.
Love in Return
Naruto © Masashi Kishimoto
Story by Rachel Cherry Giusette
.
.
.
Langit berwarna abu-abu, mendung menggantung rendah di atas kota Konoha. Jalanan masih basah setelah hujan deras yang turun sejak dini hari. Itachi memacu mobilnya di atas aspal yang licin, melajukan sedan hitamnya dengan kecepatan sedang.
Jemarinya mengetuk setir dengan ritme monoton, matanya menatap lurus ke depan. Meeting tadi cukup menguras energi, dan perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya.
Saat ia mendekati persimpangan menuju jalan tol, sebuah motor dari arah kiri mendadak menyalip. Itachi reflek membanting setir ke kanan untuk menghindarinya—
Ciiittt!
Roda depan kehilangan traksi. Mobil berputar setengah lingkaran sebelum menabrak pembatas jalan. Benturan keras menghantam sisi kiri mobilnya. Kaca depan retak, airbag meledak, dan suara alarm mobil berbunyi nyaring.
Sesaat, dunia terasa bergoyang. Kepalanya berdenyut, dan ada sensasi hangat di pelipisnya—darah, mungkin. Itachi mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa ia baru saja mengalami kecelakaan ringan.
Kemudian sekelilingnya menjadi gelap.
Namun samar-samar, Itachi melihat wajah yang begitu familier tertangkap netranya. Wanita berambut kebiruan.
Konan?
Ia tidak sedang bermimpi, kan?
Atau benar, mimpi?
.
.
.
.
.
Itachi merasakan dinginnya udara antiseptik begitu ia sadar sepenuhnya. Lampu putih menyilaukan menyambutnya, dan suara alat medis berbunyi pelan di latar belakang. Rumah sakit.
"Sudah sadar?"
Itachi menoleh. Konan berdiri di samping ranjangnya, mengenakan jas dokter. Rambutnya masih sama, panjang dan tertata rapi, hanya saja ekspresinya lebih tenang dibanding terakhir kali ia melihatnya bertahun-tahun lalu.
"Kau dokter di sini?" suara Itachi terdengar sedikit serak.
Konan mengangguk sambil memeriksa catatan medisnya. "Aku yang menangani lukamu."
Sejenak, mereka hanya saling menatap. Itachi bisa merasakan hawa nostalgia yang menyesakkan di antara mereka.
"Sudah lama, ya," ujar Konan akhirnya.
Itachi hanya tersenyum tipis. "Ya, sudah lama."
Dan begitu saja, sebuah pertemuan lama yang tidak terduga terjadi—sebuah awal dari sesuatu yang lebih besar.
…
Itachi menatap langit-langit kamar rawatnya. Udara rumah sakit selalu memiliki bau khas yang tidak berubah sejak terakhir kali ia berada di tempat seperti ini. Di sudut ruangan, Konan tengah mengisi laporan medisnya, fokus pada pekerjaannya.
Matanya perlahan menutup, pikirannya kembali ke masa lalu—saat semuanya masih sederhana, saat perasaan yang ia miliki belum begitu rumit.
.
.
.
Tahun ketiga kuliah. Kampus dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa yang sibuk dengan jadwal mereka. Itachi berjalan melewati koridor fakultas bisnis, mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Sesekali, ia melirik jam tangannya. Ada satu alasan kenapa dia melangkah menuju fakultas kedokteran sore ini.
Konan.
Itachi mengenalnya dari klub sosial kampus. Perempuan itu adalah kakak tingkatnya, terkenal dengan kepintarannya, juga sikapnya yang tenang dan dewasa. Wajahnya selalu terlihat serius saat membaca buku, tetapi juga memiliki senyum yang samar ketika berbicara dengan teman-temannya.
Saat Itachi sampai di depan perpustakaan fakultas kedokteran, ia melihatnya. Konan duduk di salah satu bangku kayu di luar, mengenakan jas laboratorium yang kebesaran di tubuhnya. Di tangannya, ada buku anatomi yang terbuka, tetapi matanya tidak benar-benar membaca.
Itachi menyandarkan diri di pilar dekatnya. "Hari ini nggak ada praktikum?"
Konan menoleh sekilas sebelum kembali menatap bukunya. "Sudah selesai."
Itachi memperhatikannya. Mata Konan terlihat sedikit lelah, tapi tetap tajam. Ia selalu suka cara Konan membawa dirinya—tenang, percaya diri, dan tidak pernah terburu-buru.
