.

Setelah Hujan

(Lepaskan, maka kau akan lega…)

.

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

.

.


Hujan baru saja reda. Jejaknya masih tertinggal di jendela rumah sakit, membentuk garis-garis tipis yang memantulkan cahaya lampu koridor. Di luar, langit masih kelabu, seakan belum memutuskan apakah akan kembali menangis atau memberi ruang bagi matahari.

Sakura duduk di bangku tunggu, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Aromanya masih antiseptik, bercampur samar dengan bau tanah basah yang masuk lewat jendela yang setengah terbuka. Di dalam ruang ICU, Konohamaru sedang berjuang. Meningitisnya memburuk tadi malam, dan sejak saat itu, waktu terasa lebih lambat dari biasanya.

Ia tidak suka rumah sakit. Tidak suka bagaimana udara di tempat ini dipenuhi kecemasan, doa, dan kadang-kadang, keputusasaan. Tapi di sinilah ia sekarang, menghitung detik dalam diam, sesekali mengangkat kepala hanya untuk menatap kosong ke arah koridor.

Jauh di sisi lain gedung, Sasori berdiri dalam diam.

Di tangannya, selembar surat kematian tergenggam erat. Kertas itu masih hangat dari mesin pencetak, seperti sesuatu yang baru saja lahir, padahal isinya adalah tentang akhir.

Neneknya sudah tiada.

Tadi pagi, detak jantungnya perlahan-lahan melambat, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Semua terjadi begitu cepat, terlalu cepat.

Sasori tidak menangis. Ia bahkan tidak tahu apakah ia mampu. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kaku, seperti boneka dengan sendi-sendi kayu yang mulai aus.

Seharusnya dia merasa sedih. Seharusnya dia berduka. Tapi mengapa dadanya hanya terasa kosong?

Tanpa tujuan jelas, ia berjalan keluar.

.

.

.

.


Di taman rumah sakit, bangku-bangku masih basah oleh sisa hujan. Sakura memilih salah satu yang kering, duduk dengan punggung sedikit membungkuk, siku bertumpu pada lututnya.

Hanya ada satu orang lain di sana.

Seorang pria dengan rambut merah tua, berdiri beberapa meter darinya. Pandangannya tertuju ke suatu titik di kejauhan, tapi tidak benar-benar melihat apa pun.

Sakura tidak terlalu memerhatikannya pada awalnya—banyak orang datang ke rumah sakit dengan berbagai alasan, membawa luka masing-masing. Namun, ketika pria itu akhirnya duduk di bangku seberang, tatapan mereka tidak sengaja beradu.

Dingin.

Mata pria itu tidak menunjukkan apa pun. Tidak ada kemarahan, tidak ada kesedihan.

Hanya kehampaan.

Sakura seharusnya berpaling, tapi ia tidak melakukannya. Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang familiar—bukan dalam arti mereka pernah bertemu sebelumnya, melainkan… sesuatu yang ia mengerti.

Diam-diam, Sasori menilai perempuan di hadapannya. Mata hijau itu terlihat lelah, tapi di dalamnya ada keteguhan yang aneh. Ia bisa menebak bahwa perempuan ini sedang menunggu seseorang di rumah sakit ini, dan ia bisa melihat bahwa penantian itu menyiksanya.

Mereka duduk dalam diam, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri.

Lalu Sakura bicara lebih dulu.

"Kau juga menunggu seseorang?"

Sasori tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Tidak."

Nada suaranya datar, tapi cukup bagi Sakura untuk memahami sesuatu.

"Oh."

Hening lagi. Angin bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tertinggal di dedaunan.

Sasori seharusnya tidak perlu berkata apa-apa lagi, tapi entah kenapa, bibirnya bergerak sebelum ia bisa menghentikan dirinya sendiri.

"Dia meninggal pagi ini."

Sakura menoleh. "Siapa?"

"Nenekku."

Tidak ada emosi dalam suaranya, tapi Sakura tidak tertipu. Ia mengenal nada itu—nada seseorang yang menahan sesuatu terlalu lama hingga akhirnya menjadi beku.

Sasori menghela napas pelan, menatap langit yang masih kelabu.

"Aneh, bukan?" katanya. "Orang-orang menangis ketika kehilangan seseorang yang mereka sayangi. Tapi aku hanya duduk di sini, tidak merasakan apa pun."

Sakura tidak langsung membalas. Ia tahu bahwa beberapa luka tidak bisa dihibur dengan kata-kata kosong.

"Apa kau mencintai nenekmu?" tanyanya akhirnya.

Sasori terdiam sesaat. Lalu ia berkata, "Ya."

"Kau hanya tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannya."

Sasori memutar kepala, menatapnya. "Apa maksudmu?"

Sakura menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. "Aku pernah mendengar seseorang berkata… ada banyak cara untuk berduka. Beberapa orang menangis. Beberapa orang marah. Dan beberapa orang hanya… diam."

Ia menatapnya dengan mata yang tenang, seakan memahami sesuatu yang bahkan Sasori sendiri tidak mengerti.

"Dan kau?" tanya Sasori.

"Aku?"

"Kau di sini karena siapa?"

Sakura menunduk menatap tangannya sendiri. "Keponakanku. Dia di ICU sejak tadi malam."

Sasori tidak bertanya lebih lanjut. Ia tidak perlu.

Mereka kembali diam, tapi kali ini bukan hening yang canggung.

Lalu, tiba-tiba, Sakura berbicara lagi.

"Kau tahu, bulan April selalu begini."

Sasori menoleh.

"Hujan, langit kelabu, tapi di antara itu semua, bunga mulai mekar."

Matanya beralih ke pohon-pohon sakura yang masih setengah berbunga di tepi taman. Kelopak-kelopaknya basah karena hujan, tapi tetap bertahan di dahan.

Sasori mengikutinya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat sekelilingnya.

"Jadi maksudmu…" katanya pelan.

"April adalah bulan di mana kita belajar melepaskan," bisik Sakura.

Kalimat itu menembus sesuatu dalam dirinya. Seperti jarum halus yang menusuk titik yang paling tersembunyi, yang selama ini ia lindungi dengan lapisan perasaan mati rasa.

Sasori menelan ludah. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu—apa pun.

Tapi kemudian, ia merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Dadanya sesak.

Sesuatu mendesak naik ke tenggorokannya, panas dan asing. Tangannya mengepal di atas lutut, tubuhnya sedikit gemetar.

Dan sebelum ia bisa menahannya lebih lama, matanya mulai basah.

Air mata pertamanya jatuh, diikuti yang lainnya.

Ia menunduk, membiarkan bahunya bergetar, membiarkan sesuatu yang selama ini terkunci akhirnya pecah.

Sakura tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap pria itu dalam diam, memberikan ruang bagi seseorang yang akhirnya bisa menangis setelah begitu lama.

April, setelah hujan.

Langit mungkin masih kelabu. Tapi di suatu tempat, bunga sedang mulai mekar.

.

.

.


TAMAT.