Klep..
Klep..
Kelopak mata perlahan terbuka, dengan perlahan menampilkan dua mata Safir yng terlihat lembut, akibat dari absennya cahaya mentari pada malam ini.
"Hmm?"
Terbuka lembut, memandangi sosok yang ada di hadapannya, tertidur pulas, tak menyadari kedua safir lembut sedang menatap lembut ke arahnya.
Sebuah senyum kecil terukir di sana, Naruto tidak tahu pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak, yang pasti mendapati sosok Sakura yang tertidur pulas di sampingnya cukup membuat Naruto merasa sangat bahagia, terlepas dari ini mimpi atau realita.
Jika ini mimpi, Naruto berharap tidak akan pernah bangun, karena ini sungguh di luar perkirannya, impiannya menjadi kenyataan.
Jika ini realita, Naruto tidak akan pernah percaya, ini sangat diluar nalar, apa yang dilihatnya malam ini sungguh terasa nyata namun secara bersamaan terasa sangat tidak mungkin, tapi Naruto tetap berharap, semoga ini adalah realita.
Karena inilah impiannya, Sakura menjadi pendamping hidupnya, selama-lamanya.
Inilah yang diinginkannya, maka dari itu Naruto akan tetap diam, tetap menatap lembut sosok Sakura yang tertidur di sampingnya, tidak akan pernah pergi, karena berharap momen ini berlangsung selamanya.
Momen ini terasa menghangatkan hati, apalagi ditambah dengan kehadiran sinar rembulan yang semakin menambah keindahan wajah Sakura malam ini.
Tangan kanan Naruto perlahan bergerak, membelai lembut wajah Sakura, berharap merasakan keindahan itu, dan juga berharap semua ini adalah nyata.
Ya semoga...
Naruto terkekeh pelan, menyadari tingkah bodohnya, mungkin impiannya yang ini sungguh mengusiknya beberapa tahun belakangan, benar-benar mimpi yang indah, apalagi jika menjadi kenyataan.
Sebuah senyum lebar terukir, diakhiri dengan sentuhan lembut pada pipi kiri Sakura, kedua mata Safir akhirnya tertutup kembali, akibat rasa kantuk yang mulai menyerang.
Tertidur tenang dengan pikiran yang damai, Naruto tertidur dengan sebuah senyuman yang terukir.
'Aku mencintaimu Sakura-Chan.'
"Euhh..."
Seorang gadis perlahan tersadar, merasakan sebuah benda yang cukup berat menimpa perut kecilnya, entah apa benda itu, yang pasti itu membuat Sakura akhirnya terbangun dari tidurnya yang damai.
"Hmm?"
Kedua mata emerald melirik ke arah sumber rasa tak nyaman itu, mendapati sebuah lengan yang dibalut perban putih menimpa perut ratanya, tangan itu hanya diam di sana, tak sedikitpun bergerak, mungkin karena sang pemilik yang saat itu tengah tidur tenang di samping Sakura.
Kali ini fokus Sakura teralihkan, mulai menatap Naruto yang sedang tidur lelap dengan senyum yang masih terus terukir, tangan kanan pemuda itu masih setia berada di atas perut Sakura, tak sedikitpun ada keinginan untuk memindahkan.
Sakura perlahan mengukir senyum kecil, rasa tak nyaman tak lagi terasa, digantikan oleh perasaan hangat yang menyebar di seluruh tubuh, membuat sebuah perasaan senang dan juga jantung yang mulai berdegup kencang.
Digerakan tangan yang menimpa perutnya itu perlahan, membiarkan tangan itu untuk berganti objek pelukan, dan dipilihlah sebuah guling dengan seprai putih yang baru saja mereka beli beberapa hari lalu.
Sakura tak melanjutkan tidurnya, perlahan mulai bangkit, mendapati angka yang ditunjukkan jam beker di atas nakas membuat kedua alisnya menyatu.
"Hampir saja aku bangun telat!" Gumam Sakura, menyibakan selimut yang menimpa tubuhnya, mulai beranjak dari atas tempat tidur.
Bergerak ke arah jendela, mulai membuka tirai yang menutupinya, mencoba membuat ruangan kamar lebih terang walaupun sedikit, tak ingin menyalakan lampu, takut membuat sosok yang tengah tertidur terbangun.
