.
Genap
(Tuhan mengirimkan seorang teman, untukmu yang tak merasa utuh)
.
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
.
.
Hujan turun seperti biasa di bulan Juni, tidak tergesa-gesa namun cukup deras untuk membuat orang enggan keluar rumah tanpa payung. Aroma tanah basah menyusup dari celah-celah jalan batu, menyelinap ke toko-toko kecil yang berjajar di ujung distrik Konoha bagian timur. Salah satunya adalah toko senjata milik keluarga Tenten.
Toko itu tidak pernah terlalu ramai sejak perang usai. Tapi bagi Tenten, sunyi yang menempel pada bangunan kayu berumur itu seperti teman lama yang tahu kapan harus diam dan kapan membiarkan suara hujan mengambil alih segalanya.
"Kalau aku duduk di sini sepuluh menit lagi, kau akan mulai bertanya mengapa aku tidak kerja, ya kan?"
Suara itu datang dari lelaki yang sudah terlalu sering muncul tanpa aba-aba, seolah langit mendung selalu menjadi isyaratnya untuk datang. Shikamaru Nara berdiri di depan pintu toko, menyingkirkan air hujan dari ponchonya, lalu masuk tanpa menunggu jawaban.
Tenten hanya mengangkat bahu, menurunkan gelas teh dari bibirnya. "Kau sudah duduk dua puluh menit, Shikamaru. Tapi aku baik hati hari ini, jadi anggap saja kau bagian dari dekorasi musim hujan."
Shikamaru tertawa pelan, lalu duduk di bangku kayu panjang dekat jendela. Dari situ, bunga Ajisai tampak mulai mekar di sisi luar toko, warna ungunya berbaur dengan kaca jendela yang mulai berkabut.
"Mereka tumbuh bagus tahun ini," gumamnya, menatap keluar.
"Ajisai?" Tenten melirik ke arah yang sama. "Iya, padahal bulan lalu masih cuma daun. Lucu ya, mereka baru cantik saat musim hujan datang."
"Simbol yang menarik untuk seseorang sepertimu," ujar Shikamaru tanpa menoleh. "Kau juga… baru akan tenang dan cantik waktu badai datang."
Tenten tertawa kecil, setengah geli setengah terkejut. "Kau selalu bisa merangkai kalimat ambigu seperti itu, ya?"
"Masalahnya kau selalu bisa mengartikan kalimat ambigu itu dengan benar," balas Shikamaru santai, masih menatap hujan yang menetes dari pinggiran atap.
Tak ada yang berbicara beberapa saat. Hanya suara rintik hujan, sesekali diselingi suara sendok menyentuh gelas, dan derit kayu dari bangku tua yang diduduki Shikamaru.
Tenten meletakkan gelasnya dan menyandarkan diri pada dinding. "Kau datang ke Festival Ajisai tahun ini?"
"Belum tahu. Kalau aku datang, berarti kau juga datang, ya?"
"Mungkin."
"Mungkin?"
"Ya. Bukan berarti aku suka festival ramai. Tapi Ajisai… aku selalu suka bunga itu. Ada sesuatu yang menyedihkan tapi juga tenang tentang mereka."
Shikamaru menatapnya sejenak, lalu menunduk. "Terkadang, sesuatu yang menyedihkan itu justru yang membuat kita bertahan, ya?"
Tenten tidak menjawab. Tapi matanya menatap hujan seolah mencari sesuatu yang tak bisa disebutkan. Mungkin kenangan. Mungkin orang-orang yang tak kembali. Atau mungkin hanya dirinya sendiri yang belum utuh sejak perang terakhir.
.
.
.
Festival Ajisai akan diadakan dua hari lagi, tapi toko Tenten tetap sepi. Beberapa penduduk sibuk mempersiapkan kios dan lentera, tapi sisi jalan di distrik ini belum seramai yang lain. Shikamaru kembali muncul keesokan harinya, membawa dua kotak bento seadanya yang katanya dibuat Choji. Tenten tahu Shikamaru tidak akan repot-repot memasak sendiri, jadi dia menerimanya dengan tenang dan sedikit senyum mengambang.
"Bagaimana kalau aku ikut bantu persiapan festival di distrik barat?" Shikamaru berkata saat membuka kotak makannya.
Tenten mengangkat alis. "Kau? Bantu persiapan? Aku pikir kau alergi dengan kerja fisik."
"Aku tidak akan bantu angkat-angkat. Hanya jadi pengawas strategi logistik," ujarnya santai. "Dan itu terdengar keren waktu aku bilang ke Tsunade-sama."
"Hah. Pengawas logistik festival bunga. Hebat juga kamu, Nara," gumam Tenten, menyuap makanannya.
