Title: The Doctor and the Policeman II

Genre: Romance, fluff

Rate: T

Words: 2k

Sequel of The Doctor and the Policeman


Sebagai seorang polisi yang lebih banyak berpatroli daripada menangani suatu kejahatan, Harry tidak pernah merasa bosan dengan apa yang dilakukannya. Sedikit berbeda dengan rekannya yang duduk di kursi penumpang di sampingnya, Ron Weasley. Meskipun menciptakan kedamaian adalah pekerjaan mereka, tetap saja Ron berharap bisa menemukan suatu kejadian menarik.

Mungkin karena itulah Ron meminta Harry menghentikan mobil patroli mereka. Saat Harry bertanya apa yang ingin dilakukannya, Ron menunjuk ke seberang jalan. Terlihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan papan luncurnya.

"Bocah itu sedang dalam kesulitan, aku harus membantunya," katanya dan kemudian keluar dari mobil. Ia langsung menyeberang dan menghampiri anak laki-laki itu.

Tentu saja Harry dibuat bingung oleh tingkah rekannya. Namun kemudian Harry hanya bisa tertawa saat tahu ternyata bantuan yang diberikan oleh Ron adalah mengajarkan anak laki-laki itu bermain papan seluncur. Yah, meskipun rekannya itu selalu ingin menangani keributan atau kejahatan, tetap saja Ron sangat ramah dengan anak-anak.

Harry pun berpikir untuk bergabung dengan mereka. Ia sudah keluar dari mobil dan bersiap untuk menyeberang. Sebelum manik hijau Harry tidak sengaja menangkap sosok pemuda berambut pirang yang baru saja keluar dari toko.

Harry seketika lupa dengan anak laki-laki dan papan luncurnya. Kaki Harry bergerak begitu saja mengejar pemuda berjas putih itu. Ia menyapa pemuda tersebut. "Draco!"

Pemilik nama menoleh. Ia membalas lambaian Harry padanya. "Oh, Harry, sedang apa kau di sini?" tanya Draco saat Harry sudah berada di depannya.

"Hanya berpatroli," jawab Harry. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Kabur dari rumah sakit?"

"Kau pikir aku dokter yang seperti apa, ha?" Draco membalas dengan nada kesal. "Ada terlalu banyak orang di kantin rumah sakit sekarang. Aku bahkan tidak bisa makan sesuap saja dengan tenang di sana. Makanya aku memilih untuk mencari makan siang di luar."

"Sendirian?"

"Kau lihat ada orang bersamaku?"

Harry tertawa pelan. Nada kesal dan jengkel itu, Harry sungguh menyukainya. Meskipun, Harry tahu jika ia seharusnya tidak membuat Draco semakin lelah dengan candaanya. Dari mata merah dan rambut pirang yang berantakan itu, Harry yakin betul jika Draco lagi-lagi tidak punya kesempatan untuk tidur demi pekerjaannya.

Sejak Harry berada di rumah sakit ia sudah melihat sendiri bagaimana sibuknya Draco. Pasien terus berdatangan tiada henti. Draco harus bolak-balik ruang operasi dan kamar pasien yang ditanganinya. Ia benar-benar pekerja keras. Kemudian, setelah Harry keluar dari rumah sakit, setelah ia dan Draco saling bertukar kontak, Harry banyak mendengar keluhan sang dokter saat sedang lembur. Terlalu sering rasanya Draco mengeluh karena ia harus bekerja melebihi shift yang seharusnya. Tapi tetap saja, Draco itu workaholic yang tidak mau mengaku. Berbanding terbalik dengan keluhan dan protesnya, Draco tetap saja bekerja dengan gila seolah tidak ada yang lebih penting yang bisa ia nikmati di dunia ini.

"Bagaimana kakimu? Apa masih nyeri?" Draco segera mengganti topik pembicaraan mereka. Ia melirik kaki kanan Harry yang terlihat baik-baik saja. Yah, setidaknya terlihat baik-baik saja karena tertutupi celanan panjangnya.

