The Ronin of Gotham

Disclaimer : Aku tidak memiliki keduanya.

.

.

Summary :

Setelah kematian Robin, Batman menyelamatkan dan mengadopsi seorang anak jalanan yang hidup di daerah kumuh kota Gotham.

Genre : Petualangan, Aksi, Romansa dan komedi.

Warning : Typo dan agak Gaje!

.

.

Chapter 1 : Pertemuan yang akan merubah segalanya.


The Narrows

Gotham di malam hari selalu terasa seperti neraka yang bernafas. Kabut tipis bercampur asap knalpot memenuhi udara, bercampur dengan bau busuk dari selokan dan sampah yang menumpuk di sudut-sudut jalan. Lampu jalan yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam, menciptakan siluet menakutkan di antara gedung-gedung tua yang kusam. Suara sirene polisi menggema di kejauhan, namun di The Narrows—bagian kota yang bahkan keadilan pun enggan menyentuh—sirene itu hanya sebatas latar belakang kehidupan.

Langkah-langkah kecil yang panik bergema di jalanan berbatu. Seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 atau 13 tahun berlari secepat yang dia bisa, napasnya tersengal, dadanya naik turun dalam ketakutan. Wajahnya kotor, dengan luka gores di pipinya dan darah kering menempel di sudut bibirnya. Bajunya lusuh, penuh robekan dan noda, menandakan bahwa hidupnya jauh dari kata mudah.

Di belakangnya, terdengar suara langkah berat beberapa pria yang mengejarnya.

"Berhenti, bocah! Kau pikir bisa lari dari kami?" salah satu dari mereka berteriak, suaranya serak dan kasar seperti perokok berat yang sudah bertahun-tahun kehilangan harapan.

Anak itu tidak menjawab. Dia tidak bisa. Yang ada di pikirannya hanyalah satu hal—lari.

Namun, keberuntungan tidak berpihak padanya malam ini. Dalam keputusasaan, dia membelok tajam ke gang sempit, berharap bisa menemukan jalan keluar lain. Tapi saat dia sampai di ujung, jantungnya terasa tenggelam. Dinding bata tinggi berdiri kokoh di hadapannya. Gang itu buntu.

Dia berbalik, napasnya masih tersengal, dan melihat tiga pria berperawakan besar mulai memasuki gang, menyeringai seperti pemangsa yang baru saja memerangkap mangsanya. Salah satu dari mereka memegang pisau lipat, yang lain menggenggam pipa besi berkarat.

"Kau sudah membuat kami repot, bocah," kata pria dengan pisau, menjilat bibirnya dengan seringai kejam. "Sekarang saatnya kita bersenang-senang."

Anak laki-laki itu mundur selangkah, punggungnya menempel ke dinding bata. Matanya bergerak liar, mencari celah, mencari harapan. Tapi di The Narrows, harapan sering kali hanyalah ilusi.

Atau mungkin tidak.

Dari bayangan di atas, sesuatu bergerak. Suara langkah ringan hampir tak terdengar di atas atap bangunan tua. Sesuatu, atau seseorang, mengawasi.

Dan malam di Gotham baru saja menjadi lebih berbahaya.

...

Anak laki-laki itu menelan ludah, matanya tak lepas dari tiga pria yang kini mendekat. Tangannya terkepal, tubuhnya sedikit merendah, bersiap untuk menghindar. Dia tahu dia tidak punya peluang besar, tapi menyerah bukanlah pilihan.

Pria dengan pisau lipat melangkah lebih dulu, mengayunkan pisaunya dalam serangan cepat. Anak itu melompat ke samping, nyaris menghindari bilah tajam yang hampir mengenai lengannya. Tapi sebelum dia bisa mengambil posisi bertahan lagi, pria dengan pipa besi sudah bergerak.

Bugh!

Pipa besi itu menghantam perutnya dengan brutal.

Udara seperti terhisap keluar dari paru-parunya. Rasa sakit yang menusuk menjalar dari perut hingga ke seluruh tubuhnya, membuatnya terhuyung ke belakang sebelum akhirnya terlempar ke tanah berbatu. Tubuhnya membentur dinding sebelum jatuh terduduk. Napasnya pendek-pendek, pandangannya mulai kabur, dan sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dia melihat pria dengan pipa besi berjalan mendekatinya.

"Yah, lihat siapa yang sekarang tidak bisa lari," pria itu terkekeh, mengangkat pipa besinya lagi, bersiap memberikan pukulan terakhir.

