Disclaimer : Lupinranger vs Patranger belongs to Toei and Ishinomori Shotaro

Note : AU, mungkin OOC, character death, no gangler, no lupin collection


"Semesta memiliki cara tersendiri untuk menghindarkan kita dari maut. Jika kita terlambat atau lupa—karena alasan yang bukan karena kesengajaan—naik pesawat, bus, kereta api, atau kendaraan kita mogok tiba-tiba ... mungkin itu cara semesta mengatakan bahwa Ajalmu Belum Tiba."


Yano Kairi melangkah santai menyusuri lorong yang menuju ke kelasnya saat tiba di sekolah. Entah mengapa suasana hatinya sangat bagus hari ini, dan ia pun merasa udara lebih sejuk dan bersahabat meski sudah memasuki musim panas. Namun, ada satu hal yang mengusiknya. Ke mana semua biang ribut yang biasanya mangkal di depan kelas?

Kairi melirik jam tangannya dan ia mengernyit. Baru pukul 6.30 pagi, artinya masih ada waktu satu jam setengah sebelu bel masuk berbunyi. Tapi, ke mana teman-temannya? Bahkan dua sohib kentalnya yang ceriwis pun tak kelihatan batang hidungnya.

Pasti ada yang tidak beres, Kairi membatin.

Ia pun segera masuk ke dalam kelas dan mendapati semua teman sekelasnya telah hadir dan duduk serius membaca buku pelajaran. Ya, buku pelajaran dan bukannya komik.

Sungguh anak-anak yang rajin dan manis, Kairi meledek mereka dalam hati. Ia pun menghampiri mereka dan menyapa dengan riangnya.

"Rajin amat kalian! Apa hari ini ada lomba membaca dengan khusyuk?"

"Sshhtt!" beberapa anak menyuruh Kairi untuk tutup mulut, sementara yang lainnya memberikan tatapan setajam silet agar Kairi bungkam.

Kairi buru-buru menurunkan volume suara dan menyenggol lengan teman sebangkunya, Takao Noel. "Noel, kenapa semua anak di kelas ini nampak serius pagi ini?"

"Loh, masa kamu nggak tahu? Kan pelajaran pertama hari ini ada ulangan Fisika," jawab Noel dengan berbisik.

"Hah?! Yang bener loe?!" dan Kairi mendapati kepalanya ditimpuk buku dan gumpalan kertas sebagai ganjaran dari pekikannya tadi. Kairi buru-buru menutup mulutnya.

"Yang bilan begitu siapa, Noel?" tanya Kairi dengan berbisik.

"Pak Keiichiro," jawab Noel santai.

"Kapan?"

"Dua hari lalu."

"Di mana? Masa sih aku sampai nggak tahu?" Kairi terus mencecar Noel dengan pertanyaan.

"Ya, di kelas lah! Masa kamu nggak nyimak?" Noel berdecak kesal. "Memangya kamu nggak mencatatnya?"

Paras Kairi seketika memucat. Dengan gemetar, ia mengambil buku catatan Fisika dari dalam tasnya dan membukanya. Hingga sampai ke halaman terakhir yang berisikan catatan pelajaran pada pertemuan terakhirnya dengan Pak Asaka Keiichiro—guru Fisikanya yang terkenal killer itu. Persendiannya terasa copot semua kala mendapati tulisan besar-besar yang berbunyi ;

KAIRI GANTENK, DUA HARI LAGI ULANGAN!

"Tuh, tulisanmu segede gaban. Masa nggak kelihatan?"

Kairi merasakan telapak tangannya berkeringat dan tengkuknya mendingin. "Aku harus bagaimana sekarang, Noel? Aku nggak ingat sama sekali kalau hari ini ada ulangan. Jadi, semalam nggak sempat belajar."

Noel mengedikkan bahu. "Mendingan sekarang kamu segera belajar. Masih ada waktu satu jam lima belas menit lagi."