Harry tersenyum simpul. Ia mengangkat kaki kanannya dengan raut bangga di wajahnya. "Aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi selain baik-baik saja. Well, thanks to you, I guess." Harry menaikkan sebelah alisnya.

Draco mengedikkan bahu. "Obviously. I was your savior, Officer."

Harry tersenyum makin lembut. Manik hijaunya bersinar terang di balik kacamatanya. "And I hope, you are."

Hening yang cukup lama. Hanya suara deru mobil di jalan yang mengisi kebisingan. Hingga Draco akhirnya kembali bersuara. Sudut bibirnya terangkat. "Well, you know..."

"Harry!" Baik Harry maupun Draco menoleh ke asal suara. Tampak Ron yang sudah kembali ke mobil patroli mereka. "Kita mendapat panggilan, c'mon mate."

"Oh, I'm coming," balas Harry singkat. Ia kemudian kembali menghadap Draco. "Kau mau bilang apa tadi?'

Draco menggeleng. Ia tersenyum tipis. "Bukan apa-apa. Sebaiknya kau segera pergi."

Harry mengangguk. Ia pamit dan kemudian segera berlari menuju mobil patrolinya. Harry sempat melambai sebelum masuk ke mobil. Ia tersenyum lebar saat Draco membalas lambaiannya. Barulah kemudian Harry masuk dan mobil polisi itu bergerak.

Di dalam mobil, Harry sibuk mendengarkan penjelasan Ron mengenai apa yang terjadi dan apa yang harus mereka lakukan nanti. Sementara itu, Draco, dengan jas putihnya yang begitu mencolok masih berdiri di depan toko. Ia menatap mobil polisi yang semakin menjauh. Draco menghela napas. Mungkin sekarang bukan saatnya, ia akan mencoba lagi kapan-kapan.

.

Tangan Harry tak henti-hentinya menyentuh rambut hitamnya. Wajahnya yang menekuk sangat jelas menunjukkan bahwa ia tidak menyukai gel yang membuat rambutnya jadi aneh ini.

"Stop touching your hair, Harry," suara ibunya, Lily, membuat Harry otomatis menurunkan tangannya. Tentu saja, dengan wajah yang cemberut. Lily terkekeh, gemas dengan anak lelakinya yang sudah dewasa namun masih seperti bayi di matanya itu. "You're so gorgeous, dear," ucapnya menyenangkan hati anak semata wayangnya itu.

James, yang menyetir mobil dan tidak mengalihkan pandangannya dari jalan, ikut terkekeh bersama istrinya. "Jangan terlalu lama memasang raut wajah seperti itu, Harry. Smile! Go get yourself a girlfriend! Or maybe a boyfriend."

Harry memutar mata malas. Apa kedua orang tuanya ini masih menganggapnya remaja 19 tahun? Inilah kenapa Harry selalu menolak jika ayah dan ibunya mengajaknya untuk berkumpul bersama teman-teman mereka. Mereka berharap jika Harry bisa menemukan seseorang. Oh ayolah, apakah itu perlu? Harry sudah hampir kepala tiga, ia merasa jika kedua orang tuanya itu tidak perlu lagi ikut campur urusan asmaranya.

Malam ini, Harry tidak bisa kabur. Ia tidak bisa lagi menggunakan alasan bahwa ia harus berpatroli malam ini. Cerdik sekali ibunya, memintanya pulang karena kangen dengannya. Namun begitu Harry sampai di rumah, ia malah disuguhkan dengan set baju yang baru dibelikan oleh ibunya, sebuah kemeja putih bergaris biru dan celana jeans. Harry bahkan hanya bisa menghela napas pasrah saat Lily mendudukkannya di depan cermin dan mulai menata rambut sarang burungnya. Itulah bagaimana Harry kini hanya bisa duduk dengan raut wajah cemberut di kursi belakang.

