...
Naruto terlihat sedang memperbaiki kaca yang rusak akibat lemparan batu kemarin.
"Ah akhirnya sudah." Naruto menyapu keringat yang ada di pelipisnya.
"Naruto, duduk lah dulu. Aku baru saja menyeduh teh." Hinata tersenyum lembut.
"Baiklah Hinata." Naruto duduk di ruang makan dan meminum secangkir teh tersebut.
"Hinata, ini enak sekali! Kau belajar dimana untuk membuat teh seperti ini?"
Naruto tersenyum lebar sembari tertawa kecil.
"Ah, anu Naruto…"
Wajah Hinata merah padam.
"Hinata? Apakah kau baik-baik saja? Wajahmu merah."
Hinata tertawa canggung, "Ah iyakah? Aku baik-baik saja. Aku akan pergi mandi."
Hinata pun pergi meninggalkan Naruto yang terheran-heran.
'Ada yang aneh dengannya.' Batin Naruto.
Ia membersihkan alat-alat yang ia pakai untuk memperbaiki jendela, ia kemudian tidak sengaja menyenggol pengki yang berisi serpihan kaca sisa yang menempel pada rangka jendela, ia melihat sehelai rambut perak menempel pada salah satu potongan kaca.
Naruto bangkit dan menyimpan rambut itu dalam sebuah wadah kecil dan menaruhnya di meja kerjanya.
'Membuat portal, rambut perak…Semoga bukan mereka.' Batin Naruto.
…
Hanabi dan Konohamaru sedang sibuk menenggak puluhan gelas sake.
"Lihat saja Sarutobi, aku tidak akan kalah!" Hanabi berteriak sembari membanting gelasnya keatas meja.
Konohamaru yang tidak mau kalah meringis lebar, "Mengalah lah nona Hanabi, semua orang tahu kalau aku tidak pernah mabuk walaupun berapa banyak sake yang kuminum!"
Hanabi melotot kearah Konohamaru, pipinya terlihat memerah karena efek alkohol, matanya tampak sedikit sayu, namun karena ia keras kepala, ia tidak mau kalah.
Hanabi kembali meminum secangkir sake, namun kali ini ia kehilangan kesadarannya.
Konohamaru yang kompetitif, seketika merasa kasihan dan menolongnya.
"Aduh bodoh sekali aku…Seharusnya aku tau dia tidak bisa minum sebanyak itu."
"Tanggung jawab Konohamaru." Mirai Sarutobi, sepupunya tertawa.
"Antarkanlah dia pulang, ayahnya pasti khawatir." Cakap Udon.
"Ya, ya, aku tahu."
Konohamaru menggendong Hanabi di punggugnya dan berjalan ke kediaman Hyuuga.
Hanabi tiba-tiba bergumam.
"Aku…mmh…kalah."
Konohamaru tertawa kecil, "Berarti sesuai kesepakatan, aku bisa melakukan apapun yang aku mau kan?"
Hanabi cemberut dan memalingkan wajahnya.
"Terserah."
Konohamaru tertawa, "Aku ingin berkencan denganmu."
Wajah Hanabi seketika menjadi merah padam.
"A-apa?"
Konohamaru tertawa. "Aku telah menyukaimu sejak lama. Tapi aku baru bisa mengatakannya sekarang. Aku harap kau mau pergi bersamaku untuk berkencan."
Wajah Hanabi yang merah ia benamkan di tengkuk Konohamaru.
"Dasar Sarutobi…"
Konohamaru terlena dengan suasana tersebut.
"Kita sudah sampai…"
Konohamaru mengantarkan Hanabi ke pintu depan.
"Aku pergi dulu Nona Hanabi."
"Bodoh! Mau kemana kau?"
Hanabi berteriak.
"Ah…Hanabi?"
Konohamaru berpaling kearah Hanabi.
"Jangan pergi."
Konohamaru yang merasa mendapat lampu hijau lari dan menghampiri Hanabi dan langsung mengecup bibirnya.
