...

Naruto dan Hinata akhirnya tiba di kediaman klan Hyuuga. Pintu gerbang besar terbuka perlahan, dan beberapa penjaga membungkuk memberi hormat.

"Disini kau diperlakukan seperti seorang putri…" bisik Naruto pelan di telinga Hinata.

Hinata menoleh, senyum lembut terukir di wajahnya. "Karena aku pewaris klan ini. Orang-orang memanggilku Putri Byakugan."

Naruto menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Cocok denganmu."

Langkah mereka terhenti ketika terdengar suara akrab dari belakang.

"Ah, Hinata! Naruto!"

Naruto menoleh dan langsung tersenyum lebar. "Neji! Sudah lama tak bertemu!"

Neji mengangkat alis, "Bodoh, kita baru saja bertemu kemarin di rapat tim Konoha 11."

Naruto menggaruk kepalanya sambil tertawa canggung. "Ah iya, aku lupa…"

Neji mengangguk ke arah Hinata. "Bagaimana kabarmu, Hinata?"

"Aku baik-baik saja, Kak Neji. Naruto, Nenek Tsunade, dan Kakek Jiraiya sangat perhatian." Hinata menunduk sopan.

Neji tersenyum hangat. "Syukurlah. Aku sempat khawatir kalau teman bodohku ini malah bikin masalah. Tapi sepertinya sejak bersamamu, dia jadi sedikit lebih waras."

"Dasar bajingan kau, Neji!" Naruto mengepalkan tangannya, tapi kemudian mereka berdua tertawa.

Namun perhatian Neji teralih. Ia mengangguk pelan ke arah sudut halaman.

"Ngomong-ngomong, adikmu sedang berulah lagi."

Hinata menoleh dan melihat Hanabi berdiri dengan gugup di samping Konohamaru. Keduanya tampak canggung, mata mereka saling curi pandang.

Naruto mengangkat alis. "Konohamaru? Apa yang mereka lakukan disini?

Naruto dan Hinata mendekat. Konohamaru yang biasanya percaya diri, kini malah terlihat seperti anak sekolah yang ketahuan mencoret-coret buku pelajaran. Sementara Hanabi, yang biasanya galak dan tajam, kini justru menunduk, memainkan ujung lengan bajunya dengan wajah memerah.

"Konohamaru…?" Naruto memiringkan kepalanya, bingung. "Kau kenapa tegang begitu?"

"Ah, kak Naruto, ini… euh…" Konohamaru menoleh ke Hanabi, seolah meminta izin, atau mungkin mencari alasan untuk kabur ke dimensi lain.

Neji menyilangkan tangan, menatap keduanya curiga. "Hanabi, apa yang kau lakukan dengan dia pagi-pagi begini di halaman depan?"

Hanabi mencoba tetap tenang. "T-tidak ada! Kami hanya… bertukar pandangan!"

"Pandangan hidup?" Naruto menyeringai.

"Pandangan wajah!" Konohamaru membela, tapi malah membuat semuanya terdengar makin mencurigakan.

Neji mengangkat alis, tak percaya.

"A-aku bisa menjelaskan!" Konohamaru panik. "Jadi, semalam kami minum—eh bukan, maksudku—aku mengantar Hanabi pulang, lalu dia bilang 'jangan pergi', dan… dan… ya sudah, aku tidak pergi."

Naruto menutup wajahnya dengan tangan. "Kalian… semalaman?"

Hanabi berdehem keras. "TIDAK ADA YANG TERJADI, OKAY?"

Semua terdiam.

"Kecuali ciuman." Konohamaru bergumam pelan.

"APA?!"

Hanabi langsung meninju lengan Konohamaru, membuat cowok itu terhuyung mundur sambil tertawa.

"Kalian… kalian ini seperti anak SMA ketahuan pacaran di belakang sekolah," ucap Naruto, setengah geli, setengah bingung.

Hinata menutup mulutnya menahan tawa. "Kurasa… mereka memang menyukai satu sama lain, ya."

"Ini masih awal!" Hanabi memelototi semua orang. "Dan kalau kalian menyebarkannya, aku akan—"

"—menyebarkan kabar kalau kau tidur sambil mengigau soal ciuman keduamu, ya?" Konohamaru menyela dengan senyum nakal.

Hanabi menendang kakinya, Konohamaru mengelak, dan mereka berdua malah jadi kejar-kejaran kecil di halaman klan Hyuuga, membuat suasana pagi itu dipenuhi tawa canggung yang manis.

