The New Leviathan Chapter 1
Highscool DxD @ Ichie Ishibumi
Aku hanya meminjam karakter dan sedikit plot ceritanya sebagai referensi cerita.
Bar ini sudah menjadi bagian dari rutinitasku. Tempat di mana aku bisa menikmati ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan manusia biasa. Lampu neon redup berpendar di dinding bata, menciptakan atmosfer yang remang-remang. Aroma alkohol bercampur dengan asap rokok, memenuhi udara yang sarat dengan suara obrolan samar.
Di sudut ruangan, di meja yang sudah seperti milik kami sendiri, Katerea duduk dengan anggun, seperti biasa. Gaun hitamnya menyatu dengan kegelapan, kontras dengan mata ungunya yang bersinar tajam. Aku mengambil tempat di seberangnya tanpa perlu berbasa-basi.
"Kau datang tepat waktu," katanya, menuang anggur merah ke dalam gelasnya. "Seperti biasa."
Aku mengangkat bahu. "Kau tahu aku bukan tipe yang suka membuat orang menunggu."
Dia tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di balik senyum itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keakraban. Katerea bukan tipe yang mengajak seseorang berkali-kali hanya untuk minum dan berbincang ringan. Setiap pertemuan kami selalu memiliki tujuan.
Aku mengambil gelasku, menyesap minuman yang dingin dan membiarkan keheningan mengambil tempatnya. Katerea juga tidak berbicara untuk sesaat, hanya memainkan gelasnya dengan jari-jari lentiknya. Tapi aku bisa merasakan perubahan dalam atmosfer. Malam ini berbeda.
"Aku ingin bertanya sesuatu, Yudi," katanya akhirnya, suaranya lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.
Aku menatapnya, menunggu.
"Apa pendapatmu tentang dunia ini?"
Aku memutar gelas di tanganku, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tergantung sudut mana yang kau maksud."
Dia tertawa kecil, meski matanya tetap tajam. "Jangan bermain kata denganku. Aku berbicara tentang dunia iblis. Tentang perubahan yang dipaksakan oleh Sirzechs dan faksi Maou barunya."
Aku menyesap minumanku lagi, membiarkan kata-katanya mengendap. Aku sudah mendengar ini sebelumnya. Katerea tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap apa yang disebut 'kedamaian' yang dicoba dibangun oleh Lucifer baru dan sekutunya.
"Aku tidak peduli dengan politik mereka," jawabku akhirnya. "Apa pun yang mereka lakukan, itu bukan urusanku."
"Apa benar begitu?" Katerea menyipitkan matanya. "Kau adalah manusia yang lebih memahami dunia ini daripada kebanyakan iblis. Kau tidak percaya bahwa perubahan ini hanyalah awal dari kehancuran bagi garis keturunan sejati?"
Aku meletakkan gelasku. "Aku percaya bahwa dunia selalu berubah. Tidak peduli seberapa besar kau mencoba menahannya, perubahan tetap akan terjadi."
Katerea menghela napas, lalu bersandar ke kursinya. "Kau selalu seperti ini, Yudi. Datar. Tidak terbawa emosi."
"Aku hanya melihat sesuatu sebagaimana adanya."
Dia tertawa kecil, tapi kali ini terdengar lebih seperti ejekan. "Dan bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku akan menghancurkan mereka? Sirzechs, faksi Maou baru, semua pengkhianat yang mencemari garis darah kami?"
Aku tidak terkejut. Kata-kata itu bukan sesuatu yang baru darinya. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Ini bukan sekadar omongan kosong.
Aku menatapnya, membaca sorot matanya. "Kau yakin bisa menang?"
Senyum di bibirnya melebar, penuh keyakinan yang hampir menular. "Aku tidak pernah ragu."
Aku menghela napas pelan, menyesap minuman terakhirku sebelum meletakkan gelas di meja. "Kalau begitu, aku hanya bisa menunggu dan melihat."
Katerea tertawa, tapi aku tahu bahwa di balik tawa itu, badai sudah mulai terbentuk.
Aku meletakkan gelasku, lalu menatap Katerea yang duduk di seberangku. Matanya menari-nari dalam bayangan, penuh rahasia dan ambisi. Aku tahu dia menginginkan sesuatu. Dan aku lelah menunggu.
"Jadi, apa rencanamu?" tanyaku, suara datarku menembus keheningan di antara kami.