Namun sebelum pipa itu bisa menghantam, sesuatu berubah.

Bayangan besar menjulang di belakang mereka. Ada suara seperti sayap kelelawar yang mengepak—bukan suara nyata, tapi sesuatu yang lebih menyerupai angin yang berhembus saat sesuatu bergerak sangat cepat.

Lalu semuanya terjadi dalam sekejap.

Bugh!

Pria dengan pipa besi terhuyung ke depan saat pukulan keras menghantam punggungnya. Belum sempat dia memahami apa yang terjadi, sosok berjubah hitam sudah bergerak seperti bayangan, memukul pria itu tepat di tengkuk, membuatnya terkapar tak sadarkan diri.

Dua pria lainnya bereaksi terlambat. Pria dengan pisau lipat mencoba menyerang, mengayunkan pisaunya ke sosok itu—tetapi dengan kecepatan luar biasa, sosok berjubah hitam menangkap pergelangan tangannya, memelintirnya dengan keras hingga terdengar bunyi—

krak!

Di ikuti dengan jeritan kesakitan.

Bruk!

Sebelum pria itu bisa berteriak lebih lama, satu pukulan ke rahangnya langsung merobohkannya.

Pria terakhir mencoba lari, tapi dia bahkan tidak sempat mengambil satu langkah pun sebelum tangan kuat menarik kerah jaketnya dan melemparkannya ke dinding. Tubuhnya menghantam batu bata dengan keras, membuatnya langsung jatuh pingsan.

Sunyi.

Hanya suara angin yang berhembus di antara gang sempit itu.

Sosok berjubah hitam berdiri tegak di tengah tiga tubuh yang terkapar. Matanya, yang tersembunyi di balik topeng kelelawar, menatap ke arah anak laki-laki yang kini terbaring tak sadarkan diri di tanah. Wajahnya tetap dingin dan tak terbaca, tapi di balik itu, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.

Batman.

Ya, pria dengan jubah hitam dan topeng mirip kelelawar berjongkok, mengamati anak itu lebih dekat. Tubuhnya penuh luka, wajahnya kotor, namun ada sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang berbeda dari anak jalanan biasa. Bahkan dalam keadaan hampir tak berdaya, anak ini tetap melawan. Tetap mencoba bertahan.

Batman menarik napas dalam.

Malam ini, Gotham hampir saja kehilangan satu jiwa lagi.

Tapi tidak di bawah pengawasannya.


Keesokan harinya

Wayne Manor

Cahaya matahari pagi menembus celah-celah tirai tebal, menyapu lembut ruangan yang luas dengan cahaya keemasan. Suasana di dalamnya tenang, hanya diiringi bunyi samar burung-burung yang berkicau dari luar jendela besar.

Kamar itu luas, dindingnya dihiasi panel kayu gelap dengan ukiran elegan, menciptakan perpaduan sempurna antara kemewahan dan ketegasan. Di salah satu sudut, rak buku besar berdiri tegak, dipenuhi berbagai koleksi dengan sampul kulit yang tampak mahal. Karpet tebal membentang di lantai kayu yang berkilau, sementara perapian yang tak menyala menambah kesan klasik pada ruangan ini.

Di tengah kamar itu, sebuah tempat tidur king-size berdiri megah. Selimut berwarna biru tua yang terbuat dari bahan lembut membungkus sosok kecil yang tertidur di atasnya.

Anak laki-laki itu tampak tenang dalam tidurnya, wajahnya sedikit berkerut seolah masih terjebak dalam mimpi yang tidak menyenangkan. Rambut pirang acak-acakan menutupi sebagian dahinya, sesekali bergerak seiring tarikan napasnya yang stabil.

Beberapa detik berlalu sebelum kelopak matanya mulai bergerak. Dengan perlahan, dia mengerjapkan matanya beberapa kali, cahaya pagi membuatnya sedikit menyipit. Tubuhnya terasa ringan, lebih nyaman daripada yang pernah dia rasakan selama ini.

Dan saat kesadarannya benar-benar kembali…

Matanya langsung terbuka lebar.

Dia menegakkan tubuhnya dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Pandangannya berkeliling ruangan dengan penuh kewaspadaan, menyerap setiap detail mewah yang terasa begitu asing baginya.

Ini bukan tempatnya.

