Title: Chord of Love
Genre: Romance, teen love, fluff
Rate: T
Words: 1k
.
Semua akan mudah setelah dipelajari. Oh, betapa Harry berharap jika memang semudah itu untuk belajar memainkan alat musik. Terutama, gitar yang kini berada di atas pangkuannya. Harry sudah menghela napas untuk yang kesekian kalinya di kelas hari ini, dan tetap saja tidak ada perkembangan. Jari-jarinya sudah kesakitan karena menekan senar, dan suara gitarnya masih saja terdengar sumbang. Lebih buruk lagi, ia masih lupa banyak chord dasar.
Duduk di depan Harry, Hermione sangat fokus dengan gitarnya. Jarinya bergerak canggung dan sangat kagok setiap kali bertukar kunci. Bahkan Hermione sama sekali tidak sadar jika jarinya berada di senar yang salah.
Harry mendengus. "Setidaknya aku masih lebih baik dari seseorang." Komentarnya disambut tatapan tajam dari Hermione.
Harry beralih memperhatikan Ron yang duduk tidak jauh dari mereka. Berbeda dengan jari kaku dan suara gitar sumbang mereka, Ron memainkannya dengan lebih baik. Mungkin Ron bukan yang terbaik di kelas, tetapi dia jauh lebih baik dari pada mereka.
"Kita berdua belajar bersama, adalah kombinasi yang mengerikan. Kenapa kau tidak minta diajarkan Ron saja?" tanya Harry—dengan sejujurnya-jujurnya kepada Hermione. Hermione kembali memberikan tatapan tajam ke arah Harry.
Namun saat Hermione melirik Ron, semburat merah tipis muncul di pipinya. "Dia terlalu baik dalam hal ini. Aku... jadi sulit fokus ."
Apa tadi itu? Harry sampai mengernyit mendengar suara malu-malu itu. Ingin sekali rasanya Harry meneriakkan pada seluruh kelas, betapa bodohnya pasangan kekasih yang belum juga jadian ini.
Harry mendengus pelan, sebisa mungkin tidak terlihat terlalu jijik. Tapi sungguh, ia mendukung kedua sahabatnya ini untuk segera pacaran. "Memangnya momen mesra apa yang bisa muncul saat belajar main gitar?" gumam Harry sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Hermione.
Saat itulah suara decakan muncul dari belakang Harry. Saat berbalik, ia menemukan guru mereka, Filius Flitwick, berdiri berkacak pinggang.
Flitwick menatap kedua muridnya dengan iba. Dan, kalau boleh jujur, ia juga iba pada dirinya sendiri. "Kalau kalian berdua terus belajar bersama, kalian akan butuh waktu sepuluh tahun untuk menyelesaikan satu lagu."
Harry dan Hermione tentu dongkol mendengarnya. Tapi siapa mereka bisa protes? Merdu saja tidak suara gitar yang mereka petik. Sumbang? Lebih parah lagi dari itu!
Flitwick kemudian memperhatikan satu persatu murid lainnya. Ia lalu menunjuk Ron dan memanggilnya. "Weasley, kau ajarkan Granger." Ron, menoleh ke arah mereka, sementara Hermione terkejut dan panik. Flitwick tidak peduli dan kemudian menyuruh Hermione untuk segera pergi duduk di samping Ron.
Harry sebisa mungkin menahan tawa. Ia hanya tak bisa mencegah dirinya saat mencibir pada Hermione yang menatap tajam ke arahnya—dengan wajah memerah. Harry mengangkat alisnya, mencibir jahil ke arah Hermione. Oh, good luck Hermione. Semoga jantungmu baik-baik saja.
"Potter." Suara Flitwick kembali membuat Harry menoleh ke arahnya. Guru paling pendek di sekolah itu kemudian kembali menilai satu persatu muridnya. Ia kemudian menunjuk pada Draco Malfoy yang sepertinya sudah bosan di kelas dan ingin segera pergi. "Malfoy, kemarilah. Kau ajarkan Potter."
