Ide alur cerita dari vennataa
Ditulis oleh Fifi
Sinopsis
Duri hanyalah seorang pemuda polos yang menginginkan pengakuan tentang keberadaannya dari orang lain. Meskipun ia tak mempunyai teman, meskipun ia tak mempunyai orang yang bisa ia sebut dengan rumah. Namun ... Ia tetap mengharapkan akan ada orang yang akan mengulurkan tangannya untuk membawa Duri dari kesepian yang tak berujung ini.
"Aku harap, semua ini berakhir bahagia."
-Boboiboy Duri-
Ataukah harapannya tak akan pernah terkabul seumur hidupnya?
Genre : Slice of life.
Angst.
Brothership.
...
Sebuah pekarangan rumah yang penuh dengan bunga-bunga terlihat indah sepanjang mata memandang. Namun, suasana suram senantiasa menghiasi, seolah tak ingin rumah itu terlihat tenang. Sorot matanya terlihat sangat polos kala melihat kedua orangtuanya bertengkar. Setiap kali ia bertanya pada kedua orangtuanya seringkali dibalas dengan bentakan yang lolos dari mulut mereka.
"Duri harus melihat kalian berdrama lagi hari ini?" gumam Duri, seringkali ia bermonolog sendiri.
Duri selama ini menanamkan asumsi bahwa orangtuanya sedang melakukan drama rumah tangga. Sama seperti kala ia berada di dalam ekstrakurikuler drama. Seringkali ia mendapatkan peran yang suka marah-marah serta berdebat dengan pasangan perannya, tentu saja itu sangat tidak cocok untuknya. Karena itulah, ia sering mengambil peran yang lebih sering bermonolog sendiri.
"Aku akan pergi membawa Solar!" seru ibunya Duri, dia membawa Solar yang belum genap satu tahun dalam gendongannya.
Suaminya mendengkus kasar sembari mengibaskan tangannya lalu beranjak pergi dari sana, "Terserah kau saja!"
Sepasang netra zamrud Duri melebar terkejut, ia berlari mencoba menyusul ibunya. Duri tersandung kakinya sendiri, sambil meringis kesakitan, ia berjalan dengan terseok-seok.
"Ibuuu!" teriakannya tak dihiraukan oleh ibunya, bahkan ... Menoleh ke belakang saja tidak.
"Jangan pergi Ibuuuuu!"
Duri jatuh tersungkur untuk kedua kalinya. Tangannya ia gunakan untuk memukuli tanah di depannya, ketika melihat ibunya sudah hilang dari pandangan.
"Kenapa akhir dramanya seperti ini?"
Pupil mata Duri bergetar, ia masih duduk di atas tanah.
"Ini tidak seperti akhir cerita dalam drama sekolahku."
Duri bergumam terus menerus sembari mencoba menghentikan tangannya yang gemetar, karena efek dari kepanikan yang menjalar ditubuhnya.
Tidak! Bukan ini yang Duri inginkan! Dia ingin drama keluarganya mendapatkan akhir yang bahagia.
"Ini pasti plot twist yang diceritakan oleh senior, ya! Ini hanyalah plot twist dan semuanya akan segera berakhir."
Duri berdiri, tatapan polosnya tak pernah sirna. Ia mencoba menghilangkan rasa sesaknya dan panik berlebihan yang mendera. Duri berjalan dari tengah pekarangan rumahnya menuju ke bunganya.
Duri menyentuh bunga mawarnya, "Layu," gumam Duri.
"Pasti mereka juga sedih karena drama keluarga yang menanamnya berakhir sedih," gumamnya.
Ia mendongak, setetes demi setetes liquid cair jatuh dari gumpalan awan hitam. Tatapan Duri masih sama, tak pernah ia rubah.
"Awanpun ikut bersedih ... Kuharap kamu cepat berhenti menangis," ujar Duri sambil menunjuk awan, senyumannya cerah seperti biasanya.
Sayangnya, awan hitam itu tak kunjung pergi, rasanya awan itu seperti menghantui Duri yang sudah menggigil kedinginan.
Kakek Aba yang notabene-nya ialah tetangganya langsung berlari menghampirinya, "Duri!"
"I-iyya Kek?"
Kakek Aba menarik Duri untuk berteduh di sebuah pondok dekat Kokotiam, itu nama warung milik Kakek Aba.
"Kenapa kamu hujan-hujanan di pinggir jalan?"
Sembari bertanya, Kakek Aba menyeduh coklat panas untuk anak tetangganya itu. Kebetulan Kakek Aba membawa termos dan coklat ke pondok sebelum air hujan jatuh membasahi bumi tadi.