Bukan gang sempit. Bukan panti asuhan reyot. Bukan sudut gelap di bawah jembatan yang biasa dia gunakan untuk tidur saat tak punya tempat lain.

Dia bahkan tidak berada di Gotham yang dikenalnya.

Panik mulai menyelinap ke dalam dirinya.

Di mana aku?

Pertanyaan muncul dalam benaknya.

Lalu—

Klik!

Suara lembut engsel pintu yang terbuka membuat anak itu langsung menoleh.

Sosok seorang pria tua dengan setelan jas rapi berdiri di ambang pintu. Usianya mungkin sekitar lima puluhan, dengan rambut keperakan yang tersisir rapi dan ekspresi tenang yang sulit terbaca. Dia membawa nampan perak dengan secangkir teh dan sepiring kecil berisi roti panggang serta beberapa potong buah.

Anak itu langsung bersikap waspada.

Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya melangkah masuk dengan anggun, seolah kehadirannya di ruangan ini adalah hal yang biasa. Dengan langkah tenang, dia berjalan mendekati tempat tidur dan berhenti di sampingnya, menatap anak itu dengan sorot mata penuh pengamatan.

Anak itu menegang. Dengan refleks cepat, dia meluncur turun dari tempat tidur dan mengambil posisi bertarung, meskipun kakinya masih terasa lemah. Kedua tangannya terangkat dalam sikap defensif, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan, siap untuk menyerang atau menghindar kapan saja.

Namun, detik berikutnya, rasa sakit menembus tubuhnya seperti petir yang menyambar.

"Agh!"

Dia mengerang, satu tangan langsung mencengkeram perutnya—tempat di mana pipa besi menghantamnya semalam. Rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhnya, mengingatkan bahwa dia masih jauh dari kondisi prima. Lututnya hampir goyah, tetapi dia menggertakkan gigi, memaksa dirinya tetap berdiri.

Pria tua itu tetap diam selama beberapa saat, lalu dengan nada suara yang halus namun berwibawa, dia akhirnya berbicara.

"Jika kau terus memaksakan diri seperti itu, luka-lukamu hanya akan semakin parah, Nak," katanya dengan aksen Inggris yang kental.

Anak itu mendongak, masih dengan napas tersengal. Matanya tetap penuh kewaspadaan, meskipun tubuhnya jelas belum mampu melawan.

Pria itu menatapnya dengan sabar, lalu sedikit membungkuk dengan sopan.

"Namaku Alfred Pennyworth. Aku kepala pelayan di kediaman ini."

Dia mengangkat nampan sedikit, menunjukkan makanan yang dibawanya.

"Dan menurut pengalaman panjangku dalam merawat orang-orang yang keras kepala, aku menyarankan agar kau duduk kembali di tempat tidur dan makan sesuatu sebelum mencoba berdiri tegak seperti seorang kesatria."

Nada suaranya terdengar seperti perintah yang dibungkus dengan kelembutan. Ada ketegasan di dalamnya, tetapi juga sesuatu yang anehnya menenangkan.

Anak itu masih diam, pikirannya berpacu dengan pertanyaan yang belum terjawab.

Siapa pria ini? Di mana dia sebenarnya? Dan yang paling penting…

Kenapa dia masih hidup?

...

Anak laki-laki itu tetap diam selama beberapa detik, matanya masih menatap tajam ke arah Alfred. Namun, rasa sakit di tubuhnya perlahan mengalahkan keinginannya untuk tetap berdiri.

Dengan gerakan hati-hati, dia melangkah mundur dan duduk kembali di tempat tidur. Napasnya masih sedikit berat, tetapi dia tetap menjaga ekspresi wajahnya tetap dingin. Tidak menunjukkan rasa takut. Tidak menunjukkan kelemahan.

Alfred mengamati reaksinya sebelum akhirnya mengangguk kecil, seolah puas dengan keputusan anak itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia meletakkan nampan di atas meja kecil di samping tempat tidur, lalu berdiri dengan postur tegap khas seorang pelayan berpengalaman.

"Kau berada di Wayne Manor," kata Alfred akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi jelas. "Majikanku menemukanku semalam, di gang di The Narrows. Jika dia tidak datang tepat waktu, aku ragu kau masih akan hidup untuk mendengarkan penjelasan ini."