"What? No need, I'm doing just fine, Sir." Harry tak bisa mencegah suaranya naik. Ia bukannya tidak mau diajarkan oleh orang lain. Malah ia akan sangat tertolong. Tapi, Draco Malfoy? Mau dibawa ke mana harga dirinya?
Flitwick tak mengindahkan protes Harry dan tetap saja memanggil Draco. Pada akhirnya Draco—dengan sangat enggan dan malas, menenteng gitarnya, berjalan ke arah mereka. "Kau ajarkan Potter, setidaknya sampai dia hapal semua chord dasar." Kemudian Flitwick pun pergi, melihat bagaimana murid lainnya berlatih.
Sementara itu, Harry yang ditinggal bersama Draco, berdecak pelan. Ia melirik Draco yang kini duduk di kursi Hermione tadi, menatapnya dengan malas. "Kau tidak perlu mengajariku, aku bisa sendiri."
Draco mencibir. "Tentu saja kau bisa, Potter. Sudah dua minggu dan tidak ada perkembangan apa pun." Draco meletakkan gitarnya, kemudian menyandarkan punggungnya sambil bersedekap dada. "Dan ngomong-ngomong, aku juga tidak tertarik untuk mengajarimu."
Harry memutar matanya. Ia mendengus sekali lagi untuk menunjukkan betapa kesalnya ia sekarang. Kemudian Harry kembali bermain dengan gitar di pangkuannya. Tapi, sialan, Draco yang hanya diam saja dan menatapnya membuat jari-jari Harry yang sudah kaku menjadi lebih kaku lagi. Bahkan, setiap kali ia menggenjreng, suaranya jadi lebih sumbang dan jelek dari sebelumnya. Oh, Harry harap jam pelajaran mereka segera berakhir.
Namun, kenyataannya, ketika jam pelajaran telah berakhir pun Harry masih tetap tinggal di ruang musik itu. Hanya ia sendiri. Ia sama sekali tidak merasa perlu buru-buru ke kantin, dan tidak merasa lapar sama sekali. Harry hanya ingin menuntaskan gitar yang sialan menyebalkan ini.
Harry sama sekali tidak mengerti kenapa sulit sekali baginya untuk belajar gitar. Sekarang barulah Harry menyesal karena dulu menolak tawaran Sirius untuk belajar gitar darinya. Jika saja sedari kecil Harry sudah terbiasa memegang gitar, mungkin paling tidak ia bisa sebaik Ron.
"Why the hell are you still here?"
Harry mendongak saat seseorang yang baru saja membuka pintu bicara padanya. Harry mengutuk Draco yang entah untuk apa datang. Harry mencoba untuk tidak peduli dan kembali memainkan gitarnya. Ia menyembunyikan raut wajah kesal saat lagi-lagi memainkan kunci yang salah.
Draco, mendengus dan membuang muka. Ia kemudian berjalan ke arah rak untuk mengembalikan capo yang tak sengaja terbawa olehnya. Sebenarnya Draco bisa saja langsung pergi, meninggalkan Harry sendirian lagi di ruangan ini. Tapi nada yang dihasilkan oleh genjrengan gitar Harry sangat mengerikan sampai-sampai ia tak tahan mendengarnya.
"Kau sedang bermain gitar atau ritual pemanggilan iblis, sih?" Tentu Draco tidak akan bicara dengan kata-kata yang lebih sopan.
Harry tercengang mendengar ledekan—yang sialnya adalah fakta—itu. Kalau saja gitar ini bukan milik sekolah, Harry mungkin sudah melemparkannya ke arah Draco. "Terima kasih untuk kata-kata baiknya, Malfoy." Dan Harry dengan sengaja menggenjreng gitarnya dengan keras.
Oh, kesal sekali Draco mendengar suara bagaikan alat musik dari neraka itu. Ia kemudian berjalan mendekati Harry yang kembali fokus dengan gitarnya.
Harry sadar jika Draco berjalan ke arahnya, tapi ia bersikap tidak peduli. Terserah Draco mau apa. Kalau pemuda itu ingin mengejeknya lagi, Harry sudah siap untuk melemparkan kursi ini padanya.