Setelah lima menit Duri terdiam sambil meminum coklat panas buatan tetangganya itu, baru ia mengeluarkan suaranya.
"Duri sedang menunggu Ibu dan Solar kembali Kek, drama keluarga kami seharusnya berakhir bahagia seperti dicerita ... Bukannya berakhir begini," jawabnya dengan lancar, ia sempat gemetar saat bicara tadi karena kedinginan.
"Duri ...," gumam Kakek Aba.
Duri masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi pada keluarganya. Duri masih kelas 1 SMP, terlalu cepat baginya untuk memahami keadaan keluarganya yang jauh dari kata baik-baik saja.
...
Empat tahun kemudian ...
"Hei Hali! Katanya ada murid baru di kelasmu," ucap Gopal sambil menepuk punggung Halilintar dengan cukup kencang.
Raut wajah Halilintar yang awalnya datar berubah menjadi serius. Gopal menepuk bibirnya beberapa kali, harusnya ia tak memberitahu sahabatnya itu kalau ada murid baru yang akan datang saat hari ulang tahunnya.
Sekarang perayaan ulang tahun Halilintar kacau karena si empunya hari bahagia itu beranjak pergi dengan ekspresi marah.
"Gopaal!" Ying berteriak kesal lalu menghempaskan kartu ucapannya ke atas lantai.
"Hehehehe, maaf."
Teman-teman Halilintar yang lainnya hanya menghela napas, ekspresi mereka yang awalnya bahagia langsung sirna ... Menghilang begitu saja karena Gopal kelepasan saat bicara.
Fang bersandar ke tembok, tentu saja dengan gaya melipat tangan di depan dada.
"Ada apa dengan Halilintar itu? Padahal adiknya sudah meninggal, tapi ia tidak mau bangku adiknya ada yang menempatinya," ujar Fang dengan wajah tanpa ekspresi.
"Mungkin Halilintar masih belum percaya jika Taufan meninggal, bahkan jasad Taufan tidak ditemukan sampai sekarang. Dia pasti tidak ingin ada yang mengambil tempat duduk adiknya," terang Ying dengan panjang lebar.
Yaya hanya diam menyimak, dia tidak terlalu dekat dengan Gopal dan Fang. Dia hanya dekat dengan Ying, selain itu, Yaya harus jaga jarak dengan teman laki-lakinya itu.
Di dalam kelas.
Suara derit pintu mengalihkan perhatian dari seluruh penghuni kelas 11 IPS. Terlihat siswa dengan topi berwarna hijau masuk ke dalam kelas dengan santai. Semuanya hanya diam tak ingin melihat murid baru itu, palingan dia akan diusir dengan cara sadis oleh Halilintar agar pindah kelas.
"Tidak ada yang boleh menduduki bangku ini!" tegas Halilintar setelah memukulkan tangannya ke atas meja.
Duri mengerjapkan matanya dengan polos, dia melihat ke semua bangku di kelas barunya.
Duri tersenyum ramah, "Semuanya sudah penuh, hanya tempat duduk ini yang kosong."
"Pindah saja ke kelas lain!" teriakan Halilintar cukup keras sampai membuat siswa siswi yang lewat berbondong-bondong untuk mengintip kelas 11 IPS.
"Tapi kelas lain sudah penuh," jawab Duri.
Halilintar menggertakkan giginya, "Pindah sekolah aja kalau begitu!"
"Kenapa harus pindah?" Duri menatap polos ke Halilintar.
"Tch! Hentikan tatapan polosmu itu! Menyebalkan!"
Duri memejamkan matanya, astaga, bisa tidak sehari saja tidak ada orang yang mempermasalahkan tatapannya. Dia memang seperti ini, mau bagaimana lagi?
Duri saja sampai bingung harus bagaimana, padahal baru hari ini dia pindah sekolah karena ayahnya ada pekerjaan di kota ini.
Halilintar menarik tangan Duri dari bangku milik Taufan, "Ngapain kau tutup matamu!"
Duri membuka matanya, tetapi dia melihat ke sepatu Halilintar, "Tadi katanya tatapan Duri menyebalkan, jadi Duri memejamkan mata Duri saja."
Halilintar sudah geram ingin mengusir si perebut bangku adiknya.
"Pergi dari kelas ini! Tidak ada yang boleh duduk di sini!" serunya kesal.
Duri menghela napas panjang, "Kata Ibu guru tadi, Duri kelasnya di sini. Duri disuruh duduk di bangku kosong di kelas ini, jadi ini tempat duduk punya Duri."
"Jadi wajar kalau Duri duduk di bangku yang kosong," ujarnya melanjutkan perkataannya.
"Semuanyaaa! Bu Lila datang!" teriak Iwan masuk ke dalam kelas lalu lari ke bangkunya sendiri.