Anak itu tidak bereaksi secara langsung. Matanya tetap mengunci pada Alfred, mencoba membaca apakah pria tua itu berbohong atau tidak. Tapi dari cara Alfred berbicara, dari bahasa tubuhnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda manipulasi, dia tahu satu hal: pria ini mengatakan yang sebenarnya.

"Siapa yang menyelamatkanku?" akhirnya dia bertanya, suaranya sedikit serak setelah semalaman tidak berbicara.

Alfred menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Orang yang memiliki rumah ini. Tuan Bruce Wayne."

Anak itu mengerutkan kening. Nama itu terdengar familiar. Tentu saja dia pernah mendengarnya—semua orang di Gotham tahu siapa Bruce Wayne. Miliarder eksentrik, playboy, dan salah satu orang paling berpengaruh di kota ini.

Tapi ada sesuatu yang janggal.

"Apa yang diinginkan pria sekaya dia dariku?" tanyanya dengan nada curiga.

Alfred tidak segera menjawab. Dia hanya menatap anak itu dengan penuh pertimbangan, seolah menimbang seberapa banyak informasi yang sebaiknya dia bagikan.

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu," akhirnya Alfred berkata, nada suaranya tetap tenang. "Tetapi yang pasti, dia tidak membawamu ke sini tanpa alasan."

Anak itu diam, pikirannya berpacu. Ini aneh. Sangat aneh. Dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak jalanan yang selama ini bertahan hidup sendirian di Gotham yang kejam. Lalu kenapa seseorang seperti Bruce Wayne repot-repot menyelamatkannya?

"Apa dia di sini?" tanyanya, masih dengan nada hati-hati.

Alfred menggeleng. "Saat ini tidak. Tetapi dia akan menemuimu nanti."

Anak itu mengencangkan rahangnya, masih mencoba mencari tahu situasi ini. Dia tidak suka berada di tempat yang tidak dikenalnya, apalagi tanpa tahu alasan mengapa dia ada di sana.

Namun, untuk saat ini, dia tidak punya pilihan selain menunggu.

Mata Alfred melirik nampan yang belum disentuh. "Kau sebaiknya makan," katanya. "Kondisimu tidak akan membaik dengan perut kosong."

Anak itu menatap makanan itu sebentar, lalu kembali menatap Alfred dengan ekspresi sulit dibaca.

Dia tidak tahu apa yang menunggunya di tempat ini.

Tapi dia berniat mencari tahu.

Alfred mengamati anak itu sekali lagi, lalu tanpa berkata apa-apa, dia berbalik dan mulai berjalan menuju pintu. Langkahnya tenang, penuh keyakinan, mencerminkan seseorang yang sudah terbiasa dengan ketidakpastian dalam hidupnya.

Saat tangannya menyentuh pegangan pintu, dia tiba-tiba berhenti.

Tanpa melihat ke belakang, dia berkata, "Setelah kau selesai sarapan, ada baiknya kau berganti pakaian."

Anak itu mengangkat alisnya. Baru saat itu dia memperhatikan setumpuk pakaian yang diletakkan di tepi ranjang. Tidak seperti pakaiannya yang lusuh dan robek, pakaian ini terlihat bersih dan nyaman—kaos hitam polos, celana jeans yang tidak terlalu ketat, serta jaket hoodie berwarna abu-abu. Sederhana, tetapi jauh lebih baik daripada pakaian yang selama ini dia kenakan.

Alfred menoleh sedikit, matanya melirik sekilas ke arah anak itu sebelum menambahkan, "Aku akan kembali nanti untuk membawamu menemui Tuan Wayne."

Dengan kata-kata itu, Alfred membuka pintu dan bersiap meninggalkan ruangan.

Namun, sebelum dia benar-benar keluar, suara lirih menghentikannya.

"Terima kasih."

Alfred berhenti sejenak. Dia tidak langsung menoleh, tetapi dari ekspresinya yang tenang, jelas dia mendengar ucapan itu.

Lalu, setelah jeda singkat, suara anak itu terdengar lagi.

"Namaku… Naruto. Naruto Uzumaki."

Alfred akhirnya menoleh sedikit, menatap anak itu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan kejutan, bukan simpati, tetapi sesuatu yang lebih dalam.

Seperti seseorang yang baru saja mengenal seseorang yang akan mengubah banyak hal.

Alfred mengangguk kecil, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah keluar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya.

