Title: The Sweetest Scent

Genre: Romance, fluff

Rate: K+

Words: 1k+


.

Apa yang lebih membosankan daripada mendengarkan penjelasan Profesor Sprout tentang tanaman obat yang sebenarnya sudah kaupelajari tahun lalu? Yah, Draco bisa menjawab lebih dari seratus hal super membosankan. Tapi untuk saat ini, kelas mereka terlalu membosankan. Karena itulah Draco hanya berdiri dengan malas sambil memasukkan tangan ke saku. Hanya sebentar dan ia kembali mengeluarkan tangannya, bersama dengan sebuah apel hijau kesukaannya.

Satu gigitan, dan perasaannya jauh lebih baik sekarang. Sudah ia duga, membawa sebuah apel ke mana-mana adalah pilihan yang bagus. Betapa ia suka rasa manis keasaman ini. Juga, jangan lupakan aroma yang tak kalah manis itu. Walau samar-samar, Draco sangat menyukainya.

Apel yang berada di tangannya terus mengecil sejalan dengan penjelasan Profesor Sprout yang tak kunjung berakhir. Draco merasa sedikit sedih saat mengetahui bahwa apelnya tidak akan bertahan hingga pelajaran berakhir.

Ya, seharusnya memang begitu. Seharusnya, setelah buah itu sudah habis ia makan, rasa manisnya sudah tak bisa lagi ia nikmati. Begitu pula dengan aromanya. Seharusnya Draco tidak lagi bisa mencium aroma manis nan segar yang selalu menjadi kesukaannya. Tapi, kenapa sekarang aromanya jadi lebih kuat? Seolah-olah, Draco sedang berada di kebun apel yang luas.

"Ayo, Ron. Aku tidak bisa melihat apa-apa dari belakang sini."

Tepat setelah mendengar suara familiar itu, seseorang lewat. Rambut hitam yang berantakan itu sangat ia kenal. Hanya saja, aroma manis yang menyapa itu sangat asing. Saat si pemuda berkacamata melewatinya, aroma khas itu juga mengikuti.

Draco tidak melepaskan pandangannya. Matanya tertuju pada Harry yang berjalan ke barisan paling depan untuk melihat tanaman yang dibahas oleh Profesor Sprout. Semakin Harry jauh, semakin aroma itu hilang. Draco menyadarinya. Aroma manis itu tidak berasal dari apel yang tadi ia makan. Itu berasal dari Harry.

Hanya ingin sekadar memastikan, Draco melangkahkan kakinya. Ia yang tidak tertarik dengan pelajaran melangkah maju. Ia berdiri cukup dekat di belakang Harry. Dan ya, dugaannya benar. Draco yakin betul jika aroma apel itu berasal dari Harry. Namun setelah mengetahui kebenarannya pun, Draco tidak kembali mundur. Ia tetap diam di tempatnya.

.

"Belajar benar-benar bukan untukku." Punggung Ron merosot dan ia seketika bersandar di bangku perpustakaan.

"Ronald, kau masih berada di tahun ketiga. Jika kau mengeluh sekarang, habis sudah kau tahun depan." Hermione bicara pada Ron tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya dari buku.

Ron mencibir. Tapi ia tidak membalas, karena Ron yakin hal itu akan membuat Hermione makin marah. Ia kemudian melirik Harry yang juga sudah bosan untuk belajar. Ron langsung menyenderkan tubuhnya pada Harry, kemudian berbisik. "Ayo kita pergi dari neraka ini. Mumpung Hermione sedang fokus."

"Ehem!" Hermione mengangkat kepalanya. Ia menatap Ron membuatnya gugup. "Kalian membicarakan apa?"

Ron menggeleng. "T-tidak ada. Hanya, aku... Aku cuma bilang pada Harry kalau sampo barunya sangat wangi."

"Oh, benarkah? Thanks." Meskipun dia sendiri sudah tidak sanggup lagi belajar, sepertinya Harry tidak mau bergabung dengan aksi membohongi Hermione kali ini.

Hermione menyipitkan matanya, curiga. Namun kemudian mengangguk setuju. "Kau benar. Aromanya sangat manis."

Ron diam-diam menghembuskan napas lega.

"Aku hanya menebak, apakah sampo itu beraroma apel?" tanya Hermione.