"Jangan pergi."
Bisik Hanabi.
"Kalau kau berkata seperti itu, sepertinya aku tidak bisa menahan diri."
Konohamaru menggendong Hanabi dan menerjang masuk ke kamar Hanabi.
…
"Apa ini?"
Kakashi, sang Rokudaime duduk di kursinya sembari melihat sehelai rambut yang Naruto bawa.
"Aku khawatir. Aku tidak mengucapkan ini sebenarnya, tapi, sepertinya Klan Otsutsuki mengincar Hinata."
Naruto menatap sang guru sekaligus Hokage.
"Masuk akal. Hinata memegang salah satu Kekkei Genkai yang diturunkan oleh klan Otsutsuki. Mereka menganggap Byakugan itu adalah milik mereka dan tidak ada klan lain yang berhak memilikinya."
Kakashi bangun dari kursinya.
"Tidak bisa dipungkiri lagi, aku yakin, mereka mengincar Hinata. Tapi dengan kau, seorang jinchuriki yang selalu ada di sampingnya, mereka kewalahan. Kemungkinan mereka akan mencari momen dimana kau lengah dan ia hanya sendirian."
"Hanya sendirian…" Naruto bergumam.
"Oh tidak, Hinata sedang sendirian dirumah. Aduh bodohnya aku!"
Naruto berlari terbirit-birit menuju rumahnya. Kakashi hanya bisa menghela nafas.
'Si bodoh itu ternyata menyayanginya.' Batin Kakashi.
…
Hinata sedang melatih jutsu klasik Hyuuga di taman.
Keringat mengucur di pelipisnya.
Ia akhirnya memutuskan untuk beristirahat.
Setekah meninum segelas air, ia pergi mandi untuk membilas keringat yang menempel pada tubuhnya.
Air dingin mengucur ke atas tubuh Hinata. Air tersebut membilas sisa ketingat dan kotoran yang menempel pada tubuhnya.
Tiba-tiba Byakugannya aktif.
Ia merasakan pergerakan di dekatnya.
Hinata mematikan shower dan melihat ke sekelilingnya.
Ia yakin, barusan tadi ia merasakan pergerakan.
"Siapa disana?!" Hinata berteriak sembari melihat pergerakan dari matanya.
Namun, anehnya, pergerakan itu pergi. Sepertinya tidak jadi menyerangnya. Hinata yang masih merasa terancam tetap menggunakan Byakugannya.
Tiba-tiba ada pergerakan cepat yang berlari menujunya.
Pintu terbuka.
"Hinata!"
Dengan sekuat tenaga Hinata berteriak.
PLAK!
…
Naruto duduk di ruang makan, dengan pipi kanannya yang bengkak.
"M-maaf Naruto, aku kira kau penyusup…" Wajah Hinata merah padam, terbayang di kepalanya bahwa Naruto melihatnya tanpa busana.
"A-aku yang minta maaf Hinata…Seharusnya aku tidak menerobos masuk ketika kau sedang di kamar mandi."
Ia memegangi pipinya yang bengkak.
Hinata mengompresnya dengan kompres dingin.
Wajah keduanya merah padam, Hinata tak kuasa menahan malu, dan Naruto merasa bahwa ia adalah seseorang yang pantas untuk dihukum.
"Kau baik-baik saja kan? Aku mendengarmu berteriak tadi, makanya aku menerobos masuk. Maaf." Naruto menggaruk kepalanya canggung.
"Ah tadi… seperti ada yang mengawasiku. Aku bisa merasakan pergerakannya."
Naruto melihat kearah Hinata, 'Dasar lelaki tak tahu diri, mencari momen dimana Hinata lengah dan tak berdaya.' Batin Naruto.
"Hinata, tak akan kubiarkan orang lain menyentuhmu sedikitpun. Kau milikku."
Naruto menatapnya sembari menyentuh tangan Hinata dengan lembut.