Di dalam kamar, Naruto menatap ke arah pintu yang kini tertutup, lalu menunduk, memandang tangannya sendiri. Luka-luka di tubuhnya masih terasa, tetapi ada hal lain yang lebih mengganggu pikirannya.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…

Dia tidak sendirian.


Beberapa jam kemudian…

Naruto berdiri di depan cermin besar di dalam kamar, mengamati bayangannya sendiri.

Pakaian yang disediakan untuknya terasa asing tetapi nyaman. Kaos hitam polos membalut tubuhnya dengan pas, dipadukan dengan celana jeans yang cukup longgar untuk bergerak bebas. Jaket hoodie abu-abu menutupi sebagian tubuhnya, memberikan kehangatan yang tidak biasa ia rasakan di malam-malam dingin Gotham.

Dengan tarikan napas dalam, dia akhirnya berbalik dan berjalan menuju pintu.

Saat dia membuka pintu dan melangkah keluar, lorong panjang Wayne Manor menyambutnya dengan keheningan yang hampir mengintimidasi.

Langit-langit tinggi menjulang di atasnya, dihiasi lampu gantung mewah yang meskipun tidak terlalu terang, cukup untuk memberikan cahaya hangat di ruangan. Dindingnya dipenuhi panel kayu yang dipoles sempurna, memberikan kesan klasik dan megah. Karpet merah gelap membentang di sepanjang lorong, membungkam suara langkah kakinya.

Namun, yang paling menarik perhatian Naruto adalah deretan bingkai foto yang tergantung di dinding.

Dia melangkah lebih dekat, matanya menyapu foto-foto itu satu per satu.

Salah satu yang paling mencolok adalah gambar seorang pria dan wanita yang berdiri berdampingan dengan seorang anak kecil di antara mereka. Pria itu tampak gagah dengan setelan jasnya, sementara wanita di sampingnya memiliki senyum lembut yang hangat. Anak laki-laki itu, meski tersenyum, memiliki sorot mata yang seakan lebih dewasa daripada usianya.

Naruto tidak perlu bertanya siapa mereka.

Thomas dan Martha Wayne.

Dan anak itu… Bruce Wayne.

Naruto menatap foto itu beberapa saat lebih lama sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di ruang utama Wayne Manor.

Ruangan itu begitu luas dan mewah hingga hampir terasa seperti aula istana. Langit-langit tinggi dengan balok kayu yang megah, jendela besar dengan tirai panjang berwarna merah tua, serta lantai marmer yang berkilau di bawah cahaya lampu gantung.

Di tengah ruangan, sebuah tangga besar melingkar ke bawah menuju area utama, di mana perapian batu besar berdiri dengan api yang menyala tenang di dalamnya.

Naruto menuruni tangga, langkahnya ringan tetapi tetap penuh kewaspadaan. Meski tempat ini terasa nyaman, dia masih belum terbiasa berada di lingkungan seperti ini.

Dia berjalan menuju sofa panjang di depan perapian, lalu duduk diam di sana.

Matanya menatap api yang menari di dalam perapian, pikirannya berputar dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab.

Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.

Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan.

Naruto menoleh, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang baru saja masuk.

Seorang pria dengan usia sekitar awal 30-an, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang sedikit tergulung, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terlatih. Rambut hitamnya tertata rapi, dan rahangnya yang tegas memberikan kesan seseorang yang penuh wibawa. Namun, yang paling mencolok adalah matanya—mata biru yang tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.

Pria itu berjalan mendekatinya dengan langkah yang tenang, tidak terburu-buru, tetapi juga tidak ragu.

Naruto tetap diam, tetapi tubuhnya secara refleks menegang sedikit.

Dia tahu siapa pria ini.

Bruce Wayne.

Bruce berjalan dengan tenang, langkahnya mantap tetapi tidak terburu-buru. Begitu dia mencapai sofa panjang di depan perapian, dia duduk tanpa ragu, hanya berjarak beberapa puluh sentimeter dari Naruto.

Namun, alih-alih menatapnya, pria itu justru menatap lurus ke depan, ke arah api yang menari di dalam perapian. Cahaya oranye keemasan memantulkan bayangan samar di wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tajam.

Keheningan menyelimuti mereka.

Naruto melirik pria di sampingnya dari sudut matanya, mencoba membaca apa yang dipikirkan oleh Bruce Wayne. Pria itu tidak berbicara, tidak juga menunjukkan ekspresi yang bisa Naruto artikan.

Namun, Naruto bukan tipe yang suka menunggu jawaban tanpa bertanya.