Mengambil beberapa benda dari laci nakas, lalu mulai bergerak menuju pintu kamar yang masih tertutup rapat.
Tep.
Langkahnya terhenti, tepat di samping ranjang dimana Naruto tidur pulas di atasnya, Sakura terkikik geli melihat kelakuannya, baru saja beberapa menit dia beranjak dari sana, Naruto sudah merubah posisi tidurnya, lihatlah pemuda itu, mengakusisi seluruh wilayah ranjang berukuran cukup besar itu, dan bahkan dia sudah memeluk erat guling yang baru saja diberikan oleh Sakura tadi.
"Aku pergi dulu ya, anata."
Sakura mengecup sekilas kening Naruto, hingga akhirnya perlahan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Naruto sendirian dengan mimpi indahnya itu.
Sebuah benda lembut terasa dipelukannya, Naruto hanya terus memejamkan mata sambil tersenyum, benda lembut yang dipeluknya saat ini bahkan tak sedikitpun meronta, membuat Naruto semakin mengeratkan peluknya.
Hingga akhirnya sebuah suara menginterupsi, diikuti pula dengan sinar matahari yang menyilaukan mata, membuat kedua mata safir yang masih menutup sempurna perlahan tergoyahkan, rasa tak nyaman semakin menghinggapi hingga akhirnya kedua mata itu menyerah pada keadaan.
Perlahan terbuka hingga akhirnya seketika membulat sempurna, terkejut dengan benda apa yang sedari tadi dipeluknya dengan erat.
Sebuah guling dengan seprai putih yang terlihat acak-acakan, di bagian atasnya bahkan terlihat sangat basah akibat dari banyaknya cairan yang menempel entah dari mana asalnya.
Seprai ranjang pun bahkan terlihat acak-acakan, terbuka di beberapa ujungnya, dan lagi beberapa bantal yang sudah berpindah ketempat yang bukan seharusnya, ditimpa oleh kedua kaki Naruto.
'Jadi tadi hanya mimpi ya?'
Pikiran yang terlintas itu membuat wajah Naruto mulai lesu, bibir yang selalu mengukir senyum ceria nampak mengerucut cemberut, kecewa dengan terganggunya sebuah mimpi indah akibat sinar matahari yang telah muncul.
"Hoaam, sudah pagi ya!"
Naruto bangkit dari posisinya, meregangkan tubuh yang terasa kaku di atas ranjang, mencoba menyambut pagi dengan semangat, walaupun masih kecewa dengan mimpi indah yang terinterupsi tadi.
Beranjak dari sana untuk bergerak ke arah pintu yang secara misterius di biarkan terbuka sedikit.
Naruto tak ambil pusing, karena saat ini dirinya masih belum sadar sepenuhnya, bahkan untuk menyadari tirai jendela yang terbuka saja Naruto tidak bisa, entahlah Naruto rasa dua bulan ini hal-hal seperti itu sudah sering terjadi di apartemen kecilnya itu.
Hal yang terasa aneh namun membuat perasaan Naruto senang, rasanya dia merasa tak sendiri lagi di apartemen kecilnya itu.
"Hmm?"
Kali ini kedua alisnya bertaut, merasa heran mendapati beberapa makanan yang sudah diletakkan di atas meja makan, Naruto kali ini bingung, rasanya dia melupakan sebuah hal yang sangat penting.
Kedua Safir itu mulai kembali terfokus, kali ini ke arah secarik kertas ditengah meja makan, meraihnya dengan perlahan untuk membaca apa yang dituliskan di atas sana.
Aku sudah buat sarapan...
Dimakan ya!
Awas saja kalau masih makan ramen!
Kamu tidur diluar!
Naruto semakin bingung, kali ini dia tidak mengerti sama sekali, siapa yang menulis surat ini? siapa yang telah membuatkannya makanan yang terlihat lezat ini? kepalanya terasa sakit sekarang.
"Aduh, sepertinya aku lupa sesuatu, mungkin lembur terlalu sering memang buruk untuk daya ingatku."
Naruto bergumam, memilih menghela nafas pelan lalu mulai duduk di atas kursi, memilih untuk menikmati makanan yang sudah terlihat dingin itu, walaupun dia sama sekali tidak tahu siapa yang membuatnya.