"Lemaskan saja tanganmu. Jangan memegangnya seolah kau ingin mencekik leher orang."
Komentar Draco membuat Harry mendongakkan kepalanya. "Well, maaf jika aku memang ingin mencekikmu."
Draco mengacungkan jari tengahnya. Ia kemudian duduk di kursi di samping Harry. Kursi yang sama yang didudukinya saat diminta oleh Flitwick mengajari Harry.
Tanpa bicara apa-apa, Draco merampas gitar dari tangan Harry. Ia tidak peduli dengan protes yang diberikan oleh si kacamata dan mulai menyetem gitar itu. "Bagaimana bisa kau bermain jika nadanya saja salah?" Draco mendesis pelan. Jemarinya kemudian dengan ringan bermain di atas senar sambil sesekali memutar tuner.
Harry, tak bisa lagi melanjutkan protesnya. Ia malah tak bisa mengalihkan pandangannya dari Draco yang menunduk, menatap gitar penuh perhatian. Harry bahkan tak sadar jika sedari tadi ia tak berkedip sama sekali.
"Ini, coba mainkan lagi."
Harry tersentak saat Draco tiba-tiba kembali bicara. Si rambut pirang mengembalikan gitar itu padanya. Meskipun wajahnya cemberut dan kesal, Harry tetap saja menerimanya. Ia kemudian meletakkan jari-jarinya di atas senar. Seperti yang sebelum-sebelumnya, Harry menekan senar dengan sangat keras.
"Kau tidak perlu menekannya terlalu keras sampai jarimu putih begitu, dummy." Draco mungkin terdengar tidak sabaran, tapi percayalah, ia mencoba untuk sabar.
Harry, menghela napas dengan keras. Ia mendelik ke arah Draco sebelum kembali melihat jari-jarinya di atas fretboard. Ia sendiri sebenarnya tidak mau menekan senar terlalu keras—jarinya sudah sakit. Tapi suara yang dihasilkan gitarnya selalu sumbang, nyaris membuatnya frustrasi sendiri.
Draco berdecak, kemudian berdiri. Lebih tepatnya, ia menggeser kursinya semakin mendekat kepada Harry. "Coba kau latihan menekan chord saja dulu, tak perlu digenjreng." Tangan kiri Draco melewati belakang pundak Harry dan meraih jari-jarinya yang masih berada di fretboard. Ia memposisikannya hingga membuat Harry menekan kunci A. Sementara tangan kanan Draco berada di depan dan perlahan mulai menggenjreng senar. Ia menekankan sedikit jari Harry terhadap senar saat suaranya masih kurang pas.
"Bagus, pertahankan," ucap Draco yang akhirnya melepaskan pegangannya pada tangan Harry. Ia sekali lagi menggenjreng, dan untuk pertama kalinya, Harry memainkan nada yang benar.
"Sekarang mainkan chord C." Entah sejak kapan, suara Draco menjadi lebih pelan.
Harry lalu menggerakkan jarinya—yang masih agak kaku. Ia awalnya ragu-ragu, tapi kemudian mendaratkan ketiga jarinya. Seketika Draco mengerang frustrasi.
Draco mengutuk jari-jari Harry yang tak mendarat di senar yang benar ataupun fret yang benar. Tidak satu jari pun. "Itu D, bodoh." Suaranya yang tadi mulai melembut kembali naik. Draco mau tidak mau harus memperbaiki posisi jari Harry lagi.
Harry, mengumpat dalam hati. Bukan hanya karena malu, tapi juga karena merasa bodoh. Ya, Harry mengakui jika ia terima dikatai bodoh oleh Draco Malfoy. Tapi lebih dari apa pun, Harry juga ingin mengutuk Draco. Ia ingin mengutuk betapa dekatnya pemuda itu dengannya. Apa perlu pemuda itu sampai harus memeluknya dari belakang begini? Tentu saja Draco sedang mengajarinya, tapi tetap saja ini tidak nyaman... Atau mungkin terlalu nyaman.
