The New Leviathan Chapter 2

Highscool DxD @ Ichie Ishibumi

Aku hanya meminjam karakter dan sedikit plot ceritanya sebagai referensi cerita.

Tiga hari berlalu lebih cepat dari yang kuduga.

Malam ini, aku berdiri di tempat yang lebih tinggi, mengamati Akademi Kuoh dari kejauhan. Bangunan sekolah itu tampak seperti institusi biasa di mata manusia, tapi malam ini, tempat itu berubah menjadi titik temu kekuatan terbesar di dunia supranatural.

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.

Di sekitar area akademi, aura yang kuat memenuhi udara. Iblis dengan pakaian megah berbaur dengan para Malaikat yang memancarkan cahaya suci. Malaikat Jatuh dengan sayap gelap mereka berdiri di antara mereka, tanpa tanda-tanda permusuhan.

Pemandangan yang hampir tidak masuk akal.

Tiga kelompok yang telah berperang selama berabad-abad atau mungkin ribuan tahun… benar-benar duduk di tempat yang sama, berdiskusi seperti manusia biasa.

Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Aku datang ke sini bukan untuk terpukau. Aku datang untuk memastikan sesuatu.

Katerea akan menyerang tempat ini.

Aku tidak tahu bagaimana atau kapan tepatnya, tapi aku yakin dia sudah berada di sekitar sini, menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangannya.

Dan aku harus bersiap.

Aku tetap berada di tempat persembunyianku, mengamati jalannya pertemuan dengan seksama. Dari kejauhan, aku bisa melihat banyak sosok kuat berkumpul—utusan dari masing-masing fraksi, para pengawal, dan beberapa individu yang jelas memiliki posisi tinggi di dunia supranatural.

Namun, ada yang janggal.

Aku tidak melihat satu pun sosok yang benar-benar mencolok. Tidak ada pemimpin tertinggi dari masing-masing fraksi di sana.

Itu tidak masuk akal.

Jika ini adalah pertemuan penting yang membahas perdamaian, seharusnya Lucifer, Michael, dan Azazel hadir untuk memimpin diskusi. Tapi yang kulihat hanya perwakilan mereka.

Aku menyipitkan mata, mencoba merasakan sesuatu yang bisa menjelaskan keanehan ini.

Dan itulah saat aku merasakannya.

Dari balik gedung sekolah, tersembunyi dari pandangan publik, ada tekanan aura yang luar biasa. Kuat, mendominasi, dan sangat berbeda dari makhluk lain yang hadir di sini.

Tidak salah lagi… mereka ada di sana.

Pemimpin tiga fraksi sedang melakukan diskusi terpisah, jauh dari keramaian, mungkin untuk menghindari gangguan atau potensi serangan.

Aku mengepalkan tangan. Jika aku bisa menyadarinya, maka Katerea juga pasti bisa.

Pertanyaannya adalah—kapan dia akan bergerak?

Waktu terus berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda serangan.

Aku tetap bersembunyi di tempatku, mengamati setiap sudut akademi, setiap gerakan mencurigakan. Namun, sejauh ini… tidak ada apa pun.

Tidak ada ledakan tiba-tiba. Tidak ada gerakan mendadak dari orang-orang Katerea. Tidak ada tanda-tanda kehancuran yang kuantisipasi sejak awal.

Aku mulai mengetukkan jari ke lutut, perasaan gelisah mulai merayap di pikiranku.

Mungkinkah… dia membatalkannya?

Pikiran itu seharusnya membuatku lega. Jika Katerea tidak jadi menyerang, maka pertemuan ini akan berjalan tanpa gangguan. Dunia tidak akan runtuh ke dalam konflik lain. Aku seharusnya bersyukur.

Tapi, di sisi lain… ini terlalu aneh.

Katerea bukan tipe yang menyerah begitu saja. Jika dia sudah bertekad untuk menjatuhkan faksi Maou, maka dia pasti sudah menyiapkan segalanya dengan matang.

Jadi, kenapa sampai sekarang belum ada pergerakan?

Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan pikiranku. Entah ini pertanda baik atau hanya ketenangan sebelum badai.

Ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Udara tiba-tiba bergetar, dan sebelum aku bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi, lingkaran sihir mulai bermunculan di langit.

Satu… dua… tiga… tidak, lebih dari itu.

Aku menegakkan tubuh, mataku menyipit saat sosok-sosok berjubah hitam muncul dari dalam lingkaran teleportasi. Mereka turun perlahan, aura mereka dipenuhi niat membunuh yang dingin dan tidak manusiawi.

Lambang di tubuh mereka… Ouroboros Dragon.

Chaos Brigade.

Jadi ini yang telah Katerea rencanakan. Dan dia tidak sendirian.

Aku mengepalkan tangan, rahangku mengeras. Kekhawatiranku ternyata benar. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang.

Aku bahkan tidak sempat menarik napas sebelum neraka pecah di depan mataku.

Ratusan tombak cahaya meluncur dari atas, berkilauan bagaikan hujan meteor yang turun tanpa ampun. Mereka yang ada di bawah, pasukan dari tiga fraksi, bahkan tidak punya waktu untuk menyadari apa yang terjadi.

Dalam sekejap, jeritan memenuhi udara.

Aku menyaksikan seorang prajurit Malaikat Jatuh dengan sayap hitamnya terpotong jatuh ke tanah, tubuhnya tersentak akibat tombak cahaya yang menembus dadanya. Di sisi lain, seorang prajurit Iblis mencoba membentuk lingkaran sihir untuk bertahan, tetapi sebelum berhasil, sebuah Light Spear menembus tenggorokannya. Darah hitam menyembur, dan dia terjatuh tanpa suara.

Sialan… mereka tidak punya waktu untuk bereaksi.

Aku berjongkok, berusaha tetap tersembunyi di balik reruntuhan kecil yang cukup aman dari pandangan para penyerang. Mataku bergerak cepat, menganalisis situasi.

Chaos Brigade tidak datang untuk sekadar mengancam atau mengirim pesan. Mereka datang untuk membantai.

Orang-orang berjubah hitam itu menyebar dengan formasi yang jelas, membagi pertempuran menjadi beberapa titik. Mereka seperti pemburu yang telah merencanakan perburuan ini sejak lama. Dan sejauh ini, para pasukan dari tiga fraksi jatuh satu per satu tanpa bisa memberikan perlawanan berarti.

Aku bisa melihat ekspresi ketakutan di wajah beberapa dari mereka yang masih berdiri. Beberapa mencoba melawan, meluncurkan serangan balik dengan api iblis, pedang suci, atau sihir penghancur, tetapi Chaos Brigade terlalu cepat.

Satu serangan dari mereka bisa membunuh lebih dari satu lawan sekaligus.

Aku mengepalkan tangan.

Jika ini terus berlanjut… maka ini bukan sekadar serangan. Ini pembantaian sepihak.

Ledakan tiba-tiba mengguncang area pertempuran.

Dari gedung yang sebelumnya hanya kupandangi dengan curiga, api membumbung tinggi, menghancurkan sebagian besar dinding dan atapnya. Puing-puing beterbangan ke segala arah, membuat para prajurit yang masih bertahan menoleh dengan ekspresi penuh harapan dan keterkejutan.

Lalu, dari dalam kepulan asap dan reruntuhan, mereka muncul.

Sosok yang bahkan di antara makhluk supranatural, dianggap sebagai legenda yang berjalan.

Pemimpin tiga fraksi.

Mereka berdiri di atas puing-puing, aura mereka begitu mencolok hingga seolah membelah udara di sekitar mereka. Kehadiran mereka segera mengubah dinamika di medan perang. Chaos Brigade, yang sebelumnya mendominasi dengan serangan mendadak mereka, tiba-tiba kehilangan momentum.

Namun, aku tidak terlalu memperhatikan yang lain.

Mataku terpaku pada satu sosok di antara mereka.

Seorang pria tua dengan rambut hitam sedikit pirang, berdiri tegap dengan ekspresi santai namun penuh kewibawaan. Aku mengenalnya—atau setidaknya, aku pikir aku mengenalnya.

