BBB Fanfiction / AU/ Elemental Siblings / Family – Drama – Hurt/Comfort – Angst / Multi-Chapter/ No Super Power /

Summary: Prince S bukan julukan untuk Ice, saudara nomor lima mereka. Melainkan disematkan untuk si bungsu, Solar. "S" untuk si "Sombong" Solar. S untuk si "Songong" Solar. Dan, S untuk si "Sempurna" Solar.

Disclaimer: Semua karakter milik Animonsta. Tapi, cerita ini murni karya saya. Ide mungkin pasaran, tidak mengandung alur yang berat, tak disisipkan plot twist, dan ini sangat gaje. Tapi, semoga menghibur.

.

.

Sebentar, anggap saja cerita saya yang "Our Youngest Brother" sebagai prolog dari cerita ini.

.

.

Bab 1: Diawali dengan Kebohongan.

"Bagaimana hasilnya?"

Tanya itu menyambut Solar kala kakinya selangkah masuk melewati pintu utama rumah. Kompak tanpa komando, dua dari keempat saudaranya yang ada melempar pertanyaan itu. Mengundang senyum haru yang sedikit terkontaminasi rasa miris dan pedih tersemat di balik bibir pucat si Bungsu.

"Aku baik, lah ...," jawab Solar selagi tangannya sibuk melepas jaket dan topi putih yang dikenakannya. Cuaca begitu terik sehingga Solar mesti menahan panas selama dalam perjalanan. Tubuhnya terasa seperti dipanggang di atas uap gunung berapi. Begitu sampai rumah, hal yang begitu diinginkannya adalah sejuknya kipas angin.

Setelah menekan salah satu saklar di dekat pintu masuk, dan kipas angin yang menempel di balik atap berputar, baru Solar mengambil posisi di samping Gempa.

"Benar, Tok? Dokter bilang Solar baik-baik saja?" Sasaran tanya Gempa terlontar ke arah yang lain. Sekadar memastikan.

Gumam kecil pria tua dengan peci putih itu menjawab tanya Gempa. Selepasnya, Tok Aba memilih untuk melengos pergi, masuk ke dalam kamarnya. Membawa serta amplop putih berlogo rumah sakit tempat Solar melakukan pemeriksaan beberapa waktu silam di tangannya. Sebelumnya ia berpesan agar Duri bersedia menghubungi Blaze dan Ice yang bertugas menggantikannya menjaga kedai—sementara ia mengantar Solar mengambil hasil pemeriksaan—agar tutup lebih cepat dan segera pulang.

"Kan, aku udah kata. Aku itu baik-baik saja. Kak Gempa pasti ketularan drama king-nya Kak Taufan. Masa iya, cuma karena aku lebih sering mengantuk dan gampang capek dibilang sakit. Kalau emang kayak gitu, sih, Kak Ice perlu diperiksa juga."

"Ice tak pernah sampai mengeluh sakit kepala karena kebanyakan tidur." Gempa menimpali.

"Ya ... itu karena aku pasti lebih banyak berpikir ketimbang Kak Ice."

Jadi, beberapa minggu ke belakang, Halilintar dibuat heran dengan tingkah Solar. Selain Blaze dan Taufan, Solar juga termasuk yang paling energik di antara semua adik-adiknya. Namun, tidak beberapa minggu ke belakang.

Solar jadi macam Ice, lebih parah malah. Dia jadi lebih banyak tidur dengan alasan mengantuk parah lantaran terlalu lelah belajar.

Awalnya, Halilintar berpikir Solar tengah merajuk. Seperti kejadian beberapa waktu silam saat anak itu merasa tak diperhatikan. Namun, tiga hari lepas saat si bungsu mengeluh kepalanya sakit macam ditusuk-tusuk paku, Halilintar pikir Solar perlu memeriksakan diri ke dokter. Sebabnya, ia memaksa Gempa untuk membujuk Solar sementara ia meminta Tok Aba menemani adik bungsunya itu melakukan pemeriksaan. Dan, baru hari ini hasil pemeriksaan itu keluar.

Halilintar senang mendengar kalau adiknya baik-baik saja. Walaupun ia tak secara eksplisit menunjukkannya. Namun, itu bukan berarti Solar bebas melempar cibiran dan mengklaim aksi pedulinya sebagai bentuk drama.