Naruto menepuk pundak Neji. "Kurasa kau harus siap jadi kakak ipar, Naruto."

"Kau juga Neji." Naruto tertawa sembari menggaruk kepalanya.

Neji hanya menggeleng pelan. "Hari ini… akan menjadi hari yang panjang."

Setelah kejar-kejaran itu selesai—dan Hanabi akhirnya berhasil menendang Konohamaru tepat di betis—mereka semua duduk di taman samping aula pertemuan.

Pelayan klan datang membawa nampan berisi teh dan mochi.

"Ah, makanan ringan favoritku!" Naruto langsung mengambil sebiji mochi dan memasukkannya ke mulut. "Enak sekali!"

"Pelan-pelan Naruto, nanti tersedak," kata Hinata sambil tertawa kecil.

Neji duduk dengan anggun, menyeruput tehnya, lalu menatap Konohamaru yang masih memegangi betisnya.

"Jadi… kau suka adik sepupuku?" Neji bertanya dengan nada datar.

Semua langsung diam.

Konohamaru menelan ludah. "Euh… ya."

"Berani juga kau," jawab Neji tenang. "Tapi kau harus tahu… Hanabi punya sifat seperti singa lapar saat marah."

"Sudah tahu," Konohamaru menjawab sambil menengok Hanabi, yang malah sedang dengan tenang menikmati mochinya. "Tapi kupikir… dia lebih mirip kucing. Kucing galak."

"Ngomong apa kau?" Hanabi mendelik tajam.

"Lihat kan?" Konohamaru cengengesan. "Garang, tapi imut."

Hanabi langsung melemparkan sebiji mochi ke arah Konohamaru. Cowok itu menangkapnya pakai mulut dan semua langsung tertawa.

Naruto menepuk meja, ikut tertawa. "Kalian benar-benar pasangan aneh, tapi cocok!"

Tiba-tiba, seorang pelayan datang dengan tergopoh.

"Tuan Neji… rapat akan segera dimulai. Kepala klan menunggu."

Neji berdiri dan merapikan jubahnya. "Ayo, ini saatnya kita kembali jadi shinobi terhormat. Jangan ada yang kelihatan seperti habis main ke taman kanak-kanak."

Naruto, dengan pipi masih mengembang karena mochi, hanya bisa mengangguk. "Mmhf-baiklah!"

"Termasuk kamu, Naruto." Neji menatap tajam.

Naruto menelan cepat-cepat dan berdiri tegap. "Siap!"

Hinata tertawa kecil, sementara Hanabi dan Konohamaru saling melempar pandang malu-malu—tapi ada senyum manis di wajah mereka berdua.

Hari itu mungkin akan dipenuhi diskusi serius… tapi untuk sesaat, pagi itu dimulai dengan hangat dan penuh tawa.

Mereka memasuki ruangan rapat, Naruto duduk di samping Hinata. Naruto kelihatan sedikit tegang.

Hinata mengusap tangan Naruto perlahan.

"Ah, Hinata." Naruto tersenyum padanya.

Hinata membalas senyuman Naruto dengan sebuah senyuman yang lebih lembut nan manis.

Seketika wajah Naruto memanas.

'Sial dia cantik dan lucu sekali.' Naruto menarik nafas panjang untung menenangkan dirinya.

Hiashi berdiri tegak di depan ruangan. Auranya sangat berwibawa dan tegas.

Di samping kanan dan kirinya beridiri para tetua dan kepala cabang keluarga lainnya.

Naruto dan Hinata duduk dibelakang mereka, diiringi Neji dan Hanabi.

"Terima kasih atas kehadiran kalian. Kita berkumpul hari ini untuk membahas ancaman yang telah lama kami takutkan… Ancaman dari akar sejarah kita sendiri."

Semua terdiam. Neji melirik ke arah Hinata dengan tatapan tajam namun khawatir.

"Beberapa hari yang lalu telah terjadi penyerangan pada putri tertuaku. Seperti yang kalian tahu, telah menikahi pewaris Klan Uzumaki karena adanya jutsu perjanjian darah antara dua klan."

"Untungnya, tidak ada yang melahap korban. Namun, di lokasi, ditemukan sisa chakra asing dan sehelai rambut perak, yang ciri-cirinya sangat mendekati leluhur kita…"

"Klan Otstsuki."

Para anggota klan langsung bereaksi panik setelah Hiashi mengatakan itu.

"Apakah ini benar… klan Otsutsuki?"