Katerea mengangkat alis, sedikit terkejut, sebelum bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. "Rencana? Kau tiba-tiba menjadi ingin tahu, Yudi?"
Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dalam diam.
Dia mendesah pelan, lalu menyesap anggurnya. "Baiklah, kalau kau memang ingin tahu… Aku akan menghancurkan mereka."
Aku tidak terkejut. Aku sudah mendengar niatnya sebelumnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Lebih dingin. Lebih berbahaya.
"Dan siapa yang akan membantumu?" tanyaku lagi.
Katerea tersenyum, tapi bukan senyum ramah. Ini adalah senyum seseorang yang tahu bahwa mereka sudah memiliki keunggulan.
"Chaos Brigade," katanya, seolah itu adalah hal yang paling wajar di dunia.
Aku tidak menunjukkan reaksi apa pun, tapi di dalam pikiranku, informasi itu mulai bergerak. Chaos Brigade. Aku hanya mengetahui kalau itu adalah Organisasi teroris yang bergerak dalam bayangan, menginginkan kekacauan total dalam dunia supernatural. Jika Katerea telah bergabung dengan mereka… Maka ini bukan lagi sekadar ambisi pribadi. Ini adalah perang.
Aku memutar gelasku perlahan, membiarkan keheningan menggantung di antara kami sebelum berbicara lagi. "Dan kau percaya mereka akan membiarkanmu menjadi pemimpin? Bahwa mereka tidak akan mengkhianatimu saat kau sudah tidak berguna lagi?"
Tatapan Katerea berubah dingin. "Aku bukan orang bodoh, Yudi. Aku tahu cara bermain dalam permainan ini. Chaos Brigade membutuhkan seseorang seperti aku—seorang pewaris sah dari Leviathan. Dan mereka tahu bahwa aku tidak akan tunduk pada siapa pun."
Aku menatapnya, mencari tanda-tanda keraguan. Tapi tidak ada. Katerea benar-benar yakin dengan jalannya.
"Aku tidak akan gagal," lanjutnya, suaranya lebih rendah, lebih tajam. "Sirzechs dan faksi Maou baru telah mencemari darah iblis sejati. Mereka membawa kelemahan ke dalam dunia ini. Aku akan mengambil kembali kejayaan yang seharusnya menjadi milikku."
Aku tetap diam, membiarkan kata-katanya mengendap.
"Aku ingin kau di sisiku, Yudi," lanjutnya, matanya menatap langsung ke dalam mataku. "Kau bukan seperti manusia lainnya. Kau mengerti dunia ini lebih baik dari kebanyakan iblis. Dan kau tahu bahwa aku benar."
Aku menyesap minumanku, lalu meletakkan gelasku kembali. "Aku hanya ingin tahu satu hal," kataku akhirnya.
Katerea mengangkat dagunya, menunggu.
"Seberapa jauh kau akan pergi untuk mencapai tujuanmu?"
Dia tersenyum, dan kali ini aku bisa merasakan hawa dingin menjalar di sekelilingku.
"Aku akan pergi sejauh yang dibutuhkan," jawabnya pelan, tapi penuh dengan kepastian. "Dan aku tidak peduli siapa yang harus kulenyapkan dalam prosesnya."
Aku menghela napas pelan, lalu menatap gelasku yang kosong. Malam ini, aku baru saja melihat sekilas masa depan.
Dan berharap itu tidak menjadi kenyataan.
Aku mengamati Katerea sejenak. Dia percaya diri—mungkin terlalu percaya diri. Rencananya jelas, sekutunya kuat, dan ambisinya membara. Tapi aku tahu, dunia tidak sesederhana itu.
"Jangan menggigit lebih dari yang bisa kau gigit," kataku akhirnya, nada suaraku tetap datar.
Katerea mendengus kecil, memutar gelas anggurnya tanpa minat. "Yudi, kau terdengar seperti seorang guru tua yang khawatir muridnya akan jatuh."
Aku tidak merespons leluconnya. "Chaos Brigade bukan kelompok yang bisa dipercaya. Mereka mungkin membutuhkanmu sekarang, tapi pada akhirnya, mereka hanya setia pada kekacauan itu sendiri. Jika kau terlalu percaya diri, kau bisa berakhir sebagai pion yang dibuang setelah mereka mencapai tujuan mereka."
Katerea menghela napas, lalu bersandar ke kursinya dengan ekspresi malas. "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu cara bermain dalam dunia ini, Yudi. Aku tahu batasanku."