Mungkinkah beracun?
Mungkinkah itu adalah taktik musuh untuk membunuhnya?
Naruto rasa tidak.
Karena rasanya dia sangat familiar dengan rasa makanan ini, bahkan membuat perasaan hangat menjalar di seluruh tubuh.
Naruto merasa sangat bahagia.
"Mirip rasa makanan buatan Sakura-Chan!"
"Hei, jelaskan ini!"
Naruto menggerling malas, mendapati sosok Shikamaru yang berdecak kesal setelah melihat isi dari laci mejanya.
"Jelaskan apa?" Tanya Naruto Santai, sembari tetap fokus membaca dokumen di atas meja, mencoba menghindari lembur akibat perkerjaan yang tak selesai.
"Oke, jelaskan aku ini!"
Brak.
Shikamaru menaruk dengan kasar sebuah plastik hitam berukuran cukup besar di atas meja Naruto, membuat Naruto sedikit terkejut, dokumen-dokumen berjatuhan di atas lantai.
"Hei bisa sabar sedikit? lihat dokumenku berantakan semua!" Seru Naruto kesal, mulai memungut dokumen-dokumen yang berserakan.
"Tidak usah mengelak, sekarang jelaskan, kenapa laci mejaku dipenuhi oleh plastik yang dipenuhi cup ramen!" Shikamaru berdecak kesal, menatap tajam ke arah Naruto.
"Hah?" Naruto mengerenyit bingung, masih mencoba untuk tetap tenang sembari merapihkan dokumen yang baru saja dia pungut dari bawah meja.
"Cukup dengan basa-basinya Naruto!"
"Aku tidak mengerti, apa yang salah dengan cup ramen, kalau kau tidak mau kenapa kau membelinya?" Tanya Naruto balik dengan santai, tak ingin berdebat di pagi hari yang damai.
"Hei kau pikir aku yang membelinya?! lagipula ramen bukan makanan kesukaanku!" Sahut Shikamaru, semakin kesal dengan sikap Naruto.
"Lalu?"
"Sudah pasti ini punya kau bukan?! siapa lagi yang senang dengan cup ramen produksi Ichiraku hah?" Shikamaru bertanya dengan nada tinggi.
Brak.
"Hei jangan seenaknya menuduh ya, aku memang suka ramen, tapi bukan berarti aku yang menaruhnya di lacimu! mungkin saja orang lain yang berada di ruangan-"
Perkataan Naruto terhenti, kedua mata Safir itu bergerak menelusuri sekeliling ruangan, menyadari suatu hal.
Ini adalah ruangan kantor yang hanya berisi dirinya dan Shikamaru, tak ada orang lain di sini.
Naruto kembali mengarahkan pandangan ke arah Shikamaru, mendapati lawan bicaranya itu mulai menyeringai kecil, Shikamaru menang sekarang.
"-ini." Naruto menyelesaikan kalimatnya, mulai menunduk pasrah, dia kalah telak sekarang.
"Jadi, boleh kita bicara sekarang?"
"Ya, aku rasa aku memang bersalah."
"Jadi, kau juga tidak tahu?"
Shikamaru berujar santai, menghembuskan kepulan asap putih dari dalam mulutnya, menatap pemandangan desa dari teralis di tepi menara Hokage.
"Ya, jujur saja, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku makan ramen." Naruto menyahut dengan tenang, kembali menolak ajakkan Shikamaru yang menyodorkan sebuah bungkusan rokok ke arahnya.
"Ya tentu saja, mengingat sudah pasti ada yang mengurusmu sekarang, sudah ada seseorang yang selalu menyiapkan sarapan untukmu bukan?" Sahut Shikamaru menyeringai kecil sembari menyenggol pelan lengan Naruto.
Kedua Safir membulat seketika, nampak terkejut dengan perkataan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu, fokusnya kali ini menatap Shikamaru yang nampak tenang menghisap sebatang rokok di pagi hari itu, seakan akan sudah terbiasa dengan pembicaraan macam ini.
"Tunggu dulu." Sanggah Naruto membuat Shikamaru kembali menoleh.