Pria itu…

Pria yang selama ini sering kutemui…

Aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya.

Sial… siapa sebenarnya orang ini?

Pria itu melangkah maju.

Aku masih menatapnya, otakku mencoba mencari tahu mengapa wajahnya begitu familiar. Tapi sebelum aku bisa menyusun jawaban, dia mengangkat satu tangan.

Dalam sekejap, lingkaran sihir emas muncul di udara, bersinar terang seperti matahari kecil.

Aku nyaris tidak sempat berkedip sebelum ledakan energi menghantam mereka yang berjubah hitam. Chaos Brigade yang berdiri paling depan langsung terhempas, tubuh mereka terkoyak sebelum bisa bereaksi.

Dia bahkan tidak terlihat serius.

"Astaga, ini saja yang kalian bawa?" Pria itu—entah siapa dia—menyeringai, nada suaranya terdengar lebih seperti seorang mentor malas yang bosan melihat muridnya gagal. "Aku sudah menunggu pertunjukan bagus, tapi ternyata cuma ini? Membosankan."

Chaos Brigade yang tersisa hanya mendecih kesal, beberapa dari mereka merapalkan sihir, mencoba membalas.

Tapi pria itu bahkan tidak bergeming.

Dia hanya mengayunkan tangannya lagi, dan dalam satu gerakan, beberapa dari mereka kembali tersungkur. Beberapa mencoba mundur, tapi seolah-olah dia sudah mengantisipasi semuanya.

Siapa sebenarnya orang ini?

Kepalaku masih terasa berat dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Pria itu… pria yang sering kutemui di tepi danau, yang kukira hanyalah seseorang dengan wawasan luas, ternyata lebih dari sekadar pria tua misterius. Dengan hanya menggerakkan tangannya, dia telah menghabisi beberapa orang dari Chaos Brigade tanpa terlihat serius.

Siapa sebenarnya dia?

Aku mencoba mengendalikan pikiranku yang berputar, tapi udara di sekitar tiba-tiba berubah lagi.

Sebuah tekanan sihir yang akrab menghantam indraku, membuat bulu kudukku meremang.

Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya.

Sebuah lingkaran sihir berwarna ungu tua muncul di udara, berputar dengan intensitas yang menggetarkan ruang di sekitarnya. Percikan energi berkedip di udara saat tekanan semakin meningkat. Kemudian, dari dalam lingkaran itu, sesosok wanita muncul.

Katerea Leviathan.

Ia melangkah keluar dengan anggun, gaunnya berkibar terkena hembusan energi sihir. Mata ungunya yang tajam menyapu medan pertempuran, sebelum akhirnya berhenti pada pria tua yang berdiri santai di antara mayat-mayat Chaos Brigade.

Mulutnya melengkung menjadi seringai kecil.

"Hmm... jadi ini cara seorang Azazel si pemimpin Malaikat Jatuh menghibur dirinya?" katanya, nada suaranya dipenuhi sarkasme tajam. "Membantai anak buah orang lain dengan mudah, lalu bertingkah seolah itu hanyalah permainan?"

Azazel—nama yang baru saja kuketahui—tidak langsung merespons.

Dia hanya menghela napas, menatap Katerea dengan ekspresi yang lebih terlihat seperti rasa bosan ketimbang kewaspadaan.

"Astaga ternyata ini ulahmu. Faksi Maou lama memang suka mengganggu perdamaian. Dan aku tidak suka itu, lalu Kau tahu, Katerea," katanya sambil meregangkan lengannya seolah baru saja bangun tidur. "Aku tidak kalau kau punya sekutu yang baik. Chaos Brigade? Yang benar saja. Apakah Dia yang menyuruhmu atau ini adalah niat pribadimu karena ingin menggunakan kesempatan berkumpulnya tiga pemimpin fraksi?."

Sorot mata Katerea berubah lebih tajam.

"Aku tidak butuh pelajaran moral darimu, Azazel," katanya, nada suaranya merendahkan. "Dan sebaiknya kau tidak terlalu percaya diri. Aku tidak seperti mereka yang baru saja kau habisi."