"Tch! Habis ini kau akan kuusir," ancaman Halilintar terdengar oleh teman sekelasnya.
"Duri kan niatnya belajar, kenapa harus diusir?" gumam Duri, dia sekarang melipat tangannya di atas meja.
Ternyata Halilintar yang mengancamnya tadi duduk di depannya. Bangku di dalam kelas itu satu meja satu orang yang menempati. Di sana ada 30 murid, termasuk Duri yang menjadi murid baru di sana.
Bu Lila merasa kurang nyaman di dalam kelas karena aura permusuhan yang dikeluarkan Halilintar pada murid barunya. Ketika Duri memperkenalkan dirinya di depan kelas saja, Halilintar terlihat sangat memusuhinya.
"Anak-anak, hari ini pembagian kelompoknya dua orang ya?"
Duri mengangkat tangannya, "Kelompok untuk apa Bu?"
Ia bertanya setelah diperbolehkan oleh gurunya.
"Untuk observasi tentang masalah yang ada dimasyarakat," kata Bu Lila sambil menata buku bahasa Indonesianya.
Duri mengangguk, dia mulai mencari orang yang ingin menjadi kelompoknya dengan sukarela. Namun, hanya Halilintar yang belum punya kelompok, terpaksa dia satu kelompok dengan orang yang sangat ingin mengusirnya.
Kacau, semuanya tidak berjalan dengan baik. Duri harus bersabar mendengar ucapan sarkas dari Halilintar. Dari awal mereka mengerjakan tugas kelompok, Halilintar mencoba membuat Duri tidak betah satu kelas dengannya. Tapi usahanya sia-sia, karena Duri tidak terpengaruh sama sekali dengan ucapan Halilintar.
...
"Ayah kapan pulang?" tanya Duri setelah meletakkan tasnya di atas sofa.
"Baru saja ... Luka sayatan ditanganmu masih ada kan?"
Duri mengangguk, dia melipat lengan jaketnya ke atas untuk menunjukkan luka sayatan yang memenuhi tangannya.
"Bagus, aku tidak ingin luka itu menghilang. Anggap itu semua hukuman untukmu karena kaulah penyebab ibumu dan adikmu pergi," ucap ayahnya Duri sebelum pergi ke ruang kerjanya.
Duri hanya tersenyum, "Duri senang Ayah mau diajak bicara lagi."
Ayahnya Duri hanya diam membisu sebelum mengunci ruang kerjanya. Perlahan senyuman Duri menghilang, digantikan dengan raut wajah yang sedih.
Duri melepas jaketnya lalu meletakan jaket itu di atas sofa. Padahal setahun sekali ayahnya pulang, tetapi dia tak pernah mau menghabiskan waktu bersama dengan Duri.
Duri mengambil buku diary nya, dia hanya memegangnya. Tidak menulis apa-apa, buku diary nya sudah dia coret-coret saat kelas 3 SMP dulu. Sekarang ia tak perlu menulis apapun lagi, memangnya untuk apa dia bercerita pada buku diary yang sebenarnya hanyalah benda mati yang tidak bisa dia jadikan rumah untuk bercerita.
...
Saat ini Duri tersenyum senang saat melihat ayahnya keluar dari ruang kerjanya.
"Ayah ingin mengantar Duri ke sekolah?" tanyanya.
Tatapan polos milik anaknya membuat ayah Duri muak, "Tidak. Berangkatlah sendiri! Jangan manja!"
Duri masih tersenyum, "Iya Ayah. Duri berangkat dulu, assalamualaikum."
Setelah Duri menyalami tangan satu-satunya orangtua yang dia punya. Dia pergi menaiki sepedanya menuju sekolah.
...
"Sepi lagi," gumam Duri saat jam istirahat.
Entah apa yang dipikirkan oleh teman sekelasnya, Duri selalu dihindari dan dijauhi. Mungkin karena mereka takut pada ancaman Halilintar.
Duri sudah mengetahui alasan Halilintar yang sering mengusirnya dari kelas. Itu semua karena Halilintar masih belum menerima kenyataan jika adiknya sudah meninggal.
Tapi Duri tidak terlalu memperdulikan masalah di sekolahnya. Lebih baik seperti ini sampai dia lulus sekolah. Duri sudah terbiasa dengan kesepian. Dia tetap merasa kesepian meskipun menyimak pembicaraan orang-orang lain disekitarnya.
Harapannya tidak aneh hanya harapan kecil yang dia punya ... Dia ingin dianggap ada oleh semua orang yang mengenalnya. Dia ingin ayahnya berubah dan menyayanginya. Dia ingin kembali bertemu dengan Solar dan ibunya yang ternyata sudah meninggal kecelakaan saat mereka pergi meninggalkan Duri dengan ayahnya.