"Aku heran," lanjut Itachi, "kenapa kau memilih jurusan kedokteran?"
Konan menutup bukunya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Aku selalu ingin menyelamatkan orang. Sejak kecil."
Itachi mengangguk paham.
"Lalu, kenapa kau pilih bisnis?" tanya Konan balik.
Itachi tertawa kecil. "Aku gak punya pilihan lain."
Konan tidak bertanya lebih jauh, dan Itachi bersyukur akan itu. Ia hanya tersenyum samar, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka.
.
.
.
Itachi membuka matanya kembali ke realita. Di sudut ruangan, Konan masih ada di sana, sibuk dengan laporan medisnya.
Perasaan lama yang sempat terkubur muncul kembali. Tapi ada satu perbedaan besar kali ini—Konan tidak lagi bersama Yahiko.
Yah, si pria rambut oranye yang ceria itu—yang selalu berada di samping Konan. Pacarnya semasa kuliah dulu.
Mungkin, kali ini, Itachi punya kesempatan.
Di kursi dekat meja kerja, Konan masih fokus menulis di dokumen pasien. Sikapnya profesional, seperti biasa. Dari tadi, mereka hanya berbicara soal kondisi fisiknya, tanpa sedikit pun percakapan pribadi.
Itachi menghela napas.
"Sudah lama, ya?" katanya tiba-tiba.
Konan berhenti menulis sejenak, menoleh ke arahnya dengan ekspresi datarnya yang khas. "Maksudmu?"
"Kita nggak ngobrol sejak… yah, aku pulang ke kota ini lagi," Itachi menatapnya, mencoba membaca reaksinya.
Konan hanya menutup dokumen pasien dan berdiri, menyilangkan tangan. "Aku nggak mengira kita akan bertemu lagi dalam kondisi seperti ini."
Itachi tersenyum miring. "Aku juga nggak nyangka akan kecelakaan hanya untuk mendapatkan perhatianmu."
Konan meliriknya dengan tatapan skeptis. "Jangan bercanda, Itachi."
"Aku nggak bercanda."
Suasana tiba-tiba terasa lebih berat. Konan menatapnya sejenak sebelum berbalik, merapikan beberapa kertas di mejanya. "Aku pikir kamu sibuk dengan urusan bisnismu," katanya akhirnya.
"Aku memang sibuk." Itachi memperhatikan gerak-geriknya, mencari celah untuk mendekatinya lebih jauh. "Tapi aku juga ingin memperbaiki hal-hal yang tertunda."
Konan berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Tidak semua hal bisa diperbaiki."
Itachi tahu maksudnya. Dulu, ia memilih untuk tidak mengatakan apapun saat Konan akhirnya bersama Yahiko. Ia hanya diam, menyimpan perasaannya, dan menghilang dari kehidupannya. Sekarang, Yahiko sudah tidak ada. Tapi bukan berarti semuanya bisa kembali seperti dulu.
"Tapi aku bisa mencoba," kata Itachi akhirnya.
Konan menghela napas pelan. "Istirahatlah. Aku masih harus mengecek pasien lain."
Ia mengambil dokumennya dan melangkah keluar, meninggalkan Itachi dengan pikirannya.
Itachi menyandarkan kepalanya ke bantal, menatap langit-langit kamar rawat.
Setidaknya, ini bukan penolakan.
Langit sore mulai menghangatkan kaca jendela kamar rawat Itachi. Cahaya jingga tipis menyelinap masuk, memberi sedikit warna di ruangan putih yang monoton. Itachi masih di ranjangnya, matanya menatap kosong ke arah jendela.
Pikirannya melayang.
Dulu, bertahun-tahun yang lalu…
.
.
Angin musim gugur menerpa wajahnya saat ia berdiri di halaman belakang sebuah kafe kecil. Di hadapannya, Konan tertawa kecil, menyandarkan punggungnya ke pagar kayu.
"Jadi kau benar-benar akan pergi?" Konan menatapnya dengan mata yang tenang, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang Itachi tidak ingin baca terlalu dalam.
Itachi mengangguk. "Sudah waktunya. Aku harus meneruskan bisnis keluarga."
Konan menghela napas. "Kukira kau akan menetap lebih lama."
Itachi tersenyum tipis. "Aku juga."