Keduanya saling berhadapan, aura mereka bertabrakan di udara.

Aku, yang berdiri agak jauh dari pertarungan ini, tidak bisa menahan diri untuk merutuk dalam hati.

Bukan hanya karena ketegangan di antara mereka.

Tapi karena fakta bahwa selama ini, aku berbicara santai dengan pemimpin Malaikat Jatuh tanpa menyadarinya.

Sial... aku benar-benar tidak melihat ini datang.

Azazel hanya terkekeh kecil menanggapi provokasi Katerea. Seolah-olah ancaman itu sama sekali tidak berarti baginya.

"Kau serius ingin mencoba, Katerea?" katanya dengan nada malas, bahkan sedikit mengejek. "Aku kira kau lebih pintar daripada ini."

Katerea tidak menjawab dengan kata-kata.

Sebagai gantinya, lingkaran sihir raksasa muncul di belakangnya, menciptakan pusaran energi ungu yang berdenyut dengan intens. Dalam hitungan detik, puluhan tombak air bertekanan tinggi terbentuk, melayang di udara dengan ujung yang mengarah ke satu target—Azazel.

Tanpa peringatan, tombak-tombak itu melesat.

Azazel hanya mendengus, lalu mengibaskan tangannya. Sebuah lingkaran sihir emas terbentuk di hadapannya, dan saat tombak-tombak itu menghantamnya, semuanya langsung terurai seolah tidak pernah ada.

"Serangan pembuka yang lumayan," gumamnya, sebelum dalam sekejap dia menghilang dari tempatnya berdiri.

Mata Katerea membelalak.

Sebelum ia sempat bereaksi, Azazel sudah berada di atasnya, tinjunya yang dilapisi energi petir meluncur cepat. Katerea buru-buru mengangkat tangannya, menciptakan perisai air yang cukup kuat untuk menahan pukulan itu.

Ledakan terjadi.

Gelombang kejut dari benturan keduanya membuat tanah di sekitar mereka retak dan bergetar. Katerea melompat mundur, wajahnya menunjukkan ekspresi sedikit terkejut.

Azazel mendarat dengan santai, mengepalkan tangannya yang masih berdenyut dengan listrik.

"Jadi bagaimana?" katanya sambil tersenyum. "Masih mau lanjut?"

Katerea tidak menjawab, tapi kali ini ekspresinya jauh lebih serius.

Aku hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, mataku mengikuti pergerakan mereka yang hampir mustahil diikuti oleh orang biasa. Setiap serangan mereka menciptakan ledakan di udara, mencabik tanah, dan mengguncang area sekitar.

Namun, di tengah kekacauan itu, sesuatu menarik perhatianku.

Di sudut medan pertempuran, sekelompok remaja tampak sibuk ke sana kemari, wajah mereka penuh dengan kecemasan. Aku bisa melihat seorang gadis berambut merah yang tampak memberi instruksi kepada yang lain.

Mereka tampak seperti sedang mencoba menyelamatkan seseorang.

Siapa?

Aku mengamati mereka beberapa saat, mencoba memahami apa yang sedang mereka lakukan. Tapi pada akhirnya, aku mengabaikan mereka.

Fokus utamaku tetap pada pertarungan di hadapanku.

Pertempuran ini belum berakhir.

Katerea menggeram. Energi sihir yang mengelilinginya berdenyut semakin liar, tidak lagi seanggun ketika ia pertama kali memasuki pertempuran. Aku bisa melihat tatapan marahnya, bukan hanya karena serangannya selalu dimentahkan oleh Azazel, tetapi juga karena pria itu bahkan tidak terlihat serius sedikit pun.

Azazel masih berdiri dengan santai, seringai malas masih terpahat di wajahnya seolah semua ini hanya sebuah permainan. Sesekali ia mengangkat tangannya, melambaikan telapak dengan gerakan kecil yang tampaknya tidak memiliki kekuatan apa pun—tetapi setiap kali ia melakukannya, sihir Katerea langsung buyar sebelum bisa mencapai dirinya.

