikmu, Nico."
"Salahkan saja idiot berambut pirang satu itu," ujar pemuda berambut hitam itu (yang akhirnya ku ketahui namanya adalah Nico) sambil menunjuk ke arah Will. Kemudian, ia berkata lagi kepada Manuel. "Apakah kau bisa mempertahankan sihir itu, Manuel? Kita butuh pengalih perhatian."
Manuel mengangguk. "Meskipun aku tidak sehebat Grover, tapi setidaknya aku masih lebih baik dari Pak Tua Hedge," ujarnya. Ia pun kembali mengeluarkan seruling kayu miliknya dan meniupnya. Alunan nada yang merdu mengalun di gelapnya malam itu, namun suaranya membuat sekawanan Tengu itu kebingungan.
"Apa itu?" tanyaku.
"Kau bisa menyebutnya Sihir Alam," ujar pemuda pirang bernama Will itu. "Apalagi sihir itu merupakan keahlian dari kaumnya."
"Kaumnya?" tanyaku lagi. Sekilas aku memperhatikan lagi lebih detil pada tubuh Manuel dan aku menyadari bahwa bagian tubuh pemuda itu dari pinggang ke bawah merupakan bagian tubuh manusia, melainkan sepasang kaki berkuku belah dan berbulu layaknya seekor kambing.
"Wow." Aku mendengar suara ibuku bersuara. "Ini pertama kalinya aku melihat Sihir alam para Satyr."
Aku menatap ibuku dengan heran. "Kau tahu, Bu?" tanyaku. Ibuku hanya mengangguk.
"Sudahlah." Pemuda bernama Nico itu menyahut. "Kita tidak punya waktu untuk berbicara. Ayo kita segera menuju ke perkemahan."
Kami pun bergegas pergi dari taman itu, meninggalkan sekawanan Tengu yang tampak masih kebingungan dan saling menyerang satu sama lain. Aku dan ibuku mengarahkan ketiga pemuda itu menuju ke mobil kami yang terparkir di pinggir taman.
"Manuel! Kau duduk di depan dan pandu Nyonya Kushina untuk bisa sampai ke Bukit Blasteran! Naruto, aku dan Will akan duduk di belakang," perintah Nico.
Kami pun langsung masuk ke dalam mobil dan menyusuri jalanan kota. Ibuku menyetir dengan lihai sambil menghindari beberapa mobil yang bertabrakan karena tertutupi oleh bulu-bulu para Tengu tadi. Aku bisa melihat kalau Will dan Nico melihat ke sekeliling dengan wajah sigap, seakan-akan waspada jika kami diikuti oleh sesuatu.
"Jadi … bisa kalian ceritakan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku. "Dan sebenarnya siapa kalian?"
Kedua pemuda yang duduk di sampingku itu saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya pemuda berambut pirang itu berbicara, "Baiklah … namaku Will Solace, panggil saja aku Will, dan dia …"
"Nico, Nico di Angelo," sahut pemuda berambut hitam itu. "Itulah namaku."
Pemuda berambut pirang bernama Will itu mengangguk kemudian kembali menatapku. "Sekarang … ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Apa yang kau ketahui tentang Mitologi Yunani dan Romawi?"
Aku berpikir sejenak. "Hanya gambaran besar saja sih. Para Olympians, kemudian kisah Minotaur dan segala macamnya, hingga Perang Titan dan Perang Raksasa. Memangnya kenapa?"
Belum sempat Will membalas, tiba-tiba saja sebuah besi runcing berwarna hitam menancap di atap mobil kami membuatku berteriak panik. Besi runcing itu ternyata adalah sebuah bulu burung gagak yang mengeras layaknya logam. Nico yang melihat bulu itu langsung memberikan kode kepada Will.
"Ada yang mengikuti kita," ujarnya. Will mengangguk dan segera menengok dari jendela. Ia melihat salah satu Tengu yang mengenakan kimono tadi sudah mulai mengikuti kami.
"Satu ekor monster," ujar Will sambil menyiagakan lagi busurnya. "Sebaiknya kita terus tancap gas, Nyonya."
Ibuku yang mendengar itu langsung menginjak pedal gasnya kuat-kuat. Mobil kami melaju dengan kencang di sepanjang jalan. Aku bisa melihat kalau kami telah keluar dari Queens dan terus melaju ke arah timur laut. Will dengan sigap memberikan perlawanan kepada Tengu yang mencoba mengikuti kami.
"Ke mana kita pergi?" tanyaku.
"Ke Pantai utara di arah Timur Laut Long Island." Nico menjelaskan kepadaku. "Di sanalah Perkemahan berada."
"Perkemahan apa?"
"Perkemahan Blasteran." Will berbicara sambil terus mengarahkan busur panahnya. "Kau akan tahu nanti setelah kita sampai di sana."
.
.~.
.