"Aku tidak ingat pernah menceritakan ini." Naruto mengangkat dagu, mencoba menelusuri memorinya, berharap mengingat sesuatu tentang pembicaraan ini.
"Menceritakan apa?" Tanya Shikamaru, mulai mengerenyit bingung.
"Kenapa kau tau ada yang selalu menyiapkan sarapan untukku? aku bahkan tidak ingat pernah menceritakan hal aneh ini padamu." Kedua mata Naruto menyipit, menatap dengan raut wajah penasaran ke arah Shikamaru.
Shikamaru terkejut bukan main kali ini, kedua matanya mengerjap sesekali, nampak tidak percaya dengan hal aneh yang dibicarakan sahabat pirangnya yang satu ini.
'Ini bukan lagi sebuah kebodohan, ini lebih dari itu!'
"Tunggu sebentar Naruto, aku tahu kau bodoh, tapi jangan seperti ini juga!" Sahut Shikamaru.
"Hei! aku tidak perlu diingatkan oke? aku memang akhir-akhir ini sering lupa, tapi itu karena lembur tahu!" Jawab Naruto, mendelik tak suka ke arah Shikamaru, dia kesal sekarang, bukan jawaban yang dia terima, malah sebuah hinaan yang terasa sungguh merendahkan harga diri calon hokage ketujuh itu.
Shikamaru kembali terdiam, kembali mengerjapkan mata sesekali, mencoba untuk menemukan jawaban dari masalah absurd Naruto ini.
"Ini memang aneh sih, pagi ini bahkan aku mendapat sebuah ancaman dari seseorang yang entah itu siapa, tapi entah kenapa aku merinding membacanya, dan bisa dibilang aku merasa familiar dengan hal itu." Jelas Naruto, mengalihkan pandangan ke arah pemandangan desa yang berada di hadapannya.
"Jelaskan."
Naruto menghela nafas pelan, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah Shikamaru yang sudah memasang kedua telinga, menunggu penjelasan dari Naruto.
"Pagi ini seseorang menyiapkanku sarapan, meninggalkan sebuah surat di atas meja, memintaku untuk tidak lagi makan ramen, itu terasa aneh, tapi entah kenapa aku merasa aku harus nurut dengan ancaman itu." Jelas Naruto panjang lebar, membuat Shikamaru lagi-lagi melongo, mulai paham dengan apa yang terjadi.
Seketika itu Shikamaru mulai tertawa keras, pemuda pirang di hadapannya ini memang selalu hebat dalam membuat orang di sekitarnya terkejut dengan perilakunya sendiri.
"Hei, apa yang lucu?" Naruto mengerenyit bingung, sahutan tadi nampak tak mengehntingkan tawa keras Shikamaru.
"Sepertinya aku mulai paham sekarang." Ujar Shikamaru di tengah tawanya.
"Kau sepertinya melupakan sesuatu yang penting Naruto." tambah Shikamaru, menepuk salah satu pundak Naruto pelan, tawanya sudah berhenti sekarang.
"Hmm, aku rasa begitu, apa kau tahu Shikamaru? aku melupakan apa?" Tanya Naruto sembari menggaruk pelipisnya, kedua matanya menyipit, Naruto merasa ada yang salah di sini.
"Hmm, bagaimana aku jelaskannya ya?" Shikamaru menyeringai, mengangkat dagu sembari memejamkan mata, mencoba memikirkan solusi yang tepat.
"Hei cepat katakan saja, aku butuh jawaban, jangan buat aku lebih penasaran lagi!" Sahut Naruto.
Tep.
"Kau pasti menemukan jawabannya, kau hanya perlu pulang saja malam ini!" Jawab Shikamaru, mengedipkan sebelah matanya sembari menepuk kembali pundak Naruto.
"Hah?"
Shikamaru tersenyum kecil, mematikan sebatang rokok yang telah sampai di ujung filternya, bergerak perlahan menjauhi Naruto yang semakin bingung sekarang.
"Hei, apa maksudnya itu?!"
'Ini bodoh, tapi entah kenapa aku terhibur.'
"Hei-hei Sakura!"
"Hmm?"
Sebuah suara teriakan feminim mengalihkan fokusnya, kali ini mendapati sosok sahabatnya yang bergerak menghampiri dirinya, nampak mengukir sebuah senyuman yang terlihat aneh.
