Cinta dalam Semangkuk Sup

Hetalia Axis Powers - Hidekaz Himaruya

just a friendship, exposing careness, light rom paragraphs.

.


Rumah Austria sunyi seperti biasa.

Bahkan terlalu sunyi untuk ukuran rumah seseorang yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan musik. Elizabeta berdiri di depan pintu kayu tua yang khas, mengetuknya beberapa kali. Tidak ada jawaban. Ia menghela napas, lalu—dengan kebiasaan lamanya yang sulit dihilangkan—ia mendorong pintu itu tanpa ragu dan melangkah masuk.

Seperti yang ia duga, Roderich duduk di depan pianonya, mata tertuju pada partitur yang berantakan di atas meja. Tangannya bergerak lincah di atas tuts, memainkan melodi klasik yang indah, namun ada sesuatu yang terasa terburu-buru di dalamnya.

"Bahkan musikmu terdengar lapar," ujar Elizabeta ringan, menutup pintu di belakangnya dengan kakinya.

Roderich menghentikan permainannya seketika. Ia menoleh dengan ekspresi lelah yang khas—alisku sedikit berkerut, matanya mengerjap di balik kaca tipis kacamatanya. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar enggan, seolah-olah ia sudah tahu bahwa kehadiran Elizabeta berarti gangguan yang tidak bisa dihindari.

Elizabeta mendekat, mengangkat panci kecil yang ia bawa dengan bangga. "Aku membawakan goulash*. Dan aku yakin kau belum makan sejak pagi."

Roderich menghela napas. "Aku sedang bekerja."

"Kau selalu sedang bekerja," Elizabeta duduk di kursi di seberangnya tanpa menunggu undangan. Ia membuka panci, dan aroma kaldu pedas segera memenuhi ruangan, mengalahkan wangi kertas-kertas lama dan kayu yang selama ini mendominasi rumah Austria.

Mata Roderich melirik panci itu sekilas, lalu kembali ke partiturnya. "Aku tidak lapar."

Elizabeta terkekeh, mengambil sendok dan mulai menuangkan sup ke dalam mangkuk. "Kau tidak lapar sekarang, tapi aku beri kau lima menit sebelum kau mulai melirik makanan ini tanpa sadar."

"Aku bisa mengontrol diriku sendiri."

"Oh ya? Kita lihat saja nanti."

Elizabeta mulai menyantap supnya dengan santai, membiarkan kehangatan rempah-rempah menyebar di lidahnya. Goulash ini bukan yang terbaik yang pernah ia buat, tapi cukup enak untuk seseorang yang mungkin sudah seharian hanya mengisi perutnya dengan teh dan udara kosong.

Dari ekor matanya, ia bisa melihat Roderich mencuri pandang. Laki-laki itu mungkin bisa bersikap sok anggun dan penuh kontrol, tapi pada akhirnya ia tetaplah manusia. Manusia yang, sejauh yang Elizabeta tahu, selalu lupa makan saat terlalu sibuk dengan musiknya.

Lima menit kemudian, seperti yang ia duga, Roderich menghela napas panjang. "Baiklah," katanya akhirnya, menutup partiturnya dan melepas kacamatanya. "Berikan aku satu mangkuk."

Elizabeta tersenyum menang. "Tahu begitu, aku tidak perlu repot-repot membawa panci besar."

Ia menuangkan sup untuknya, memperhatikan bagaimana Roderich menyentuh sendoknya dengan hati-hati, seolah-olah ia sedang menilai seberapa layak makanan itu sebelum mencicipinya. Pria itu selalu seperti ini—teratur, metodis, hampir terlalu serius dalam segala hal.

Lalu, setelah sesendok pertama, ada keheningan yang aneh.

Elizabeta menunggu.

"…Ini enak," kata Roderich akhirnya.

Elizabeta mengangkat alis. "Itu saja komentarmu? 'Ini enak?' Aku sudah repot-repot memasakkan ini untukmu!"

Roderich memutar bola matanya, tapi kali ini, ekspresinya lebih lembut. "Baiklah. Terima kasih, Elizabeta."

"Ah, begitu lebih baik!"

Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, hanya diiringi suara sesekali sendok menyentuh mangkuk. Sesekali, Elizabeta melirik pria di depannya, yang kini terlihat jauh lebih tenang daripada saat ia pertama kali datang.

Lucu. Roderich bisa berbicara panjang lebar soal Mozart dan Beethoven, tapi untuk urusan sederhana seperti ini, ia hanya bisa menggumamkan kata-kata singkat.

Saat mangkuknya hampir kosong, Elizabeta bertanya, "Kau tahu, kenapa aku repot-repot membawakannya sendiri? Kau bisa saja memanggil pelayan untuk mengantarkan makanan."

Roderich terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena kau suka datang tanpa diundang?"

Elizabeta terkekeh. "Itu bagian dari pesonaku."

Pria itu mendesah, tapi kali ini bukan dengan nada jengkel seperti sebelumnya. "Tapi… aku tidak keberatan."

Elizabeta berhenti sebentar. Matanya menelusuri wajah pria di depannya, mencari tanda-tanda bahwa ia hanya bergurau. Tapi tidak. Wajah Roderich tetap seperti biasanya—serius, sedikit lelah, tapi dengan ketulusan yang samar di matanya.

Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. "Kau terdengar hampir seperti sedang mengaku kalau kau merindukanku, Herr Edelstein."

Roderich memalingkan wajahnya, dengan jelas tidak berniat mengomentari godaan itu. Tapi Elizabeta melihat ujung telinganya yang sedikit memerah, dan itu cukup untuk membuat hatinya menghangat.

Ah, dia memang terlalu menyukai pria ini.

Elizabeta mengangkat panci kosongnya dan berdiri. "Baiklah, tugasku di sini selesai. Jangan lupa makan malam nanti, ya?"

Roderich hanya mengangguk. Tapi saat ia berjalan ke pintu, ada sesuatu yang membuatnya berhenti.

"Elizabeta," panggil Roderich.

Ia menoleh.

"Terima kasih," ulang pria itu, kali ini lebih pelan. "Bukan hanya untuk makanannya."

Elizabeta menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Selalu, Roderich."

Ia keluar dari rumah itu dengan langkah ringan, meninggalkan Roderich sendiri di ruangannya—kali ini, dengan meja yang tidak lagi hanya berisi tumpukan kertas, tapi juga mangkuk kosong yang masih hangat oleh sup dan, mungkin, sedikit perhatian yang selama ini tak pernah ia minta, tapi ternyata ia butuhkan.


ARA:

*Goulash: rebusan daging dan sayur-sayuran yang ditambahkan dengan paprika dan bumbu-bumbu lainnya, jenis sup yang populer di Eropa Tengah, khususnya Hungary.

mode kangen hungary x austria, terakhir bikin fic nya kira-kira 2015-ish (?) hahah, mannnn, a decade ago! Udah selama itu aku bikin-bikin fic ternyata.

Oh ya, misal ada yang baca, thanks for reading, ya! Means a lot ((=