Tanya Hizashi, salah satu kepala keluarga cabang.

Hiashi mengangguk perlahan. "Kemungkinan besar. Mereka mengincar Byakugan—dan bukan sembarang Byakugan. Mereka menginginkan garis darah langsung dari pewaris utama."

Semua mata tertuju pada Hinata.

Naruto maju satu langkah. "Klan kalian harus tahu… aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Hinata."

Hiashi menatap Naruto dalam diam, lalu mengangguk. "Itu sebabnya kami juga memanggilmu. Kau bukan hanya suami Hinata. Kau adalah pelindung Konoha, dan satu-satunya yang mampu menghadapi kekuatan seperti mereka."

Tetua yang lain berbicara, "Tapi ini bukan hanya masalah pertahanan. Kita harus memutuskan: apakah Hinata masih bisa menjadi pewaris dalam kondisi seperti ini? Apakah aman baginya tetap berada di posisi ini, ataukah kita mempertimbangkan… untuk menyerahkan warisan itu pada adiknya, Hanabi?"

Hinata menatap ke bawah, tangannya mengepal di pangkuannya.

Naruto akan membuka mulut, namun Neji lebih dulu bicara. "Hinata sudah lebih dari layak menjadi pewaris. Ancaman bukan alasan untuk mencabut haknya. Justru karena itu, kita harus melindunginya, bukan menggantikannya."

Terdengar gumaman persetujuan… dan beberapa penolakan.

Hiashi memejamkan mata sejenak. Hizashi menepuk bahunya dan berusaha meringankan suasana, seperti biasa.

"Baik. Kita akan mengambil suara dari para tetua malam ini. Namun sebelum itu, saya ingin mendengar langsung dari Hinata… Apakah kau siap, jika situasi ini menjadi semakin berbahaya?"

Hinata mengangkat wajahnya, mata Byakugan-nya menatap lurus ke depan.

"Aku siap, Ayah. Aku tidak akan mundur hanya karena rasa takut. Aku lahir sebagai Hyuuga, dan aku tidak akan lari dari tanggung jawabku."

Hiashi terdiam. Lalu perlahan ia mengangguk dengan bangga.

"Baiklah. Maka keputusan akan kita ambil malam ini. Rapat diskors sementara."

Naruto dan Hinata keluar dari aula.

"Waw, topik yang sangat berat ternyata."

Naruto tertawa canggung dan melihat Hinata yang kelihatan sedikit muram.

"Kau baik-baik saja Hinata?" Naruto mengelus tangannya perlahan.

"Ah Naruto…apakah tadi aku membuat keputusan yang tepat?"

Hinata menatap mara biru gelap Naruto dengan gelisah.

"Hinata." Naruto tersenyum.

"Aku akan menghormati semua keputusanmu…Karena…aku tahu, kah adalah wanita yang pintar, tangguh dan seorang Hyuuga." Naruto tersenyum lembar sembari mengacungkan jempol ke arah Hinata.

"Naruto…" Hinata tertawa kecil, lebih tenang dari sebelumnya.

"Aku hanya takut…jika keputusanku ini salah…dan orang-orang yang tidak bersalah terdampak…"

"Hei, hei…tenanglah…apapun hasilnya kita lalui bersama, oke?" Naruto mengenggam tangan Hinata.

"Baiklah…" Hinata tersenyum lembut.

"Ini baru Putri Byakugan yang aku kenal."

Naruto tersenyum bangga.

Sembari menunggu keputusan dari para tetua, dan kepala keluarga cabang, Naruto dan Hinata diantarkan menuju kamar tamu.

"Ini kamar kalian, kita akan menunggu keputusan para tetua." Ucap Neji.

"Ah baiklah, terimakasih Neji."

Neji mengangguk, "Jangan melakukan hal bodoh ya Naruto." Neji meliriknya dengan tajam.

"Ah..tentu…" Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

'Sial dasar Neji bajingan.' Pikirnya.

Naruto dan Hinata masuk kedalam kamar, mereka melihat hanya ada satu futon di lantai.

Satu futon.

"Ah anu Hinata sepertinya mereka lupa…" Naruto tertawa canggung.

"Ah iya…apa perlu ku mintakan?" Hinata melihat kearah Naruto.

"Tidak perlu, aku bisa tidur di lantai." Naruto tersenyum.

"Tidak Naruto, nanti kau kedinginan!" Hinata mengomel pelan.

"Tidak apa-apa, kau bisa tidur di sebelahku." Hinata memalingkan wajahnya karena malu.