Aku menatapnya dalam diam, lalu menyesap minuman terakhirku. "Dan jika aku yang menghalangi rencanamu… apakah aku akan kau lenyapkan?"
Aku bisa melihat bagaimana rahangnya sedikit mengeras. Matanya, yang selalu penuh keyakinan, kehilangan sedikit kilau kepercayaannya. Itu hanya sedetik—tapi aku melihatnya.
Dia tidak menjawab.
Aku menaruh gelasku di atas meja dengan pelan. "Kau ragu."
Katerea tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum penuh percaya diri seperti sebelumnya. "Jangan menguji kesabaranku, Yudi."
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, membiarkan keheningan mengambil alih.
Di antara semua musuh yang akan dia hadapi… aku ingin tahu apakah dia sudah siap menghadapi dirinya sendiri.
Aku menatap Katerea yang masih duduk dengan elegan di seberangku, memainkan gelas anggurnya dengan gerakan santai. Tapi aku tahu, di balik ekspresi malasnya, pikirannya sedang bergerak cepat.
Jawabannya tadi memberiku cukup alasan untuk waspada. Jika dia bahkan tidak bisa menjawab dengan pasti apakah dia akan melenyapkanku atau tidak, itu berarti dia belum sepenuhnya kehilangan rasa percayanya padaku. Itu juga berarti… aku masih memiliki celah untuk bergerak.
"Aku penasaran," kataku, memasang nada suara yang lebih ringan, seolah hanya ingin berbasa-basi. "Kau bilang kau sudah merencanakan semuanya. Tapi di mana kau akan melakukannya?"
Katerea menatapku sekilas, lalu tersenyum tipis. "Kau ingin tahu terlalu banyak, Yudi."
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh. Lagi pula, aku cukup penasaran dengan eksekusimu."
Dia menghela napas, lalu meletakkan gelasnya dengan lembut di meja. "Dunia manusia."
Aku mengangkat alis, berpura-pura tidak terlalu tertarik. "Kau akan menyerang di sini? Itu cukup berisiko."
Katerea tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih gelap dalam matanya. "Tidak sembarang tempat di dunia manusia. Aku punya alasan untuk memilihnya."
Aku tetap diam, menunggu dia melanjutkan.
"Akademi Kuoh," katanya akhirnya. "Saat pertemuan tiga fraksi berlangsung."
Aku tidak bereaksi berlebihan, hanya menyesap minumanku perlahan. Tapi di dalam pikiranku, roda mulai berputar cepat.
Aku sudah mendengar tentang pertemuan itu. Tiga fraksi besar—Malaikat, Malaikat Jatuh, dan Iblis—akan berkumpul di satu tempat untuk mencoba mencapai semacam kesepakatan damai. Jika Katerea berencana menyerang saat itu, maka itu bukan sekadar pemberontakan kecil. Itu akan menjadi deklarasi perang total.
Aku memasang ekspresi datar. "Berani sekali kau memilih tempat itu."
Katerea tertawa kecil. "Tentu saja. Jika aku ingin dunia tahu bahwa garis keturunan sejati masih ada, maka aku harus membuat pernyataan yang tidak bisa diabaikan."
Aku hanya mengangguk pelan, seolah menerima jawabannya begitu saja. Tapi dalam hati, aku sudah membuat keputusan.
Aku akan menghentikannya.
Tanpa dia sadari.
Percakapan kami mereda, digantikan oleh dentingan gelas dan alunan musik lembut dari sudut bar. Aku dan Katerea terus minum, sesekali melontarkan lelucon atau membicarakan hal-hal ringan—tentang dunia manusia, betapa absurdnya mereka menyembah konsep "cinta", atau sekadar mengomentari pelanggan bar yang tampak terlalu mabuk untuk pulang sendiri.
Katerea, meskipun penuh ambisi dan kebencian terhadap Maou baru, tetaplah seseorang yang menarik untuk diajak bicara. Ada saat-saat di mana dia terlihat hampir… manusiawi.
Namun, aku tidak lupa dengan apa yang baru saja kudapatkan darinya. Lokasi serangannya, sekutunya, dan ambisinya. Aku menyimpan semua itu di dalam benakku, menyusunnya dengan hati-hati seperti potongan puzzle yang mulai terbentuk.
Akhirnya, malam semakin larut, dan aku memutuskan untuk pergi. Katerea hanya melambaikan tangannya dengan malas sambil menyesap anggur terakhirnya. "Jangan terlalu banyak berpikir, Yudi. Kau akan cepat tua."