Dia menarik napas pelan, lalu membuka mulut.

"Kenapa kau membawaku ke sini?"

Suaranya tidak bergetar, tetapi ada ketegasan dalam nada bicaranya.

Bruce tidak segera menjawab. Dia masih menatap api di perapian, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya dengan hati-hati.

Naruto mengernyit, merasa sedikit frustrasi dengan keheningan itu.

"Aku bisa saja mati di gang itu," lanjutnya, suaranya sedikit lebih keras. "Orang lain mungkin tidak peduli. Tapi kau… kau membawaku ke sini. Ke rumahmu."

Dia menoleh, menatap Bruce secara langsung kali ini.

"Apa alasannya?"

Untuk pertama kalinya sejak duduk, Bruce akhirnya menoleh ke arahnya. Mata birunya yang tajam bertemu dengan mata biru Naruto, seolah meneliti sesuatu yang tidak bisa langsung ia ungkapkan.

Keheningan itu bertahan sejenak.

Lalu, dengan suara yang dalam dan tenang, Bruce akhirnya menjawab.

"Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu."

Naruto menatap Bruce dengan bingung.

"Apa maksudmu?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara keterkejutan dan kebingungan.

Bruce tetap menatapnya, ekspresinya sulit ditebak. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan belas kasihan, bukan simpati, tetapi sesuatu yang lebih dalam.

"Aku melihat diriku dalam dirimu," jawab Bruce dengan suara yang tenang.

Naruto berkedip, berusaha mencerna kata-kata itu.

Dirinya?

Naruto hampir tertawa kecil karena betapa absurdnya jawaban itu terdengar. Bagaimana mungkin seseorang seperti Bruce Wayne, seorang miliarder yang memiliki segalanya, bisa melihat dirinya dalam seorang anak jalanan yang hampir mati di gang semalam?

"Kenapa?" Naruto akhirnya bertanya, suaranya lebih rendah. "Kita tidak ada hubungannya. Aku cuma—"

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara langkah kaki mendekat.

Keduanya menoleh ke arah pintu tepat saat Alfred masuk ke dalam ruangan.

"Maaf mengganggu, Tuan Bruce, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum percakapan ini berlanjut," kata Alfred, suaranya tetap tenang namun tegas seperti biasa.

Naruto melihat pria tua itu sebentar sebelum kembali menatap Bruce, yang tampaknya mengerti maksud Alfred.

Bruce menghela napas pelan, lalu berdiri dari sofa. "Kita akan melanjutkan ini nanti," katanya, sebelum berjalan menjauh.

Naruto tetap diam, tetapi pikirannya terus bekerja, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Bruce.

"Aku melihat diriku dalam dirimu."

Entah kenapa, kata-kata itu terasa lebih berat daripada yang seharusnya.

Naruto tetap duduk di sofa, matanya mengikuti Bruce Wayne yang berjalan keluar dari ruangan dengan langkah mantap. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata pria itu, mencoba mencari makna di baliknya.

Kenapa seseorang seperti Bruce Wayne bisa mengatakan bahwa dia melihat dirinya dalam dirinya?

Sebelum Naruto bisa terlalu larut dalam pikirannya, Alfred mendekat dan berhenti di sampingnya.

Pria tua itu tetap berdiri tegap, tangannya terselip di belakang punggungnya seperti seorang pelayan sejati. Namun, sorot matanya yang tajam menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar seorang butler biasa.

"Kau tampak bingung, Nak," kata Alfred setelah beberapa detik hening.

Naruto meliriknya, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke perapian. "Yah… aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu," jawabnya pelan.

Alfred mengangguk kecil, seolah sudah menduga jawaban itu. "Tuan Wayne tidak sering berbicara secara terbuka tentang dirinya sendiri," katanya. "Tetapi ketika dia mengatakan bahwa dia melihat dirinya dalam dirimu… dia tidak hanya berbicara untuk menghiburmu."

Naruto mengerutkan kening, menoleh ke Alfred dengan rasa ingin tahu. "Apa maksudmu?"

Alfred diam sejenak, lalu menghela napas pelan.

"Banyak orang di Gotham mengenal Bruce Wayne sebagai miliarder yang ceroboh, seorang playboy yang hidup dalam kemewahan tanpa peduli pada dunia di sekitarnya," kata Alfred, suaranya tetap tenang. "Tapi itu hanyalah topeng."

