Sejak bangun tidur, Solar merasa tidak enak badan. Suhu tubuhnya agak meningkat. Seperti menelan segenggam pasir, tenggorokannya terasa begitu kering. Kepalanya pening. Dan, persendian tubuhnya begitu kaku sehingga saat melakukan pergerakan kecil pun rasa sakit mencubit di sana sini.
Solar sebenarnya enggan pergi sekolah. Selain kondisi tubuhnya mendesak minta diistirahatkan, fakta kalau ia harus berurusan dengan Ejo Jo, membuat langkah Solar terasa amat berat. Namun, tetap saja, pada akhirnya sesuatu memaksa Solar berdiri di depan gerbang sekolah pagi ini. Ia hanya tidak ingin kakak-kakaknya berpikir kalau ia tengah berusaha mencari perhatian dengan berpura-pura sakit.
Yah, walaupun sebenarnya ia memang sakit. Tengah sekarat, malah.
"Hai, Solar."
Solar agak meringis tatkala tepuk halus di pundaknya terasa. Yaya dan Ying, temannya sejak masih SMP, tahu-tahu berdiri mengapit dirinya.
"Kenapa pula kau hanya mematung di sini?" Ying bertanya dengan suara cemprengnya yang khas.
"Aah ..." Solar menggaruk pipinya yang tak gatal. "Ini baru mau masuk."
"Kau baik-baik saja, kah?" tanya Yaya lembut. Gadis berjilbab itu begitu lembut dan feminim. Namun, siapa sangka kalau gadis itu begitu menyukai ilmu beladiri. Saat di SMP dulu, yang Solar tahu, tak hanya mendalami karate, Yaya juga mengikuti beberapa club beladiri lainya seperti Tinju dan Silat.
"Kau lebih pucat dari hantu tahu, tak?" imbuh Ying.
"Macam pernah lihat hantu saja." Solar mendengkus. Ia mengambil langkah guna menghindari perhatian kedua gadis cantik itu. Sayangnya gadis itu malah turut menyamakan langkah mereka dengan langkahnya. Bahkan saat mereka sampai di lantai dua.
"Bagaimana di kelas tiga? Kau sudah punya teman, kah?" tanya Yaya.
Tak lalu menjawab, Solar melirik sejenak ke arah kelas dengan label IPA-1 yang menggantung di depan pintu. Kelas di mana Duri dan Ice berada. Yaya dan Ying juga ada di kelas itu. Harusnya, jika ia tidak mengambil keputusan loncat kelas, Solar ada di sana juga. Dan, seandainya ia tetap di kelas itu, nasibnya tidak akan sesial ini.
Sebenarnya, Solar bisa saja meminta guru mengembalikannya ke kelas dua. Namun, mengingat hubungannya dengan saudaranya yang tengah retak, Solar gengsi memintanya hari ini.
"Sepertinya aku salah mengambil keputusan," gumam Solar nyaris tiada terdengar oleh Yaya dan Ying. "Aku pergi dulu." Lantas, sebelum mendengar hal apa pun lagi yang akan ditanyakan kedua gadis itu, Solar segera berlalu. Menaiki undakan tangga lainnya untuk sampai di lantai tiga, kelasnya.
...
Kendatipun kondisi Solar sedang tak baik-baik saja, tetapi jika urusan belajar, Solar tidak pernah tidak serius. Materi statistika yang tengah guru matematika terangkan, mungkin sudah Solar kuasai jauh sebelum ia masuk SMA. Namun, bukan Solar namanya jika ia berleha-leha dan tak memperhatikan guru walaupun sudah menguasai materi pembelajaran.
"Nah, sekarang, kerjakan latihan soal di halaman berikutnya," titah Papa Zola, si Guru Matematika begitu selesai menerangkan. "Pastikan semuanya selesai saat saya kembali ke kelas. Paham?"
"Baik, Pa." Koor seluruh siswa.