"Ah…b-baiklah kalau begitu." Jawab Naruto.

"Sembari menunggu keputusan tetua, apakah kau mau ikut aku ke taman? Aku sudah lama tidak ke taman disini…"

Hinata tersenyum lembut.

"Tentu saja!" Naruto tersenyum lebar dan mengikuti Hinata.

Mereka berdua berjalan menuju taman keluarga.

"Wah Hinata, ini keren sekali!"

Naruto tersenyum lebar dan tertawa ketika melihat sebuah air mancur, dan puluhan tanaman yang terlihat terawat dan indah.

"Ah benarkah?" Hinata tersenyum.

"Sungguh! Aku belum pernah melihat tanaman yang sangat terawat seperti ini." Naruto pun terkekeh.

"Ayahku memang hobi merawat tanaman, hampir semua tanaman disini adalah hasil rawatan ayahku." Hanabi tertawa kecil.

"Bagaimana dengan yang itu?" Naruto menunjuk kearah sebuah pot berisi bunga matahari.

Wajah Hinata memerah, "Ah anu…itu milikku."

Naruto tersenyum kagum, "Kau sangat keren Hinata! Saat kita masih di akademi, ketika aku mendapat tugas untuk merawat sebuah pohon kecil, pohon ku yang pertama kali mati dari semua yang lain, huft, sungguh kesal." Naruto mengomel pada dirinya sendiri.

Hinata tertawa.

"Kenao kau tertawa Hinata?" Tanya Naruto jengkel.

"Maaf…aku ingat ketika kau tidak sengaja menduduki pohonmy sendiri."

Naruto dan Hinata tertawa bersama.

"Oh iya, aku jadi ingat saat pertama kali kita bertemu di akademi Hinata." Naruto tersenyum lebar.

Hinata yang mendengarnya langsung tersipu malu.

Ya, benar. Dia sudah sejak lama memendam perasaan kepada Naruto.

Namun ia memberitahu dirinya sendiri untuk tidak menyukainya lagi semenjak kejadian itu.

"Kau sangat keren dan berbeda dari yang lain Hinata, aku tidak mengerti kenapa mereka mengucilkanmu."

Flashback 13 tahun yang lalu.

Hinata kecil sedang bermain sendiri ditengah salju, karena teman-temannya yang lain ketakutan dan tidak suka dengan Hinata yang memiki warna mata dan kulit pucat yang tidak biasa.

"Anak aneh!" Pekik salah satu anak yang menjauhi Hinata.

Hinata duduk sendirian di atas tumpukan salju dan bermain sendiri.

Seorang bocah berambut kuning dan bermata biru menghampirinya.

"Hei jangan seperti itu padanya!" Pekik bocah itu.

Tak lama, Naruto dihajar oleh sekelompok bocah tersebut.

Naruto jalan sedikit oleng karena pipinya lebam.

"Ah…apakah kamu baik-baik saja?" Hinata menghampirinya dengan khawatir.

"Ah aku tidak apa-apa." Bocah itu tersenyum.

"Harusnya kau diam saja." Hinata mengambil syal bocah tersebut yang robek.

"Ah punyamu rusak…" Hinata melihatnya.

"Ah tidak apa-apa. Ngomong-ngomong siapa kamu? Namaku Naruto Uzumaki."

Hinata menjawabnya, "A-ah n-namaku Hinata Hyuuga."

Bocah berambut kuning itu tersenyum, "Ah Hyuuga? Pantas saja matamu sangat unik!" Naruto tersenyum.

"Senang berteman denganmu Hinata."

End of flashback

"Mata milikmu itu sangat indah dan unik Hinata. Aku heran kenapa anak-anak lain menyebutnya aneh." Naruto meringis.

"Ah…aku juga tidak tahu." Hinata menggelengkan kepalanya.

"Kita hidup di dunia dimana perbedaan dianggap hal yang buruk…" Naruto menghela nafasnya.

"Kau dan aku…kita mirip. Semasa kecilku, aku selalu dikucilkan karena kyuubi yang disegel dalam diriku, semua orang menyebutku monster." Naruto tertawa kecil.

"Namun mereka semua sekarang mengandalkanku."

Hinata menatap kearah Naruto.

"Aku tidak pernah membencimu Naruto, aku selalu percaya padamu, seperti bagaimana kau percaya padaku."

Disaat itu, waktu seakan terasa terhenti.

Hinata tersenyum lembut dibawah sinar bulan, kulit pucatnya terlihat sangat bersinar. Mata lavendernya memancarkan cahaya yang belum pernah Naruto lihat.