Naruto menegang sedikit. Dia menatap Alfred dengan lebih serius sekarang.

"Yang tidak diketahui banyak orang…" lanjut Alfred, matanya bertemu dengan mata Naruto. "Adalah bahwa Bruce Wayne adalah seseorang yang tumbuh dalam kegelapan yang sama seperti yang kau alami."

Naruto menahan napas.

"Dia kehilangan orang tuanya dalam sebuah tragedi ketika masih kecil," lanjut Alfred, suaranya terdengar lebih dalam, lebih bermakna. "Mereka dibunuh di depan matanya. Sejak saat itu, hidupnya tidak pernah sama lagi."

Naruto merasakan sesuatu mencengkeram dadanya.

Kehilangan orang tua… tumbuh sendirian… rasa sakit yang tidak bisa dihapus waktu…

Dia tidak menyangka. Tidak ada yang pernah berbicara tentang sisi ini dari Bruce Wayne.

Naruto mengalihkan pandangannya ke lantai, pikirannya berkecamuk. Untuk pertama kalinya sejak dia tiba di rumah ini, dia mulai melihat Bruce Wayne bukan sebagai seorang miliarder yang tidak bisa dia pahami… tetapi sebagai seseorang yang mungkin memahami dirinya lebih dari yang dia kira.

Chapter 1: Bayangan di The Narrows (Lanjutan)

Naruto terdiam, kata-kata Alfred menggema di kepalanya.

"Bruce Wayne kehilangan orang tuanya… Hidupnya tidak pernah sama lagi."

Dia menggenggam celana jeans yang kini dikenakannya, jari-jarinya mencengkeram kain itu erat tanpa sadar.

Bruce Wayne bukan sekadar seorang pria kaya yang kebetulan menyelamatkannya. Dia seseorang yang mengerti. Yang pernah mengalami kehilangan seperti dirinya.

Naruto tidak tahu bagaimana perasaan tentang hal itu.

Alfred tetap berdiri di sampingnya, memperhatikan ekspresi bocah itu dengan tatapan yang lembut namun penuh wawasan. Setelah beberapa saat hening, butler tua itu akhirnya kembali berbicara.

"Jika kau ingin tinggal di sini," katanya dengan suara yang tenang, "aku yakin Tuan Wayne tidak akan menolaknya. Malah, aku rasa dia akan senang menerimamu."

Naruto tersentak sedikit dan menoleh ke Alfred, matanya penuh kebingungan.

"Tinggal di sini?" ulangnya, suaranya terdengar tidak yakin.

Alfred mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Kau tidak punya tempat untuk kembali, bukan?"

Naruto terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang dia harapkan.

Tidak, dia tidak punya tempat untuk kembali. Kehidupannya di The Narrows hanyalah serangkaian malam-malam yang dipenuhi rasa lapar, bahaya, dan ketakutan. Tidak ada rumah yang menunggunya, tidak ada orang yang akan peduli jika dia menghilang.

Namun…

Jika dia menerima tawaran ini, jika dia memilih untuk tinggal di sini… maka kehidupannya di jalanan Gotham akan berakhir.

Tidak ada lagi malam-malam dingin di gang sempit. Tidak ada lagi rasa lapar yang membuat perutnya melilit. Tidak ada lagi ketakutan bahwa dia mungkin tidak akan bertahan hidup hingga esok pagi.

Kehidupan yang selama ini dia kenal akan lenyap.

Untuk pertama kalinya sejak dia bisa mengingat, Naruto memiliki pilihan.

Dia bisa tetap hidup seperti sebelumnya—berjuang sendirian di jalanan Gotham, bertahan dengan caranya sendiri.

Atau…

Dia bisa menerima tangan yang diulurkan padanya.

Naruto menatap api di perapian, pikirannya berputar.

Apa yang harus dia lakukan?

.

.

.

End.


Oke kurasa segitu dlu untuk chapter satu, kuharap kalian menikmati dan menyukai chapter satu ini. Dan jangan lupa beri saran dan tanggapan kalian.

Ohya, untuk karakter naruto disini, aku menghilangkan ciri khasnya yaitu cakar seperti kumis kucing di kedua pipinya. Dan untuk sifat aku membuat naruto lebih realistis dan dewasa dari sifat aslinya, agar bisa lebih masuk ke dalam kelamnya kita gotham.

oke, see you next chapter!

Siegrain out.