Harry mengangguk. Dan anggukan itu membuat Hermione menjentikkan jarinya. Tentu hal itu membuat Ron dan Harry bingung. "Pasti karena itu."

"Apa maksudmu?" tanya Harry bingung.

Hermione menatap ke sekeliling mereka terlebih dahulu sebelum menjawab. Ia juga memajukan sedikit tubuhnya karena akan berbisik. "Tidakkah kau menyadari kalau Malfoy mengikutimu akhir-akhir ini?"

Tanpa perlu mengingat-ingat, Harry langsung mengangguk. Mudah baginya untuk menemukan Draco berada di sekitarnya. Setiap kali ini melirik ke belakang, samping, dan depannya, Harry pasti akan menemukan sosok Draco. Harry tidak terganggu, sama sekali tidak. Hanya saja, Draco yang ia kenal seharusnya selalu mengejeknya bila ada kesempatan, karena memang seperti itulah dia. Tapi kali ini berbeda, pemuda itu tidak pernah mengganggunya. Sekali pun tidak pernah.

"Benarkah? Kenapa hanya aku yang tidak sadar?" Ron ikut dalam pembicaraan.

Hermione mencoba untuk tidak mempedulikan Ron. Ia kembali bicara pada Harry. "Menurutku, alasan dia mengikutimu terus karena aroma apel itu. Kalian tau sendiri betapa sukanya dia pada buah itu."

Harry mengernyit. Perkataan Hermione memang masuk akal, tapi menurutnya itu konyol. Mana mungkin seseorang mengikutinya hanya karena aroma sampo yang digunakannya? Dan yang lebih penting, mereka sedang membicarakan Draco Malfoy. Harry merasa jika hal itu mustahil. Tapi, bagaimana jika hal itu benar? Apa yang harus Harry katakan saat bertemu pemuda Malfoy itu nanti? Apakah ia harus memastikanya? Tidak. Untuk apa dia bertanya? Harry bahkan tidak merasa terganggu.

.

Beberapa hari belakangan ini, Draco menganggap dirinya bodoh. Sangat bodoh. Ia merasa konyol karena mengikuti Harry hanya karena aroma apel yang menguar dari tubuhnya. Padahal Draco paling menyukai aroma apel segar yang memang buah sungguhan. Tapi, kenapa ia malah tergila-gila dengan aroma manis pemuda berkacamata itu.

Pun hari ini, Draco mengikuti Harry. Ia hanya samar-samar mencium aroma yang familiar itu, kemudian secara spontan mencari tahu dari mana asalnya. Dan, begitu saja hingga Draco tanpa sadar mengikuti Harry.

Draco tidak tau ke mana Harry akan pergi. Ia hanya akan mengikutinya selama ia bisa. Hingga, saat Draco berbelok mengejar Harry, langkahnya langsung terhenti.

Jantung Draco rasanya seolah berhenti bekerja untuk sesaat, dan kemudian kembali bekerja dengan tempo dua kali lebih cepat. Alasannya adalah, Harry yang ternyata tidak melanjutkan jalannya. Pemuda Potter itu menyender di tembok dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya menatap Draco seolah sudah menunggu kedatangannya.

"Apa asramamu ke arah sini, Malfoy?"

Mati sudah dia. Draco tidak bisa menemukan alasan. Jangankan alasan, Draco bahkan tidak tau ia berada di Hogwarts bagian mana sekarang. Draco pun hanya bisa menutup dan membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara.

Mengetahui bahwa lawan bicaranya itu tak akan berbicara, Harry menghela napas. Ia berdiri tegak sambil menggeleng. "Sepertinya dugaan Hermione benar."

Draco bingung. Dugaan apa yang dibuat gadis itu tentangnya.

"Apa kau sebegitu sukanya pada apel, sampai kau mengikuti seseorang yang memakai sampo beraroma apel kemana-mana?"

Draco berseru diam. Ternyata aroma itu berasal dari sampo Harry.

Masih belum mendapatkan balasan apa pun, Harry mulai jengkel. "Apa kau sangat menyukainya sampai mengikutiku?" Harry mengulang pertanyaannya. Tapi kali ini nada bicara Harry terdengar sedikit kesal.

Harry melangkah maju karena Draco masih saja diam. Ia menundukkan kepalanya, memperlihatkan puncak kepalanya pada Draco. "Kalau memang iya, endus saja sesukamu hingga kau puas."