Hening sesaat. Hanya suara dedaunan yang berguguran menemani mereka.
Lalu, tiba-tiba, Konan bersuara, dengan nada yang lebih lembut. "Kalau aku memintamu tetap tinggal, apa kau akan melakukannya?"
Itachi menatapnya. Saat itu, ia bisa saja berkata 'ya.' Bisa saja membuang segalanya dan memilihnya.
Tapi ia tidak menjawab.
Konan menunggu, namun jawaban itu tidak pernah datang.
Senyum yang tersisa di wajahnya perlahan memudar, dan akhirnya, ia hanya mengangguk kecil, seolah menerima sesuatu yang tidak ingin ia terima.
"Kau selalu begini," katanya pelan. "Tidak pernah benar-benar memilih."
Setelah itu, langkah kakinya menjauh.
Dan Itachi hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kafe.
.
.
Sekarang…
Konan berdiri di ambang pintu kamar rawatnya, memperhatikan Itachi yang masih diam dalam lamunannya.
"Ada yang salah?" tanyanya.
Itachi menggeleng, tapi tatapannya tetap kosong. "Hanya mengingat sesuatu."
Konan tidak bertanya lebih lanjut. Ia masuk ke dalam, menaruh dokumen di meja kecil, lalu duduk di kursi di samping tempat tidurnya.
Itachi menoleh ke arahnya. "Aku pernah menyesali satu hal dalam hidupku."
Konan mengangkat alis. "Hanya satu?"
Itachi tersenyum kecil. "Ya, hanya satu."
Konan tidak membalas, hanya menunggu.
"Aku seharusnya menjawab pertanyaanmu dulu," lanjutnya. "Tapi aku tidak melakukannya."
Konan terdiam. Ia tahu persis apa yang dimaksud Itachi.
"Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama," kata Itachi pelan.
Suara monitor detak jantung adalah satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu.
Lalu Konan berdiri, mengambil dokumennya kembali, dan berkata sebelum keluar, "Kau harus benar-benar istirahat."
Pintu tertutup.
Itachi menghela napas.
Mungkin, kali ini, ia memang harus berusaha lebih keras.
Setelah Konan pergi, ruangan kembali sunyi. Itachi menatap langit-langit untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata.
Tubuhnya masih terasa berat, tapi pikirannya justru lebih tajam dari sebelumnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Perlahan, ia meraih ponsel di meja samping. Sidik jarinya sedikit gemetar saat menekan layar.
Panggilan pertama: tidak diangkat.
Panggilan kedua: masih sama.
Itachi menghela napas. Ia menggigit bibirnya, berpikir sejenak, lalu akhirnya mengirim pesan.
Ponselnya tetap sunyi setelah itu. Tidak ada balasan.
Ia tidak terkejut, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa berat di dadanya.
.
.
.
Setelah kecelakaan yang mengubah banyak hal, hari-hari terasa lebih lambat bagi Itachi. Luka-lukanya perlahan sembuh, tapi ada satu hal yang lebih dalam dari itu yang terasa terluka—hubungannya dengan Konan. Setelah berbulan-bulan tidak bertemu, kini ia merasa saat yang tepat untuk menghadapinya. Menurutnya, tidak ada lagi waktu untuk ragu. Semua hal yang terjadi, semuanya berhubungan dengan Konan—dan dia tak ingin kehilangan kesempatan itu lagi.
Hari itu, di kantin rumah sakit, dia melihat Konan duduk sendirian di meja dekat jendela. Angin sore yang tenang menerpa wajahnya, namun kontras dengan suasana hatinya yang masih gelap, masih penuh keraguan dan kesakitan. Tanpa pikir panjang, Itachi melangkah mendekat.
Itachi memasang senyum tipis, mendudukkan diri di seberangnya.
"Hei, boleh aku duduk?"
Konan menatapnya sekilas. Ada jeda, seperti mengukur niat di balik kata-katanya. Kemudian, dia mengangguk pelan. Tidak ada sambutan hangat, hanya sebuah keterbukaan yang bisa dimaknai lebih banyak daripada sekadar izin duduk. Itachi duduk dengan hati-hati, seolah setiap gerakannya bisa mengganggu kesunyian yang telah lama ada di antara mereka.
Dengan nada yang sedikit kaku, Konan membalas, "Seperti yang kau lihat, aku sedang tidak banyak waktu. Tapi kalau kau mau, boleh duduk sebentar."