Lily dan James mendapat undangan standing dinner dari rekan kerja mereka. Setidaknya Harry bersyukur ini bukanlah acara formal yang mengharuskannya menggunakan setelan jas.

"All right, c'mon." James membuka sabuk pengamannya setelah memarkirkan mobil. Sebelum membuka pintu, ia menoleh ke belakang. "Jangan lupa nak, cari seseorang untuk menemanimu malam ini, karena aku tidak akan mengantarkanmu pulang." Dan kemudian ia keluar dengan senyum di wajahnya

Harry hanya bisa menghela dengan pasrah. Tanpa semangat sedikit pun, ia membuka pintu dan keluar dari mobil. Harry kemudian berjalan di belakang ayah dan ibunya yang mulai menyapa teman-teman mereka.

Yang bisa Harry lakukan kini hanyalah memasang senyum setiap kali teman-teman orang tuanya menyapa. Ia akan memasang topeng dengan manik hijau yang berkilau itu saat mengobrol. Jujur saja, Harry tidak begitu menyukainya. Ingin sekali rasanya Harry menarik diri dari kerumunan dan mengistirahatkan tubuhnya. Hei, percayalah, bahkan polisi yang kebanyakan perkejaannya hanya berpatroli sangatlah butuh waktu istirahat.

Harry setidaknya dapat kabur dari Lily dan James setelah beberapa saat. Kedua orang tuanya itu benar-benar asyik mengobrol hingga melupakan anak tunggal mereka. Itulah kenapa Harry berdiri sendirian, dengan tangan yang memegang segelas jus.

Harry menikmati makan malamnya, (bagian paling terbaik di acara ini adalah makanannya) ketika tiba-tiba seseorang memanggil namanya. "Harry?" Suara yang familiar itu langsung membuat Harry menoleh. Ia terkejut bukan main saat mendapati Draco berdiri di belakangnya. Harry pun langsung berbalik dan menghadap Draco sepenuhnya.

"Draco! What a surprise!" Harry sama sekali tidak menyadari jika ini adalah pertama kalinya suaranya meninggi sejak ia datang ke acara makan malam ini. Dan tentu saja, alasannya adalah dokter yang kini berdiri di depannya.

"Ternyata benar-benar kau, Pak Polisi. Awalnya kupikir hanya orang mirip." Draco membalas senyum Harry yang menurutnya terlalu bersemangat. Tapi hal itu bagus, Draco menyukainya.

Harry menatap Draco dari atas hingga ke bawah, lalu kembali lagi ke atas. "Wow, you're looking so han..." Saat matanya bertemu pandang dengan Draco, Harry tiba-tiba merasa malu. "... different." Suara Harry tiba-tiba mengecil.

Sementara itu, Draco malah terlihat malu-malu. Telinganya memerah di bawah lampu yang temaram. "Ah, begitukah?"

Harry mengangguk dengan pasti. Ia tidak bisa berbohong sekarang. Dokter berantakan dan menyedihkan yang malam itu menyelamatkan nyawanya seolah terlahir kembali menjadi seseorang yang jauh sekali berbeda. Rambut pirang yang biasanya kusut itu kini tersisir rapi ke belakang. Mata merah yang selalu terlihat mengantuk dengan kantung mata hitam itu kini terlihat cerah. Jas putih yang selalu dipakainya kini digantikan oleh kemeja hitam yang sangat sesuai di badannya. Draco benar-benar terlihat berbeda sekarang.

Harry menyadari jika ia menatap Draco terlalu lama. Ia pun buru-buru mencari topik pembicaraan baru. "Um... Jadi, kau juga diundang, ya. Apa si tuan rumah adalah pasienmu? Atau mungkin kau sama sepertiku, dipaksa datang oleh orang tuamu." Harry meletakkan gelasnya di atas meja. Ia mencoba bersikap seperti biasa.