Dengan kalut, Kairi akhirnya menuruti saran Noel. Dia bisa belajar walaupun dalam waktu yang cukup singkat. Bel masuk berdering dan membuat Kairi semakin berkeringat dingin. Apalagi saat Pak Keiichiro masuk dan menuliskan peraturan yang harus dipatuhi oleh semua siswa saat ulangan berlangsung sebelum beliau membagikan kertas berisikan soal-soal ulangan pada semua murid di kelas. Soal yang ada di kertas itu memang tidak banyak, hanya tujuh. Namun, cukup menggambarkan isi otak Kairi saat ini, ruwet!

Akhirnya bisa ditebak, Kairi menjawab soal-soal ulangannya sebisanya dia saja. Yang mampu ia jawab hanya 2 dari 7 soal yang ada, itupun dia tidak yakin benar atau salah. Sebenarnya kesempatan untuk meminta jawaban pada teman-temannya tersedia, karena Pak Keiichiro sengaja meninggalkan kelas beberapa kali. Namun saat Kairi hendak meminta jawaban kepada teman-temannya, mereka menampakkan wajah frustrasi yang lebih parah daripada dirinya. Kalau mereka yang sudah belajar maksimal saja sampai sebegitu stressnya, apalagi dia yang persiapan belajarnya minim?


Jam istirahat disambut Kairi dengan lesu. Dia, Noel, dan Hikawa Sakuya berkumpul di kantin, membicarakan seputar ulangan tadi.

"Paling tidak, kalian sudah belajar dari semalam," keluh Kairi.

"Aku hanya bisa menjawab 5 soal, Kai. Itupun nggak tahu salah atau benar. Kalau ternyata salah semua, ya mau nggak mau aku ikut remedial nantinya," tukas Sakuya.

"Tapi, paling nggak kan dapat upah menulis rumus!" debat Kairi.

"Kairi, upah menulis rumus untuk 5 soal paling tinggi 25, apa gunanya? Tetap saja aku ikut remedial bareng yang dapat nilai nol."

"Memangnya kamu nggak mencoba untuk menjawab, Kai?" Noel pun akhirnya bertanya setelah sejak tadi hanya menyimak percakapan Sakuya dengan Kairi.

"Yang bisa kujawab cuma dua, sisanya aku mau jawab apa coba? Soalnya saja aku nggak ngerti. Ada yang bisa jelaskan padaku cara menghitung hukum gerak, hukum aksi-reaksi, hukum Pascal, dan hukum Bernoulli?" gerutu Kairi dengan kulit wajah yang mengerut karena kesal.

"Paling nggak, kamu nulis rumus di kelima soal itu, kan?" Noel bertanya lagi pada Kairi.

Kairi menghela napas dan menjawab. "Iya, tapi aku nggak tahu rumus apa yang kutulis sebagai jawaban. Rasa-rasanya, rumus itu nggak nyambung sama pertanyaannya."

"Masalah besar, Kai," Sakuya mendesis. "Pak Keiichiro bisa memberimu hukuman, sebab beliau pernah bilang mencoba menjawab meski sedikit melenceng masih bisa dibenarkan daripada asal menjawab!"

"Aku tahu! Tapi, aku ingin mencoba menulis sesuatu!" putus Kairi dengan air muka kesal. "Entah itu rumus, atau coretan hitungan, atau apapun yang berhubungan dengan soal! Tapi masalahnya, otakku blank dan blong!"

Noel dan Sakuya tidak berkomentar apa-apa lagi. Mereka berdua tahu jika Kairi sudah cukup tertekan dengan ulangannya—meski nggak sepenuhnya gagal, yang membuatnya stress. Noel dan Sakuya sepakat untuk tidak membahas soal itu lagi di depan Kairi. Lagipula masih ada ulangan perbaikan, di situ Kairi harus berusaha ekstra keras. Kalau perlu tebar sesajen, bertapa di bawah air terjun, rajin bersedekah, dan begadang semalam suntuk demi mendapatkan nilai bagus.

Sakuya mengulurkan tangannya yang terbuka pada Kairi. "Mana pesananku?"

Alis Kairi mengernyit. "Pesanan apa?"

"DVD Date A Live yang kuminta lewat WA," kata Sakuya.

Kairi menepuk dahi dan senyum minta maaf tergurat di bibirnya. Sakuya menghela napas, pasti sebentar lagi Kairi akan bilang...

"Maaf, Sakuya. Aku benar-benar nggak ingat!"