Dia tidak menyadarinya, namun, di saat itulah, ia jatuh cinta padanya.

"Naruto, Hinata! Para tetua sudah membuat keputusan!"

Panggil Neji.

Hiashi berdiri tegak di hadapan para tetua, Hinata, Naruto, dan Neji.

"Kami telah mempertimbangkan banyak hal, termasuk keseimbangan internal dan ancaman dari luar—khususnya Otsutsuki yang mengincar Byakugan."

Salah satu tetua angkat bicara.

"Kami sepakat bahwa menggunakan segel pelindung pada anggota utama tidak relevan lagi dalam zaman yang berubah ini. Tidak adil, dan bisa menimbulkan ketegangan baru antara klan utama dan cabang."

Hinata terlihat lega, namun tetap waspada.

Tetua lain melanjutkan, "Namun, keamanan tetap prioritas. Maka kami mengajukan alternatif: proteksi berbasis chakra dan sensor."

Naruto langsung menatap para tetua.

"Itu berarti—menggunakan sistem pelacak chakra?"

Hiashi mengangguk.

"Benar. Namun, bukan sembarang sistem. Klan Hyuuga akan bekerja sama dengan Konoha dan… denganmu, Naruto."

Naruto terkejut.

"Dengan aku?"

Kepala keluarga cabang, Hirotaka, menjelaskan.

"Kyuubi di dalam tubuhmu memiliki jaringan chakra yang sangat luas dan sensitif. Jika kau bersedia, kami bisa menciptakan segel pelindung chakra ringan pada Hinata—bukan untuk mengontrol, tapi untuk membuat Naruto bisa merasakan jika ada perubahan drastis pada chakra Hinata."

Hinata menatap Naruto, penuh harap dan gugup.

Naruto mengangguk perlahan.

"Aku setuju. Kurama juga bisa membantuku mendeteksi perubahan chakra dari jarak jauh. Kalau Hinata dalam bahaya, aku akan jadi orang pertama yang tahu."

Para tetua saling bertukar pandang, lalu mengangguk.

"Dengan persetujuanmu, maka kita akan mulai menyiapkan metode ini malam ini. Besok pagi, penguatan chakra pelindung akan dilakukan oleh tim medis dan sensor chakra Konoha yang bekerja sama dengan Hyuuga."

Hinata menarik napas lega. Ia tahu ini masih langkah besar, tapi tak ada paksaan seperti segel dahulu.

Neji melangkah maju, "Aku juga akan tetap memimpin tim penjaga pribadi, untuk berjaga-jaga."

Naruto tersenyum. "Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa… aku yang pertama datang, dan yang terakhir pergi."

Hiashi menatap mereka berdua. Wajah kerasnya melunak sesaat.

"Begitulah seharusnya… suami istri."

Setelah para tetua membubarkan diri, para anggota keluarga mulai meninggalkan aula.

Di sudut aula, Hizashi berdiri memandangi Neji yang sedang berbincang dengan Hiashi dan Naruto.

Wajahnya tenang, namun matanya menunjukkan emosi yang dalam. Ia menunggu sampai Neji selesai berbicara, lalu menghampirinya perlahan.

"Neji."

Neji menoleh dan langsung menunduk hormat. "Ayah."

Hizashi menatap putranya sejenak, lalu meletakkan tangan di pundak Neji.

"Kau berbicara dengan percaya diri di depan para tetua… Kau benar-benar sudah tumbuh menjadi seorang lelaki sejati."

Neji terlihat sedikit terkejut, namun matanya melembut.

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya, Ayah."

"Tapi tidak semua orang bisa melakukannya dengan kepala tegak seperti itu." Hizashi tersenyum kecil.

"Dulu aku selalu takut kalau nasib kita hanya ditentukan oleh segel di dahi… Tapi melihatmu hari ini, aku yakin… jalanmu jauh melampaui itu."

Neji menunduk, menahan emosi yang mulai menghangat di dada.

"Terima kasih, Ayah. Aku tidak akan membuatmu malu."

Hizashi menepuk bahunya.

"Bukan hanya tidak membuatku malu… Kau membuatku bangga."

...

Hai semua, author sedang ngebut untuk nyelesain cerita ini, karena author punya kebiasaan mati ide di tengah cerita. Makanya ingin ku kebut, mungkin akan banyak sekali typo, tapi author yakin jalan ceritanya akan menarik! Terimakasih banyak!!