Sai nampaknya menularkan kebiasaan itu pada Ino.
"Ada apa Ino?" Tanya Sakura sembari kembali mengalihkan fokus ke arah tumpukkan berkas di atas meja.
"Hei, jangan mengabaikan aku begitu dong!" Sahut Ino tak suka, mulai duduk di atas kursi yang bersebrangan dengan kursi tempat Sakura duduk sekarang.
"Nee-nee aku ingin tahu dong, bagaimana dengan kehidupan pernikahanmu?" Tanya Ino, mulai memiringkan kepala sembari tetap memasang senyum aneh.
Wajah Sakura mulai memerah, sangat terkejut dengan apa yang Ino katakan, membuat pikirannya jauh menulusuri ke arah momen-momen yang membuatnya tidak akan pernah lupa.
Bahwa dia sudah menikah, menikah dengan pria bernama Uzumaki Naruto.
"Bukan urusanmu pig!" Seru Sakura, menyembunyikan muka yang semakin memerah.
"Hahaha, ekspresimu itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaanku tadi." Ino tertawa keras.
Wajah Sakura semakin memerah, rasa malu semakin menghinggapi, tak dapat mengelak dari pernyataan Ino tadi.
"Berhenti menggodaku pig!" Sakura berteriak, sembari mencubit gemas kedua pipi Ino.
"Aduh, iya-iya berhenti mencubitku oke!" Ino mengaduh setelah Sakura melepaskan cubitan itu, sungguh kedua pipinya terasa panas sekarang, tenaga Sakura benar-benar di atas manusia normal!
"Aku kan hanya penasaran, lagipula kalian membuatku iri tau!" Tambah Ino, memilih menyeruput minuman yang baru saja dia beli tadi dengan wajah kesal.
"Iri? kalau begitu kenapa kau tidak menikah saja? dengan begitu kau bisa dapat jawaban dari pertanyaanmu tadi." Jawab Sakura Santai, kembali memilih membaca berkas di atas meja.
"Aku juga inginnya seperti itu..." Ino berbicara lesu, nampak memikirkan sesuatu.
"Lalu? bukankah sekarang kau dan Sai sudah pacaran? kenapa tidak cepat-cepat menikah saja." Jawab Sakura lagi, tak menyadari Ino yang kali ini mulai mendelik tajam ke arahnya.
"Hei, memangnya semudah itu?" Sahut Ino.
"Iya, tinggal bicarakan saja... bukan?" Tanya Sakura sedikit meragu, rasanya Ino mulai tersulut emosi.
'Apa aku salah bicara ya?'
"Semudah itu kau bilang?! hei Sai saja terlihat tak ingin melamarku, masa aku yang harus melamarnya? itu tidak mungkin!" Ino menggeleng cepat, mencoba menepis semua ide yang meluncur enteng dari mulutnya.
'Wanita yang melamar? yang benar saja!'
"Tapi patut dicoba kan?" Tanya Sakura dengan ekspresi menggoda, menyeringai puas.
"Tidak-tidak, berhenti membicarakan hal itu!" Ino kembali menggeleng cepat.
"Iya-iya, jangan cemberut gitu dong, aku kan hanya bercanda." Ujar Sakura santai sembari mengibaskan tangan di udara, terkekeh pelan kembali melihat Ino yang mengerecutkan bibirnya.
"Tapi aku serius tau!" Sanggah Ino, perlahan kembali menunduk lesu.
Melihat hal itu Sakura mulai merasa tak enak, kali ini sepertinya candaannya mulai kelewatan.
"Hei-hei jangan sedih oke? kita bisa pikirkan solusinya bukan?"
"Bicara sih mudah, kau tidak tau apa yang aku rasakan sekarang, Sakura.."
Ino terlihat sangat lesu sekarang, membuat Sakura semakin meras bersalah, rasanya dia sangat kejam pada sahabatnya itu.
"Aku memang tidak tahu apa yang kau rasakan sekarang, kalau dibilang bahkan aku tak pernah merasakan apa itu menanti, Naruto selalu tahu kapan dia harus bertindak, bahkan aku tak percaya Naruto bisa secepat itu melamarku." Jelas Sakura penuh penekanan, membuat Ino mulai menatapnya lekat-lekat.