Sakuya menahan rasa kesal sekaligus kasihan pada Kairi yang memang memiliki penyakit lupa.

"Padahal sudah kuletakkan di meja belajar," kata Kairi dengan penuh sesal.

"Kayaknya penyakit lupamu makin parah deh, Kairi," komentar Noel. "Sebaiknya, kamu segera konsultasikan masalah ini ke dokter. Siapa tahu bisa disembuhkan. Kalau tidak cepat ditanggulangi, penyakit lupamu akan sering menimbulkan masalah ke depannya."

"Selain itu, kamu juga harus membiasakan diri untuk membuat pengingat. Kamu catat hal-hal penting dan krusial di sticky notes, lalu tempel di tempat-tempat yang mudah dilihat. Dengan begitu, kamu bisa melihat catatan penting yang kamu buat di mana saja," Sakuya menambahkan.

Ekspresi Kairi menjadi semakin sedih. Dengan murung, ia menukas. "Sudah berbagai cara kucoba agar aku bisa mengingat hal-hal penting. Tapi, selalu gagal. Aku kadang lupa membuat catatan pengingat, sekalinya ingat sudah membuat catatan ... aku malah lupa menempelnya di mana. Aku juga nggak tahu kenapa bisa seperti ini."

Kedua temannya menatap Kairi dengan iba. Noel dan Sakuya adalah teman Kairi sejak SD dan mereka sangat tahu seluk-beluk sahabatnya itu. Dulu, Kairi senormal mereka dalam daya ingat. Paling-paling kalaupun lupa, hanya lupa membuat PR atau lupa baar uang kas kelas. Hingga tiga belas bulan lalu, Kairi mengalami kecelakaan kecil saat mengejar truk pengangkut sampah di depan rumahnya. Ia terpeleset dan jatuh terjerembap. Kairi tidak mengalami luka serius,hanya benjol kecil di atas pelipis kiri, memar di kedua tangan dan kaki, dan sedikit lebam di pinggul.

Kairi memang sempat mengalami pusing-pusing selama tiga hari. Namun setelahnya, keluhan itu sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan apa-apa. Hanya saja, sejak saat itu Kairi jadi cepat lupa. Tak jarang di tengah pembicaraan, Kairi lupa dengan apa yang mau dia katakan. Ucapan orang lain pun tak bisa dia ingat secara lengkap dalam hitungan kurang dari 5 menit.

Mulanya Noel dan Sakuya mengira itu adalah efek dari jatuh, dan akan sembuh dengan sendirinya. Namun bulan demi bulan berlalu, keadaan Kairi tidak kunjung membaik. Nilai-nilai Kairi merosot drastis. Kalaupun ia bisa mencapai rata-rata kelas, itu dikarenakan kedua sahabat setianya berusaha untuk memberikan jawaban setiap kali ada ulangan pada Kairi.

Kairi sendiri mengaku kalau ia belum menceritakan soal keluhannya itu pada keluarganya, karena ia takut dianggap bereaksi berlebihan. Namun Sakuya dan Noel sepakat, kalau kondisi Kairi semakin memburuk ... mereka akan memaksa Kairi untuk berobat ke dokter. Makin cepat ditangani, pasti akan makin baik.

"Jangan sedih, Kai. Kita berdua akan membantu mengingatkanmu apa saja, terutama yang berkaitan dengan sekolah. Jadi, kamu jangan mencemaskan soal nilai-nilaimu," Noel berusaha untuk meyakinkan Kairi.

"Benar, Kai. Kita juga akan selalu mendoakanmu supaya kamu cepat sembuh," Sakuya menimpali ucapan Noel.

Kairi terharu dan merangkul bahu kedua sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian berdua memang yang terbaik!"


Pembicaraan lantas beralih ke acara kemping yang diadakan seminggu lagi. Kegiatan itu diadakan dalam rangka pemenuhan tugas biologi yaitu mengamati ekosistem biotik dan abiotik yang ada di pantai tak jauh dari lokasi perkemahan. Guru kimia mereka menambahkan tugas makalah yang menjabarkan tentang pencemaran lingkungan yang kemungkinan terjadi di sepanjang pantai Sasago, Shimane.