Draco mendengus, menahan tawanya. "Well, kau bisa bilang kalau aku memang dipaksa oleh ayahku untuk datang. Dan apakah si tuan rumah adalah pasienku? Sebenarnya aku memang pernah menangani luka ayahku, jadi yah, bisa dibilang juga kalau aku dapat undangan dari tuan rumah yang kebetulan pernah menjadi pasienku."

Kedua manik hijau Harry membulat. "Tunggu, maksudmu," Harry menunjuk seorang pria yang kini berbicara dengan ayahnya, "dia adalah ayahmu?"

Draco mengangguk singkat dengan senyum tipis di wajahnya. "Kupikir kami cukup mirip sehingga orang-orang tidak perlu lagi bertanya."

"Well..." Harry menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bagaimana bisa ia menyadarinya. Pikiran Harry sedari tadi sibuk memikirkan bagaimana caranya kabur dari sini. Lagipula, ia juga tidak pernah membayangkan akan bertemu Draco di sini.

"Er, you know, Harry," Draco berdeham. Pandangannya turun menatap rumput di bawah, sebelum kembali mengangkat pandangan menatap Harry. "Aku sebenarnya tidak terlalu suka tempat ramai seperti ini. Dan kebetulan aku tahu sebuah tempat yang cukup sepi dan, yah, bisa dibilang sebagai tempat yang bagus untuk menikmati langit malam. Oh, tentu saja tempat itu masih di sekitar sini, jadi kau tidak perlu khawatir jika orang tuamu mencarimu. M-maksud, jika kau mau pergi ke sana, kau bisa kembali ke sini lagi semaumu. Jadi... yah..."

Harry tidak bisa menahan gemasnya melihat Draco yang tiba-tiba saja sudah menjadi kepiting rebus. Harry tersenyum lebar hingga pipinya terangkat. "All right then, bawa aku ke sana."

Draco memang tidak memperlihatkannya, tapi sejujurnya ia menahan dirinya untuk tidak berteriak girang sekarang. Maka Draco menuntun Harry untuk mengikutinya. Ia membawa Harry menaiki tangga menuju atap.

Seperti yang Draco bilang sebelumnya, tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua di sana. Namun tempat itu tidak lepas dari ornament pesta outdoor yang terlihat... romantis? Kemudian, yang paling membuat Harry takjub adalah ketika ia mengangkat pandangannya ke langit. Sudah lama rasanya Harry tidak melihat gugusan bintang sebanyak ini di langit kota London.

"Tempat ini luar biasa," ucap Harry dengan lembut. Ia menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

Draco mengangguk setuju. Itulah kenapa ia membawa Harry ke sini. Ia tahu betul polisi itu akan menyukainya. Bahkan kebisingan pesta di bawah seolah terdam di sini. Tempat ini benar-benar cocok menjadi tempat pelarian mereka.

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang menemani mereka. Tidak ada yang berbicara karena keduanya menikmati bertemu pandang dengan bintang-bintang langit. Hingga saat Harry melirik Draco dari ujung matanya.

"Ini pertama kalinya aku melihatmu dengan gaya rambut itu," ucap Harry yang membuat Draco menoleh kepadanya.

Draco, ia menyentuh rambut pirangnya dengan canggung. "Sebenarnya aku paling sering menggunakan gaya rambut seperti ini. Tapi, setelah bekerja, aku tidak punya waktu untuk menatanya. Bahkan untuk sekadar merapikannya." Draco sekali lagi terlihat malu-malu. "Apa aku terlihat aneh?"

Harry seketika menggeleng, sangat tidak setuju. "That's suit you well."

Draco tahu betul jika Harry tidak berbohong dengan perkatannya. Itulah kenapa ia tidak bisa berhenti tersenyum. "Dan kalau aku boleh jujur, menurutku kau tidak terlihat begitu berbeda," ucap Draco yang cukup membuat Harry bingung. "Kau selalu terlihat, um, keren dengan seragammu, begitupun malam ini. Menurutku," Draco memberi jeda sebelum melanjutkan perkatannya, "kau akan terlihat bagus kapanpun dan dengan apapun yang kau kenakan."