"Ish, kau ini. Kita peduli dikata drama, tak peduli kau merajuk sampai tidur macam orang mati dan tak makan seharian." Taufan mengomel, seraya melirik Duri yang baru saja kembali mematikan ponsel seusai memastikan pesannya dibaca oleh Ice.

"Iyalah ..." Solar mengalah, teringat dengan aksinya beberapa minggu ke belakang.

"Sudahlah ... yang penting, kan, Solar baik-baik saja." Duri menengahi. Ia biarkan tepukan ringan mendarat di bahu Solar. "Aku senang kau sehat, Solar. Jadi, jangan sakit." Senyum tulus nan polos Duri terpulas rapi.

Solar tak menjawab, hanya menatap mata Duri dengan kosong.

...

Anaplastik Astrositoma. Mendengarnya saja sudah membuat Solar ingin menangis ketakutan. Namun, sejak pertama uraian kata beserta seluruh pengertian dan penjelasan yang dokter terangkan mengenai penyakit itu berhasil menembus indra pendengarannya, Solar hanya mampu termenung dan karam dalam kebisuan. Ia tahu asap ketakutan dan kesedihan baru saja berjelaga dalam sanubari, tetapi herannya, Solar sama sekali tidak ingin menangisi dirinya sendiri.

Bukan sok kuat, hanya saja Solar terlalu bingung harus bersikap seperti apa.

Aku akan mati lebih cepat dari yang lain. Seperti tengah merapal mantra, kalimat itu terucap berulang-ulang setiap kali kata-kata dokter mengenai penyakitnya kembali terngiang.

Sejujurnya, Solar ingin bersikap biasa. Sebagaimana kemarin ketika pertama kali saudara-saudaranya bertanya. Ia merasa berdosa sebab membohongi mereka perihal hal sepenting ini, malah menyuruh Tok Aba turut menyembunyikan kebenaran yang ada.

Akan tetapi, Solar pun sebenarnya masih tidak bisa menerima kenyataan. Lalu, bagaimana caranya ia memberi tahu yang lain jika ia pun masih berusaha meyakinkan diri kalau semuanya bukan hanya mimpi.

Sebab dilanda bingung, Solar menghabiskan waktu berdiam diri di kamar sepanjang hari ini. Tidak belajar, tidak pula tidur. Hanya berbaring sembari menatap hampa langit-langit kamar. Sesekali keluar untuk makan dan pergi ke kamar mandi, sekadar memastikan orang-orang serumah tak berpikir kalau ia tengah merajuk.

"Solar ..."

Pintu bercat putih kusam itu terbuka. Kepala Gempa menyembul di baliknya. Solar melirik sekilas kembarannya itu sebelum mengubah posisi menjadi duduk.

"Kami semua mau ke toko perlengkapan sekolah. Kau mau ikut?" Gempa membuka pintu lebih lebar. Lantas masuk dan mendudukkan diri di sisi tempat tidur Solar.

Solar menggeleng. "Kau saja."

Benar, sebentar lagi tahun ajaran baru dimulai. Kendati masih ada perlengkapan lama, tetap saja ada beberapa perlengkapan baru yang mereka butuhkan.

Alis Gempa saling bertemu. Aneh, pikirnya. Solar itu pemilih, ia punya selara khusus untuk semua hal yang dikenakannya. Sebabnya, jika urusan belanja perlengkapannya sendiri, Solar anti memercayakannya pada orang lain. Namun, saat ini Gempa urung bertanya, malas jika harus berdebat banyak dengan si bungsu.

"Apa yang kau perlukan untuk kelas dua nanti? Biar aku belikan." Gempa bertanya. Tahun ini mereka sama-sama naik ke kelas sebelas, omong-omong.

Solar memutar bola mata, berpikir. "Selain buku-buku baru ... aku tak membutuhkan hal lain. Tapi, kalau kau ingin membelikan aku sesuatu, aku ingin kacamata baru. Kayaknya bagus juga kalau aku pakai yang bingkai abu-abu."

"Ish, kau ini!" Gempa berdecak.