Aku tidak menanggapinya, hanya memberikan anggukan kecil sebelum meninggalkan bar dan melangkah menuju rumahku.
Angin malam sejuk menyapu wajahku saat aku mendekati rumahku. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Di dekat danau dangkal tak jauh dari rumahku, seseorang sedang duduk dengan santai, memancing di tengah malam.
Aku menghentikan langkahku, menatap pria itu.
Dia tampak seperti pria paruh baya yang santai, mengenakan jaket hitam dan celana panjang longgar, dengan rambut pirang kusut yang agak berantakan. Ada senyum santai di wajahnya saat dia memperhatikan permukaan air, seolah menikmati kesunyian malam.
Aku mengenalnya. Setidaknya, aku pernah beberapa kali melihatnya di sekitar sini. Tapi aku tidak tahu siapa dia sebenarnya.
"Memancing di malam seperti ini?" tanyaku, mendekat.
Pria itu menoleh, tersenyum. "Tentu saja. Waktu terbaik untuk berpikir adalah saat dunia sedang tidur."
Aku mengangkat alis. "Kau sering di sini?"
Dia tertawa kecil. "Kadang-kadang. Kau juga sering lewat sini, kan?"
Aku tidak menjawab, hanya duduk di batu besar di dekatnya.
Dia tetap menatap air, seolah menunggu sesuatu, lalu melanjutkan, "Dunia ini lebih besar dari yang kau kira, anak muda. Terutama dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa."
Aku menoleh padanya. "Apa maksudmu?"
Dia tersenyum miring. "Iblis, Malaikat, Malaikat Jatuh… mereka semua ada di sekitarmu. Kau hanya belum melihatnya dengan mata kepala sendiri."
Aku merasakan tubuhku menegang sesaat. Kata-kata itu… terlalu spesifik untuk dianggap sebagai obrolan iseng.
"Apa kau percaya pada hal-hal seperti itu?" tanyaku, menguji reaksinya.
Pria itu tertawa kecil. "Percaya atau tidak, mereka ada. Bahkan mungkin lebih dekat dari yang kau kira."
Aku diam, mencerna kata-katanya. Apakah dia tahu sesuatu tentangku? Tentang Katerea?
Satu hal yang pasti—orang ini bukan orang biasa. Dan aku harus mencari tahu siapa dia sebenarnya.
Pria itu masih menatap air dengan tenang, seolah percakapan kami hanyalah obrolan ringan di antara dua orang asing. Tapi aku tahu lebih baik dari itu.
Dia tahu sesuatu.
Aku menyandarkan punggung ke batu besar di belakangku, berpura-pura santai. "Jadi, kalau semua yang kau bilang benar… apakah mungkin bagi tiga pemimpin tertinggi kelompok itu untuk duduk bersama dan membahas perdamaian?"
Pria itu menoleh sedikit ke arahku, ekspresinya tetap santai, tapi ada kilatan penasaran di matanya. "Tentu saja mungkin. Dunia ini bergerak lebih kompleks dari yang kebanyakan orang kira. Perdamaian bukanlah sesuatu yang mustahil… hanya saja tidak semua pihak menginginkannya."
Aku menyipitkan mata. "Kalau begitu, di mana dan kapan itu akan terjadi? Atau mungkin itu hanya angan-angan yang tidak akan pernah terwujud?"
Senyuman pria itu melebar, seakan menikmati pertanyaanku. Dia menarik kailnya perlahan, lalu tanpa terburu-buru menjawab, "Tiga hari dari sekarang. Di Akademi Kuoh."
Tiga hari.
Dunia terasa sedikit lebih sunyi setelah dia mengatakan itu.
Aku tetap menjaga ekspresiku, meskipun pikiranku berputar cepat. Jika ini benar… maka rencana Katerea bukan hanya sekadar rumor atau spekulasi. Dia benar-benar akan menyerang saat pertemuan tiga fraksi itu berlangsung.
Aku menatap pria di sebelahku, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya. Tapi yang kutemukan hanyalah ketenangan, seolah dia tidak peduli dengan konsekuensi dari informasi yang baru saja dia berikan.
"Menarik," gumamku.
Pria itu hanya tersenyum, lalu kembali fokus pada kail pancingnya. Seakan-akan semua ini bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Seakan dia hanya menikmati permainan ini dari pinggir lapangan.
Dan aku harus mencari tahu siapa dia sebenarnya.