Itachi mengangguk, dan mereka terdiam. Mungkin ada sedikit ketegangan, tapi dirinya merasa lega. Ini adalah kesempatan yang sudah lama ditunggunya, meskipun segalanya terasa lebih rumit daripada yang dia duga.
Itachi memecah keheningan dengan suara rendah, namun ekspresinya sedikit serius.
"Kau tahu, sudah lama kita tidak duduk seperti ini, kan?"
Konan menatapnya, wajahnya terhalang oleh rambut biru yang jatuh menutupi sebagian matanya. Tapi senyum kecil itu—yang mulai terlihat—membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Konan diam untuk mengambil jeda sebelum menjawab, meskipun begitu ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Memang. Waktu kuliah kita selalu penuh dengan tugas yang tidak ada habisnya. Berbeda sekali dengan sekarang."
Itachi ikut tersenyum, namun lebih dalam dari itu, matanya memancarkan kedalaman yang sulit disembunyikan. Ada kesedihan yang tak terucap di sana, dan mungkin, ada juga keinginan yang sudah lama dia pendam.
"Kau ingat saat kita berada dalam organisasi, semua hal gila yang kita lakukan demi sebuah ide? Rasanya seperti kemarin, meski sepertinya kita sudah jauh berbeda sekarang." Itachi memulai recall masa lalu. Saat mereka berdua masih berteman.
Konan terdiam sejenak, menatap kopi hitam di depannya. Ada kenangan yang terlupakan, namun terpatri dalam ingatannya. Mereka berdua begitu bersemangat dulu—sekarang semuanya terasa lebih sunyi.
Konan masih tersenyum kecil.
"Ah, tentu saja. Yahiko selalu punya ide-ide liar untuk mengisi waktu luang. Aku selalu ingat betapa mudahnya kalian semua percaya apa yang dia lontarkan dari mulut."
Itachi mendengarkan, lalu mengangguk pelan. Yahiko, mantan kekasih Konan. Itachi tentu sudah tahu tentang Yahiko.
Itachi melanjutkan dengan setengah ragu, berusaha tidak menyentil Konan.
"Aku… sedikit tahu tentang Yahiko. Aku tahu kalian berpisah. Dia sekarang sudah menikah, kan?"
Konan menatapnya, matanya agak sayu. Mungkin itu sedikit mengganggu, tapi dia tidak menghindar.
"Ya, dia menikahi teman masa kecilnya. Kami berpisah setelah kuliah, sekitar enam tahun yang lalu." Konan mengatakannya dengan nada yang terdengar biasa, namun Itachi bisa merasakan ada sedikit getir di sana.
Itachi merasakan perasaan yang meluap dari setiap kata yang diucapkan Konan. Itu adalah masa lalu yang menyakitkan, namun dia tahu—mungkin itu juga yang memberi Konan kekuatan untuk bisa berbicara tentangnya dengan tenang sekarang.
Itachi berusaha mengangkat atmosfer yang tidak mengenakkan, sekaligus berkata seolah tanpa beban, "Kalau begitu, seharusnya aku punya kesempatan kan?"
Konan terdiam, tidak langsung merespons. Ada tatapan tajam dari matanya, seolah menguji niat Itachi. 'Kesempatan' apa yang dimaksud teman kuliahnya dulu ini.
Setelah beberapa detik yang panjang, senyum misterius itu kembali muncul—tidak dingin, namun tetap penuh arti.
"Kalau kau bersungguh-sungguh, Itachi…" Konan membalas dengan lamat namun dengan nada yang seolah balik menggoda. "Aku ini wanita sibuk yang tangguh, ingat itu."
Itachi tertawa kecil, merasakan sedikit kelegaan mengalir dalam dadanya. Perasaan yang dulu hanya bisa dia simpan dalam hati, kini perlahan terbuka lagi—dengan cara yang berbeda, lebih hati-hati, namun lebih pasti.
Dalam hati, Itachi berniat tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Percakapan itu terus mengalir, lebih santai, lebih terbuka. Konan mulai mengungkapkan lebih banyak tentang dirinya, sedikit demi sedikit, membuka ruang yang dulu sempat tertutup rapat. Itachi merasa setiap detik yang berlalu adalah detik berharga—dan dia tahu, kali ini dia akan berjuang sampai akhir.