"Aku udah nggak sabar lagi untuk kemping!" ungkap Sakuya dengan riangnya, sesekali ia mencuri pandang ke arah kerumunan anak perempuan yang berjarak 100 meter dari tempatnya duduk.

"Mentang-mentang sudah jadi pacarnya Umika, kepengennya berduaan terus!" goda Kairi sambil mengedipkan mata kirinya. "Kalau mau kencan nggak harus nunggu acara ke pantai segala, kan? Setiap hari kamu ketemu dengannya di sekolah. Kamu juga bisa jalan-jalan dengan Umika di Shibuya, Ginza, atau Roppongi."

"Sensasinya beda, Kai!" tukas Sakuya. "Kalau kencan di sekolah atau dalam kota, basi banget! Sudah begitu, suasananya membosankan. Kalau di pantai, uuuuh ... suasananya romantis, cuy! Dilatari matahari terbenam, suara burung camar, debur ombak..."

Sakuya tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena Noel menyumpalkan sepotong pizza ke dalam mulut Sakuya. Kairi bereaksi jijik dengan berpura-pura muntah saat melihatnya. Namun, Kairi segera menghentikan aksinya ketika seisi kantin menatapnya dengan tatapan membunuh. Ketiganya lalu tertawa sampai keluar air mata.

"Persiapan kalian untuk berangkat bagaimana?" tanya Kairi sambil menyusut air matanya yang keluar akibat kebanyakan tertawa.

"Sepertinya hanya pakaian saja yang belum disiapkan," jawab Noel. "Kalau dimasukkan sekarang ke dalam tas, nanti bau apek. Obat-obatan sudah siap. Komik komplit. MP3 player juga nggak ketinggalan."

"Wah, jadi ingin cepat-cepat berangkat!" tukas Kairi dengan semangat.

"Nah, kalau Kairi hharus menyusun baju mulai dari sekarang," Sakuya berseloroh. "Kalau sampai dia lupa bawa baju ganti, kita juga yang susah nantinya."

"Aku malah sangsi dia ingat bawa baju," imbuh Noel. "Jangan-jangan yang dia bawa malah boxer semua."

Ketiganya kembali tertawa. Kairi bahkan lupa sama nilai ulangan Fisikanya yang terancam jeblok. Rupanya dia larut dalam suasana menyenangkan yang diciptakan oleh Noel dan Sakuya.

"Catat tanggal keberangkatan kita, Kai. Lalu pasang alarm pengingat sehari sebelum keberangkatan dan pada hari keberangkatan. Jadi, kamu nggak akan kelupaan," Noel mengingatkan Kairi.

Kairi mengangguk dan mengambil ponsel pintar dari saku celananya. Ia lalu mencari menu pengingat dan menuliskan memo untuk tanggal 12 dan 13 Juli. Setelah itu, ia memasang alarmnya.

Kairi menggeliat malas di ranjang. Ia lalu duduk di kasurnya sambil mengucek-ngucek matanya. Tidurnya sempat terusik oleh suara-suara, namun ia kembali tidur seusai mematikan sumber suara berisik itu. Indera penciumannya membaui aroma lezat yang menerbitkan air liur.

Kairi segera turun dari ranjang usai mengambil ponselnya dan menuju ke dapur—sumber aroma lezat tadi. Pemuda pirang itu melihat ibunya tengah memasak dalam balutan pakaian olahraga.

"Hm, lezatnya. Selamat pagi, Bunda," sapa Kairi sambil duduk di kursi yang ada di ruang makan itu. Ruangan makan keluarga Yano memang jadi satu dengan dapur.

Ibunya Kairi terperanjat saat melihat sosok Kairi di ruang makan. Bunda pun segera meletakkan spatula di penggorengan dan menghampiri Kairi.

"Kairi, kenapa baru bangun?"

"Bunda, ini hari Minggu. Kenapa aku harus bangun cepat? Baru pukul 10 pagi, kan? Misa gereja juga baru akan mulai jam 2 siang nanti," jawab Kairi dengan kebingungan. Tidak paham kenapa ibunya sekaget dan secemas itu. "Sekolah juga libur."