Sebelumnya, Solar bersyukur sebab Ejo Jo tidak mengganggunya saat ia masuk kelas. Sampai Solar sempat menebak-nebak alasan apa yang membuat Ejo Jo tenang-tenang saja. Namun, buku yang tiba-tiba sengaja dilempar ke atas mejanya, membuat hela napas lelah Solar mengudara begitu saja.
"Kerjakan punyaku juga," titah Ejo Jo mutlak. Lantas tanpa ingin melihat reaksi Solar selanjutnya, laki-laki bertubuh kurus tinggi itu berjalan keluar ruangan.
Sejujurnya, Solar ingin melawan. Namun, kondisi tubuhnya benar-benar tak mengizinkan untuk itu. Solar enggan membubazirkan tenaganya yang tak banyak untuk berdebat. Sebabnya, urung memperpanjang urusan, tanpa bicara apa pun Solar mengambil buku milik Ejo Jo guna mengerjakan tugas itu. Lagi pula, jika mengingat ancaman Ejo Jo kemarin, perihal ia akan menggangu saudara-saudaranya jika Solar melakukan perlawanan, membuat Solar berada dalam posisi yang tak terelakkan.
Walau bagaimanapun, kendati hubungan mereka sedang tak baik-baik saja, Solar tidak ingin saudaranya berurusan dengan para perisak sekolah.
"Kemarin padahal sok berani. Sekarang kenapa jadi ciut seperti ini?"
"Barangkali dia sudah sadar posisi."
"Apa yang dilakukan si Ejo Jo, ya? Tiba-tiba dia jadi penurut begitu?"
Berusaha mengabaikan desas-desus yang sampai ke telinganya, Solar berusaha fokus dengan soal-soal di buku paketnya. Soal-soal itu tak begitu sulit untuk Solar, tetapi tetap saja, mengerjakan sesuatu saat kondisi tubuh tak baik itu bukan perkara yang mudah.
...
"Pulanglah segera. Papa rasa anak-anak membutuhkanmu." Kokotiam tak begitu ramai pagi ini. Tok Aba sibuk mengelap cangkir di atas meja, selagi pembicaraan via telepon berlangsung.
"Sebenarnya, masih ada banyak proyek yang belum sempat saya selesaikan. Saya—"
"Solar sakit. Dan semua sedang tak baik-baik saja. Ambilah cuti barang sejenak untuk anak-anak kau, Amato." Risau terlukis penuh di wajah penuh keriput Tok Aba. Bukan ia tiada sanggup menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Hanya saja, pria tua itu tahu, saat ini salah satu dari si kembar tujuh begitu membutuhkan rangkul dan dekap hangat Amato, sang Ayah.
Lama tak ada respons berarti di seberang sana, hela napas lelah Tok Aba mengudara kemudian.
Amato adalah sosok ayah yang baik. Ia pekerja keras dan sangat menyayangi anak-anaknya. Hanya saja, beberapa bulan belakang ini pria itu tampak lebih memfokuskan diri pada riset perihal robotic-nya sampai kurang memprioritaskan si septuplet.
"Kau pikirlah, baik-baik. Pekerjaan kau mungkin penting. Tapi, tak ada yang lebih penting selain keluarga, selain anak-anak kau. Janganlah sampai kau menyesal di kemudian hari." Lonceng di balik pintu terdengar, Sosok Halilintar kemudian muncul, disusul Duri di belakangnya.
Jam dinding di sudut Kokotiam menujukkan pukul satu lebih, jam sekolah sudah usai. Saat bagian jaga Duri biasanya akan datang bersama Solar. Namun, konflik yang tengah merundung tampaknya membuat Duri memilih Halilintar untuk jadi partner jaganya hari ini.
"Tampaknya tak begitu ramai." Komentar Halilintar lolos tatkala langkahnya berhenti di samping Tok Aba. Netranya menyapu tiap sudut kafe. Hanya ada satu pelanggan di meja dekat jendela sana.