Wajah Hinata memerah.
Ia mengangguk, "Baik Naruto."
…
Pada malam hari Naruto telah kembali dari pertemuan pentingnya bersama rekan tim Konoha 11 bersama Hinata. Disana semua orang memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka, Naruto dan Hinata hanya bisa tertawa canggung karena ini merupakan pernikahan karena perjodohan, iya kan?
Naruto duduk di balkon, menatap bintang-bintang. Ada bekas perban di pipinya, sisa dari insiden mandi tadi siang. Hinata datang sambil membawa dua cangkir teh hangat.
"Ini untukmu," kata Hinata pelan, duduk di sebelahnya.
Naruto tersenyum kecil. "Terima kasih."
Sesaat mereka hanya diam, angin malam menyapu rambut mereka perlahan.
"Kau tahu, aku belum pernah merasa… dijaga seperti ini," ujar Naruto, matanya masih menatap langit. "Aku biasa sendiri. Dulu… hanya bayangan pohon dan mie instan yang menemaniku malam-malam seperti ini."
Hinata menatapnya dengan lembut. "Sekarang kau tidak sendiri, Naruto."
Naruto menoleh padanya, terkejut oleh kata-kata itu. Tapi kemudian ia mengangguk.
"Kau juga, Hinata. Kalau kau butuh seseorang… Aku akan ada di sini."
Wajah Hinata memerah, tapi ia tersenyum kecil.
"Terima kasih, Naruto…
Naruto menghabiskan secangkir teh yan Hinata buat.
"Ini sudah malam, istirahatlah. Neji memberitahuku kalau besok ada pertemuan penting di kediaman Hyuuga, kau dan aku harus datang." Naruto menyentuh bahunya lembut.
"Ah iya, aku lupa…" Hinata memalingkan wajahnya.
Naruto tertawa. "Cepatlah, apa kau ingin aku mengantarmu?" Naruto terdenyum nakal, ia tertawa.
"N-Naruto…!" Wajah Hinata merah padam.
"Aku bercanda Hinata." Ia tertawa dan memegangi perutnya.
"Aku mau."
Naruto menatapnya. "Haha, lucu sekali." Jawab Naruto.
"Yasudah kalau kau tidak mau." Hinata mendengus dan berpaling.
"Eh, eh! Aku mau!"
Naruto mengejar Hinata dan mengantarkannya ke kamarnya.
Wajah Hinata sedikit merah, mata lavender sayunya menatap mata biru gelap Naruto.
"Istirahatlah, aku akan membangunkanmu besok." Naruto tersenyum.
"Baik." Hinata mengangguk dan masuk kedalam kamarnya.
Dari jauh terlihat Tsunade dan Jiraiya yang sedang tertawa melihat kedua anak muda itu berinteraksi.
"Ayo taruhan, menurutmu mereka sudah-" Tsunade memukul kepala Jiraiya.
"Kau ini, mesum sekali!" Pekik Tsunade, sementara Jiraiya meringis kesakitan.
"Aku harus berusaha menyatukan mereka!" Tsunade mengepal tangannya.
"Ya aku setuju, sepertinya mereka mulai menyukai satu sama lain."
"Apa yang kalian lakukan disini, kakek, nenek?" Naruto menghampiri mereka.
"Wah!" Tsunade dan Jiraiya berteriak kaget.
"Ah anu Naruto kami…" Tsunade menendang kaki Jiraiya, memaksanya untuk bicara.
"Ah iya kami sedang membahas masalah Sannin…Sangat penting ya haha…" Jiraiya tertawa canggung.
"Aduh…Aku tidak perlu kalian mencampuri urusan rumah tangga ku kakek, nenek, lagi pula aku sudah menjadi seorang suami yang baik dan peduli kepadanya, memangnya apa yang kurang?" Naruto menyilangkan tangannya di perutnya.
Tsunade dan Jiraiya saling menatap satu sama lain.