"Memang sekolah libur, Kai. Tapi, hari ini kamu seharusnya ikut kemping!" jelas Bunda dengan ekspresi cemas.

"Hari ini?" Kairi nyaris terpelanting saat bangkit dari duduknya saking terkejutnya mendengar penuturan Bunda."Aduh, Bunda. Rombongan berangkat jam 7 pagi, kenapa nggak membangunkan Kairi?"

"Bunda dan Shouri-oniisan sudah ribut membangunkanmu dari jam 4.30 pagi. Kamu lupa, ya? Kamu bilang kalau mau rebahan sebentar lagi karena sudah menyetel alarm, jadi kami langsung berangkat menyusul Ayah lari pagi. Kami baru pulang lima belas menit lalu dan nggak mencarimu ke kamar karena mengira kamu sudah berangkat."

Kairi langsung merasakan matanya memburam dengan cepat. Ia lalu memeriksa ponselnya dan terhenyak saat mendapati 50 panggilan tak terjawab dari Noel dan Sakuya. Ia segera mengurutkannya dan mendapati kedua sahabatnya itu mulai meneleponnya dari jam 4 pagi. Alarm ponselnya pun berdering saat waktu menunjukkan pukul 5 pagi, namun ia tanpa sadar mematikannya. Kairi menggigit bibir, ia benar-benar sedih dan menyesal sekarang.

"Bunda kan sudah menyuruh kamu untuk menyetel alarm beker dan ponsel sekaligus, Kai."

"Baterai bekerku mati, Bun," kata Kairi parau.

"Shouri-oniisan sudah membelikannya dan meletakkannya di meja belajarmu kemarin."

"Kairi lupa pasang."

Bunda menatap iba anak bungsunya itu. Sepertinya penyakit lupa anaknya makin serius, sehingga Kairi tidak bisa bersenang-senang dengan kawan-kawannya dalam acara sekolah itu. Bunda berpikir untuk membawa Kairi berobat ke dokter untuk menyembuhkan penyakit lupanya itu.

Kairi segera beringsut menuju ke ruang tengah saat Shouri—kakak laki-lakinya, berseru-seru memanggil Bunda sambil menunjuk-nunjuk ke arah TV. Shouri terkejut saat mendapati adiknya ada di ruangan itu, namun ia segera mengatakan pada Kairi untuk menyimak siaran langsung berita kecelakaan pada jalan Tokyo-Shimane di TV. Mata Kairi menyipit saat melihat bus pariwisata yang ringsek dan adanya genangan darah di mana-mana. Reporter wanita di siaran itu mengatakan bahwa supir bus kehilangan kendali akibat tikungan tajam dan jalanan licin akibat guyuran hujan.

Mata Kairi membulat dan tubuhnya merosot jatuh ke lantai saat mendengar bahwa seluruh penumpang bus—yang merupakan guru dan siswa SMA Haze, tewas dalam kecelakaan itu.

"SMA Haze kan ... sekolahku?" gumam Kairi dengan suara tercekat. "Kalau begitu, Noel dan Sakuya?"

Kairi mendengar reporter wanita yang melaporkan kecelakaan itu, bahwa bus pariwisata itu dalam perjalanan menuju perkemahan di sekitar pantai Sasago. Setelahnya, Kairi tak dapat mendengar suara apapun. Ia hanya mampu menyimak gambar dalam tayangan televisi tersebut. Jiwanya terguncang hebat saat melihat dua orang polisi menggotong sesosok jenazah yang wajahnya sedikit rusak dan belepotan lumpur serta darah dan memeluk sebuah benda yang Kairi kenali dengan baik.

Dakimakura Tokisaki Kurumi.

Hadiah dari Kairi untuk ulang tahunnya Sakuya yang keenambelas tiga bulan lalu. Sudah pasti jenazah yang tengah digotong itu adalah Sakuya, satu dari dua sahabatnya.

Bunda dan Shouri memeluk Kairi erat-erat. Mereka berdua bersyukur Kairi tidak jadi korban, sekaligus merasa kasihan serta prihatin pada seluruh korban kecelakaan itu. Kalau saja Kairi tidak terpeleset dan terserang penyakit lupa...

—finished