"Solar tak datang hari ini, hm?" Urung membahas perihal Kokotiam Tok Aba melempar tatap ke arah Duri yang selepas kejadian itu menjadi lebih diam dan tak banyak tingkah.
"Dia belum pulang sekolah saat kami hendak ke sini," jelas Halilintar sementara Duri langsung melengos ke arah dapur. Beralasan akan membersihkan beberapa perlengkapan kafe. Jelas kentara si nomor enam tengah menghindari topik yang ada.
"Solar belum pulang? Kalian tak pulang bersama-sama kah?" tanya Tok Aba dengan raut sedih.
...
Bukan hal mudah membalik keadaan bekas perkelahian menjadi normal kembali. Terlebih ada luka yang mungkin tertancap dalam hati. Taufan tahu semuanya tidaklah mudah. Namun, kecanggungan yang ada membuat Taufan merasa tiada udara di tiap sudut ruangan rumah. Dan, Taufan dengan jiwa sanguinisnya meronta-ronta dengan situasi yang ada.
Lama ia tatap pintu rumah yang tertutup. Waktu sudah merangkak sore, namun tak ada jua tanda-tanda si Bungsu muncul. Resah perlahan menelusup dada, selagi pikiran buruk mulai berkelana dalam kepala Taufan.
"Gem ...," panggil Taufan. Melempar lirikan ke arah si yang lebih tua di sampingnya. "Apa tidak apa-apa mendiamkan Solar seperti ini? Aku hanya merasa tak begitu nyaman dengan situasi ini."
Gempa yang tengah sibuk memilah-milah pakaian yang habis dijemur, seketika terpaku. Sendu makin melukis diri dalam tatapnya. "Bukan hanya kau. Kita semua merasakan hal yang sama. Tapi, Solar juga perlu belajar bahwa setiap kesalahan tidak selamanya bisa dimaklumi. Dia harus minta maaf dengan tulus kepada Duri."
"Kau juga salah karena telah memukulnya. Kesalahan Solar mungkin tak bisa dimaklumi. Lantas apa kesalahanmu juga bisa dimaklumi?"
Tertohok dalam, Gempa refleks menatap Taufan.
"Aku hanya mengingatkan," imbuh Taufan, seraya meringis. Tak enak hati mendapat tatapan seserius itu dari Gempa. "Omong-omong, kenapa Solar belum pulang ya?" tanyanya guna mengalihkan perhatian Gempa..
Gempa tak menjawab. Kembali, ia sibuk dengan pekerjaannya. Dengan pikirannya sendiri. Tenggelam dalam renungan yang dalam. Taufan benar, Solar mungkin salah, tetapi ia juga tak berarti benar.
...
"KUBILANG AKU TAK TAHU, LAH." Jerit Solar merambati ruang sunyi sekolah sore itu. Solar baru saja kembali dari perpustakaan tatkala seseorang tiba-tiba menyeretnya. Melempar kasar tubuhnya hingga tersudut di balik dinding dingin salah satu kelas di sekolah.
"Kau ingin mempermalukan diriku, hah?!"
Ada banyak keputusan yang salah diambil Solar. Ada banyak langkah yang Solar pikir baik malah berujung menyeretnya dalam masalah. Niatnya ingin menghindari saudara-saudaranya dan memilih menenggelamkan diri di perpustakaan selepas pulang sekolah, malah berujung pada tragedi penindasan ini—lagi.
Ejo Jo mengamuk lantaran nilainya nol sementara ia mendapat nilai sempurna. Solar tak paham, ia menulis jawaban yang sama dengan miliknya dalam lembaran soal milik Ejo Jo. Namun, angka nol besar jelas diguratkan Papa Zola di soal milik Ejo Jo. Harusnya yang salah Papa Zola, bukan dirinya. Pikir Solar.
"Kau yang mempermalukan diri sendiri," desis Solar. Terbiasa sarkastik, sulit bagi Solar untuk tak melawan kepada siapa saja yang jadi lawannya. Malah, jika saja Solar punya kekuatan tembakan solar gerhana layaknya tokoh animasi favoritnya, ingin saja Solar menembak Ejo Jo hingga hangus terbakar saat ini.