"Nafkah batin."
Naruto berteriak. "Apa?!" Wajahnya merah padam.
Mereka duduk di ruang tamu, Naruto merasa seperti sedang disidang. Wajahnya terasa panas.
"Memangnya sepenting itu?" Naruto mengeluh sembari menggaruk kepalanya.
"Ya mungkin untuk sekarang tidak Naruto, tetapi aku yakin kalian sebagai manusia dewasa membutuhkan asupan biologis." Tsunade menatapnya dengan serius.
"T-tapi…" Wajah Naruto merah padam.
"Kau tidak perlu melakukannya dalam waktu dekat Naruto. Kami hanya mengingatkan kau saja, lagipula apakah kau tidak membacs kontrak pernikahan yang kuberikan kepadamu?" Jiraiya meminum segelas teh.
Naruto mengingat kembali secarik kertas yang ia tandatangani tanpa membaca.
Ia menggaruk kepalanya dan meringis canggung, "Ah anu…haha…tidak."
Tsunade memegang kepalanya, cucunya ini memang sangat bodoh.
"Kami hanya memberitahu saja. Kalau kau belum merasa siap, jangan, tetapi keputusan ada di tangan kalian berdua."
Naruto menelan air liurnya.
'Urusan rumah tangga tidak segampang yang kukira.' Batinnya.
…
[Pagi Hari Sebelum Pertemuan]
Naruto terbangun lebih dulu dari biasanya. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Ia menguap lebar lalu melirik ke arah dapur, tempat Hinata biasanya memulai pagi.
Namun kali ini, dapur kosong.
Naruto mengerutkan dahi. "Jangan-jangan dia sudah berangkat duluan?" pikirnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari taman belakang.
Naruto berjalan perlahan dan membuka pintu. Ia melihat Hinata duduk di beranda kecil sambil menyulam sesuatu di pangkuannya. Ia mengenakan kimono tipis berwarna lembut, rambutnya belum sepenuhnya disisir, wajahnya masih segar setelah mandi.
Naruto berhenti di tempat.
"Dia… cantik banget di pagi hari…" Batin Naruto.
Hinata menyadari kehadirannya, menoleh, dan tersenyum lembut.
"Selamat pagi, Naruto."
Naruto tersenyum kaku, tiba-tiba merasa gugup. "S-selamat pagi, Hinata."
Ia duduk di sebelah Hinata, lalu melirik ke arah kain di pangkuan gadis itu.
"Kau sedang buat apa?"
Hinata memperlihatkan hasil sulamannya. Sebuah simbol Uzumaki dan Hyuuga bersatu dalam satu pola kecil di tengah kain putih.
"Ah, aku hanya… ingin membuat ini. Kupikir akan bagus kalau kita punya semacam lambang rumah sendiri." Ujarnya pelan.
Naruto menatapnya takjub. Ia menatap sulaman itu, lalu Hinata, lalu kembali ke sulaman itu.
"Dia benar-benar memikirkanku…" Gumam Naruto.
"Hinata… Terima kasih. Aku akan menjagamu. Dan rumah ini."
Hinata menunduk malu, menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang panjang.
Naruto tertawa kecil dan berdiri.
"Ayo, kita bersiap. Kita harus pergi ke kediaman Hyuuga. Tapi… boleh aku pegang sulaman itu sebentar?"
Hinata menyerahkannya.
Naruto menatapnya sejenak, lalu menyelipkannya ke dalam saku dalemannya, dekat dengan dadanya.
"Biar aku simpan di sini. Dekat hatiku." Katanya sambil tertawa, sedikit menggoda.
Hinata tertawa kecil, dan pipinya memerah.
"Ayo berangkat, Nyonya Uzumaki."
"Baik, Naruto."
...
Maaf ya author banyak typo, susah banget ga typo jir. Disini author berusaha nyelipin sedikit Konohana , mungkin kedepannya beberapa pairings lagi. Semoga kalian suka ya!