Shikamaru menatapnya sejenak. "Kau terlihat tenang beberapa hari ini. Tidak seperti waktu aku pertama kali mulai nongkrong di sini. Waktu itu kau… seperti punya banyak hal yang kau tahan di dalam."
Tenten tidak langsung menjawab. Dia mengunyah perlahan, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hujan sudah reda, tapi tetes air masih menempel di daun-daun Ajisai yang basah.
"Mungkin karena sekarang aku belajar membiarkan hal-hal itu menetap. Tidak selalu harus dilawan, kan?" katanya akhirnya. "Kadang… cukup ditemani."
Shikamaru tersenyum kecil, lalu merebahkan diri sedikit ke belakang.
"Kau tahu tidak, kenapa Ajisai tumbuh di musim hujan?" tanyanya.
"Kenapa?"
"Karena mereka butuh banyak air untuk mekar. Tapi bukan sembarang air—mereka suka kelembapan dan cuaca yang tidak pasti. Mirip manusia, ya? Kadang kita butuh ketidakpastian untuk tumbuh."
Tenten terdiam sesaat. "Itu filosofi yang bagus untuk bunga kecil berwarna ungu."
"Dan filosofi yang bagus buat dirimu juga."
Ada keheningan yang aneh setelah itu, bukan karena canggung, tapi karena keduanya sedang menikmati waktu. Angin lembap dari sisa hujan meniup pelan tirai bambu yang menggantung di ambang pintu. Aroma kayu basah dan teh jahe memenuhi udara.
Festival Ajisai datang dengan warna-warna pastel dan suara tawa anak-anak. Lentera tergantung rendah, mewarnai jalanan dengan cahaya kekuningan yang temaram. Shikamaru datang lebih dulu malam itu, berdiri di samping gerbang masuk sambil menyalakan rokok yang hanya digigit tanpa benar-benar dihisap. Dia tahu Tenten bukan tipe yang suka keramaian, tapi dia tetap datang lebih awal—semacam harapan yang samar bahwa mungkin malam ini gadis itu akan muncul juga.
Dan dia datang. Dengan pakaian sederhana dan rambut yang digulung asal. Tapi bagi Shikamaru, Tenten malam itu seperti Ajisai yang mekar sempurna di antara kabut—tidak mencolok, tapi indah dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.
"Maaf telat. Aku harus bantu Ayah membereskan toko dulu," katanya, sedikit terengah.
Shikamaru mengangguk pelan. "Tak apa. Festival baru saja mulai."
Mereka berjalan beriringan, tidak terlalu dekat tapi tidak juga berjauhan. Suara festival berbaur dengan musik lembut dan desau angin malam. Warna-warna bunga Ajisai menghiasi tiap sudut jalan, dalam pot dan rangkaian gantung, berpendar samar di bawah lampu kertas.
"Kadang aku iri dengan bunga ini," kata Tenten, tiba-tiba.
Shikamaru menoleh. "Kenapa?"
"Mereka bisa mekar penuh walau dihujani terus-menerus. Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk terlihat utuh lagi."
Shikamaru menatapnya lama sebelum menjawab, "Bunga juga tidak selalu mekar indah, Ten. Ada yang tumbuh bengkok, layu, bahkan gagal mekar. Tapi mereka tetap disebut bunga."
Tenten menahan senyum. "Kau selalu punya jawaban puitis, ya?"
"Aku hanya menyambungkan apa yang terlihat. Kau yang terlalu peka, jadi kedengerannya dalam."
Mereka tertawa kecil. Malam makin larut, tapi festival justru semakin ramai. Lentera semakin terang, dan Ajisai menggantung seperti bintang kecil yang menyala di kegelapan.
Shikamaru dan Tenten berhenti di dekat jembatan kecil yang membentang di atas sungai. Air mengalir tenang, memantulkan cahaya warna-warni di permukaannya. Di situlah Shikamaru bicara lagi, kali ini lebih pelan.
"Tenten, kalau suatu hari nanti kau merasa sendirian lagi… kau bisa datang ke toko teh di utara. Aku sering di sana sore-sore."
Tenten menatapnya, dan senyum yang muncul di bibirnya bukan karena geli, tapi karena hangat. "Kalau kau yang datang duluan ke sini, aku juga tidak keberatan."
Angin malam menyentuh kulit mereka, membawa wangi Ajisai yang lembut dan sedikit getir. Tapi tidak ada yang merasa dingin. Karena untuk malam itu, di antara sisa-sisa hujan dan bunga yang mekar, mereka tidak sedang sendiri.
.
.
.
TAMAT.