Siapa yang tidak suka dengan pujian? Harry pun suka dipuji. Jadi, wajar rasanya jika ia merasakan panas di kedua pipinya sekarang. Tapi, satu hal yang membuat Harry tidak yakin. Apakah panas di pipinya itu memang karena pujian Draco, atau karena senyum yang diberikan oleh sang dokter.

Harry masih belum terbiasa dengan penampilan Draco di depannya. Pria yang biasanya ia temui dengan lingkaran hitam di bawah matanya itu benar-benar terlihat bersinar dengan pakaian serba hitamnya. Rambut yang biasanya lebih berantakan dari miliknya itu kini terlihat begitu lembut hingga Harry sangat ingin menyentuhnya. Harry tahu, sejak mereka bertemu di rumah sakit, ia mengakui bahwa Draco adalah lelaki tampan yang disukai oleh banyak orang. Tapi, Harry tidak pernah menyangka jika ia ternyata setampan ini. Ternyata memang benar, dokter memang selalu akan terlihat luar biasa.

"Harry?" Draco menyentuh pundak Harry, bingung karena tiba-tiba ia termenung. "Ada apa? Kau memikirkan sesuatu?"

"O-oh, itu, bukan apa-apa," Harry tertawa denga canggung. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan jantungnya yang berdebar diluar batas normal ini. Apalagi saat Draco memajukan tubuhnya mendekat, Harry bisa merasakan dadanya hampir meledak.

Manik kelabu Draco menatap Harry dalam. Sementara yang ditatap berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kegugupannya. Meskipun pandangannya terpaku pada Draco, tetapi sepertinya Harry tidak menyadari rona merah di kedua pipi Draco.

"Harry, can I... kiss you?" Suara Draco hampir sama halusnya dengan suara angin. Namun karena jarak yang tipis di antara mereka, kata-katanya menjadi begitu jelas terdengar.

Harry terdiam, ia tidak tahu harus bilang apa. Hanya ketika Draco tiba-tiba mengambil langkah mundur dengan wajah yang sudah sangat merah, barulah ia kembali ribut.

Draco melambaikan tangannya di depan dada sambil menggeleng. "Ma-maaf, maksudku bukan begitu. A-aku sebenarnya... Uhm, y-ya aku hanya bercanda..."

"Yes."

"Eh?" Draco yang sedari tadi meracau tak jelas seolah hidupnya sudah berakhir, terdiam. Ia menatap Harry dengan bingung dan terkejut. "A-apa?"

Harry terkekeh pelan. "I said 'yes'. You heard me."

"Y-yeah I heard you. So, I can k-kiss..." Anggukan ringan dari Harry membuat Draco seketika kembali mendekat.

Kali ini Harry juga ikut mendekat. Ia mengangkat wajahnya, memberikan kesempatan bagi Draco untuk menciumnya. Bibir mereka bertemu, begitu lembut dan manis. Jantung Harry sudah berdebar kencang sedari tadi, dan kini, ketika lengan Draco melingkar di pinggangnya, dada Harry benar-benar meledak karena terlalu bahagia. Tanpa ragu, Harry pun mengangkat lengannya dan melingkarkannya di pundak Draco.

Apa yang dilakukan oleh Harry membuat Draco semakin memperdalam ciuman mereka. Inilah yang selama ini ia inginkan. Inilah yang Draco selalu bayangkan. Bibir lembut Harry benar-benar membuatnya terbuai, sementara hangatnya membuat Draco meleleh. Rasa penat yang selalu membuat tubuhnya lemas itu seketika hilang.

Hal yang sama terjadi pada Harry. Ia pun sudah lama menantikan momen ini. Harry bahkan bisa mengatakan betapa ia menginginkan Draco sejak mereka saling mengenal di rumah sakit. Dokter itu mencuri perhatiannya dengan rambut pirangnya yang berantakan.