Solar nyengir. Kendati suka baca dan gemar belajar, ia sebenarnya memiliki penglihatan yang baik. Kacamata yang digunakannya selama ini hanya untuk bergaya saja.

Gempa bangkit saat teriakan Blaze di bawah terdengar. Memutus interaksi mereka saat ini. "Aku tidak akan membelikan yang satu itu," putus Gempa selagi mengayunkan langkah keluar dari kamar Solar dan Duri. "Karena kami akan pergi bersama-sama, kau jaga rumah," pesannya sebelum pintu ditutup rapat.

Selepasnya, Solar meraih ponselnya yang beberapa hari ini sempat terabaikan. Sebentar, ia menatap layar benda pipih itu tanpa arti sebelum kemudian biarkan netranya terfokus ke arah benda bulat berwarna kuning dan hitam di atas meja belajar. Saking sibuk memikirkan kondisinya, beberapa hal penting bahkan sempat ia lupakan.

...

"Aku merasa Solar lebih murung. Kalian menyadarinya?" Mereka baru saja keluar dari toko perlengkapan sekolah saat Gempa tiba-tiba bertanya. Menarik atensi kelima saudaranya yang lain.

"Apa dia sedang merajuk lagi? Apa kita lagi-lagi membuat kesalahan dan ... kita tak menyadarinya?" Halilintar balik bertanya.

Semenjak tahu kalau Solar merasa saudara-saudaranya tak cukup perhatian padanya, Halilintar selalu berusaha menjadi kakak yang lebih peka. Walaupun ia tak dengan gamblang menunjukkannya, tetapi diam-diam ia selalu berusaha memperhatikan saudara-saudaranya.

Blaze mendengkus. "Kukira Solar lebih dewasa karena dia pintar. Harusnya kalau dia ingin sesuatu, ya ... bilang saja. Tak perlu, lah, murung seharian. Bikin orang suuzan aja."

Kali ini Taufan setuju dengan pendapat Blaze. Ia mengangguk samar.

"Kurasa bukan itu penyebabnya." Duri menimpali, selagi mengambil alih salah satu kantong belanjaan dari tangan Gempa, berniat membantu karena Gempa tampak kesulitan dengan barang bawaannya. "Semalam, sebelum tidur, Solar sempat menyinggung sesuatu mengenai kelas akselerasi yang ditawarkan pihak sekolah kepadanya."

"Kelas akselerasi?" Tanpa komando, Gempa, Taufan, dan Blaze kompak berteriak tertahan. Sementara Ice dan Halilintar hanya menunjukkan keterkejutan mereka dengan ekspresi wajah saja.

"Iya. Solar kata, pihak sekolah menawarinya masuk kelas akselerasi. Atau kalau tidak, Solar bisa langsung loncat kelas ke kelas tiga. Kurasa, Solar murung karena bimbang harus menentukan pilihan."

Tiada yang lalu merespons penjelasan Duri. Keenam kembar Boboiboy itu seketika tenggelam dalam bisu. Hanya membiarkan gegap gempitanya jalanan sore di hari Minggu yang cerah ini turut meramaikan apa-apa yang ada dalam pikiran mereka. Sampai kemudian ...

"Bukankah Solar begitu beruntung? Aku turut bangga seandainya dia bisa masuk kelas akselerasi atau langsung loncat ke kelas tiga. Tapi, jujur aku lebih senang kalau kita bertujuh bisa lulus sama-sama nanti."

... suara rendah Ice memecah segala praduga yang sempat tertanam dalam kepala mereka. Dan, pendapatnya mengundang anggukan setuju dari yang lain. Tentu saja, terbiasa bersama-sama sejak masih dalam rahim, opsi terakhir yang Ice pikiran adalah hal yang mereka harap Solar ambil.

Dimulai.

Planet Bumi, 16 Oktober 2021

...

Tadinya pengen lanjutin Simple Desire dulu. Tapi, enggak tahan pengen eksekusi Solar juga.

三(v)v

Ini bakal slow update. Tapi, saya usahakan semua cerita mendarat dengan selamat. Insyaallah.

Segala kritik yang membangun insya Allah saya terima dengan lapang. Tolong sampaikan dengan bahasa yang baik, yaaa...

Terima kasih.