Hubungannya dengan Konan menjadi semakin dekat mulai dari percakapan itu. Terkadang Itachi menyempatkan waktu di sela-sela jadwalnya yang sangat padat untuk menemui Konan, dan begitu sebaliknya. Tentu saja, sebagai dokter, Konan juga begitu sibuk untuk memiliki waktu pribadi.
.
.
.
.
.
Lampu di apartemen Itachi menyinari ruangan dengan cahaya hangat, menambah kesan nyaman dan tenang. Itachi berdiri di depan jendela yang besar, menatap malam yang hening di luar, pikirannya terlarut pada segala perubahan yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini.
Beberapa hari terakhir terasa berbeda. Rasanya seperti kembali menemukan bagian dari dirinya yang dulu sempat hilang. Berada di dekat Konan, berdua, bahkan hanya menghabiskan waktu di tempat yang sepi, memberikan rasa damai yang sulit dijelaskan.
Itachi tahu, hubungan mereka bukan hanya sekadar pelarian. Lebih dari itu. Mereka sudah melewati masa lalu masing-masing dan kini, mereka di sini, membangun kembali sebuah masa depan, perlahan namun pasti.
Sebelumnya, mereka pernah pergi bersama ke konser musik klasik di kota sebelah. Itu adalah pertama kalinya mereka benar-benar menikmati waktu bersama di luar rutinitas mereka yang padat. Konan, yang biasanya terlihat terlalu kaku dan terjaga, terlihat lebih santai malam itu, tersenyum lepas sambil menikmati alunan musik yang mengalun lembut.
"Ini... jauh lebih baik dari yang kubayangkan," komentar Konan dengan senyum tipis yang lembut. "Aku tidak menyangka kau punya selera seni yang begitu bagus."
Itachi menatapnya dengan tatapan melembut, menyadari mata karamel itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar pujian.
"Kita memang tak pernah tahu apa yang bisa kita nikmati bersama sampai kita mencobanya." Ucap Itachi dengan suara rendah, penuh arti.
Konan hanya tersenyum, seolah ada pemahaman yang tumbuh di antara mereka berdua. Malam itu, mereka berbicara lebih banyak, mengenang masa lalu, berbicara tentang musik, kehidupan, dan rencana masa depan mereka. Sesutu yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya.
.
.
.
Di apartemen Itachi, beberapa hari setelahnya. Malam itu, setelah beberapa minggu berkencan, Konan datang ke apartemen Itachi untuk yang pertama kalinya. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang tentang hari yang sudah mereka jalani. Itachi dapat merasakan hatinya berdebar setiap kali melihat Konan, yang tampaknya mulai lebih terbuka, lebih nyaman di dekatnya.
Itachi, dengan sedikit candaan, menatap Konan dari ujung matanya, "Jadi, setelah dua kencan, kamu mulai merasa nyaman, kan?"
Konan mengangguk pelan, ada senyum di bibirnya, namun matanya berbicara lebih daripada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Yah," Konan tersenyum tipis, "Aku tidak akan menginap di sini kalau merasa tidak nyaman, kan?" ada selisip kehangatan dalam caranya memandang Itachi sembari melemparkan kelakar.
Itachi membalasnya dengan tatapan dan senyuman penuh arti. Mata gelapnya berbinar, seolah memancarkan harapan yang kuat di dalam dirinya.
"Berarti kita sudah melewati satu langkah besar, ya?" bisik Itachi, dengan suara lebih lembut, penuh perhatian.
Konan meliriknya, ada kilatan aneh dalam matanya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia merasa cemas, tapi juga merasa sedikit lega. Itachi, meskipun sulit dibaca, telah menunjukkan keseriusan yang... serius.
Konan menguarkan tawa kecil, "Siapa tahu? Mungkin aku hanya butuh waktu."
Itachi mengangguk, matanya tak lepas dari Konan, masih dengan tatapan lembut.
"Kalau kamu siap, aku akan menunggu. No rushing."
Konan terdiam sejenak, lalu mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun. Di dalam hati, dia tahu, selama ini, ada bagian dirinya yang merasa takut, takut untuk terbuka, takut untuk benar-benar melempar kepercayaan lagi. Namun, di hadapan Itachi, rasanya... semua terasa tidak terlalu menakutkan.