Akan tetapi, itu hanya angan. Solar bukan seorang super hero yang bahkan ketika dipukul dan dibanting ke sana-sini tak merasa sakit sama sekali. Ia hanya anak biasa yang saat Ejo Jo melayangkan pukul dan tendang ke arahnya, dunia Solar terasa berputar dan kemudian runtuh. Sakit dan nyeri merambat dan meremukan tubuhnya begitu saja.
Solar terjerembab di bawah dinginnya lantai. Rasa ingin bangkit dan melawan begitu kuat tertancap dalam hati. Namun, tenaga yang kian terkikis membuat tubuhnya terasa tak bertulang. Lemas. Tak berdaya. Solar hanya pasrah ketika sepatu Ejo Jo berulang kali mencium tubuhnya. Sampai kemudian ...
"Apalah yang kau lakukan pada temanku ini?"
Suara itu ...
Solar tersentak. Matanya yang semula tertutup rapat, memicing. Memastikan dugaannya benar.
Yaya?
"Ternyata semuanya tak sebaik yang kau bilang." Yaya menyodorkan bungkusan kain berisi es batu ke hadapan Solar. Menyuruhnya mengompres bagian sudut bibirnya yang agak membiru.
Solar tak lantas merespons. Masih dibuat takjub dengan keberanian gadis berjilbab bernama Yaya itu. Di samping malu sebab untuk pertama kalinya ia diselamatkan oleh seorang perempuan. Harga diri Solar yang tinggi terasa dihempas begitu saja.
Yaya dengan mudah melumpuhkan Ejo Jo dalam beberapa kali pukul saja. Dengan sedikit ancaman akan memberi tahu sekolah perihal tindakannya, Ejo Jo langsung pergi meninggalkan tempatnya saat itu.
"Ugh ..." Solar mengaduh. Meremas rambutnya refleks tatkala sakit mendadak menusuk bagian dalam kepalanya.
"Kenapa? Sakit kah? Apa perlu aku kasih tahu Halilintar soal ini?" tanya Yaya cemas.
Berusaha menahan sakit yang ada, Solar menggeleng tegas. "Tidak. Jangan, Yaya. Berjanjilah tak bagi tahu Kak Hali atau saudaraku yang lain. Tolong!" Mohon Solar seraya menyatukan ke dua telapak tangannya di dada. Memohon dengan sangat pada si Gadis.
"Kenapa? Kau di-bully, Solar."
"Tidak. Kurasa Ejo Jo hanya sedang marah padaku," bohong Solar. Ia sungguh tiada berharap suadaranya tahu soal ini. "Jika aku bisa sedikit lebih bodoh, aku mungkin tak akan membuat orang lain marah lagi padaku." Kalimat terakhir meluncur pelan dari mulut Solar. Nyaris tiada berhasil menyentuh pendengaran Yaya.
"Tapi, Solar ... "
"Harga diriku sudah jatuh di depanmu, Yaya. Tolong, jangan biarkan jatuh makin dalam karena harus memohon-mohon padamu. Tolong, ini hanya jadi rahasia kita saja."
Mendengar hal itu tak ada lagi yang bisa Yaya lakukan selain hanya diam. Kendati ia tahu kalau Solar tengah tak baik-baik saja, si gadis hanya bisa mengiyakan permintaan Solar.
Bersambung.
Planet Bumi, 02 Februari 2025
...
Apa kabar kalian semua? Kuharap sehat selalu ...
Setelah bertahun lamanya, akhirnya saya bisa kembali ke sini. Saya harap bisa terus bertahan sampai akhir di sini. Mohon support nya.
Maaf jika ada kejanggalan. Saya kehilangan outline cerita ini dan benar-benar harus mengingat semuanya dari awal.
Terima kasih buat yang sampai saat ini masih menunggu
Salam hangat