Tep.
"Tapi, hidup itu penuh kejutan bukan? kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, mungkin baik, mungkin buruk, kita harus bersabar dan berusaha semampu kita, kita pasti bisa melewati semua masalah bukan?" Tambah Sakura sembari menepuk pundak Ino pelan, memasang senyum manis, berusaha menenangkan Ino yang terlihat gusar.
"Ya aku tau.."
"Tenang saja, aku dan Naruto akan membantu, mungkin aku dan Naruto bisa bicarakan masalah ini dengan Sai, kita pasti bisa memikirkan solusinya!" Sahut Sakura, mulai mencoba menularkan suasana yang menyenangkan.
Mata Ino mulai berkaca-kaca, dengan cepat memeluk Sakura dengan sanagat erat.
"Eh?"
"Kau memang sahabatku yang terbaik Sakura!"
Sakura perlahan tersenyum, mulai membalas pelukan Ino.
"Tidak, kau lah yang terbaik Ino, karena dirimu juga aku menyadari perasaanku yang sebenarnya."
"Huhu, kita memang yang terbaik!"
"Ya, kita yang terbaik."
"Hachi!"
'Perasaanku kok tiba-tiba tidak enak ya?'
"Hachi!"
'Mungkinkah ada sesuatu yang merepotkan sedang menanti diriku?'
"Kau sehat Naruto?"
Naruto menoleh, mendapati Shikamaru yang tengah menatap dirinya sembari merapihkan beberapa dokumen di atas meja.
"Ya, aku baik, hidungku hanya terasa gatal tadi." Jawab santai Naruto, mulai menggaruk pangkal hidungnya.
"Aku sudah selesai, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Tanya Shikamaru, mulai menghampiri meja Naruto.
"Aku juga sudah selesai, apa kita boleh pulang sekarang?" tanya Naruto sembari merapihkan dokumen di atas meja.
"Kenapa? kau sudah tidak sabar ya?" Tanya balik Shikamaru, menyeringai tipis.
"Ini juga gara-gara kau, apa susahnya sih beritahu saja?!" Gerutu Naruto.
"Terlalu merepotkan, bukan kewajibanku juga memberitahumu." Jawab Santai Shikamaru.
"Ya-ya terserahmu saja, aku mau pulang kalau begitu, lagipula seharian ini aku belum bertemu Sakura-Chan, mungkin aku akan mampir dulu ke rumah sakit." Jelas Naruto, perlahan mulai bergerak ke arah pintu ruangan, bersiap untuk menyudahi hari dengan rasa penasaran yang begitu kentara.
Cklek.
Pintu terbuka sebelum Naruto sempat menghampirinya, memperlihatkan sosok Kakashi yang baru saja memasuki ruangan.
"Yo, terima kasih atas hari ini!" Seru Kakashi, tersenyum dari balik maskernya.
"Oh, iya Naruto, Sakura memintaku menyampaikan ini, katanya kau tidak perlu menjemputnya di rumah sakit, dia sudah menunggumu di-"
Perkataan Kakashi terhenti, setelah dengan cepat Shikamaru menempatkan tangannya di depan masker Kakashi, meminta Kakashi untuk tak melanjutkan perkataannya.
Naruto mengerenyit bingung sekarang, tak mengerti dengan tingkah mengejutkan Shikamaru, bahkan sekarang Shikamaru tengah membisikkan suatu hal kepada Kakashi, Naruto tidak bisa mendengarnya, nadanya begitu cepat dan sangat pelan.
"Jadi, bisa kau ulangi tadi Kakashi-Sensei? apa pesan dari Sakura-Chan?" Tanya Naruto, mulai semakin penasaran.
"Ah, itu katanya tadi dia bilang kau tak perlu menjemputnya, dia sedang menunggu pengganti shiftnya, jadi dia memintamu untuk langsung pulang saja, tidak perlu mengantarnya lagi hari ini." Jelas Kakashi, sembari menunjukkan kedua mata yang membentuk sabit, sementara Shikamaru hanya bisa menghela nafas lega.