"Tu-tunggu! Kau terlalu dekat!" Draco melangkah mundur sambil mengangkat tangannya di dada, menghentikan Harry yang masih mencoba mendekat. Jangan tanya alasan kenapa Draco mundur. Jantungnya saja masih belum bisa berdetak dengan normal. Setidaknya beri ia kesempatan untuk menenangkan dirinya dahulu.

Harry mengangkat kembali pandangannya. Ia masih terlihat kesal karena Draco masih belum bicara dengan jelas. "Kau sangat merepotkan," gumamnya pelan.

Sementara itu, Draco sedang mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk bersikap biasa saja. Ia pun berdeham. "Itu... Apa boleh?" pertanyaan tidak jelas itu Draco lontarkan dengan semburat merah di wajahnya.

Harry memiringkan kepalanya, bingung. Bukan hanya karena pertanyaan Draco, ia juga bingung karena tingkahnya. "Ha?"

"Kau tadi bilang..." Draco memaksakan dirinya untuk menatap Harry. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang. "Kau tadi bilang kalau... aku boleh... itu, rambutmu..."

Harry ingin sekali tertawa lepas, tapi ia memilih untuk menahannya. Ini pertama kalinya Harry melihat Draco bertingkah malu-malu seperti ini. Terlihat konyol, bodoh, dan menggelikan, namun anehnya membuatmu gemas. Draco Malfoy yang menjunjung tinggi harga dirinya itu seolah sudah lenyap dari hadapannya.

"Okay. Three seconds."

"Five." Draco menawar.

Harry menghela napas, namun sudut bibirnya terangkat. Kakinya mengambil satu langkah ke depan. Ia memberikan Draco waktu untuk menghirup aroma manis dari rambut hitamnya yang berantakan.

Dari kejauhan saja, Draco sudah dibuat berenang dalam wangi yang membuatnya candu. Apalagi jika harus menciumnya dari jarak sedekat ini. Draco seolah tenggelam tepat setelah ia menutup matanya. Aroma manis itu menyapanya. Bukan hanya sebuah apel hijau kesukaannya. Draco bisa mencium aroma lain. Aroma yang jauh lebih manis dan jauh membuatnya tenggelam. Draco tidak tahu kata apa yang pas untuk menggambarkan aroma tersebut. Seperti sinar matahari yang menyapa rumput. Kau akan mencium aroma segar dari hari yang cerah. Memang sangat sulit untuk dijelaskan. Pokoknya, Draco menyukainya.

"Baiklah, waktumu habis." Harry menarik dirinya menjauh dari Draco. Ia masih kesulitan menahan tawa melihat raut kecewa di wajah Draco.

"Really. Apa perlu aku berikan sebotol untukmu?" Harry hanya bercanda. Yah, walaupun begitu, kalau Draco memang mau, ia bisa memberikannya. Dia punya dua botol, sebenarnya.

Sebuah kejutan, Draco menolak. "Tidak, terima kasih. Memakai sembarang sampo bisa saja merusak rambutku."

Rasa jengkel dan kesal itu kembali menghampiri Harry. Memang pada dasarnya Draco itu sangat menyebalkan.

"Ya sudah kalau begitu. Sebaiknya aku kembali ke asramaku," ucap Harry menyudahi obrolan singkat mereka. "Tapi sebelum itu, aku ingatkan satu hal. Aku sama sekali tidak terganggu jika kau mengikutiku karena menyukai wangi apel dari sampoku. Tapi, jangan sekali-kali mencoba menggangguku secara sengaja."

Draco mengangguk. Ia melakukannya tanpa sadar.

Harry tersenyum. Harus berapa kali ia dibuat terkejut dengan perubahan sikap Draco Malfoy di depannya.

"Well ... see you, I guess?" Harry pun berbalik, segera pergi menuju asramanya.

Sementara itu Draco masih diam di tempatnya. Ia menatap punggung Harry yang semakin jauh, hinga akhirnya hilang dari pandangan. Sama seperti aroma manis yang perlahan mulai menghilang. Namun Draco tersenyum. Dia ternyata memang menyukainya. Menyukai aroma itu. Bukan wangi apel kesukaannya. Tapi, wangi manis apel yang berpadu dengan aroma lembut dari Harry adalah kombinasi terbaik yang menjadi favoritnya mulai sekarang.

.

.

The Sweetest Scent — Completed