Jari-jari Draco yang bersentuhan dengan kulitnya terasa sangat dingin. Entah jari Draco yang dingin atau hanya Harry saja yang kepanasan. Harry juga bisa merasakan napas hangat Draco menerpa belakang lehernya. Dan apa-apaan dengan wangi oud yang membuatnya ingin menenggelamkan diri dalam pelukan Draco ini? Harry bisa menebak jika ini parfum mahal. Harry hanya bisa berdoa di dalam hati agar wajahnya tidak memerah sekarang. Juga agar ia tidak tiba-tiba bertingkah gila dan menjatuhkan diri dalam pelukan Draco.
Setelah jari Harry berada di senar dan fret yang tepat, barulah Draco menarik kembali tangan kirinya. Ia mulai menggenjreng lagi, dan bagus, suaranya tidak sumbang sama sekali. "That's good, Potter."
Harry mencoba untuk menyembunyikan senyum saat Draco memujinya. Ia lalu menggerakkan lagi jari-jarinya saat Draco menyebutkan chord lain. Ia tidak bisa menghentikan debaran kencang di dadanya karena Draco masih duduk terlalu dekat karena menggenjreng untuknya.
"Well, not bad," ucap Draco memanjang-manjangkan nada bicaranya. Setidaknya Harry berhasil mengingat cukup banyak chord, untuk saat ini. Entahlah, mungkin Harry akan melupakan setengahnya besok.
"Kau hanya perlu membiasakan jari-jarimu bergerak di atas senar. Setelah kau mengingat chord dengan benar dan bisa berganti chord dengan mudah, maka selesai. Kau bisa bermain gitar semaumu." Draco akhirnya menarik diri, kemudian bersandar di kursi. Draco melipat tangannya di dada, melirik Harry yang masih memperhatikan gitar.
Harry, diam-diam menghela napas lega saat Draco akhirnya menjauh. Walaupun sedikit, sedikit saja, Harry merasa agak kecewa. "Tapi, tangan kananku tidak bisa terus menggenjreng saat aku mencoba berpindah chord." Harry juga tak mengerti kenapa tiba-tiba suaranya pelan dan terdengar sedikit cemberut begini. Apakah ia barusan terdengar seperti gadis remaja yang malu-malu?
"Makanya latihan terus," jawab Draco singkat, padat, jelas, dan menyebalkan.
Melihat Harry mendelik dan mencibir ke arahnya, Draco malah mendengus, menyeringai tipis. Ia akhirnya berdiri dari kursinya. "Flitwick menyuruhku untuk mengajarimu," ucap Draco tiba-tiba. Ia memasukkan tangan ke saku sebelum melanjutkan. "Aku tidak akan datang kepadamu, Potter. Jadi, di kelas seni minggu depan, langsung saja datang kepadaku." Kemudian Draco dengan langkah ringan keluar dari ruang musik.
Saat pintu tertutup, Harry menghela napas panjang. Ia mengacak rambut hitamnya yang sedari awal sudah berantakan. Harry mengucapkan beberapa kutukan untuk Draco. Ia juga tak lupa untuk mencubit pelan pipinya yang masih saja terasa panas. Dan kalau boleh jujur, Harry masih bisa merasakan dadanya akan segera meletus.
Sepertinya, sekarang Harry bisa memahami Hermione. Ia harus meminta maaf pada gadis itu nanti. Apa perlu ia meminta Hermione untuk menjadi teman belajarnya di kelas seni minggu depan? Karena jujur saja, Harry yakin seratus persen jika ia juga akan gagal fokus jika diajarkan oleh Draco nanti.
Good luck Harry. Semoga jantungmu baik-baik saja.
.
.
.
Chord of Love — Completed
.
.
.
A/N
Yooooooo I'm back guys~ semoga fluff satu ini memuaskan dahaga kalian yang berpuasa... habis buka ya guys bacanya:"
Be te we nih guys, soal cerita Drarry aku yang baru itu, aku putuskan untuk publish habis lebaran aja... Lagian udah nanggung, bentar lagi lebaran. So, tungguin aja ya~ Okay, itu aja untuk kali ini jumpa lagi kapan-kapan!
See you!
Virgo