...
Kupikir hanya aku yang menderita ... Kupikir hanya aku yang tersiksa ... Ternyata ada yang lebih banyak memendam luka dibandingkan aku.
-Halilintar-
"Hali, kau tahu tidak kalau si Duri tangannya penuh luka sayatan?" tanya Gopal saat dia, Halilintar dan Fang berkumpul dengan Ying dan Yaya.
"Hah!" Ying menganga, Yaya juga ikut terkejut tapi tidak sampai seperti Ying.
"Dari mana kau tahu itu?" tanya Fang, dia menaikkan sebelah alisnya.
Melihat ekspresi Gopal yang sulit diartikan membuat teman-temannya penasaran, tak terkecuali Halilintar.
Gopal menjawab, "Aku nggak sengaja lihat waktu lewat belakang kebun rumah dia."
"Ngapain kau di belakang kebun rumahnya Duri?" tanya Ying setelah mengusap kacamatanya.
Kata Ying tadi kacamatanya tidak sengaja jatuh ke dalam air dan itu mengganggu penglihatannya.
"Dia tetanggaku, aku juga baru tahu tadi. Niatnya aku mau minta buah jambu ke tetanggaku," ujar Gopal lalu menyengir lebar.
"Terus kau nanya ke dia nggak?" Fang mengernyit kesal saat Gopal semakin menyengir lebar.
"Tidak," jawabnya sambil menggeleng.
"Kau salah lihat mungkin," akhirnya Halilintar mengucapkan satu kalimat setelah lama diam membisu.
"Heh! Aku ini penglihatannya jelas ya! Nggak kayak si mata empat tuh," ujar Gopal sambil menunjuk Fang dengan dagunya.
Fang menatap tajam pada Gopal yang memasang wajah julidnya.
"Mungkin yang diucapkan Gopal itu benar, selama ini Duri selalu pakai jaket lengan panjang saat di sekolah." Yaya mengucapkan itu sesaat sebelum Gopal dan Fang adu debat di kantin.
Halilintar diam beberapa saat sebelum beranjak pergi meninggalkan empat temannya itu. Saat berada di dalam kelas, dia hanya melihat sekilas pada Duri yang ketiduran dalam kelas.
Sudah berapa lama Duri sekolah di sini ya? Duri tidak pernah berinteraksi dengan siapapun di sekolah, kecuali dengan Bu Lila dan guru lainnya.
Tiga bulan kemudian ...
"Sudah tiga hari Duri tidak masuk sekolah, apa ada yang tahu ada apa dengan Duri?"
Pertanyaan dari Bu Lila membuat semua murid terdiam, banyak pemikiran dan tuduhan yang mengarah ke Halilintar. Namun, itu mereka singkirkan jauh-jauh karena selama tiga bulan ini Haliluntar sudah tidak mengganggu Duri.
"Mungkin sakit Bu," ucap Iwan setelah mengangkat tangannya.
Bu Lila mengangguk, setelah itu dia melihat pesan yang dikirimkan oleh tetangganya Duri, alias Gopal.
Bu Lila menghela napas lega, "Duri ternyata sakit, dan Gopal baru saja mengirimkan izinnya."
...
Duri memegang dahinya yang panas, "Kayak kompor aja rasanya."
"Untung saja Gopal mau meminta izin untuk Duri setelah tiga hari nggak masuk sekolah," gumamnya.
"Sebenarnya Duri minta tolongnya lewat pesawat kertas sih, soalnya takut Gopal nggak mau ngomong sama Duri."
Duri mengajak boneka berbentuk matahari milik almarhum Solar bicara.
"Duri kangen Solar sama Ibu," gumamnya sambil memeluk boneka milik Solar.
"Kalau Duri pergi menyusul mereka ... Nggak akan ada yang nyariin Duri, kan?"
"Kalau Duri hah ... Hah ... Hah ..."
Napas Duri tersendat, rasanya sesak, mungkin ini sudah waktunya dia pergi. Selama dia hidup rasanya hampa dan sepi, mungkin ini takdir terbaik yang dituliskan Yang Maha Kuasa untuknya.
Pintu rumahnya tak pernah ia kunci sejak ia sakit, tujuannya agar tetangganya bisa langsung masuk dan menemukan tubuhnya jika sudah tidak bernyawa.
Sudah waktunya Duri pergi, senyuman dan tatapan polosnya tak akan pernah mereka lihat lagi. Dia selalu menjadi bayangan yang tidak terlalu dipedulikan.
Tamat.
Sebnernya ini pernh aku unggh di Wattpad keluargaku versi dulu waktu 14 April 2023