Aku mengamati dari kejauhan. Katerea jelas-jelas tidak bisa mengendalikan emosinya, dan itu adalah kelemahan fatal dalam pertempuran. Aku sudah tahu bahwa dia kuat, tapi aku juga tahu bahwa kekuatan tanpa kendali hanya akan menjadi kehancuran bagi dirinya sendiri.

Lalu, tiba-tiba…

Udara berubah.

Tidak seperti sebelumnya.

Jika kehadiran Katerea dipenuhi dengan kebencian dan hasrat untuk membakar segalanya, dan jika Azazel memancarkan ketenangan yang sinis dan penuh pengalaman, maka kehadiran baru yang muncul ini terasa… berbeda.

Aura yang elegan, halus namun mendominasi.

Dari balik reruntuhan gedung Akademi Kuoh, dua sosok berjalan maju dengan langkah tenang, seolah-olah medan pertempuran ini tidak ada artinya bagi mereka.

Aku menahan napas.

Yang pertama adalah seorang pria tinggi dengan rambut crimson yang berkilauan seperti bara api di bawah cahaya bulan. Setiap langkahnya terasa penuh otoritas, tetapi bukannya menindas, justru memberi kesan ketenangan yang mutlak. Seolah-olah dia bisa meredam seluruh kekacauan hanya dengan berdiri di sana.

Yang kedua adalah seorang gadis dengan rambut hitam yang diikat menjadi dua kepang. Wajahnya terlihat muda, hampir seperti anak kecil, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang polos itu—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Aku bisa merasakan detak jantungku meningkat.

Siapa mereka?

Aku tidak tahu siapa mereka, tapi dari reaksi orang-orang di sekitar, dari cara dunia tampak berhenti berputar saat mereka muncul, aku bisa menebak satu hal: mereka bukan orang biasa.

Lalu aku mendengar suara Azazel yang terdengar santai—terlalu santai, seolah kehadiran mereka sama sekali tidak mengintimidasinya.

"Oh? Sirzechs Lucifer dan Serafall Leviathan akhirnya muncul," katanya, dengan nada setengah mengejek seperti biasa. "Kupikir kalian bisa menahan diri lebih lama, sehingga aku bisa menikmati pertarungan dengan Keturunan Maou sejati ini.

Aku terkejut.

Lucifer? Leviathan?

Dua dari Empat Maou Baru?

Tulang punggung kepemimpinan faksi Iblis?

Tiba-tiba semuanya terasa lebih besar daripada yang kupikirkan. Aku sudah tahu bahwa ini bukan sekadar pertarungan antara Katerea dan Azazel, tapi sekarang… ini bukan lagi sekadar konflik antara Chaos Brigade dan faksi lain. Ini sudah menjadi panggung pertempuran antara penguasa sejati dunia supranatural.

Reaksi Katerea langsung berubah drastis.

Jika sebelumnya dia penuh amarah, sekarang dia dipenuhi dengan kebencian murni—bukan pada Azazel, bukan pada pasukan tiga fraksi, tetapi pada Serafall.

Sihir yang melingkupinya berdenyut semakin liar, hampir bergetar seperti api yang kehilangan kendali. Aku bisa melihat bagaimana tatapan Katerea berfokus penuh pada gadis berambut kepang itu, matanya penuh dengan kebencian yang hampir terasa menyakitkan hanya dengan melihatnya.

Sementara itu, Serafall hanya tersenyum.

Senyum polos, tidak terganggu sama sekali oleh energi destruktif yang terpancar dari Katerea.

"Nee~, Katerea-chan, sudah lama tidak bertemu!" katanya dengan nada ceria, seolah-olah mereka adalah dua sahabat lama yang sedang bertemu kembali setelah waktu yang lama.

Sikap itu… hanya membuat amarah Katerea semakin membara.

Aku berdiri diam, mengamati semuanya dengan seksama.

Aku tidak tahu bagaimana ini akan berakhir.

Tapi satu hal yang kutahu pasti—pertarungan ini baru saja memasuki tahap yang lebih berbahaya daripada sebelumnya.