Hubungan mereka semakin dekat. Itachi dan Konan tidak lagi merasa canggung. Mereka menikmati kebersamaan itu, merasa bahwa jarak yang dulu begitu jauh, kini semakin mengecil. Tawa mereka semakin sering terdengar, dan setiap pertemuan membawa kedekatan yang lebih dalam.
.
.
.
.
.
.
.
Pagi itu, Itachi berdiri di depan jendela kantornya, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang di luar sana. Secangkir kopi di tangannya sudah dingin, tapi pikirannya masih tetap fokus pada satu hal.
Konan.
Sudah beberapa hari sejak mereka bertemu terakhir kali di rumah sakit, beberapa kali ia memang menemui sang dokter cantik langsung ke tempat kerjanya itu, alih-alih mengajaknya ke tempat yang lebih santai. Kadang kafetaria rumah sakit menjadi pilihan untuk waktu istirahat Konan yang sangat mepet dan jadwal meeting Itachi sendiri yang cukup padat. Meskipun begitu, dirinya tak pernah keberatan.
Terlalu banyak hal-hal menyenangkan yang terjadi belakangan ini.
Dan sekarang... Itachi sudah merindukannya.
Sebelum ia sempat menghubungi Konan lagi, suara ketukan terdengar di pintu.
"Masuk," katanya, tanpa menoleh.
Pintu terbuka, dan langkah kaki yang familiar terdengar.
Bukan asisten kantornya.
Bukan Sasuke yang ruangannya ada di lantai bawahnya.
Bukan juga Shisui, karena setahunya kakak sepupunya itu sedang ia tugaskan ke luar kota.
Tidak ketiga orang yang sering masuk ke ruangannya.
Dan ternyata... seseorang yang lama tidak ia temui.
"Itachi."
Itachi menegang. Ia menoleh, dan begitu melihat siapa yang berdiri di sana, matanya menyipit sedikit.
Izumi.
Dengan blazer putih yang anggun, rambutnya digerai rapi, dan ekspresi yang tampak tenang seperti biasa.
Hanya saja, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Itachi sekarang.
Itachi menghela napas, meletakkan cangkir kopi yang belum diminumnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Izumi tersenyum kecil. "Jangan terlalu tegang begitu. Aku hanya ingin bicara."
Itachi tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, tidak berniat menyembunyikan ketidaktertarikannya.
Tapi Izumi tidak terlihat terganggu.
"Aku baru kembali ke kota ini," katanya ringan. "Dan aku bertemu dengan Bibi Mikoto belum lama ini."
Itachi tetap diam, tapi rahangnya mengeras mendengar nama ibunya disebut.
Izumi melangkah lebih dekat, lalu dengan santai berkata, "Dia ingin mengenalkanku dengan seseorang."
Sesuatu dalam nada suaranya membuat Itachi sedikit waspada. "Siapa?"
Izumi tersenyum lebih lebar. "Shisui."
Itachi nyaris mendengus. "Shishui?"
"Iya. Atau kalau tidak, Sasuke."
Itachi memutar bola matanya, membuang napas pendek. "Tentu saja. Tipikal ibuku."
Ia lalu menatap Izumi dengan ekspresi datar. "Dan kenapa kau merasa perlu datang kemari dan memberitahuku?"
Izumi masih tetap dengan senyum lembutnya, tapi ada sesuatu yang sulit diartikan dalam caranya menatap Itachi. "Kupikir kau harus tahu."
Itachi bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan. "Kalau begitu, biar kuberitahu sesuatu juga."
Ia menatap Izumi, kali ini ekspresinya penuh dengan keyakinan.
"Shisui sudah punya seseorang. Mereka sudah bersama selama bertahun-tahun, dan beberapa bulan lagi, dia akan melamar kekasihnya."
Izumi sedikit mengangkat alis.
"Dan Sasuke juga sudah punya pacar," lanjut Itachi dengan nada sinis. "Mereka sudah lama bersama. Jadi, sepertinya tidak ada tempat untukmu dalam rencana perjodohan ibuku."
Itachi mengira reaksi Izumi akan sedikit berubah.
Mungkin keterkejutan. Mungkin sedikit kecewa.
Tapi tidak, yang Itachi dapatkan hanyalah senyum kecil yang tetap sama.
Izumi menatap matanya sejenak, lalu dengan suara lembut tapi tajam, ia berkata...
"Kalau begitu, kenapa bukan kau saja?"
.
.
.
.
.
.
.
to be continued