Saat menikmati rasa manis dari ciuman Draco, Harry perlahan membuka matanya. Seketika, manik hijaunya bertemu dengan manik kelabu Draco. Baru saja Harry ingin menyatakan betapa ia tersihir dengan sepasang manik yang kini menatapnya penuh damba, ketika tiba-tiba Draco menarik diri. Bukan hanya itu, Draco bahkan mengalihkan pandangannya, tidak mau menatap Harry.

"Draco? Ada apa?" tanya Harry bingung. Sekilas Harry berpikir bahwa Draco menyesali ciuman mereka, tapi itu tidak mungkin. Lengan Draco masih melingkar di pinggangnya, tidak mungkin Draco mundur. Namun kenapa sekarang Draco malah enggan menatapnya?

"S-sorry..." Draco berucap tergagap, masih berbalik dan tidak mau menatap Harry. Namun saat itulah Harry menyadari bahwa telinga Draco memerah.

Harry tidak bisa menahan senyumnya. Tangannya bergerak menangkup wajah Draco, memintanya untuk menatapnya. Ia tersenyum lebar saat melihat wajah Draco yang benar-benar sudah memerah. "Ada apa denganmu?"

Draco terlihat sangat kesulitan menahan rasa malu yang terlihat jelas di wajahnya. Ia sekarang sudah kembali menatap Harry. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. "You're so pretty that I can't even dare to look at you! Ma-makanya aku kaget sekali saat kau tiba-tiba membuka matamu."

Harry terkekeh. Tangannya masih belum lepas dari wajah Draco. Manik hijaunya bersinar, mengagumi pria di depannya. "Look at yourself, Dr. Malfoy. Kuharap aku bisa melihatmu semenawan ini dengan jas putihmu." Harry dengan sengaja merendahkan suaranya, menggoda dokter dalam genggamannya.

Dan, yah, Draco lemah terhadap Harry. Ia tidak tahan dan memeluk Harry semakin erat, menenggelamkan wajahnya di pundak si Polisi. "Lalu apa? Kau mau aku memakai jas dokterku saat kita berkencan?"

Harry terkekeh gemas. Meskipun tidak bisa melihatnya, tapi Harry yakin seratus persen jika wajah Draco sudah lebih merah dari sebelumnya. Harry mengelus rambut pirang Draco dengan sangat lembut, tidak mau merusaknya. "Kencan? Kupikir kau berkencan dengan bangsal rumah sakit."

Draco seketika mengangkat kepalanya. Ia menatap Harry dengan wajah sedikit kesal. "Dan kukira kau berkencan dengan mobil patrolimu."

Harry lagi-lagi dibuat tertawa oleh Draco. Ia kemudian memberikan sebuah kecupan di pipi Draco. Ditatapnya pria itu dengan lembut. "Am I your boyfriend now?"

Pertanyaan itu membuat Draco tersenyum. "Yes, Officer, you're mine now. Mine for the rest of our lives."

Kata-kata itu terlalu norak bagi Harry, namun ia menyukainya. Tidak. Harry menyukai bagaimana Draco mengatakannya. Dengan sedikit dorongan, Harry meminta Draco menciumnya kembali. Maka Draco menciumnya, memberikan apa yang diinginkannya.

Keduanya tersenyum di tengah ciuman mereka. Terutama Harry yang tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Siapa yang menyangka, jika ia akan menjadi milik si Dokter berantakan yang bahkan tak punya waktu tidur itu. Oh, ternyata kecelakaannya malam itu bukanlah kesialan, tetapi keberuntungan.

.

.

.

The Doctor and the Policeman II Completed

.


.

A/N

Weehhh udah berapa lama ini aku nggak balik ke sini? Masih ada nggak ya, yang mau baca :"

By the way... aku ada proyek Drarry yang baru nih... multichapter. Nanti kalau udah siapa buat di publish, aku kabarin di sini deh! Okay guyssssss see you!

Virgo