"Hmm?" Naruto semakin mengerenyit bingung, memandang kedua sosok itu dengan penuh selidik, instingsnya mengatakan ada yang aneh di sini.
'Pulang saja gaki, kepalamu sedang tidak beres hari ini.'
'Ya-ya, aku tidak perlu diingatkan lagi!'
"Itu saja? ya sudah aku pulang dulu ya! jaa Shikamaru! Kakashi-Sensei!"
"Ya cepat kau pulang, kau sudah banyak sekali lembur seminggu ini!"
'Hari ini benar-benar aneh, apa sih yang sebenarnya aku lupakan?'
'Kau bodoh, itu saja.'
'Oke, kau hari ini menjengkelkan Kurama.'
'Buka saja cepat pintu itu, jangan bilang kau lupa menaruh kuncinya.'
'Iya-iya.'
Naruto merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah kunci dari sana, bersiap membuka pintu apartemen yang dia tinggalkan dalam keadaan terkunci.
Cet.
Kunci tak bisa diputar, membuat Naruto mengerenyit bingung sekarang.
'Apa aku salah ya?'
Naruto mencoba cara lain, memutar kunci ke arah lain.
Cklek..
'Sial, apa aku sekarang jadi kakek tua yang pelupa?'
Naruto berdecak kesal, sembari perlahan mendorong pintu apartemen.
Duk.
"Hah?"
Naruto heran, terkejut dengan pintu yang malah tak bisa dibuka, terkunci dengan rapat, membuat dirinya semakin bingung.
"Ah sial apalagi ini!" Gerutu Naruto.
Naruto menghela nafas kasar, mencoba untuk tenang, memutar otak, kembali memutar kunci ke arah lain.
Naruto menghirup nafas dalam, bersiap untuk mendorong kembali pintu apartemennya.
Cklek...
Naruto melongo, pintu dengan mudah terbuka, dirinya sangat terkejut sekarang, apalagi melihat di ujung lorong, lampu apartemennya terlihat menyala.
"Sial!"
Naruto dengan cepat berlari menuju ujung lorong, membiarkan alas kaki tetap terpakai, tak menghiraukan lantai yang terlihat sangat bersih sekarang terkotori oleh alas kakinya.
"Hah, jangan bergerak, mau apa-"
Perkataannya tercekat, kedua mata safir membulat sempurna, mendapati sosok gadis bersurai merah muda yang tengah menggantung celemek yang baru saja dilepas di ujung dapur.
Naruto diam, lidahnya kelu, akhirnya dia mulai mengingat apa yang dia lupakan sekarang.
"Hmm?"
Sakura perlahan menoleh, merasa seseorang tengah menatapnya, hingga akhirnya menyadari keberadaan sosok Naruto yang masih melongo, tak berbicara sepatah kata pun.
"Ah, Okaerinasai Naruto." Sakura tersenyum lembut, menunjukkan sebuah kehangatan di sana.
"S-Sakura-Chan?"
"Ada apa?"
Sakura mengerenyit bingung, Naruto tak membalas sapaannya tadi, pemuda itu masih setia berdiam diri dengan mata yang masih membulat sempurna.
Kedua mata Naruto mulai berkaca-kaca, perasaan hangat mulai menjalar di seluruh tubuh, mimpinya menjadi nyata, Naruto melupakan sebuah hal penting.
Dia sudah menikah, menikah dengan Haruno Sakura.
"Eh, Naruto, kamu gak apa apa?" Sakura bertanya khawatir setelah melihat Naruto yang hendak menghapus air mata yang akan keluar.
"Tidak, aku baik-baik saja." Sanggah pelan Naruto, mulai menyeka air mata yang ingin keluar dari kedua mata, mengukir senyum lembut.
Sakura yang melihatnya mulai ikut tersenyum, hilang sudah perasaan khawatir setelah melihat senyum Naruto, memlih bergerak menghampiri meja makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan.
"Ayo, aku sudah menyiapkan makan malam."
Kedua mata Naruto kembali membulat, sebelum akhirnya menutup kembali, dengan perlahan mulai memasuki apartemennya, menghampiri Sakura yang sudah duduk di kursinya, senyum lembut tetap menghiasi wajahnya.
"Ya, Tadaima, Sakura-Chan."
The End.
